Bab 86
Pesta perkawinan kakak berlangsung selama tiga hari tiga malam. Sisanya aku masih punya libur dua hari di Ewer. Waktu yang singkat ini kupakai untuk ngobrol dengan oma Ewer, Opa Ardan, dan para sesepuh kampung. Kugali setiap tradisi yang mungkin belum ada yang kutahu. Aku juga meminta pendapat mereka tentang mimpi besarku.
Pagi ini aku duduk seorang diri di saung samping kolam belakang rumah. Oma bersama ayah dan mamah sedang ke pendopo untuk memantau warga yang sedang mengolah biji kopi. Rere dan Nzi masih belum pulang lari pagi mengelilingi jalan kampung dan perkebunan.
Seekor harimau putih duduk menemaniku. Sri Kencana. Ia datang membawa kabar restu dari Prabu Sawaka tentang rencanaku. Ada yang boleh kutata, ada yang harus kubiarkan menjadi hutan belantara.
Aku fokus di depan laptop sambil membuka sebuah aplikasi yang biasa dipakai oleh para arsitek. Kubuat rancangan pembangunan “coffee park” berdasarkan map geografis asli. Jalan setapak dan jembatan kayu melingkari bukit menyerupai setengah cincin; divariasi dengan track tanjakan dan saung-saung tempat istirahat. Kutentukan juga titik-titik yang bisa kujadikan sebagai kedai kopi dan tempat makan para wisatawan.
Keasikanku terganggu kedua pengantin baru baru pulang dari tampian.
“Ada yang habis lembur nih. Jam segini baru kelar mandi.” ledekku.
“Iya donk!!” jawab Kak Rega.
Kak Kekey hanya mendengus pura-pura judes.
Kak Rega bergabung denganku, sedangkan Kak Kekey masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian ia kembali sambil membawa secangkir kopi dan menu sarapan untuk suami tercinta.
Sementara mereka sarapan, kupamerkan hasil kerjaku. Kak Kekey yang memiliki otak bisnis langsung memberi masukan-masukan baru, sedangkan Kak Rega mengingatkan akan ‘kesucian alam’ yang harus tetap dipertahankan.
“Apa yakin akan kepegang, Rei?” kak Kekey menatapku.
“Yakin!! Agus dan Indra kuproyeksikan untuk menjadi orang terdepan untuk menggarap proyek ini.” jawabku.
“Ya terserah kamu sih.. tapi awas aja kalau fokusmu di “RSP” jadi terganggu.”
“Aman itu mah.”
Tak lama kemudian Rere datang dengan tubuh berkeringat. Ia menampil sisi seksi dan cantik yang lain. Tanpa makeup.
“Loh Nzi mana?” tanya kakak.
“Di pendopo ama ayah dan mamah.”
Kekasih mendekat dan mengecup bibirku tipis. Lalu menguyel-uyel leher Sri Kencana. Sesaat keduanya saling menggulung bercanda.
“Kamu yakin mau resign dari FAF, dek?” tanya Kak Kekey pada Rere.
“Huum.. Oma Tiurma ama Oma Era marah sih hihi… tapi aku udah yakin.” lantas Rere pun menjelaskan alasan utamanya. Ia tidak ingin waktunya banyak tersita untuk keluarga.
“Tuh dengar, yank, Rere aja mengorbankan karier demi keluarga. Kamu nggak?” celetuk Kak Rega.
“Jadi kamu mau aku jadi emak-emak yang hanya tinggal di rumah?” Kak Kekey mendelik.
“Ya gak gitu juga.”
“Sok bilang ayah, kalau ayah ngebolehin aku mau.” ujar kakak.
“Hehehe.. nggak deh kalo gitu.”
Aku dan Rere auto tertawa mendengar percakapan mereka. Aku yakin Kak Rega tidak serius dengan ucapannya. Keduanya menjadi pasangan sejati dalam urusan cinta, sekaligus menjadi partner kerja yang saling menyempurnakan di perusahaan.
Aku sendiri tidak ingin mengekang karier Rere. Tapi kekasihku punya cara pikir yang berbeda. Bekerja pada orang (meskipun masih lingkaran keluarga sendiri) akan sangat sulit mengatur waktu. Ketegangan antara pekerjaan dan keluarga tidak bisa selamanya bisa dihindarkan. Maka sebagai jalan tengah, aku akan menjadikan Rere sebagai manager cafe sekaligus mendirikan dan memimpin departemen sosial di perusahaan.
“Aku capek kehilangan pria satu ini.” Rere menepuk-nepuk puhu lenganku. “Aku gak mau jauh.. sekaligus biar bisa mengawasinya agar berhenti mesum..”
“Mampus.” ujar pengantin baru padaku. Keduanya lantas tertawa.
Kulingkarkan tanganku pada leher Rere lantas kucium pipinya dengan gemas. Selebihnya ia menggelendot memelukku.
“Baru keringat.” godaku.
“Biarin. Kwek..”
“Idiiih.. yang pengantin baru siapa tapi yang lengket terus siapa..” ledek kakak.
Kak Rega menanggapi ucapan istrinya dengan menarik bahu kakak. Ia mencium bibir kakak cukup dalam sehingga membuat Rere menyembunyikan wajahnya pada dadaku seolah malu melihat kemesraan pengantin baru.
https://t.me/cerita_dewasaa
Ayah dan mamah sangat jor-joran untuk pernikahan kakak. Setelah akad nikah dan pesta selama tiga hari tiga malam di Sawer, kini pesta besar diadakan di Bandung, di sebuah hotel bintang lima. Undangan kali ini tentu saja para sahabat dan rekan bisnis.
“Duh ini yang nikah siapa, tapi yang lengket terus siapa.” terdengar suara lembut dari arah belakang.
Kami menengok. Tante Maya langsung melepaskan tangan Rere yang selalu membelit lenganku. Wanita cantik itu sukses membuat Rere merajuk cemberut.
“Anter tante ke toilet, sayang.” Tante Maya tidak peduli.
Kedua wanita itu pun akhirnya melangkah pergi. Aku bernafas lega karena bisa lepas dari Rere yang inginnya selalu nempel terus. Aku menyelinap keluar hall untuk menghirup udara segar. Hari sudah jam sembilan malam.
Karena tidak menemukan smoking area, kuputuskan untuk nongkrong di cafetaria hotel. Papahnya Rere rupanya sudah ada di sana sambil menghisap sebatang rokok.
“Pah, kok di sini?”
“Iya, Rei, mulut udah asem.”
“Hehehe.. sama.”
Kupesan secangkir kopi, sama seperti yang sedang diminum oleh calon mertuaku. Awalnya kami berbincang ringan, tetapi kemudian papahnya Rere mengalih perbincangan menjadi serius.
“Kasus penculikanmu ternyata tidak sesederhana yang diduga, Rei, kasusnya terus berkembang.” ujarnya sambil memperdalam punggungnya pada sandaran kursi.
“Dante buka mulut tentang ‘boss besar’ yang menjadi pimpinannya, Pah?”
“Dante sebetulnya hanya bocah ingusan yang menjual kegantengan untuk mendapatkan uang. Tetapi justru dari lingkaran dia, kasusnya berkembang. Pihak kepolisian menemukan akses masuk ke dalam lingkaran mafia narkoba yang berkedok bisnis property dan import barang-barang berat.”
“….” aku menyimak.
Papahnya Rere lantas menjelaskan orang-orang yang ia curigai, dan aku terkejut ketika nama suaminya Tante Wulan disebut. Dia bukan ‘boss besar’ Dante, di atas boss besar ada lagi godfather yang menjadi dalang.
“Bisnis mereka sudah menggurita di berbagai sektor. Mereka juga menempatkan orang-orang kepercayaan di perusahaan lawan. FAF pernah menjadi target sasaran, tetapi gagal berkat ayahmu.” ujarnya lagi.
“Ayah?” aku heran karena ayah tidak pernah bercerita sedikit pun tentang hal itu.
“Kamu jangan lupa kalau ayahmu adalah penerus Senja yang bertugas melindungi keluarga besar Sawer dan Ewer. Jadi ia pasti punya cara tersendiri untuk menjalankan tugasnya sebagai orang terpilih.”
Aku mengangguk. Calon mertuaku benar. Di balik penampilan low profilenya, ayah adalah seorang pewaris, ‘kepala suku’ atas Sawer dan Ewer.
“Bukan tidak mungkin kalau perusahaanmu sekarang juga menjadi sasaran. Nama besar ‘kopi sawaka’ bisa mereka manfaatkan. Selain itu, kemasan kopi bisa menjadi sarana ampuh untuk menyusupkan narkoba.” tuturnya lagi.
“Ayah sudah punya rencana untuk menjerat mereka?”
Pria bersosok kekar di hadapanku tidak langsung menjawab, ia menghela nafas sebelum menyeruput kembali kopinya.
“Kami sudah memiliki daftar nama, juga keberadaan mereka, tetapi kami belum memiliki cukup bukti.” ujarnya dengan nada datar. Ia juga menuturkan bahwa intel sudah ditempatkan untuk mengawasi pergerakan mereka.
“Pah…” kujelaskan pemikiranku. Intinya target utama haruslah suaminya Tante Wulan. Dia adalah otak di balik semuanya ini.
“Papah butuh bantuanmu. Tapi melibatkan sipil adalah pelanggaran. Kamu ada ide?”
“Aku siap membantu papah kapan pun dibutuhkan.” jawabku tegas. “Tapi aku akan membantu ketika ada aksi di lapangan saja agar papah dan tim papah bisa selamat semua.”
“Makasih, Rei, gak sia-sia papah memilihmu sebagai menantu.” kekehnya.
“Kalau papah merestui Rere dengan pria lain, maka papah yang akan saya ciduk. Hahahhaa….”
Tawa kami cukup keras sehingga mengundang lirikan beberapa pengunjung.
Kukeluarkan sebuah kayu seukuran rokok dari balik jasku. Kusodorkan kepada calon mertuaku. “Papah bawa Pacek Lintang untuk jaga-jaga ketika aku tidak ada.”
“Hah? Yakin Rei?”
“Yakin! Papah pasti bisa menggunakannya. Usap batangnya tiga kali, maka Pacek Lintang akan menujukan wujud aslinya.” jawabku.
“Adalah kehormatan bagi papah untuk bisa memilikinya walaupun untuk sementara.” jawabnya sambil menerima Pacek Lintang.
“Adalah kehormatan bagi aku untuk mempercayakan ini pada papah.” aku meniru ucapannya.
Asap rokok pun ia hembuskan pada wajahku sehingga aku sedikit terbatuk. Sisanya kami ngobrol santai seolah-olah tidak ada masalah besar yang sedang kami hadapi.
Tak berselang lama smartphonenya berdering, ayah menghela nafas ketika melihat layar.
“Pasti mamah.” ledekku.
“Singa betina mencari.” jawabnya.
“Hahaha… tak gentar di medan tempur tapi ciut oleh penguasa rumah.” ledekku.
“Memang kamu tidak takut oleh calon istrimu?”
“Nggaklah.. aku rajanya.” jawabku pongah.
Papah tersenyum sinis penuh arti sebelum akhirnya menjawab panggilan telpon. Nada suaranya berubah ketika menjawab panggilan istri tercinta.
“Bener gak takut?” tiba-tiba sebuah tangan membelit leherku.
Aku kaget karena tiba-tiba Rere ada di belakangku. Aku bahkan tidak mendengar suara high heel nya ketika mendekat.
“Yank, kok kamu tahu aku ada di sini?” tanyaku secara smarthoneku kutitipkan di dalam tasnya.
“kamu mau lari kemana pun, aku pasti tahu keberadaanmu.” jawabnya sambil mendelik.
Aku hanya nyengir sambil melepaskan belitan tangannya. Lantas kukecup cincin pada jari manisnya.
“Jadi beneran gak takut?” ia belum puas karena pertanyaan belum kujawab.
“Nggg…” cubitan keras menyambar pinggangku.
“Nggak salah.” aku meralat ucapanku.
“Berarti aku ratunya. Kamu harus tunduk.” Rere setengah tertawa.
Papahnya yang baru menutup telpon hanya senyam-senyum melihatku ‘tak berkutik’ di hadapan putri semata wayangnya.
“Terus papah ngapain di sini? Tadi mamah nyariin.” sambil duduk dan memeluk lengan sang ayah.
“Tadi papah diajak Rei merokok.”
“Pah?!” sahutku.
“Ooohh.. jadi kamu yang membuat semua orang mencari kalian?” Rere melotot.
“Gak semua orang juga kali, yank.”
“Kalau aku bilang semua ya semua.”
“Hehe iya.. iya… maaf, ijin salah.” aku memberi hormat.
Sang ayah tertawa terbahak. Ia terlihat puas mengerjaiku. Tak lama kemudian kami meninggalkan cafetaria.
Drama masih berlanjut ketika Tante Nur mengomeli sang suami. Lagi-lagi aku yang menjadi tertuduh. Papahnya Rere mengaku sekedar menemaniku, dan Rere meneguhkan ucapan sang ayah.
Yeah.. begitulah kami… aku sangat bahagia dengan cara yang berbeda. Berada di tengah keluargaku dan berada di tengah keluarga Rere memiliki kebahagiannya sendiri-sendiri.
“Yank, temenin aku ke kamar.” bisikku setelah kedua orangtuanya bergabung dengan para tamu yang lain.
“Ngapain?”
“Temenin aja.”
Kutarik tangannya. Keluar dari hall tempat pesta, kupindahkan tanganku pada pinggangnya. Malam ini kekasihku sangatlah cantik dengan gaun panjang merah marun yang ia kenakan. Bahunya terbuka, lekuk tubuhnya seksi menggoda, gundukan ranum payudaranya membuat pikiran setiap mata yang memandang berkelana. Betisnya putih seksi ketika melangkah karena belahan gaunnya panjang sampai sedikit di atas lutut.
“Yank?” Rere mulai curiga setibanya kami di kamar.
Kupepet tubuhnya nempel ke dinding, di antara kedua tanganku yang menempel pada tembok.
“Yank gak mau aaah.. nanti makeupku rusak.” rajuknya.
Aku tidak peduli. Langsung kulumat bibirnya. Kekasihku merapatkan bibir dengan kening berkerut. Namun hanya dengan satu usapan ujung lidah pada bibir halusnya, Rere langsung pasrah. Mulutnya terbuka, dan lumatan-lumatan hangat langsung kami berikan.
Bukan hanya itu. Kutarik paha kirinya ke atas pinggangku sambil meremas. Mau tidak mau ia membelitkan tangannya pada leherku untuk menjaga keseimbangan. Sementara pusat selangkangan kami beradu dan saling menekan.
Sambil terus bercumbu, kutarik gaunnya hingga sampai pinggang. Rere pun menaikan kaki kanannya sehingga kini ia berada dalam pangkuanku dengan kedua kaki membelit pinggangku. Paha seksinya menanarkan pandangan.
“Mmmhhh…” Rere mengambil nafas.
Cumbuanku turun pada lehernya sehingga Rere melenting ke belakang. Otomatis payudaranya menyembul. Kusangga punggungnya dengan tangan kiri. Tangan kanan menahan pinggulnya.
Cumbuanku terus turun melewati kalung berlian yang ia kenakan. Dan sampai pada tujuan. Kusapukan lidahku pada gundukan payudaranya sehingga kekasihku menggelinjang.
“Sayang.. uuuh….” lenguhnya. Seksi kudengar.
Aku benar-benar dibuat mabuk kepayang oleh gadis yang kini berada dalam pangkuanku. Mau ia bersikap manis.. mau dia berlagak jutek atau galak.. atau apapun itu.. aku tak hentinya dibuat jatuh cinta dan semakin membuatku tidak sabar untuk memilikinya seutuhnya.
Kupangku tubuhnya menuju tempat tidur dan kurebahkan di atas kasur. Bukan untuk menuntaskan gairahku, melainkan sebaliknya. Cumbuan kami masih berlanjut namun dengan tempo yang semakin berkurang. Lebih berupa kecupan-kecuman mesra dan gemas.
“Jahat!” rajuknya.
“Kok jahat?”
“Aku basah sayaaang. Ngeselin…”
“Aku keringin yah pake ini.” sambil menunjuk bibirku sendiri.
“Enak ajah. Nggak!!! Hihi…”
“Terus mau dikeringin pake apa?”
“Pake tissue lah mau pake apa lagi.”
“Berbahagialah kamu tissue.” gumamku sambil menggulingkan badan dari atas tubuhnya.
“Hihi.. emang enak kwek..” kekasihku tertawa.
Selebihnya kami saling pandang di atas kasur dengan posisi tubuh sama-sama miring. Rasa cinta kami yang besar tidak lagi diungkapkan dengan cumbuan, melainkan tatap mesra dan belaian-belaian lembut. Rere mengusap rambut dan pelipisku, sedangkan jariku menari di atas pahanya yang terbuka.
“I love you so much.” bibir kekasihku bergerak tanpa suara.
“I love you too, sayangku. Jangan hilang lagi.”
Rere mengangguk, ujarnya, “Jaga aku.. aku gak akan lagi sanggup jauh darimu, sayang.”
Kukecup keningnya dengan segenap perasaan. Kekasihku meresapi sambil memejamkan mata.
“Masih bisa tahan, kan?”
“Hmmm.. enam bulan lagi.”
“Hihi.. setelah itu ‘RR’ selamanya.” sambil menyentuh bandul kalungnya emasnya yang berupa dua huruf R.
“Sabar, ya sayang, akan lebih indah pada waktunya.” ujarnya lagi.
Aku mengangguk, lantas menarik kepalanya dan kudekap lembut.
“Aku bahagia.” bisiknya.
Aku tidak menanggapi. Kuusapi rambutnya dengan lembut. Rasa bahagiaku sama seperti yang ia rasa, bahkan mungkin lebih besar dari itu.
BERSAMBUNG
0 Komentar