Bab 84
Putaran waktu tetap sama, tetapi bagi mereka yang sedang berduka dan menderita, putarannya akan terasa begitu lambat dan lama. Sebaliknya, bagi mereka yang sedang merasakan kebahagiaan, maka perjalanan waktu akan terasa lebih cepat. Kami bersyukur karena berada pada kategori yang kedua.
Sudah sebulan aku kembali ke Bandung dan menjalani hidup rutin. Setelah seminggu berlibur, hari-hari berikutnya kuhabiskan dengan bekerja memimpin RSP Corporation. Semangatku berlipat. Ayah telah mempercayakan segala sesuatu yang ia rintis sejak dari nol, dan aku tidak ingin mengecewakannya. Di samping itu, aku juga bertanggung jawab untuk menghidupi keluarga yang akan kurintis bersama Rere kekasihku.
Sore ini hari jumat. Kami pulang dari kantor lebih awal, dan seperti biasa kami menghabiskan waktu untuk bersantai di rumah. Ayah duduk di atas kursi santai kebesarannya sambil menonton televisi, mamah duduk di sampingnya sambil menikmati teh hangat. Kakak dan Kak Rega serius di depan laptop membuat list undangan pernikahan mereka. Aku selonjoran di atas karpet dan Nzi bersandar pada dadaku sambil memamerkan konten-kontennya di youtube. Followers dan viewersnya sudah di atas satu juta.
“Kamu cantik banget sih, dek?” ujarku sambil tetap fokus pada layar smartphonenya.
“Pasti donk.” jawabnya dengan hidung mengembang.
Adikku memang sangat menggemaskan, aku sampai lupa kalau ia sudah mahasiswi. Di mataku ia tetaplah gadis kecil yang ceriwis sekaligus manja menggemaskan.
Tentu saja kakak dan mamah nyeletuk. Kakak ‘iri’ dan mamah bangga.
“Berarti viewermu banyak bukan karena kontennya bagus, tapi mereka menonton kecantikanmu.” selorohku.
“Nggak kakaak.. tadi katanya kontenku bagus, sekarang beda lagi.” adikku manyun.
“Gak percaya?” kutepuk pipinya yang menggelembung. “Coba kamu bikin konten yang sama, tapi modelnya beda, pasti jumlah viewernya lebih sedikit.”
“Hmmm.. misalnya siapa modelnya, kak?” cemberutnya berubah jadi cengengesan.
“Kak Kekey.” bisikku.
“Iya sih.” jawabnya setengah suara.
“Heh…!! Kakak dengar ya!!!” orang yang kami omongin marah, sampel undangan pun melayang tetapi aku dan adikku berhasil menghindar.
Nzi langsung memelukku setelah melihat kakak yang cemberut dan melotot. Sementara tawa renyah terdengar. Kak Rega yang paling keras. Ayah dan mamah tertawa sambil melihat tingkah kami. Sorot mata bahagia dan bangga terpancar dari mereka. Mamah malah mengusapi punggung ayah seolah sedang berkata: anak kita.
“Penghasilanku bulan ini lebih besar daripada gaji kakak loh.” Nzi berbangga.
“Iya.. tapi endorse yang masuk harus lewat seleksi kakak dulu. Gak boleh sembarangan, apalagi abal-abal.” Kak Kekey menyahut.
“Siap, boss! Kan selama ini juga memang gitu.”
“Kakak sih gak percaya kalau penghsilanmu lebih besar dari kakak.” aku menanggapi penuturan bangganya. Nzi pun kembali menyebutkan angka yang ia dapatkan.
“Gini yah, dek..” aku mulai jail kembali. “Menurut kakak itu kan penghasilan kotor, karena belum dipotong honor teammu.”
“Yee.. honor teamku hanya 57 juta kok. Jadi tetap penghasilanku lebih banyak daripada gaji kakak.” Nzi tidak terima.
“Masih kotor adeeek. Kamu udah bayar sewa gedung studio belum? Bayar air dan listrik?”
“Eh.. tapi kan.. itu.. itu…”
“Idih gak ada yang gratis yaaah. Adek harus bayar. Bisnis adalah bisnis.. gak boleh kolusi dengan keluarga.”
“Emang iya, Yah?” Nzi menatap ayah.
“Kakakmu benar.”
“Ayaaaah!!” Nzi cemberut lantas mencari pembelaan pada mamah. “Emang bener, Mah, adek harus bayar sewa gedung dan listrik?”
“Ya iya atuh, sayang. Harus itu mah.”
“Mamah.. hiiiks…”
“Kamu juga harus bayar kakak sebagai managermu.” kak Kekey gak mau kalah.
“Iiih.. kalian kok gitu sih?! Nyebelinnn… kesel kan jadinya…” Nzi mengacak-acak rambutnya sendiri.
Gelak tawa pun memenuhi ruang keluarga. Nzi sendiri pintar bersandiwara, ia bersikap seolah mau menangis. Ia sukses karena ayah merentangkan tangan, dan Nzi beranjak ke dalam pelukannya. Selebihnya ia tiduran dengan meletakan kepala di atas pangkuan mamah.
“Mau kerjasama dengan kakak, gak dek?” akhirnya aku mengakhiri segala kejailan dan menyampaikan ide yang sudah beberapa hari ini kupikirkan.
“Apaah?” Nzi masih pura-pura masih bete.
“Jadi ambassador Kopi Sawaka.”
“Hah? Serius kak?”
“Yup.. mau gak?”
“Mauuuu…” girangnya.
Kusampaikan ideku. Nzi harus mengiklankan Kopi Sawaka dalam setiap kontennya, entah secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung berarti mengiklankannya secara transparan, sedangkan secara tidak langsung dengan cara halus, misalnya selalu ada adegan ngopi dengan cangkir berlogo merk kopi. Nzi tertarik dan setuju.
“Kamu buat proposalnya, nanti senin atau selasa kakak tunggu di kantor.” tegasku.
“Asiiik.. siap, boss!”
Obrolan kemudian beralih pada Kak Kekey dan Kak Rega. Beberapa persiapan ayah tanyakan.
Upacara sendiri akan dilaksanakan di dua tempat. Ijab qabul akan dilaksanakan di Sawer, sedangkan pesta syukur akan diadakan di Bandung dua hari kemudian.
“Pre-wedding di Sawer, Ewer, dan pulau Lombok, ya dek. Teammu sudah siap, kan?” tanya Kak Rega.
“Siap, kak. Tapi kenapa gak di luar negeri aja sih?”
“Itu mah maunya kamu biar bisa jalan-jalan gratis.” celetuk kakak. Nzi nyengir karena memang itu yang dia mau.
“Ke luar negeri nanti bulan madunya aja.” mamah ikut nimbrung.
“Ikkkuuut…” Nzi bersemangat.
“Husssh..!!!”
“Kan biar ada dokumentasinya, kak.”
Kami tergelak kembali. Ada isi pikiran yang berbeda. Yang Nzi maksud adalah dokumentasi perjalanan, sedangkan yang kami pikirkan adalah dokumentasi yang lain. Tapi tak satu pun yang menjelaskan kenapa kami tertawa kepada si bungsu yang polos dan sedang kebingungan.
Tak berselang lama Rere kekasihku datang. Aku memang memintanya. Setelah menyalami ayah dan mamah, ia mengecup bibirku tipis, lantas ikut nimbrung di depan laptop kakak.
“Aku dan Kak Kekey saling tatap penuh arti. Lantas kami sepakat menatap Kak Rega.” pemuda itu mengangkat bahu, tapi nampaknya sudah tidak bisa mengelak. Kak Rega pun berdehem.
“Ayah… Mah… juga Nzi…” ujarnya. “Sebelumnya aku mohon maaf karena.. karena…”
“Kenapa, nak?” tanya mamah.
Rere langsung pindah duduk di sampingku, kulingkarkan tangan pada pinggangnya. Daguku menumpang pada pundaknya, pipi kami menempel. Aku ikut tegang menunggu apa yang akan Kak Rega sampaikan.
“Sebenarnya aku dan Kekey sudah berbohong pada ayah dan mamah…” kak Rega menelan liur lantas menatap Kak Kekey. Kakak sendiri hanya tersenyum-tegang sambil memeluk lengan kekasihnya.
Mamah diam menunggu, ayah menegakan duduknya; Nzi melongo. Kulirik kekasihku menggigit bibir.
“Maksudmu, nak?” mamah tidak sabar.
“Sebetulnya kami sudah membeli rumah sendiri, jadi setelah menikah tidak akan tinggal di rumah ini.” Kak Rega akhirnya berhasil menyelesaikan kalimatnya. Ia nampak lega, walaupun ekspresinya tetap sedikit tegang menunggu reaksi ayah dan mamah.
“Kalian mau tinggal di mana?” ayah nampak kecewa tetapi berhasil ia sembunyikan.
“Kok kalian gitu, nak?” mamah mulai berkaca-kaca.
“Kaaaak.. hiks…” seluruh ceriwis Nzi ayah.. eh sirna..
“Ayah dan mamah tahu rumah yang baru selesai direnovasi di belakang rumah kita, kan?” ujar Kak Rega lagi, disambut anggukan ayah dan mamah.
“Itu…” Kak Rega tidak bisa melanjutkan ucapannya karena Kak Kekey memeluknya erat.
“Nak?” ayah tidak sabar.
“Ayah dan mamah jangan marah yah?” kali ini Kak Kekey yang berucap. “Sebenarnya itu adalah rumah kami. Aku juga mau minta ijin untuk bongkar benteng sehingga taman belakang rumah kita menjadi satu.”
“Sayaaang…” pekik mamah. Ayah hanya diam, tapi hembusan nafasnya menunjukan rasa lega. Ia tetap bisa berdekatan dengan putri sulungnya.
“Kalian gak sedang main-mainkan, kan?” tanya mamah dijawab gelengen kepala mereka berdua.
“Kalian itu.. kenapa baru bilang sekarang… terus pake uang siapa…” mamah langsung cerewet antara senang, kesal, dan penasaran.
“Mamah dan ayah gak marah, kan?” Kak Kekey tidak menjawab pertanyaan mamah.
“Ayah dan mamah kecewa. Tapi karena masih berdekatan yasudah gak apa-apa.” mamah cemberut. Tapi gerak tubuhnya berbeda. Ia beranjak memeluk putri dan calon mantunya bersamaan. Setelahnya kakak mendekati ayah sambil senyam-senyum. Ayah pun menoyor dahi kakak dengan gemas lantas memeluknya dengan sangat erat.
“Kakak kenapa baru bilang sekarang sih? Kenapa juga gak tinggal di sini saja?” celetukku.
“Iyah beneeer..” Nzi menyahut.
Kekasihku sendiri mencubit pahaku cukup keras.
“Diam kamu!” kak Kekey berlagak galak setelah mendengar ucapanku.
“Yaaah…” pada ayah. “Ayah gak marah, kan?”
“Nggak.. ayah malah bangga pada kalian. Mamahmu juga pasti bangga.” jawab ayah.
“Makasih…” Kak Kekey mencium pipi ayah dan mamah bergantian.
“Sekarang ayah dan mamah marahin Rei tuh!!!” kakak nampak senang dan mulai jail mengerjaiku. Kini malah aku dan kekasihku yang tegang.
“Kenapa dengan Rei?” ayah heran.
Yang ditanya malah senyam senyum sambil kembali ke tempat duduknya dan langsung memeluk Kak Ega.
“Kak?” Nzi menatapku.
“Sayang?” mamah mengusapi air mata harunya.
“Yank..” aku pada Rere.
“Iiih kok aku?”
“Tuh kan malah saling tunjuk.” kakak semakin memantik api.
“Jadi gini.. ayah kan pernah cerita kalau kecewa karena terlambat membeli rumah Pak RT.” Kak Rega menyahut. Ayah manggut-manggut.
“Ayah tahu siapa pembelinya?” tanya Kak Rega lagi.
“Siapa?”
“Anak ayah yang paling jeleeeek!!!” Kak Kekey setengah teriak dan menunjuk-nunjuk aku.
Kini aku yang menjadi bulan-bulanan cecaran pertanyaan. Kekasihku mengelak dan mengaku kalau sebelumnya tidak tahu-menahu tentang hal itu. Ia baru tahu di Ewer setelah pulang dari Anta.
Berbeda dengan sikap mereka pada Kak Kekey. Mamah mencubitiku, sedangkan ayah menimpuk dengan bantal sofa. Keduanya nampak kesal, walaupun tidak sungguh-sungguh keluar dari hati. Rere menjadi pembela dengan memeluk dan mendorong tubuh mamah, tetapi setelahnya malah Nzi yang memukuli dadaku.
Beginilah.. kebahagiaan kami semakin lengkap.
Ayah mengajak kami ke halaman belakang dan melihat dua rumah yang sudah kokoh berdiri. Rencana pemugaran benteng langsung kami bicarakan. Sekaligus penataan ulang taman dengan kolam renang sebagai pusat.
Secara bersama-sama kakak mengajak kami melihat bagian dalam rumah. Kami berjalan memutar karena belum punya akses. Rumah sudah seratus persen selesai dan interironya sudah lengkap. Tinggal menempati saja. Kak Rega dan Kak Kekey mengajak keliling melihat semua ruangan. Kami mengikuti dengan decak kagum dan bangga.
“Sekarang ayo lihat rumahku.” ujarku.
“Nggak!!” jawab ayah.
Gelak tawa terdengar, dan kami kembali berputar menuju rumah yang baru selesai bangunan fisiknya saja. Berbeda dengan rumah kakak, rumahku bersisian dengan rumah orangtua dan akses masuknya dari jalan yang sama.
Kini giliranku yang memamerkan semua ruangan yang masih kosong melompong karena belum diisi furniture. Beberapa ruangan malah masih berantakan oleh material. Kutunjukan juga sisi samping yang didesign sedemikian rupa sehingga akan tetap indah ketika benteng pembatas dijebol.
Ruang tengah menjadi pusat ajang pamerku. Ini akan menjadi ruang keluarga tempat santai sekaligus menjadi amply theater. Dibatasi dinding kaca ada ruang terbuka luas yang berisi kolam ikan dengan dua patung harimau putih di kedua sisinya. Kolam dan taman kecil ini juga akan menjadi tempatku bersantai mencari isnpirasi sekaligus menjadi tempat nongkrong sambil merokok.
Setelah puas berkeliling mereka memutuskan pulang, tapi aku dan Rere tetap tinggal dengan alasan ingin membahas design interiornya.
“Kok dari tadi diam saja?” tanyaku setelah hanya tinggal kami berdua.
“Gak apa-apa.” Rere menggelengkan kepala seolah menahan sesuatu.
Ia gagal. Air matanya yang berlinang tidak bisa ia bendung. Ia menubrukku dan menangis tersedu. Kudekap erat sambil menciumi kepalanya.
“Ini akan menjadi istana kecil kita.” ujarku.
Rere menganggukan kepala di dalam pelukan. Lima menit kemudian ia baru menggeliat. Kuusapi wajahnya yang lembab lantas kukecup. Kekasihku menjinjit sambil melingkarkan tangan. Cumbuan hangat saling kami berikan.
“Kamar kita mau di atas atau di bawah?” tanyaku lembut di akhir cumbuan.
“Di atas.” ia menjawab sigap.
“Lagian kenapa bikin dua kamar besar sih?”
“Kalau kita di atas berarti kamar utama yang di bawah buat papah dan mamah.”
“Hmmm.. mereka gak mungkin mau tinggal bareng kita.” jawabnya, pancaran bahagia terpampang jelas.
“Yaa kan kalau kangen cucu dan mau menginap, papah dan mamah sudah punya kamar sendiri.”
“Sayaaaang….”
Kekasihku kembali melumat bibirku, kali ini lebih panas disertai juluran lidah. Saling cecap, saling hisap, bahkan saling remas. Dan baru berakhir ketika pertahanan sudah ditapal batas. Kami sama-sama menginginkannya, tetapi semuanya akan lebih indah jika dimulai dari ranjang pengantin.
Kami kembali berkeliling sambil bergandengan tangan. Kali ini Rere yang menyampaikan semua ide design interiornya, termasuk paduan warna yang ia kehendaki.
“Senin kamu janjian dengan Enzo untuk menindaklanjutinya. Aku ikut semua rancanganmu, kecuali kolam dan taman di samping ruang keluarga. Rumah ini adalah kerajaanmu, kamu ratunya, tapi taman itu akulah rajanya.” ujarnya setengah bercanda.
“Aku masih boleh mengunjungi kerajaanmu?” candanya.
“Boleh.. bercinta di sana juga boleh.”
“Mesuuuum…” kekasihku mencubit.
“Terus dimana aku boleh bercinta dengan istriku di dalam kerajaanmu?” aku balik bertanya.
“Di semua tempat. Suamiku boleh memilih maunya di mana.”
Kekasihku tertawa tetapi kuhentikan dengan lumatan. Kami sama-sama membagikan rasa bahagia dengan cumbuan.
Puas bermesra, kami pulang untuk makan malam. Ia menggelendot manja dan nemplok di dalam gendongan.
“I love you.” sambil menunggu satpam membukakan gerbang.
“I love you so much.” jawabnya sambil mengecup pipiku lantas turun dari atas punggungku.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar