Bab 85
Kekasihku melingkarkan tangan pada pinggangku, satu tangan memegang tissue untuk mengusapi jentik air matanya. Pemandangan di atas panggung memang sangat mengharukan.
Dua pengantin bersimpuh dan bergantian sungkem. Kulihat mamah menangis ketika kakak meminta restunya, pelukan erat saling mereka berikan. Ayah nampak tegar, walaupun tubuhnya bergetar. Kening dan kedua pipi kakak ia ciumi. Lantas keduanya saling memeluk, ayah menempelkan bibirnya pada telinga kakak sambil membisikan sesuatu.
Pemandangan yang sama terlihat ketika kakak dan kak Rega menghadap Om Ega dan Tante Sore. Setelah sungkem pada orangtua masing-masing, kedua mempelai lantas meminta restu kepada opa Ardan dan kedua oma kami. Suasana seketika hening menyaksikan peristiwa mengharukan itu. Aku sedikit membuka bibir untuk memberi ruang nafas, dadaku seketika merasa sesak, bahagia dan haru menjadi satu.
Aku bahagia melihat perjalanan hidup kakak sampai pada titik ini. Tetapi aku juga merasa kehilangan, setelah ini pasti hubungan kami akan sedikit berbeda, karena fokus hidupnya akan lebih tercurah bagi keluarga kecil yang akan ia bangun dengan Kak Rega. Ada sisi kosong dan hampa di balik peristiwa agung ini.
Rere menggeliat dan memberi kode dengan matanya. Adikku turut menangis tersedu. Kami bertukar tempat duduk, dan Rere langsung memeluk Nzi. Sikap adikku akhirnya membuat Rere ikut menangis. Air matanya yang sejak tadi ia tahan, kini tak lagi terbendung.
Inilah hari pernikahan kakakku dengan Kak Ega.
Sawer menjadi meriah. Tamu yang datang menginap lebih banyak daripada jumlah warga yang menetap. Pondok-pondok penuh, dan semua rumah sekaligus menjadi tempat menginap para tamu.
Bagiku ini sangat mengharukan. Di kampung ini tidak ada pembeda. Garis keluarga-dan-sahabat Senja-Sae yang sukses di kota bisa membaur dengan warga dan mau tidur seadanya. Sementara warga juga tidak minder menampung mereka. Ini adalah keberhasilan pendiri, kesuksesan pendahulu, di Sawer semuanya menjadi satu.
Kuhembuskan nafas ketika upacara sungkeman berakhir. Kedua pengantin kembali duduk ke kursi pelaminan, petugas membantu menata ulang make up mereka yang luntur karena air mata. Acara pun dilanjutkan dengan ‘huap lingkung’ dan berakhir dengan salam-salaman keluarga besar beserta para undangan.
Aku dan Rere mengapit Nzi menuju pelaminan ketika MC memanggil. Peluk dan cium saling kami berikan satu sama lain. Air mataku benar-benar menjentik kali ini. Usai memeluk ayah dan mamah, kupeluk erat Kak Kekey.
“Selamat, ya kak, I love you.” bisikku dengan bibir bergetar.
“Makasih, dek, I love you too.”
Tak banyak kata yang kami ucapkan, pelukan sudah mewakili semuanya. Kami terus bergeser. Kupeluk Kak Rega, lantas berpindah pada Om Ega dan Tante Sore. Usai sesi foto, kami bertiga turun.
Setelah semua keluarga besar menaiki panggung, acara salaman dilanjutkan oleh para undangan. Rere menemani papah dan mamahnya, aku lebih memilih mundur keluar dari kerumunan. Kuhisap sebatang rokok.
“Terima kasih sudah hadir, tamu agung.” ujarku.
Aku tidak peduli jika ada orang yang melihatku aneh. Kupeluk Mahaprabu Sawaka dan Premaisuri Mantili. Mereka datang menaiki kereta kencana. Tentu saja tidak semua orang bisa melihat mereka.
Pelukan kami erat. Persahabatan ini tak akan punah. Kami saling bertukar kangen.
Tante Maya mendekati kami, rupanya ia melihat kehadiran tamu spesial. Lantas ia mengajak kami ke ruangan khusus yang memang sudah disiapkan. Tak lama kemudian, terdengar suara MC untuk break sejenak karena pengantin ada acara khusus keluarga. Tabuhan nayaga berkumandang menemani para tamu menikmati hidangan.
Kini suasana haru berganti dengan gelak tawa bahagia. Keluarga intiku bersama keluarga inti Kak Rega menyambut Sawaka dan Mantili. Pun pula oma dan opa, juga keluarga dari para wanita ritual ayah. Kami yang berasal dari dua dunia saling reuni.
Pasangan pengantin mendapat berkat khusus dari mahaprabu dan premaisurinya. Ada doa dan restu, juga janji untuk saling menjaga dan melindungi.
Sejam kemudian kami bubar, Sawaka dan Mantili kembali ke alam mereka, sedangkan kami manusia melanjutkan pesta.
“Mau aku bikinin kopi, sayang?” Rere yang sejak kemarin sudah menjadi tunanganku menatap lembut.
“Nanti saja.” jawabku.
“Yasudah..” jemari lembutnya mengusap pelipisku. Senyum terindah ia berikan.
Ia kembali menyatu dengan keluarga, sedangkan aku memilih untuk merokok. Lantas aku membelokan langkah ketika kulihat seorang gadis sedang duduk di emper rumah tetangga.
“Lu ngapain di sini?” sapaku.
“Lah kenapa emangnya. Gak boleh gua duduk di sini?”
Gadis ini adalah Rana. Penampilannya kali ini sangat berbeda. Tomboinya sirna dan terlihat sangat feminim.
Aku duduk di sambingnya sambil menghisap rokok.
“Asli kalau kayak gini, lu cantik banget.” godaku.
“Jadi sebelumnya nggak?!”
“Hehe.. ya cantik, tapi kali ini cantiknya super.”
“Halaaah.. kalau gua cantik kenapa lu gak mau ngewe ama gua? Hahahaa…”
Haish… ternyata hanya penampilannya saja yang feminim, tetapi ucap dan sifatnya masih nyablak. Ingin kujitak kepalanya, tapi takut merusak dandadanan rambutnya. Maka hanya kutoyor bahunya.
“Makasih, Na, gua sangat berterima kasih lu gak menuntut janji masa kecil kita.” kali ini suaraku lembut dan keluar dari dalam hati yang paling jujur.
“Iya.. gua juga yang salah…” jawabnya. “Sejak membaca buku lu, dan mendengar kisah kalian sepulang dari Anta, gua jadi sadar kalau memang cinta sejati lu hanya untuk Rere. Gua gak ingin merusaknya dan gua ikut bahagia, Rei.”
Aku bernafas lega mendengarnya. Kini satu ganjalan yang masih tersisa di hati sudah terlepas. Kulingkarkan tangan kiriku pada bahunya. Biarlah ia tahu bahwa aku masih dan tetap sayang dia, walaupun sayang ini sudah berbeda arti.
“Lu serius dengan Kang Garpit?” tanyaku.
“Lu setuju?”
“Setuju kalau…”
“Kalau?”
“Lu memang mencintainya dan tidak akan mempermainkannya. Kalau lu mau serius ama Kang Garpit, gak boleh ada cowok lain yang boleh menyentuh lu.”
Rana tidak menjawab, tetapi anggukannya sudah menjadi jawaban.
“Thanks, Rei.”
“Untuk?”
“Semuanya! Lu selalu berada di pihak gua selama ini. Lu juga tidak pernah cerita ke siapapun tentang kelakuan gua selama ini.”
“Itu karena gua sayang lu.”
“Hihi… makasih…” disusul ciuman pada pipiku.
Tak lama kemudian Kang Garpit datang sambil membawa pisin berisi buah-buahan, juga sebotol air minum.
“Lah ada lu! Mau sekalian, Rei?”
“Nggak, kang, kalian aja. Dah ah.. aku gak mau mengganggu kalian.” jawabku sambil beranjak.
“Bengek lu. Woiii.. mau kemana?!”
“Bangke lu, Rei!” kang Garpit ikut memaki.
“Dah.. sana kalian latihan suap-suapan.” jawabku sambil tertawa dan meninggalkan mereka.
Aku semakin bahagia.
Kemarin aku menyematkan cincin pertunangan.
Hari ini kakak naik pelaminan.
Dan Rana sepupuku mulai serius menjalani hubungan.
Sore harinya kedua pengantin meninggalkan pendopo untuk istirahat. Tetapi tempat hajatan tetap penuh karena ada pertunjukan calung dan bobodoran.
Adik, kekasih, dan para sepupuku berkumpul di saung yang terletak di tengah kolam. Di depan rumah Om Ega. Suara mereka ramai penuh canda tawa. Mamah dan para tanteku berkumpul di dalam rumah.
“Rei, ayah minta rokokmu.” ayah mendekat.
“Lah stock habis, Yah?”
“Ketinggalan di Ewer.”
“Jiaaah..” aku meledek.
Ayah tidak peduli, ia langsung mencatut rokokku dan menyalakannya. Kami berdua ngobrol sambil menikmati suasana sore. Ayah adalah pria yang paling kuhormati dan kubanggakan, sekaligus menjadi sahabat tempat berdiskusi serius, juga bercanda tawa. Aku sangat menikmati bercengkrama berdua seperti ini; banyak hal yang bisa kupelajari darinya.
“Urusanmu dengan Wulan udah beres, Rei?” tanya ayah.
“Sudah, Yah, tapi dengan suaminya belum.” jawabku. Sebetulnya aku sudah tidak punya urusan lagi dengan pria yang belum kukenal itu. Tetapi aku sudah berjanji kepada Enzo untuk membantunya sampai tuntas.
“Ingat sekarang kamu sudah tunangan, gak boleh main-main lagi dengan perempuan!”
“Siap, Juragan Luwak!!” aku menegakan duduk sambil memberi hormat. Ujarku lagi, “Tapi ayah belum menurunkan ilmu suwir kepadaku.”
“Oh kalau itu tidak bisa, anak muda. Seorang anak tidak boleh lebih hebat dari ayahnya.” jawab ayah dengan wajah dibuat tetap datar. Tinjuku langsung menyambar perut ayah, tetapi ia gesit menangkis.
“Tapi ilmu beladiriku lebih tinggi daripada ayah. Rasakan ini..” sambil melakukan tinjuan susulan.
Ayah yang terdesak langsung meloncat dari duduknya dan mundur dua langkah. Sikapnya bener-bener ngeselin. Tanpa ekspresi; dengan rokok menempel pada ujung bibirnya.
“Sekalipun aku harus merenggang nyawa karena jurusmu, tak secuilmu ilmu suwir-menyuwir akan kuturunkan.” nada suaranya tak kalah menyebalkan.
“Hahaha.. jangan pongah, orang tua!! Aku akan mengintip ketika engkau menyuwir istrimu.” jawabku beringas.
“Hahahaa…” aku tak tahan mendengar ucapanku sendiri. Begitu pula ayah, tawanya tak kalah keras.
Sadar ayah lengah, aku langsung melancarkan tendangan dengan tubuh memutar. Ayah merunduk sambil menangkap pergelangan kakiku. Aku langsung memutar tubuh di udara dengan satu kaki bertumpu pada cengkeramannya, kaki kiri kuarahkan untuk menendang pingganggannya.
Ayah melengkungkan tubuhnya seperti kucing sehingga tendanganku hanya menggaris bajunya tipis. Bersamaan dengan itu ayah salto ke belakang sembil melakukan tendangan balik.
Buuuuk…
Perutku sukses ia hantam. Aku langsung menapakan kaki dan memasang kuda-kuda. Ayah meledekku sehingga aku langsung bersiap untuk melakukan serang balasan.
Aku dan ayah saling serang dan tangkis. Beberapa jurus kami keluarkan tetapi semuanya selalu memakan angin.
“Hei.. hei.. apa-apaan ini?” tiba-tiba mamah muncul. Rupanya ia bersama Nzi baru pulang dari rumah Om Ega dan kembali ke pondok untuk mandi sore.
“Ibu suri tidak usah ikut campur. Ini urusan laki-laki.” jawabku.
Ayah menyeringai. Nzi yang semula kaget melihat ‘perkelahian’ kami langsung terbahak. Ia juga meloncat-loncat sambil tepuk tangan untuk menyemangati.
“Oh jadi gitu?” kesal mamah.
Mamah menarik kainnya hingga di atas lutut dan meloncat. Kupingku dan kuping ayah ia jewer dengan keras.
“Kelakuan masih seperti anak kecil!! Gak malu oleh umur, hah?!”
“Ampun, mah. Ayah dan Rei hanya olahraga, pegel habis duduk seharian.” keluh ayah.
“Olahraga? Lalu maksud Rei tadi apa? Katanya urusan laki-laki?” mamah semakin galak.
“Maaah ampun…” aku meringis dan berusaha melepaskan tangan mamah.
Mamah menarik kami ke atas bale-bale. Tahu bahwa aku dan mamah meleng, ayah langsung mengait kakiku. Bruuuukkkk… sukses tengkurep di atas tanah tanpa sempat ditahan mamah.
“Hehehe… lemah…” ledek ayah. Adikku yang menonton ikut tertawa terpingkal-pingkal.
Aku langsung bangkit untuk membalas, tetapi pelototan ibu suri membuat nyaliku ciut. Selebihnya mamah hanya mesam-mesem melihat tingkah aku dan ayah. Lantas kami duduk berempat sambil menikmati hangatnya matahari sore.
“Ayah, jalan-jalan yuk.” setengah jam kemudian.
“Ikuuut..” aku dan Nzi serempak.
"Gak boleh. Ayah dan mamah mau mengenang masa muda.” goda mamah.
Setelah ayah mengangguk setuju, kedua wanita itu langsung masuk kamar untuk berganti pakaian.
“Dek, kakakmu mana?” terdengar suara dari dalam.
“Iiih.. kakak apaan sih? Gak bisa banget jauh dari Kak Rei.”
“Biarin kweeek…”
Tak lama kemudian Rere muncul diikuti mamah dan adikku. Akhirnya kami jalan-jalan berlima. Ayah dan mamah nampak bahagia mengenang tempat-tempat penuh kenangan di masa muda mereka. Aku sendiri tidak bisa menggandeng Rere karena Nzi selalu menempel pada calon kakak iparnya.
Kami tiba di sisi timur Sawer, di sebuah bukit yang menyuguhkan pemandangan indah sejauh mata memandang. Ewer pun bisa kami lihat dengan jelas karena cuaca sangat cerah.
“Yah.. perkebunan kopi di Bukit Beha sudah menjadi milik kita semua?” tanyaku sambil menunjuk ke arah yang kumaksud.
“Iya.. kecuali yang lereng bagian utara.” jawabnya.
Aku tidak bisa langsung menyampaikan ide dan rencanaku karena mamah langsung menyahut dengan sebuah cerita panjang memiliki lahan seluas itu. Intinya mamah memuji perjuangan ayah dalam berbisnis kopi.
Nzi sibuk foto-foto, sehingga aku menjadi punya kesempatan untuk memeluk pinggang Rere. Kekasihku mendelik penuh arti sambil mengulum senyum.
“Yah.. Mah.. aku punya ide.” ujarku setelah mamah berhenti bercerita.
“Hmmm..?” ayah bergumam sambil menyalakan sebatang rokok.
“Aku ingin membuat “coffee garden”. Jadi selain tempat produksi kopi, bukit beha bisa kita jadikan sebagai tempat wisata. Gambarannya seperti di Bali. Kalau di Bali sawah menjadi tempat objek wisata, nah Ewer bisa menjadikan perkebunan kopi sebagai wahana wisata.” aku menuturkan.
Ayah mengerutkan dahi, mamah terbelalak kagum atas ide gilaku. Nzi yang sedang asik foto-foto pun terdiam menatapku. Rere melirik ke arahku dan kucium tepi bibirnya tanpa malu. Tentu saja kedua pipinya langsung merona. Cubitan kecil pun kurasakan.
Kujelaskan ideku. Aku berencana untuk menjadikan perkebunan kopi sebagai tempat wisata yang bisa dikunjungi. Maka perlu dibuat alur-alur jalan, jembatan kayu yang nyaman dan aman. Di beberapa titik dibangun pendopo-pendopo tempat istirahat dan tempat nongkrong, termasuk membangun dua atau tiga kedai kopi di tengah perkebunan.
Di puncak bukit bisa dijadikan pusat perkemahan, sekaligus pondok-pondok yang bisa disewakan untuk menginap bagi para pengunjung.
“Menarik.” seru mamah.
“Tapi perlu investasi yang sangat besar.” gumam ayah tanpa mengamini atau menolak rencanaku.
Tanpa direncanakan kami berlima berdiskusi membahas ide spontanku. Banyak peluang, tetapi juga banyak tantangan dan butuh dana yang tidak sedikit. Keadaan geografis yang jauh dari kota juga tidak menguntungkan dari sisi bisnis wisata.
“Kalau dipublikasikan secara masif sejak dari perencanaan mah pasti bisa.” celetuk Rere.
“Tenang, kak, kan ada ambasadornya Kopi Sawaka.” Nzi membusungkan dada.
“kamu tindak lanjuti saja idemu itu. Buat dulu blue print nya lalu kita bahas lagi.” tutur ayah.
“Berarti ayah setuju?” aku antusias.
“Ayah belum bisa memutuskan sebelum menerima blue printnya.”
“Mamah setuju!” mamah tidak pikir panjang.
“Aku juga.” Nzi ceriwis.
“Tiga lawan satu.” ujarku.
“Kamu, sayang?” kutatap kekasihku.
“Aku abstain.” disusul tawa renyahnya.
“berarti ayah kalah.” sambil mengerling penuh kemenangan.
“Belum tentu. Kakakmu belum memberikan suara.” ayah tak mau kalah.
“Kalau Kak Kekey setuju, berarti posisi suara 4-1. Kalau tidak setuju menjadi 3-2. Ayah tetap kalah.” debatku.
Kami pun tertawa, kecuali ayah. Mamah yang paling keras.
Ayah keukeuh baru akan menyetujui jika sudah ada master plan yang kusodorkan. Aku setuju, dan aku cukup percaya diri sejauh mamah setuju. Ibaratnya jika harta keluarga kami cukup untuk tiga keturunan, proyek ini hanya akan memangkas jatah untuk satu keturunan. Itu pun jika gagal dan rugi. Jika berhasil, hasilnya akan berlipat sehingga cukup untuk tujuh keturunan. Dan sosok yang akan ketok palu dari semuanya ini adalah di mamah.
“Aku akan memasukan Agus ke dalam timku.” ujarku.
“Heh? Kenapa dia? Dia andalanku di studio.” protes Nzi.
“Halah.. andalan tapi bertengkar melulu.”
“Eh itu.. itu mah karena dianya nyebelin.” adikku sedikit gugup.
“Sudah.. sudah… pokoknya kamu tindak lanjuti permintaan ayahmu, Rei. Ayah, ayo kita pulang. Adek ayo…” ujar mamah.
Mamah pun tiba-tiba mencium pipiku entah karena alasan apa. Lantas ia menarik tangan ayah dan Nzi untuk pulang. Ia cukup peka. Aku dan Rere butuh berduaan.
“Gila kamu, yank.” ujar Rere sekepergian mereka.
“Kok gila?”
“Ya gila aja.. bisa-bisanya kepikiran ide seperti itu. Resikonya besar loh.. tapi keren sih…”
“Apapun resikonya, sejauh ada kamu yang selalu mendapingi, aku tidak takut.”
“Gombal!”
Tetapi tetap saja hidungnya mengembang, dan ia sembunyikan rasa senangnya dengan memelukku erat. Kuusapi rambutnya yang berkibar oleh terpaan angin senja.
“Yank, kenapa Agus?” tanyanya sambil tetap nyaman dalam dekapan.
“Tebak!”
“Karena Nzi yah?”
“Kok tahu?”
“Kamu itu calon suamiku, dan aku tahu isi hati dan isi kepalamu.” jawabnya sombong.
Kudekap erat dengan gemas sehingga payudaranya semakin tertekan. Empuk dan kenyal. Rere benar. Agus dan Nzi sebetulnya sama-sama menaruh hati, tetapi keduanya saling sembunyikan sehingga yang terekspresi malah seperti Tom and Jerry.
Agus, teman angkatan kuliah Rere yang kini menjadi orang kepercayaan adikku di studionya, berusaha memungkiri perasaannya karena minder oleh latar belakang keluarga yang berbeda. Nzi memiliki perasaan yang sama. Tapi adikku juga takut tidak mendapat restu. Nzi lupa kalau di masa muda mereka, ayah dan mamah juga memiliki latar belakang keluarga dan ekonomi yang berbeda.
“Kamu setuju kalau mereka berjodoh, yank?”
“Kenapa tidak? Ayahku juga dulu pemuda sederhana ketika bertemu mamah.”
Rere menanggapi jawabku dengan kecupan sayang pada pipiku. Sorot matanya berbinar dan senyumnya mengembang.
“Hihi keluarga kita lucu… usia mamah lebih tua daripada ayah, tapi anak-anaknya beda. Kak Rega lebih tua tujuh tahun dari Kak Kekey, kita selisih lima tahun, nanti kalo Nzi berjodoh dengan Agus selisih umur mereka tujuh tahun juga. Kamu gak mau cari istri yang lebih tua seperti ayah, sayang? Masa gak ada penerus ayah. Hihi…”
“Maunya gitu sih, tapi mau gimana lagi kamu lahirnya belakangan daripada aku. Hahahaa….”
“Iiiiih….”
Kekasihku meronta manja sambil memukuli dadaku. Bibirnya manyun. Sikapnya benar-benar menggemaskan. Langsung kutahan dagunya dan bertatapan dekat. Sesaat kami saling tatap.
“Cantik.” gumamku sambil mengusapi pelipisnya.
Rere kembali memonyongkan bibir dengan sangat menggemaskan. Lalu ia menunjukan cincin pada jari manisnya seolah berkata: si cantik ini adalah calon istrimu. Secara tradisi, di kala tunangan memang hanya pihak laki-laki yang menyematkan cincin pada pihak perempuan. Sebaliknya tidak.
Kuusap ujung bibirnya sambil menarik bahunya. Rere tahu apa yang kumau. Ia menggelinjang sambil membekap mulutnya sendiri. Ia mengindari setiap ciumanku sambil tertawa renyah.
“Nggak maauuu…”
Namun di akhirnya rajukan menolaknya aku berhasil menyingkirkan tangan Rere dan langsung kukecup bibirnya yang lembut. Kukulum dengan penuh perasaan.
“Mmmmmh…”
Bibir kami terpisah dan kami saling menatap dekat. Sisanya malah kekasihku sendiri yang mencium duluan. Kukulum bibirnya, tak berselang kujulurkan juga lidahku. Sapuan-sapuan kecil saling kami bagikan.
Kupejamkan mataku. Kuresapi setiap pagutan. Terasa begitu nikmat; memikat. Rere tak kalah terbuainya, ia melayani dengan segenap perasaan. Cumbuan kami semakin dalam.. semakin hangat… semakin basah…
Kekasihku mendesah, dan mulut pun terpisah.
Setelah gairah yang sempat naik kembali reda, Rere kembali menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukan, tangan kami sama-sama saling membelai. Telapak tangannya selalu mendorong pipiku ketika aku menatapnya dengan segenap rasa sayang.
“Tadi aku sedih loh pas lihat sungkeman.” ujarnya.
“Hmmm..”
“Kamu nggak, yank?”
“Biasa aja.”
“Iiihh.. bohong banget.” kali ini ia yang gemas menepuki pipiku.
Kami pun saling berbagi kesan tentang pernikahan kakak. Bahagia sudah tentu, haru tentu saja, tapi sedih juga ada.
“Aku nanti aku kayaknya gak akan kuat deh, yank.” ujarnya sendu. Ia pun membayangkan peristiwa itu pada saatnya nanti; ia akan sangat sedih berpisah dengan orangtuanya.
“Aku gak mengambil kamu dari papah dan mamahmu, sayang.” ujarku sambil menyelipkan helaian rambutnya di balik telinga. “Kalian tetap akan bersatu selamanya, hanya masalah beda atap rumah saja.” tuturku lagi.
Rere mengangguk, kecupan basah pun ia hadiahkan pada bibirku. Menyinggung rumah, Rere kembali antusias karena rumah masa depan kami sudah selesai dibangun, tinggal menempati saja.
“Pasti sepi sih.. kamu harus membuatnya ramai oleh anak-anak.” ujarnya kali ini disertai kerling genit.
“Emang mau punya anak berapa?” aku balik menggoda.
Kekasihku memutarkan bola matanya, keningnya mengkerut seolah sedang berpikir. Lantas ia membisikan jawabannya di telingaku.
“Emang kamu kuat bikinnya?” aku setengah tertawa.
“Yeee.. kuat aku mah.. ada juga kamu.. kering gak tuh?!” disusul gelak tawa.
Karena gemas, langsung kulumat bibirnya. Kucumbu panas disertai remasan pada pinggulnya.
“Pulang?”
Rere mengangguk. Kami pun sama-sama melangkah. Tangannya selalu melingkar pada lenganku.
Setibanya di pondok, keadaan cukup sepi karena semua orang sudah kembali ke pendopo. Rere membuka smartphone untuk membalas beberapa pesan.
“Yank.. mandi yuks.”
“Bareng?” aku antusias.
“Hmmm.. bareng nggak yah?” godanya.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar