Sang pewaris part 87 (tamat)

 

Bab 87








Tak ada pesta yang tidak berakhir. Hiruk pikuk selama tiga hari tiga malam pun kembali normal. Tenda sedang dibongkar, dekorasi sudah diturunkan. Semua keluarga besar sudah pulang ke Bandung.




Aku, Rei, sudah resmi menjadi seorang suami. Pengantin terkentang dalam sejarah peradaban Sawer-Ewer karena sejak akad nikah sampai sekarang belum belah duren. Prabu Sawaka memberi petunjuk agar malam pertama dilakukan pada tanggal 27 bulan ini sesuai angka keramat kuncen penulis cerita ini. Rere istriku bukannya kecewa, ia malah senang dan antusias menyambut usulan Sawaka, karena ia punya jalan pikiran sendiri. Ia ingin melakukan malam pertama di rumah masa depan kami. Kesimpulannya, aku yang paling kecewa. Aku teraniaya oleh sikap Sawaka, istriku, dan juga penulis cerita.




Tak satu pun keluarga kami yang tahu tentang hal ini. Tak heran kalau aku ataupun Rere selalu digoda dan dipancing tentang kesan malam pertama kami.




Kini istriku malah tidak ada di rumah. Tadi pagi ia pergi jalan-jalan mengelilingi kampung dan perkebunan ditemani oleh Inka, Nzi, dan Rana. Dan jam segini belum pulang. Aku tidak mencarinya. Sejauh tidak ada firasat buruk, mereka semua dalam keadaan aman.




Aku yang sedang duduk seorang diri di dalam saung langsung menutup laptop ketika para gadis yang sedang kupikirkan terdengar pulang. Tak berselang lama, sosok istri tercinta muncul.




“Sayang, ke kamar sebentar.” ujarnya sambil mendekat.


“Asiiik.” aku antusias.




Istriku tertawa renyah. Ia tahu isi pikiranku. Ia menarik tanganku memasuki rumah dan menuju kamar yang sebetulnya adalah kamar pengantin kami. Inka, Nzi, Rana yang sedang ngobrol cekikikan langsung diam ketika melihat kami lewat. Ada senyum-senyum jail di sana. Para sahabatku dari Ewer terlihat sedang duduk di bale-bale depan rumah. Mereka adalah Indra, Midun, Safri, Juned dan Babay.




“Eittt…” ia menahan daun pintu kamar dengan kakinya ketika hendak kututup.




Tanganku ia tarik hingga duduk di tepi ranjang.




“Yank..” sambil memamerkan gigit putihnya. “Aku pinjam uangmu yah, uang tunaiku habis.”


“Yaudah ambil aja, untuk apa sih?”


“Boleh gak?” sambil mendekatkan wajah seolah mau mencium, tetapi tak juga menempelkan bibirnya.


“Iya, sayang, lagian ngapain pake minjem segala. Kita sudah nikah loh. Uangku ya uangmu.” jawabku.


“Hihi.. kalau gitu gak jadi minjem. Aku minta yah.”




Akhirnya bibir merahnya mencium pipiku lantas ia berjingkat mengambil tas kecil di dalam laci meja.




“Eh.. yank.. buat apa sih?”




Yang ditanya hanya memeletkan lidah. Sementara jemari lentiknya mengeluarkan semua isi tas dan menghitung lembaran merah yang ada di sana.




“Kuambil sepuluh juta yah.” ujarnya sambil membungkusnya dengan kertas koran.


“Untuk apa, sih yank?


“Nanti aja ceritanya.” jawabnya sambil mendekat.




Pipiku kembali dicium dan bergegas meninggalkan kamar. Aku yang penasaran membuntutinya. Tiga gadis di ruang tengah ikut berjalan ke depan.




“Nih, Ndra.. pokoknya dalam seminggu harus beres.” istriku menyodorkan uang pada Indra sahabatku.


“Siap, Nyonya Rei.”




Jawaban Indra sukses membuat Rere mendelik. Ia mengomel panjang lebar, sedangkan para sahabatku hanya kiceup sambil garuk-garuk kepala.




Dari omelan Rere aku menjadi tahu penyebabnya. Rupanya sewaktu jalan-jalan, istriku melihat ada bagian kumuh di Ewer yang selama ini tidak terpantau, yaitu kompleks kandang peternakan. Kandang-kandang banyak yang lapuk dan kondisinya kotor, selokan mampet, dan sampah bekas makanan ternak hanya ditumpuk begitu saja.




“Jangan hanya kopi yang dipikirin. Ternak-ternak juga perlu diurus dengan benar.” istriku mengakhiri gerutuannya.


“Rasain, kak. Istri kakak galak banget. Aku aja serem pas tadi melihat Kak Rere marah-marah di kandang.” bisik Nzi sambil mengerling.




Aku hanya menanggapinya dengan senyum kecut. Tetapi sesungguhnya aku merasa bahagia, istriku adalah wanita luar biasa. Kami hanya memikirkan perkara besar yaitu perkebunan kopi yang menjadi sumber utama penghasilan warga, sedangkan istriku menemukan sendi-sendi kehidupan lain yang tidak terperhatikan. Bagi Indra dan sahabatku yang lain itu mungkin hal yang sepele, tetapi tidak bagi istriku.




“Ndra… Ndra… baru tiga hari aku menikah. Tetapi kalian sudah membuat aku bangkrut.” celetukku.


“Yee.. siapa juga yang minta uang. Gampang itu mah.. sehari juga bisa ngumpulin uang dari warga yang punya kandang di sana.” jawab Ndra.


“Siapa juga yang membuat kompleks kandang kumuh?!” sahut Rere. “Itu gak bagus… orang tahunya Ewer itu indah dan bersih, apa jadinya kalau ada pengunjung yang lewat di sana?”




Kalau tadi para sahabatku yang tertawa karena mendengar ucapanku, kini aku yang menertawakan mereka. Apapun alasannya, karena mereka adalah generasi pemimpin masa depan Ewer, maka di mata istriku, mereka menjadi pihak yang layak dipersalahkan.




Sisanya kami ngobrol santai, lantas bubar. Aku mengajak istriku ke dalam kamar sambil menunggu waktunya makan siang.




“Makasih uangnya.” judesnya hilang berganti manja.


“Bisa cepat bangkrut aku jadi suamimu, yank.”


“Hihi.. jadi gak ikhlas?”




Langsung kutangkap pinggangnya, dan kukecup bibirnya. Ia harus tahu bahwa aku mencintainya dengan segenap hati, sekaligus bangga atas apa yang telah ia lakukan. Kuluman-kuluman lembut saling kami berikan.




Namun kemesraan kami hanya berlangsung singkat karena tiga gadis ngehe malah masuk kamar. Kompak duduk bersila di atas kasur sambil saling bercerita khas obrolan para gadis perempuan. Istriku ikut ngobrol sambil beres-beres karena besok kami akan kembali ke Bandung, sedangkan aku kembali menyibukan diri di depan laptop. Semua tahap perijinan dan perencanaan proyek impianku berupa ‘coffee park’ sudah selesai, dan tinggal dieksekusi di lapangan.








https://t.me/cerita_dewasaa








Istriku adalah gadis yang paling cantik di mataku. Mau berdandan ataupun tidak, ia selalu istimewa. Entah berpakaian seksi atau tertutup semua, penampilannya selalu menggoda.




Malam ini adalah malam dimana aku melihat kecantikannya secara luar biasa. Begitu istimewa dengan gaun pesta yang ia kenakan. Setiap lekuk wajahnya terbentuk oleh setiap goresan dan pulasan makeup. Ia terlihat begitu anggun, matang, sekaligus berkharisma.




Kami berdua bergandengan tangan keluar dari lobi hotel diantar oleh orangtua kami masing-masing, kakak-adik, dan juga oma dan opa. Kubantu istriku menaiki mobil. Setelah saling melambaikan tangan, sopir pun membawa kami berdua menuju rumah impian yang sudah kami tempati sejak menyandang status suami-istri. Sesuai rencana, malam ini aku dan istriku tidak menginap di hotel sebagaimana keluarga kami yang lain.




Inilah akhir dari pesta pernikahan di Bandung yang membahagiakan sekaligus melelahkan. Upacaranya begitu panjang karena ayahnya Rere membuat parade a la kepolisian. Tamu juga membludak. Selain keluarga besar Sawer dan Ewer, hadir pula partner kerja ayah dari berbagai perusahaan, dan juga rekan sejawat papahnya Rere. Beberapa Jenderal berbintang bahkan menanyaiku berasal dari satuan mana. Ini belum termasuk para sahabat dan rekan kerja aku dan Rere.




“Happy, sayang?” tanyaku sambil menatapnya lembut.




Istriku menganggukan kepala. Senyumnya mengembang. Kugenggam tangannya dan kuremas jemarinya. Kukecup cincin yang melingkar pada jari manisnya. Istriku terlihat tersanjung. Satu tangan memainkan kancing jasku.




Aku merunduk mendekati telinganya, “Istriku cantik sekali.” Cubitan kecil pun mendarat pada pinggangku. Kedua pipinya seketika merona.




Kecupan hangat ia hadiahkan pada pipiku. Lantas ia terkekeh sambil mengusapi bekas kecupannya. Rupanya lipstiknya tertinggal. Ia pun mengeluarkan tissue dari dalam tasnya dan membersihkan pipiku.




Selebihnya ia membersihkan bibirnya sendiri. Lipstiknya ia ganti dengan warna yang lebih muda. Glowing dan terkesan basah. Seksi kusaksikan.




Kutatap setiap gerak-geriknya. Dadaku tak henti berdesir. Gadis molek ini sesaat lagi akan menjadi milikku seutuhnya. Malam pertama yang kunanti akhirnya tinggal sebentar lagi.




Setelah ia selesai sedikit merubah riasannya, aku merunduk untuk mengecup bibirnya. Tetapi tangannya sigap menahan sambil matanya memberi kode ke arah sopir. Aku tidak peduli. Kusingkirkan tangannya dan kutahan kepalanya. Istriku melotot gemas, tetapi tetap tidak menolak ketika aku melumat. Ia bahkan membalas dengan mata setengah tertutup. Ujung lidah kami juga saling terjulur dan menggelitik lembut.




“Udaah, sayang.” bisiknya terengah.




Kudekap kepalanya. Istriku terlihat sangat nyaman menyandarkan diri. Tangan kami saling meremas penuh arti.




“Yank..”


“Hmm..?”


“Hehe.. manggil aja. I love you.”




Kuusap-usap puhu lengannya. Aku tidak perlu mengatakan hal yang sama. Ia sudah tahu itu semua. Sisa perjalanan kami tidak banyak bicara. Hanya sentuhan-sentuhan lembut yang kami lakukan.




Tepat jam sebelas malam kami tiba di rumah. Kunyalakan lampu hingga terang benderang, dan kupastikan semua pintu terkunci dari dalam sehingga esok hari tak seorang pun bisa masuk. Istriku masuk kamar untuk menyimpan tasnya sekaligus pergi ke toilet. Aku tetap di bawah menyeduh dua cangkir teh hangat.




Istriku kembali dengan masih mengenakan gaun yang sama dan tanpa mengubah dandanannya. Hanya sepatunya sudah diganti sandal rumahan.




“Makasiiih..” ia menerima cangkir yang kusodorkan. Kami duduk bersisian di atas sofa sekedar untuk meluruskan betis.




Seruputannya terlihat begitu nikmat.




“Yaaank…” tegurnya ketika aku mengeluarkan smartphone.


“Hehe.. iya nggak..” kuletakan kembali smartphoneku.




Malam ini kami sudah sepakat untuk ‘memutuskan’ hubungan dengan dunia luar. Sambil menikmati sisah teh, istriku selalu mengamati seisi rumah penuh bahagia. Inilah istana kami, untuk seluruh sisa hidup kami.




“Sayang.”


“Hmmm?”




Kutatap wajanya. Istriku memamerkan barisan gigi putihnya. Sangat menggemaskan.




“Makasih.” ujarnya tulus.


“Aku yang harus berterima kasih pada istriku yang cantik ini. Aku bahagia, sayang.”


“Iyah?”




Kujawab dengan anggukan. Senyum bahagianya kembali mengembang, dan kecupan ia hadiahkan pada pipiku.




Langsung kutahan dagunya dan kukulum bibir lembutnya. Manis kurasakan. Istriku membalas tak kalah syahdu. Ujung lidah kami saling beradu. Tanganku ikut bergerak dan jemariku menari pada bagian atas kulit payudaranya.




“Mmmhh.. sayang…” bisiknya. Ciuman istriku mulai gelisah.




Kuambil cangkirnya dan kuletakan di atas meja. Dengan sigap kuangkat tubuhnya sehingga ia menjerit manja. Kupangku menaiki anak tangga, menuju kamar pengantin kami yang sesungguhnya.




“Hihi sepertinya ada yang sudah gak sabar.” sambil mengedipkan mata.


“Seminggu, yank, seminggu.” jawabku.




Yah.. inilah hari ketujuh sejak akad nikah. Tepat tanggal 27 bulan ini.




Setibanya di kamar, aroma harum langsung menghinggapi penciumanku. Kamar kami memang dihias layaknya kamar pengantin. Hamparan melati tertabur di atas kasur, dan bunga-bunga segar tertata rapi di sudut-sudut ruangan.




Istriku menunjuk meja rias. Kuturuti maunya. Kududukan di depan cermin besar yang merupakan tempat kebanggaannya untuk memoles diri. Istriku melepaskan perhiasannya sementara aku memeluk setengah membungkuk. Daguku menumpang pada pundaknya yang tidak tertutup. Mataku tertuju pada bagian atas payudaranya yang terpantul pada cermin.




Istriku tahu ke mana arah mataku. Kulihat ia memeletkan lidah menggoda.




Setelah anting dan kalungnya ia lepas, ia pun berbalik sambil merentangkan tangan. Kudekap selama beberapa detik lantas kupangku dan kubaringkan di atas kasur dengan sangat hati-hati.




Ia merapikan rambutnya dan menyampirkan ke samping kepala, sementara aku merangkak setengah menindihnya. Kusampirkan dua tali gaunnya ke samping hingga tersampir pada bahu. Kutatap setengah payudaranya sambil menelan liur.




“Akhirnyaaa…” ujarku girang.




“Selamat! Kamu lulus ujian, sayang. Suamiku memang hebat.” sambil mengusapi pipiku. Ujarnya lagi, “Kamu harus bisa menahan nafsu, sayang, karena tidak selamanya aku bisa melayanimu. Dan ingat… tidak boleh ada lagi perempuan lain.”




Aku mengangguk. Kuturunkan wajahku sehingga kening kami beradu. Bibir kami sama-sama terbuka mengalirkan nafas hangat. Istriku siap menyambut ketika bibirku mendekat, tetapi kutarik kembali wajahku. Matanya yang setengah terpejam pun terbuka kembali. Kulakukan berulang-ulang.




Istriku gemas sendiri. Sigap ia menangkup kedua pipiku agar tidak bisa menghindar.




Lumatan-lumatan basah dan penuh gairah pun tak lagi terhindarkan. Permukaan lidah kami saling menyapu, berlanjut dengan lumatan bibir. Begitu seterusnya sambil sekali-kali memutar wajah dengan arah berlawanan.




Tanganku sendiri sudah berhasil mengangkat gaun panjangnya, dan tanganku sudah menari pada bagian paha dalamnya yang mulus dan halus. Cumbuan kami semakin panas. Basah disertai desah dan lenguh gairah.




Kamar 727…




Aku duduk di depan cermin sambil menanggalkan perhiasanku. Kuurai gelungku dan juga kulolosi perhiasanku, hanya menyisakan kalung liontin yang hampir tak pernah terlepas dari leherku.




Kutilik wajahku. Memperhatikan penampilan dan kecantikan adalah naluri seorang perempuan, berapapun usiaku saat ini. Aku tahu, aku sudah tidak muda lagi. Mulai ada kerutan-kerutan pada ujung mataku. Badanku melebar dan payudaraku juga sudah tidak sekal lagi. Tetapi suamiku selalu mengatakan bahwa perubahanku adalah bentuk metamorfosis kecantikanku… cantikku selalu baru… dan semakin cantik… Hihi.. suamiku memang sering gombal. Tetapi sebagai seorang istri, sikapnya menyukakan hatiku.




“Ayah, sudah sikat gigi?” tanyaku ketika sosoknya keluar dari dalam kamar mandi.


“Sudah.”


“Yaudah.. langsung tidur, gak boleh merokok atau ngopi lagi.” ujarku.




Bukannya menuju tempat tidur, ia malah mendekatiku. Jantungku jadi berdebar-debar.




“Belum mau tidur.” jawabnya sambil membungkuk dan mencium pundakku.


“Loh kenapa? Ayah belum ngantuk?”


“Udah dua minggu puasa, mah. Mamah gak capek kan?”




Hihi… kasian suamiku. Sejak persiapan perkawinan Rei sampai pesta malam ini di Bandung, suamiku memang tidak dapat jatah. Kami terlalu sibuk mempersiapkan pernikahan putra kami. Kami ingin memberikan yang terbaik sebagai wujud cinta kami untuknya.




“Ayah apaan sih.. yang nikah putra kita, kok ayah malah pingin ikutan bulan madu.” aku pura-pura cemberut. Padahal pangkal selangkangan tiba-tiba terasa hangat.


“Yeee.. itu mah salah si Rei!”


“Kok ayah malah nyalahin Rei?”


“Ya jelas salah. Mengapa dia punya mamah cantik, ayah kan jadi pengen terus.”


“Ayaaah!! Malu ama umur. Gombal…!!!”




Aku sama sekali tidak menolak ketika tangan suamiku melolosi bagian atas gaun pesta yang masih kukenakan. Aku malah berdiri untuk membantunya.




Kuloloskan gaunku yang tersangkut pada pinggang hingga terjatuh di atas lantai. Suamiku sendiri membuka penutup payudaraku. Kini aku hanya tinggal mengenakan celana dalam.




Aku langsung berlari ketika ia mau mencumbuku. Kujatuhkan tubuhku di atas kasur sambil memainkan rambut. Suamiku yang gemas langsung menanggalkan pakaiannya hingga telanjang bulat. Pusaka kebanggaannya, dan tentu saja kesukaanku, sudah mengacung tegang.




Kalau sudah begini kami lupa pada usia. Panggilan sayang yang sejak masa muda kami pertahankan saling kami bisikan. Kusambut cumbuan panasnya. Kulayani permainan lidahnya. Sementara tanganku sambil menggenggam dan mengocok ‘kang pepen’ milik suamiku.




Suamiku memang tetap perkasa dan selalu panas di tempat tidur. Tetapi ia tidak pernah memperlakukanku secara kasar. Sebesar apapun nafsunya, ia selalu memperlakukanku secara lembut sehingga angan dan rasaku terasa mengawang.




“Ayaaah… jangan digigit.” rengekku sambil menjilati bekas gigitannya pada bibir bawahku.




“Gemes..” sambil terkekeh.




Kucubit pipinya. Tetapi aku sendiri tidak tahan. Kulumat kembali bibirnya sambil mengocok kang pepen semakin kencang. Payudaraku sendiri sudah diremas-remas. Mau tidak mau aku menggelinjang.




Akhirnya aku hanya bisa pasrah ketika suamiku menggelosor. Leherku ia sapu dengan lidahnya, semakin turun dan turun…




“Mmmh.. ayah… ssssh…” aku tidak bisa menahan diri ketika putingku yang sudah keras ia kulum. Sentuhan bibir dan tangannya membuat birahiku meninggi. Lubang vaginaku berkedut, dan dinding-dinding lembut di dalamnya terasa semakin gatal dan geli.




Aku hanya bisa merem-melek sambil menggigit bibir. Aura cinta dan birahi suami tercinta merasuk sukmaku. Batinku bahagia, dan ragaku nikmat luar biasa.




Sambil nenen, tangan suamiku sudah mulai mengusapi perutku yang sudah mulai berlemak. Lantas merambat turun menuju pusat selangkangan. Kuku-kukunya menggaruk mahkota hitam kemaluanku. Geli dan nikmat menjadi satu. Aku semakin gelisah. Menanti saat-saat nikmat ia menyentuh klitoris dan lubang vaginaku.




“Ayah, buka…” ujarku sambil terengah-engah.




Kuangkat pinggulku dan suamiku memelorotkan celana dalam sebagai-satunya pelindung yang masih menempel pada tubuhku. Aku suka ekspresinya. Suamiku menghela nafasnya yang penuh gairah sambil memandang lubang kenikmatanku, lantas ia menatapku sambil tersenyum.




Kugoda suamiku dengan menjepitkan paha. Namun aku tidak berdaya ketika ia membukanya kembali. Kutekuk lututku, dan kubuka pahaku lebar.




“Mmmmh… sssh…” aku tak kuat menahan desahan ketika saat yang paling kutunggu dan mendebarkan akhirnya tiba.




Lidahnya menyapu selipan bibir vaginaku dari bawah ke atas dan berhenti pada klitorisku. Lidahnya menari. Klitorisku yang sudah gatal terasa begitu nikmat. Rasa nikmat itu menggetarkan seluruh tubuhku.




“Ayah jangan digituiiin…” aku merengek sambil satu kaki menendang angin.




Aku benar-benar kalap ketika bibirnya menghisap klitorisku. Rasanya seperti mau copot. Tapi rasa nikmatnya juga tak bisa lagi kugambarkan dengan kata-kata.




Aku melenguh… aku mendesis… sekali-kali tak bisa menahan erang. Bahasa tubuhku membuat suamiku kian bersemangat. Kini bukan hanya klitorisku yang menjadi pusat tarian lidahnya, melainkan juga gerbang vaginaku.




Apa dayaku… aku tidak bisa bertahan lama. Aku menjerit kecil seiring desakan cairan orgasmeku.




“Ayah.. uuuh… mamah bucat.” pekikku.




Seluruh tubuhku kejang dan bergetar. Orgasmeku cukup panjang karena suamiku masih terus saja menghisap setiap cairan yang keluar. Aku pun akhirnya terkulai lemas.




“Haaashh.. enak banget, Yah…” aku membuka mata ketika kurasakan tubuhnya bergerak.




Kuusap bibirnya lantas kukecup lembut. Cumbuan kami tidak terburu. Namun karena disertai permainan jemarinya pada paha dan payudara, membuatku bergairah kembali.




Kini giliran aku yang memuaskan suami. Aku menggelosor turun sambil menggenggam kang pepen. Kocokan lembut dan gemas kulakukan. Sementara sorot mata kami beradu.




Kuatur rambutku, dan kini aku melakukan apa yang menjadi kesukaanku. Lebih dari lima menit bibir dan lidahku menari pada batang kang pepen. Berulang kali aku berusaha menaklukannya dengan menghisap dalam-dalam sampai ujung tenggorokan. Gagal!! Memang sejak awal menikah sampai sekarang sudah mau memiliki cucu, aku belum pernah berhasil membuat suamiku ejakulasi di dalam mulutku.




Aku menyerah. Mulutku terasa linu, sementara vaginaku sudah berkedut-kedut basah. Ciumanku merambat naik pada perut, berputar sekitar pusar, lantas mengecupi kedua putingnya. Dan berakhir cumbuan panas pada bibirnya.




“Mah.. udah.. ayo kita bikin anak lagi sekarang.” ujarnya mengakhir cumbuan.


“Ayah iiiih… masa bikin dede lagi? Malu.. masa anak kita lebih muda dari cucu kita. Hihi…” mau tidak mau aku tertawa membayangkan hal itu. Kekey putri pertama kami sudah hamil tiga bulan.




Suamiku juga terkekeh. Ia geli oleh ucapannya sendiri dan juga oleh jawabanku. Lumatan singkat ia berikan, lantas memosisikan diri di antara kedua kakiku yang mengangkang lebar.




Kedua kakiku ia angkat sehingga pinggulku terangkat. Betisku mengait pundaknya, sementara kedua lutut tertekuk menyentuh payudaraku sendiri.




“Mamah siap?”


“He eh.. pelan-pelan, sayang.” desahku.




Meski usiaku sudah di akhir kepala lima, peristiwa ini tetap saja mendebarkan. Pertemuan alat kelamin kami selalu membuatku tegang. Aku hanya bisa menggigit bibir ketika kepala kang pepen menyentuh lubang vaginaku dan menyeruduk masuk.




“Aaaah.. ayaaah…” aku meringis nikmat ketika kejantanannya amblas. Disambut remasan-remasan mulut dan dinding vaginaku. Gerbang rahimku sendiri berkedut hebat memberikan sensasi nikmat tambahan.




Sisanya kami bergumul hebat layaknya pasangan muda. Langsung mendesah, saling melenguh. Saling menyodok, saling menyambut. Bunyi peraduan kelamin dan batang paha berirama dengan desahan kami berdua.




“Ah.. ah.. ah…” aku mendesah seiring irama genjotannya.




Nikmat ini tak lagi terkata. Tubuhku limbung. Rasa dan anganku melambung.




“Sssh.. Mah…” suamiku mulai diambang puncak.




Kini saatnya aku yang mengambil kendali. Aku tidak mau kalah lagi.




“Mamah di atas, Yah.” ujarku sambil terengah.




Suamiku langsung menggulingkan badan dengan tangan nakal menepuk pinggulku. Aku segera berjongkok mengangkanginya. Kuarahkan kang pepen agar memasuki kembali vaginaku sambil bertumpu pada dadanya.




Suamiku menumpuk bantal sehingga posisi bahunya lebih tinggi. Tangannya langsung memegang pinggangku.




“Mmmmh…” lenguhnya.


“Ssshh.. dalem banget, Yah.” aku ikut melenguh.




Kang pepen sudah masuk utuh dan aku diam sebentar agar vaginaku kembali beradaptasi. Setelah merasa nyaman kuputar pinggulku. Aku terkekeh melihat ekpresi nikmat suamiku, padahal lubang kenikmatanku sendiri sudah berkedut basah.




“Mmmmh.. pelan ayah…” rengekku ketika ia menyambar payudaraku yang bergelantungan dan meremas gemas dengan cukup keras.


“Salah sendiri mamah cantik.” godanya.


“Jujur?”


“Jempol!”


“Dasar Wawa.. suami mesum hihi…”




Langsung kuturun-naikan pinggulku. Kini seisi kamar menjadi gaduh oleh bunyi peraduan kelamin dan desah-lenguh. Aku dan suami saling berpacu meraih puncak; saling memompa, saling meremas, dan bahkan mengeluarkan erangan-erangan erotis untuk menambah daya rangsang.




“Aaah.. aaah.. ayah…” aku tak tahan untuk menahan racauan.




Suamiku semakin bersemangat sambil menjemput nikmat. Aku sendiri mulai limbung karena puncak birahi sudah di ubun-ubun. Orgasmeku sudah tidak terbendung.




Suamiku tahu bahasa tubuhku. Ia menarik tubuhku sehingga ambruk menindihnya. Lantas ia membalikan tubuhku, gantian dia yang di atas, tanpa melepaskan pertautan kemaluan. Kulingkarkan kedua kakiku pada pinggangnya.




“Ahh.. aaah.. aaah… mmmh… ayah… sayang.. aaah.. ayooo…” aku meracau menjemput puncak.




Suami menggeram sambil mempercepat kocokan.




“Aaaarrrhhh… uuuuh… ayaaaah… hiiiksss… mamah….”




Kugigit ujung bantal tanpa mampu menyelesaikan racauan. Tubuhku bergetar hebat, dan bendungan vaginaku jebol. Cairan hangat nan deras menyembur. Bersamaan dengan itu suamiku mengejang. Semprotan orgasme kami saling beradu di dalam vaginaku.




Rasanya aku ingin menjerit. Tetapi sebisa mungkin kutahan. Nikmat ini tak terkata… anganku melayang… rasaku mengawang… beberapa detik aku seolah menghilang, memasuki alam nikmat yang mendamaikan.




Kini tubuhku terasa sangat lemas. Nafasku tersengal lelah. Tapi tak sebanding dengan kenikmatan hakiki yang telah kudapatkan.




Aku baru benar-benar menggeliat. Ketika kecupan-kecupan lembut kurasakan. Kubuka mataku dan kutatap wajahnya dengan sendu. Perlahan bibirku bergerak menyambut kecupan-kecupan tipisnya.




Menjadi istri dari seorang Sirnawa membuat hidupku sebagai seorang wanita begitu utuh. Setiap percintaan yang kami lakukan selalu mengalir dari rasa sayang untuk saling membahagiakan; bukan semata-mata melampiaskan nafsu jasmani. Aku bukanlah tempatnya melampiaskan birahinya yang selalu tinggi; begitu juga sebaliknya, suamiku bukan alat untukku dalam mencari kenikmatan. Kami saling melengkapi.




“Mmmmh… ayah…” aku merengek manja.




Suamiku membersihkan vagina dan selangkanganku dengan celana dalam. Setelahnya ia membersihkan kang pepen.




Ia kembali berbaring dan mengecup keningku.




“I love you, ayah.” bisikku. Kata-kata suci yang selalu kuucapkan selepas bercinta.


“Love you, mom.”




Aku tersenyum bahagia. Kukecup bibirnya sebagai hadiah.




Kini saatnya aku menjadi istri yang berbakti. Aku turun dari tempat tidur dan membuka koper. Kupilih celana dalam dan kupakai. Setelah itu kuambil celana dalam suamiku dan kupasangkan. Lantas aku kembali berbaring di sampingnya sambil menarik selimut.




Kami berbaring miring berhadapan. Saling tatap mesra.




Melihat sosok pria yang selalu ada dalam setiap suka dan duka hidupku, tiba-tiba aku tersedak haru. Perjalanan pernikahan kami sudah sangat panjang. Suka dan duka telah kami jalani bersama. Kami telah melewati proses panjang dalam mendidik dan membesarkan anak-anak sampai ketiganya menjadi seperti sekarang. Air mataku ketika bersedih karena anak-anak selalu suamiku keringkan; dan aku selalu menjadi penghibur ketika suami kecewa oleh sikap mereka.




Bahagia.. bangga… haru… sekaligus juga sedih membaur menjadi satu. Kini ketiga anak kami satu per satu mulai ‘pergi’ untuk membangun bahtera rumah tangga masing-masing.




Air mataku mengembang tak terbendung, lantas mengalir deras.




“Maah…?”


“Hiks.. hiks… makasih ayah… hiiiiks….”




Suamiku menarik kepalaku dan mendekap lembut. Seperti anak kecil yang menangis dalam pelukan ibunya, aku tersedu dalam dekapan suamiku. Rasa syukur, bahagia, dan terima kasih kuucapkan di sela isak tangisku.




Tangisku semakin deras ketika suamiku mengucapkan rasa cinta dan bahagianya. Maksud hati aku yang ingin memuji dan memujanya, tetapi kini malah dia yang mengungkapkan rasa syukurnya karena memiliki aku yang telah melahirkan anak-anak.




“Udah donk, Calls…” suami memintaku berhenti menangis.


“Wawa iiih….” aku tertawa di sela derai air mataku.




Kamar 728…




Seorang wanita luar biasa cantik keluar dari kamar mandi seusai membersihkan diri sebelum beranjak ke atas peraduan. Tetapi langkahnya berhenti di ambang pintu dan menengok ke belakang.




“Sayang, cepetan..” rengeknya.


“Bentar, sayang, tunggu di kasur aja.” terdengar jawaban dari dalam kamar mandi.




Si wanita tak bergeming. Ia tetap menunggu suaminya di ambang pintu sambil memasang wajah cemberut. Tak berselang lama sesosok tegap mendekatinya, cemberut si wanita pun berganti senyum. Tangannya terentang.




“Manja…” ujar suaminya.


“Gendooong…” dengan suara hidung.




Suaminya tertawa melihat tingkah istri tercinta. Tubuh langsing nan molek itu langsung dipangku menuju tempat tidur.




Yaaah… siapa sangka kalau wanita manja itu adalah Kekey. Seorang wanita karier yang tegas dan terkenal jutek itu, ternyata sangat manja ketika sedang berdua dengan suaminya. Sepertinya sifat manja sang ibu seratus persen turun padanya, hanya selama ini selalu ia tutupi entah karena alasan apa.




Setelah membaringkan sang istri, Rega mengecup bibir istrinya sambil setengah memejamkan mata. Rasa sayang dan cinta ia alirkan. Kekey membalas manja. Ia menunjuk pipinya, dan Rega pun mengecupnya. Berpindah pada pipi satunya.. terakhir Kekey menunjuk keningnya dan Rega pun mengecup bagian itu.




“Dedeknya gak disun?” tanya Kekey.


“mamahnya dulu.” dilanjutkan lumatan hangat.




Sejenak keduanya saling mencumbu dan menghisap. Permukaan lidah mereka saling menyapu.




Setelah puas, Rega beringsut menuju perut Kekey. Ia menciumi perut sang istri yang sedang mengandung tiga bulan. Ia juga bertingkah mengajak ngobrol janin sehingga membuat Kekey terkekeh bahagia.




“Yank, dedeknya gak ditengok sekalian?” goda Kekey sambil menggigit ujung bibir.


“Nggak. Kasian dedeknya udah bobo.”


“Yaaaah..” Kekey memasang wajah kecewa.




Rega tertawa sambil mengacak-acak rambut istrinya dengan gemas. Siapa juga yang tidak gandrung pada kemolekan tubuh sang istri. Menggumulinya adalah kesukaan yang membuatnya ketagihan lagi dan lagi. Tetapi ia juga harus menjaga janin muda yang ada dalam rahim sang istri. Ia selalu berhati-hati ketika bercinta.




“Peluuuuk…”




Rega pun memeluk sang istri. Tetapi satu tangan mengusapi paha Kekey dan menarik lingerienya hingga ke pinggang.




“Kok sudah basah?” goda Rega ketika tangannya menyentuh vagina Kekey dari luar celana dalam.


“Hihi… itu tadi dedenya ngiler di dalam.”




Keduanya tertawa renyah. Selalu ada saja bahan canda yang semakin mengintimkan mereka.




“Mamah gak capek, kan sayang?” Rega menatap mesra sang istri.




Kekey menggeleng sambil tersenyum. Sudah seminggu ini, sang suami mempunyai panggilan baru. Itu membuatnya bahagia. Kebahagiaannya sebagai seorang istri semakin disempurnakan dengan akan menjadi ibu.




“Tapi pelan-pelan biar dedenya gak bangun.” setengah berbisik.


“Siyap.” dibalas dengan berbisik pula.




Tetapi setelah itu keduanya malah tertawa. Kekonyolan-kekonyolan seperti ini selalu membahagiakan keduanya.




Tawa mereka baru berhenti ketika sorot mata mereka beradu mesra. Tanpa komando keduanya saling mendekat. Lantas saling mengecup mesra. Semakin dalam.. semakin panas… dan akhirnya basah… liur pun terbagi…




Bukan hanya bibir mereka yang berpagutan, tapi tangan pun sudah menjalar. Saling mengusap, saling meremas, saling merangsang.




“Ayo sayang, udah pengen banget.” rengek Kekey.




Rega segera bangkit. Dengan cepat ia menelanjangi diri, dan dengan cekatan melolosi pakaian sang istri. Dalam waktu singkat keduanya sudah telanjang bulat. Sorot mata mereka sama-sama berbinar memancarkan birahi. Awalnya Rega hanya mau menyingkap gaun tidur sang istri, tetapi Kekey merajuk. Jadilah keduanya sama-sama bugil.




Rega mencumbu setiap inchi tubuh sang istri yang putih mulus tanpa noda. Ia baru berhenti ketika Kekey terlalu nikmat meronta. Sebisa mungkin, ia tetap menjaga agar istrinya tidak terlalu banyak bergerak.




Sejurus kemudian, Kekey hanya bisa mendesah-desah pasrah. Jentik keringat pada keningnya mengalir ketika kepalanya tak berhenti menggeleng ke kiri dan ke kanan. Kedua tangannya meremas sprei. Bibir tipis nan seksinya seringkali ia basahi dan menelan liur seakan kehausan.




Payudaranya yang berukuran proporsional bergoyang sering gelinjang tubuhnya. Kedua putingnya yang berwarna coklat muda sudah sangat keras. Di bawah kedua payudara ranum itu, perutnya yang semula langsing kini terlihat menonjol karena janin berusia tiga bulan sudah bersemayam di dalam rahimnya.




Sementara pada mahkota kewanitaanya, Rega masyuk memainkan lidahnya. Setiap cairan basah yang keluar ia hisap.




Kekey meminta suaminya supaya berbalik. Jadilah keduanya saling mengoral dengan posisi enam sembilan. Suasana kamar yang semula sunyi berubah gaduh oleh suara percintaan.




Tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Rega tidak mau istrinya terlalu lelah. Maka ia pun bangkit sambil meraih bantal, lantas ditempatkan di bawah pinggul sang istri. Dengan sangat hati-hati ia memulai penetrasi. Sangat perlahan agar istrinya tidak mengejan berlebihan.




Punggung Rega berkeringat. Ia bekerja ekstra. Ia berusaha memuaskan sang istri, sekaligus berjuang menahan birahinya sendiri karena ia tidak ingin menggumuli sang istri dengan terlalu liar.




“Mmmmh… istriku luar biasa.” lenguh Rega.


“Sayanknya aku juga.” sahut Kekey.




Kemaluan mereka sudah menyatu. Rega pun mulai memompa.




“Mmmh… sssh… sayang…” rintih Kekey.




Kekey tahu bahwa suaminya melakukan persetubuhan dengan sangat hati-hati. Batinnya menangis haru atas perjuangan suami. Ia sendiri ingin membuat suaminya puas, tetapi jika ia mengimbangi, malah lebih kasihan karena Rega pasti berhenti. Maka ia membantu suaminya cepat mencapai puncak dengan mengeluarkan suara erotis. Kenikmatan yang ia dapatkan memang benar adanya, tetapi desahan erotisnya hanyalah dibuat-buat untuk membantu memuaskan suami.




Apa daya. Kekey kalah duluan. Carian cintanya menyembur keluar. Kekey merintih nikmat setengah menangis. Nikmat dan sedih bercampur menjadi satu.




Sadar istrinya sudah mencapai orgasme, Rega langsung mencabut penisnya dan membersihkan cairan cinta Kekey dengan lidahnya. Lantas ia berbaring di samping istrinya yang masih lemas oleh orgasme. Selimut pun ia tarik.




“Sayang, lagiiih..” Kekey memohon.


“Sudah, sayang, kamu kan sudah nyampe.”


“Tapi sayanknya belooom.”


“Gak apa-apa. Melihat istriku puas, aku sudah puas.”


“Gak mauu.. lagih… hiiiks…”




Kekey pun menangis tersedu. Pengorbanan Rega terlalu besar. Ia memuaskan istri tetapi mengabaikan gairahnya sendiri.




Rega menjadi serba salah. Akhirnya sebagai jalan tengah, ia meminta Kekey supaya menidurkan penisnya melalui mulut. Kekey setuju. Ia mengoral penis suaminya dengan segenap perasaan. Setiap jilatan dan hisapan ia lakukan dengan penuh cinta dan bakti. Akhirnya Rega pun ejakulasi. Kekey menelan semua sperma suami sambil tersenyum.




Keduanya saling berpelukan. Berbincang ringan tentang pernikahan Rei. Tentang keluarga masing-masing. Tentang cinta mereka yang akan dipupuk abadi. Sampai akhirnya keduanya terlelap…




Jalan Pakuan 27…










TAMAT



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar