Bab 83
Tiga hari yang penuh kegembiraan sekaligus melelahkan. Itulah yang terjadi di Ewer setelah kepulangan kami dari negeri astral bernama Anta. Keluarga inti dari ayah dan mamah berkumpul, juga keluarga besar Sawer dan Ewer bergelombang berkunjung. Pesta syukur kami adakan, dan banyak kisah yang kami bagikan.
Seluruh tradisi panjang ritual telah berakhir, dan hubungan dua alam menjadi harmonis. Aku dan Sawaka menjadi sahabat beda dunia yang saling menjaga dan memelihara. Tak ada lagi ritual, apalagi wadal. Sejarah panjang telah berakhir, dan tradisi ritual sudah sampai pada halaman terakhir.
Itu semua kami rayakan. Pertemuan sekaligus upacara syukur telah kami laksanakan kemarin malam. Para sesepuh Sawer dan para sahabat ‘pendahulu’ berkumpul dengan sesepuh Ewer yang dipimpin oleh oma. Ikatan dua kampung semakin erat. Pembangunan fisik boleh maju dan bahkan moderan, tapi tradisi kental dan nilai budaya tetap kami pertahankan.
Dua pewaris berasal dari keturunan Ewer, tetapi sumber utama kebajikan ada di Sawer. Ikatan keduanya akan semakin erat karena kemarin malam, di akhir upacara, ayah bersama Om Ega mengumumkan tanggal perkawinan putra-dan-putri-sulung mereka. Dua sejoli yang sudah bertunangan akan segera menikah, waktunya tinggal tiga bulan.
Aku sendiri, secara pribadi, telah berbicara bersama Inka dan kedua orangtuanya, yaitu Om Arya dan Tante Rinjani. Inka telah memilih untuk menjadi bagian dari perjalanan panjang perjuanganku; kegadisannya telah ia serahkan. Tetapi aku juga sudah memilih gadis lain untuk kuperistri. Sebagai tebusan, kupulihkan keperawanannya melalui ritual. Kini mereka paham mengapa aku memilih Inka sebagai pasangan ritual, bukanlah Rere.
Pagi ini aku bangun agak siang. Seusai mandi di tampian, aku bergabung dangan saudara-saudaraku di pondok belakang rumah oma. Oma Ewer sedang duduk di sana, dikelilingi oleh Kak Kekey, Kak Rega, Nzi, Inka. Kekasihku langsung bangkit ketika melihatku datang, dan bergegas menuju dapur untuk menyeduh kopi. Pakaiannya cukup sederhana, namun hal itu mengontraskan paras cantiknya.
Nzi langsung menyambutku. Ia memeluk lenganku. Rasa kangennya belum hilang setelah berbulan-bulan kutinggalkan. Kak Kekey menyandarkan kepalanya pada bahu Kak Rega tetapi sorot mata dan senyumnya selalu terarah padaku. Kakak dan adikku terlihat begitu bahagia.
“Kok sepi, yang lain kemana?” tanyaku. Sambil melihat ke dua rumah sebelah yang selama ini dipakai menginap keluarga besarku.
“Sebagian sedang ke Sawer.” jawab adikku.
Ia pun menjelaskan bahwa oma Ningrum dan oma Ratih bersama keluarga mereka sedang ke Sawer sebelum nanti sore kembali ke Bandung. Papah dan mamahnya Rere juga ikut pergi ke sana. Sedangkan Oma Alya dan Opa Ardan mengumpulkan orangtua kami untuk rapat tertutup.
“Rapat apa?” semuanya kompak mengangkat bahu.
Tak lama kemudian kekasihku kembali sambil membawa baki. Deheman-deheman menggoda langsung terdengar ketika ia menyodorkannya di hadapanku. Kekasihku memasang wajah datar seolah tidak sadar sedang digoda. Tetapi sejurus kemudian ia mendorong bahu Nzi dan menggantikan posisinya memeluk lenganku. Nzi langsung protes, dan kami semua tertawa.
Kulihat oma berkaca-kaca oleh rasa bahagia.
Kuseruput kopi untuk membasahi tenggorokan, lantas kukunyah pisang goreng yang masih hangat.
Tetapi keceriaan pagi ini rasanya masih ada yang kurang. Rana tidak terlihat.
“Rana mana?”
“Ikut ke Sawer.” jawab oma.
“Loh?” aku terheran karena papah dan mamahnya sedang rapat di rumah utama.
“Kamu sih berpetualangnya kelamaan, jadi ketinggalan berita.” celetuk kak Rega.
Aku menatap mereka semua secara bergantian. Si ceriwis Nzi langsung bersemangat menjelaskan. Rupanya alasan Rana ikut ke Sawer adalah karena ada Kang Garpit anaknya Oma Ningrum. Keduanya menjadi dekat selama dua bulan terakhir, walaupun keduanya belum mengaku kalau pacaran.
Aku cukup senang mendengarnya. Kebahagiaanku semakin lengkap. Di sela-sela obrolan pagi yang ditandai canda tawa, oma sekali-kali menasihati kami semua. Terutama oma banyak bicara tentang ayah dan mamah yang bisa dijadikan teladan.
Secara latar belakang keluarga, keadaan ekonomi ayah dan mamah sangatlah jauh berbeda. Mamah keturunan orang berada, sedangkan ayah dari keluarga sederhana. Cinta mempersatukan mereka. Cinta membuat mereka saling percaya dan sama-sama bisa dipercaya. Hasilnya, selain keluarga bahagia, perusahaan juga semakin berkembang pesat.
Kakak dan kak Rega, juga aku dan Rere, kisahnya sedikit berbeda. Penampilan luar kaki lima, tetapi ekonomi keluarga kami sama-sama bintang lima. Kisah cinta Kang Garpit dengan Rana mungkin akan menjadi perkawinan bintang dua dan bintang lima.
Inka? Aku tahu kalau selama ini selalu ada pemuda yang dengan sabar mencuri hatinya. Inka juga tahu itu, tetapi ia masih menutup diri. Tetapi aku yakin kalau sebetulnya Inka juga punya hati, dan proklamasi hubungan mereka hanyalah masalah waktu. Kalau itu terjadi, maka akan menjadi perkawinan bintang lima dengan bintang tujuh.
Mendengar semua nasihat oma, kami semua mengangguk mengamini. Namun adikku nampak menjadi cucu yang terlihat paling bahagia. Ia seperti merasa begitu lega, seolah beban yang selama ini ia sembunyikan mendapat jalan keluar. Adikku belum pernah cerita, tetapi aku sudah bisa menduga. Akan kuselesaikan dengan caraku.
Tak lama kemudian oma beranjak dengan alasan mau memetik salad air untuk lalapan makan siang. Oma mengajak Inka dan Nzi seolah ingin memberi kesempatan kepada member non jomblo untuk bermesraan. Untungnya kedua gadis itu bersemangat mengikuti oma.
“Awas dulu, yank, aku mau merokok.” ujarku sambil mendorong halus bahunya.
“Ya merokok aja.” jawabnya. Bukannya menjauh, tangannya malah berpindah memeluk pinggangku.
Dengan gemas kucium pipinya, lantas kudorong agar tiduran di pangkuanku. Tubuhnya menggelosor. Kunyalakan sebatang rokok dan kuhisap dengan nikmat.
“Berani merokok di depanku?” Kak Kekey menatap tunangannya.
“Siapa yang mau merokok?” jawab Kak Rega, padahalnya tangannya sudah bergerak.
Aku auto tertawa melihatnya. Rere menyembunyikan wajahnya pada perutku agar tawanya tidak meledak.
“Yaudah biarin aja atuh, kak.” aku membela Kak Rega.
“Lah.. kakak kan cuma bertanya. Gak ngelarang kok.” jawab kakak. Lantas ia menatap kembali kekasihnya, “Ayo merokok aja, yank, gakpapa kok.”
“Nggak, nanti aja.”
Rere sudah tidak bisa menahan tawanya. Kami berdua terbahak.
Kak Kekey juga akhirnya tertawa melihat ekspresi sang kekasih. Kecupan lembut ia hadiahkan pada bibir Kak Rega.
Di antara kami tiga bersaudara, Kak Kekey memang yang paling keras. Karakter mamah lebih menurun pada kakak, tetapi di balik itu semua, tersembunyi naluri melindungi keibuan, juga hati yang sangat lembut.
“Hehehe.. bercanda.” kakak terkekeh.
Ia sendiri mencatut sebatang rokok dan menempelkan pada bibir Kak Rega lantas menyulutnya. Kulihat Kak Rega terheran, sekaligus senang.
Aku juga sebetulnya cukup heran melihat sikap kakak. Selama ini ia memang tidak anti rokok, tetapi ia selalu menjauh ketika aku atau ayah sedang merokok. Ah… mungkin karena hatinya sedang sangat bahagia.
Sisanya… untuk pertama kalinya aku melihat seorang kakak yang berbeda. Sangat manja.. dan tak malu bermesra di hadapanku dan Rere.
Kami pun saling bercengkrama ringan satu sama lain. Mimpi, harapan, dan cita-cita saling kami lontarkan.
“Setelah menikah kakak mau tinggal di mana?” tanyaku.
Pertanyaanku sontak membuat dua sejoli itu saling tatap. Keduanya nampak tidak siap.
“Eh.. bukannya tetap tinggal di rumah yah?” celetuk Rere.
“Nggak kok.” kakak keceplosan, Kak Rega menahan senyum.
“So?” aku menjadi penasaran.
Kuseruput kopiku, lantas tanganku menurunkan rok kekasihku agar pahanya tertutup.
Yang ditanya malah saling tatap, Kak Kekey menghela nafas ketika kekasihnya mengangguk.
“Tapi rahasia, jangan bilang ayah dan mamah dulu.” ujar kakak. Kali ini aku dan Rere yang mengangguk.
“Kalian pernah lihat kan rumah yang direnovasi di belakang rumah kita?” tanya kakak dan langsung kami berdua amini.
“Hehehe…” yaelah kakak malah tertawa.
“Itu rumah kami. Jadi rencananya.. nanti kami akan minta ijin ayah dan mamah untuk menjebol benteng sehingga halaman belakang rumah kita menjadi satu.” Kak Rega menjelaskan.
Rere memekik bahagia, sedangkan aku terbengong. Ini sangat di luar dugaan.
“Bentar-bentar.. maksud kakak rumah yang masuknya dari Jalan Gading II, kan?”
“Tepat!”
Aku semakin terbelalak surprise.
“Kenapa, dek?”
“Eh.. euuh… nggak, aku gak nyangka aja.” aku sedikit gugup.
Kakak pun menjelaskan kalau hal itu sudah mereka rencanakan sejak lama, sebagian tabungan mereka disisihkan karena ingin punya rumah sendiri tanpa meminta pada orangtua. Mudah saja bagi ayah dan mamah untuk mengeluarkan uang, tetapi kakak tidak mau hal itu terjadi.
“Enzo temanmu yang menggarap itu semua.” ujar Kak Rega.
“Si anyiiing…” spontan aku menggerutu.
“Heh? Kenapa?”
“Eh.. euuuh.. nng.. nggak..” aku gugup sendiri.
“Dek?!!”
“Yank? Kasar iih…”
Sejenak aku menimbang, tetapi tidak ada salahnya kalau aku juga jujur. Kuhela nafas panjang sambil menahan senyum. Aku bahagia sekali.
“Itu.. lahan bekas rumah Pak RT juga sedang dibangun, kan ya?” aku sedikit mengalihkan pertanyaan.
“Iya tuh.. bagus banget.” celetuk kakak.
“Kakak tahu siapa yang punya?”
“Nggaklah. Mungkin mamah atau ayah tahu.” jawab kakak.
“Oooh…”
“Aku harap sih, setelah kalian menikah, kalian tetap menemani ayah dan mamah, biar rumah gak sepi dan kita tetap berdekatan.” kali ini malah Kak Rega yang menyampaikan harapannya.
Kekasihku menatapku, dan kubalas sambil tersenyum menggoda.
“Gimana, yank?” tanyaku disambut rona merah kedua pipinya.
“Terserah kamu aja. Tinggal bareng ayah dan mamah boleh, di apartemen juga boleh. Sayang juga apartemennya kalau gak ditempati.” jawabnya.
“Pokoknya kalian harus tetap menemani ayah dan mamah!” Kak Kekey menyahut tegas.
“Yee.. kakak berdua sendiri pergi dari rumah.” balasku.
“Ya tapi kan tetap berdekatan. Apalagi kalau bentengnya sudah dijebol tetap satu taman, hanya beda atap saja.”
“No!!! Nggak kedua-keduanya. Nggak bareng ayah dan mamah, dan nggak di apartemen juga.” aku tak kalah tegasnya.
“Terusss..?” kakak nampak kecewa.
“Aku mau tinggal di rumah orangtua Rere.”
Kekasihku nampak bingung. Ia jelas tidak akan menolak, bahkan tak kalah senangnya mendengar ucapanku.
Kakak langsung ceramah. Intinya aku harus berpikir panjang karena rumah Rere adalah rumah dinas. Aku juga lelaki jadi harus menyediakan tempat naungan yang nyaman untuk membahagiakan istri anak.
“Yaudah atuh, kak, kalau Rei maunya gitu. Aku gak keberatan, kok.” Rere membelaku. Ia bangkit dan duduk sambil menyenderkan kepalanya. Langsung kuusapi rambutnya dengan perasaan bangga dan haru atas kesederhanaan cara berpikirnya.
Karena kakak emosi, kulepaskan pelukan kekasihku, lalu bergeser pada kakak. Kubisikan di mana kami akan tinggal setelah menikah nanti.
Kali ini kakak terbelalak, kekesalannya berubah senang. Pelukannya langsung berpindah padaku. Keningku juga dikecupnya dengan gemas bercampur bahagia.
“Apaan sih?” kekasihku kebingungan.
“Jadi gini, dek…” sambil menatap Rere.
“Yank..” kali ini menatap Kak Rega.
Aku kembali ke tempat dudukku. Kuusap kerutan pada dahi kekasihku yang sedang kebingungan melihat tingkah kami.
“Jadi rumah yang sering kita bicarakan kalau pas lewat itu ternyata.. hihi….” Kak Kekey tidak bisa menahan rasa bahagianya.
“Ternyata..?” Kak Rega tidak sabar.
“Istana masa depannya juragan luwak.” jawab kakak.
“Wow…” Kak Rega terkejut dan kehilangan kata-kata karena ikut senang mendengarnya.
“Juragan luwak siapa? Orang mana?” Rere problem loading dan belum paham.
Otomatis kami bertiga tertawa. Kakak merebahkan punggungnya pada pelukan Kak Rega tanpa terganggu oleh asap rokok. Rere celingukan dan semakin bingung.
“Masa kamu gak kenal juragan luwak?” celetuk kakak di sela derai tawanya.
Tik tok tik tok.. Rere berpikir keras. Dan…
“Yank?” ia menatapku tajam.
Aku tersenyum sambil menatapnya. Kuusap pelipisnya. Kuanggukan kepala.
Nafas Rere terlihat menjadi berat, matanya berubah merah.
“Seriusan?” tanyanya setengah terbata dan kujawab lagi dengan anggukan.
Rere langsung memelukku erat sambil terisak. Ia sangat tidak menyangka bahwa aku telah menyiapkan rumah sejak lama walaupun status hubungan kami sempat putus-nyambung. Kakak menggeser duduknya lantas memeluk kami berdua. Kepala Rere diciumnya lantas pipiku ditepuk dengan sorot mata bangga.
Entah apa yang mereka saling bisikan, keduanya turun dari atas bale-bale dan meninggalkan kami berdua sambil berpegangan tangan.
“Hei.. sayang..” kudorong bahunya.
Wajah kami berhadapan dekat. Kuusap linangan air matanya. Bukannya reda, air matanya malah semakin berderai deras. Kudekap kembali kepalanya, kubiarkan ia menumpahkan semua rasa. Kuusapi punggungnya, sekali-kali kuciumi pula rambutnya.
“Aaaauw…” aku merintih ketika tiba-tiba Rere menggigit tanganku gemas.
“Keseeel…” rengeknya.
“Kok?”
“Bodo!! Pikir sendiri!!” kekasihku merajuk.
Ia bangkit hingga kami duduk berhadapan. Ia mengusapi air matanya sendiri. Sejenak aku terpesona. Dalam kondisi apapun kekasihku selalu cantik. Dalam galaknya, dalam manjanya, dalam senangnya, dan bahkan ketika ia bersedih. Diam-diam aku membatin bahwa hanya air mata bahagia yang boleh ia alirkan, tak akan ada kesedihan yang kuijinkan.
Kusentuh dagunya sambil memiringkan wajah.
“Nggak boleh!” ujarnya sambil membuka mulut untuk menahan tawa.
Tapi penolakannya hanya sebatas mulut. Ia berdiri dan menarik tanganku memasuki rumah belakang. Ayah memang sudah membangun dua rumah di belakang rumah utama yang diperuntukan sebagai tempat tidur ketika kumpul keluarga, atau sebagai tempat menginap jika ada mahasiswa yang KKN. Juga sebagai tempat singgah alternatif bagi para peziarah yang hendak berangkat atau pulang dari Sawer.
Setibanya di ruang tengah kami saling menghadap setengah terengah. Bukan karena lelah berlarian, melainkan karena desakan rasa sayang yang meluap. Kekasihku langsung menangkup kedua pipiku sambil berjinjit.
“Mmmmh…” lenguhnya.
Kami langsung bercumbu hangat. Saling kulum, saling lumat. Saling cecap, saling hisap. Kubimbing kekasihku memasuki kamar. Langkah kami seirama dengan cumbuan yang enggan dipisahkan.
Bibir kami baru sama-sama terlepas ketika paha kekasihku terantuk tepian ranjang. Ia langsung berbaring terentang. Telapak kakinya menapak kasur dengan lutut ditekuk sehingga ia bisa mendorong tubuhnya kian ke tengah. Otomatis roknya tersibak, memamerkan kedua pahanya yang seksi dan putih.
Aku langsung mengejar dan menindihnya. Cumbuan kami kembali bersatu, nafas kami sama-sama memburu. Aku dan kekasihku masyuk menumpahkan luapan rasa sayang; sama-sama bergairah oleh panasnya cumbuan.
“Shhhh…” Rere mendesah mengakhiri cumbuan.
Aku berguling ke samping, Rere menarik selimut untuk menutup aurat bawahnya jika sewaktu-waktu ada orang yang lewat. Pintu kamar memang sengaja tidak ditutup untuk menghilangkan kecurigaan dan fitnah.
Kami sama-sama tersenyum; setengah tertawa. Lantas sambil belai untuk meredakan birahi yang sempat menghampiri.
Tak lama berselang ia menumpangkan satu kakinya di atas perutku. Setengah memeluk. Bibir kami kembali beradu, kali ini lembut dan syahdu.
“Ayo cerita.” bisiknya.
“Cerita apa?”
“Rumah.”
Kuceritakan proses pembangunan rumah itu, yang sampai sekarang aku belum tahu progresnya sudah sampai mana. Semuanya berawal dari obrolanku dengan Pak RT sehabis joging pagi bahwa ia akan pindah ke kota sebelah. Pak RT memintaku mencarikan pembeli, tapi pagi itu juga aku memutuskan untuk mengambilnya.
Setelah harga disepakati dan proses jual-beli rampung, aku meminta Enzo dan korporasinya untuk merancang dan membangun ulang.
“Untuk interiornya nanti kamu yang mengatur bersama Enzo.” ujarku.
“Iyah?”
“Hmmm..”
Kecupan-kecupan tipis ia hadiahkan.
Kami tak ada bosannya saling mengecup, selalu betah saling mendekap. Kami terus bermesra sambil berbagi ide-ide tentang design interior rumah masa depan yang akan kami berdua tempati.
“Yank, seandainya aku benar-benar meninggalkan kamu gimana? Kok nekad membangun rumah?” godanya sambil memainkan kancing bajuku.
“Buktinya kan nggak.”
“Iiiih.. seandainya sayaaaang!” Rere gemas.
“Aku tetap yakin pada janji kita di saung ketika pertama kali kita jadian.” ujarku.
Rere membalas ucapanku dengan lumatan. Aku membalas sambil mulai nakal mengusapi pahanya yang halus. Aku tidak khawatir dilihat orang karena tertutup selimut.
“Mmmh.. yaaank…” rajuknya manja. Ia kegelian tetapi tidak menolak sama sekali.
“Jadi gak sabar hehehe..” ia terkekeh dengan wajah bersemu merah.
“Nanti aku akan bilang ke ayah dan mamah..” aku menghentikan ucapanku sehingga Rere mendongak, kami saling tatap. “Supaya kita bertunangan pada malam midodareni kakak. Jadi pestanya biar sekalian.”
“Iiih sayang geer.” pekik Rere. “Aku kan gak sabar lihat rumahnya bukan itu…!!”
Wajah Rere semakin memerah. Jelas ia berbohong.
“Yakin?” sambil meremas gemas pahanya.
“Hihi.. yank.. yank.. gelii iih..”
“Jawab dulu!”
“Hihi iya.. iya.. aku mau.. aku gak sabar kita menikah.” usai berkata begitu ia menyembunyikan wajah di atas dadaku.
“Jadi gak sabar menikah atau gak sabar lihat rumah?”
“dua-duanya.. udah ah.. aku malu…”
“Nanti di sana kita bikin anak yang banyak.” ujarku.
“Idih.. emangnya luwak.” jawabnya disambung tawa renyah.
“Eh nggak dink. Luwak mah gak bikin anak banyak, tapi bisa bikin orang nompol. Hahaha…”
“Yank!!” Kali ini aku yang gemas sekaligus malu. Rere sedang menyindirku.
Jadilah aku dan kekasihku saling bergulung di atas kasur. Saling ledek, saling goda, saling gelitik, dan sudah tentu dibumbui sentuhan-sentuhan nakal pada wilayah sensitif.
“Udah ah capek.”
“Siapa juga yang memulai?”
“Kamu! Hehee..”
Kutarik selimut. Rere memindahkan tanganku pada payudaranya, tangannya sendiri menyusup ke dalam kemejaku dan mengusapi kulit perutku. Kami saling memberi rasa nikmat dalam diam, lantas sama-sama terlelap sambil saling dekap.
“………”
Aku terjaga ketika ada yang mengusapi rambutku.
“Mmmh.. Mah..” aku menggeliat.
“Ayo pada bangun. Kita makan.”
Tubuhku masih tertutup selimut sehingga masih bisa mengeluarkan tanganku dari balik kaos Rere tanpa mamah tahu.
Kekasihku juga membuka mata. Bukannya bangun, ia malah memelukku semakin erat.
“Kalian ini… ayo pada bangun.” mamah gemas.
“Hmmm…” kami serempak bergumam.
“Lagian belum halal udah pada tidur bareng.” mamah lagi.
“Ehem…” ada deheman lain dari arah pintu kamar.
Kali ini aku dan Rere benar-benar bangun dan duduk di atas kasur. Mamah tiba-tiba diam tersipu entah karena apa.
“Gak inget dulu?” oma mendekat dan duduk di tepian ranjang.
“Ibu..!” mamahku melotot pada oma.
“Emang mamah dulu kenapa, Oma?” aku heran.
“Nggak.. gak ada apa-apa.” mamah sigap menyahut.
Oma malah tertawa. Tanpa peduli pada mamah, ia membelai rambut aku dan Rere dengan penuh kasih sayang. Seperti menyembunyikan sesuatu, mamah langsung menurunkan selimut dan menjewer aku dan Rere supaya turun dari tempat tidur. Kami berdua pura-pura kesakitan dan meminta pertolongan oma.
Kami baru mengakhiri keseruan dan benar-benar ke luar kamar ketika sang jendral kebetulan melewati kamar. Rombongan yang berangkat ke Sawer rupanya sudah kembali.
Rere memberi hormat pada papahnya, tetapi langsung disusul pelukan manja pada sang ayah. Yaah.. Rere adalah anak tunggal dari seorang abdi negara. Tentu saja ia manja, tetapi juga mewarisi sikap keras dan disiplin sang perwira.
Kebersamaan tiga hari di Ewer pun kami akhiri dengan makan siang bersama. Setelahnya satu per satu keluarga mulai pamit untuk pulang ke Bandung. Rere memutuskan untuk pulang dengan papah dan mamahnya, biar bagaimana pun perpisahan mereka cukup lama. Ketiganya masih saling kangen dan ingin melanjutkan berbagi cerita yang tertunda.
“Dah.. love you.”
“Love you too.”
Peluk dan cium perpisahan saling kami berikan. Kusalami pula papah dan mamahnya. Tante Nur menciumi kening dan kedua pipiku.
Tiga mobil meninggalkan halaman beriringan. Satu mobil milik keluarga Rere yang disopiri oleh sopir pribadi mereka, satu mobil keluarga Oma Ratih, dan yang terakhir mobil Kang Garpit yang membawa kedua orangtuanya.
“Kenapa lo?” kusenggol Rana yang sedang menatap kosong ke arah menghilangnya kendaraan.
“Apaan sih?” judesnya kumat.
Aku menatapnya dekat sambil mengerling. Untuk pertama kalinya aku melihat Rana salah tingkah. Kedua pipinya memerah.
“Rese lu!!” ketusnya sebelum aku lanjut menggodanya.
“Eh.. lu harus sopan ama panglima yang baru pulang dari pertempuran di kerajaan Anta.” aku pura-pura galak.
Gelak tawa langsung terdengar. Tetapi tidak dengan Rana, ia meloncat dan mengapit leherku dengan tangan kananya. Tangan kiri mencubitiku.
“Haisssh.. ampun.. ampun, Na.”
“Katanya panglima.. Tapi baru segini saja udah minta ampun!”
“Kamu lebih galak dan serem dari siluman Anta.”
“Sudah-sudah ayo masuk semua.” ayah memanggil kami semua. Sisanya Rana nemplok di atas gendonganku sampai ambang pintu.
Kini yang tersisa benar-benar keluarga inti. Oma Ewer, Opa Ardan dan Oma Alya di kelilingi oleh anak cucunya. Ayah dan mamah beserta kami bertiga; Om Fajar dan Tante Maya bersama Rana; dan Om Arya dan Tante Rinjani bersama Inka. Tambahannya adalah Kak Rega yang selalu ditempel manja oleh kakak.
Ayah memandang kami satu per satu dengan tatapan bangga. Sorot matanya teduh. Senyum tipisnya terulas. Rasa bangga dan bahagia pun ia sampaikan.
“Tadi kami sudah mengadakan rapat keluarga…” tutur ayah dengan suara tenang. Hal yang mengejutkan ia sampaikan. Rupanya Oma Alya sudah mewariskan asset perusahaan dan segala kekayaan kepada mamah dan Tante Maya, Om Ardan juga mendapat bagian. Tetapi itu hanyalah hitam di atas putih. Kami para cucu harus menjadi penerus yang tetap menjaga dan melestarikan.
Asset perusahaan sudah oma bagi dengan presentasi tertentu. Rumah yang selama ini kami tempati sejatinya adalah menjadi hak Tante Maya, tetapi mereka telah sepakat kalau itu akan menjadi warisan bagi garis keturunan dari mamah. Sebagai gantinya Tante Maya berhak atas villa dan tanah yang selama ini ditempati oleh Oma Alya dan Opa Ardan.
Aku dan kakak saling tatap penuh arti. Nafas lega sama-sama kami hembuskan. Andai saja rumah diambil Tante Maya dan kedua orangtua kami harus pindah tempat tinggal, sudah tentu buyarlah semua rencana.
Ayah hanya menyinggung harta kekayaan yang diwariskan oleh Oma Alya, tanpa menyinggung sedikit pun tentang harta kekayaan yang berasal dari hasil kerja kerasnya mengembangkan usaha kopi, juga tidak menyinggung harta kekayaan dari pihak Opa Ardan. Itu tidak ada kaitannya dengan harta kekayaan yang diwariskan oleh oma.
Kami para cucu saling diam, sekali-kali saling lirik. Di balik rasa haru, tersembunyi rasa sedih. Oma sudah mempersiapkan semuanya dengan sangat jelas dan terperinci seolah-olah tidak ingin ada beban ketika harus kembali kepada sang pencipta, padahal oma sendiri masih sehat walafiat.
“Secara lahir ini adalah warisan, tetapi secara rohani menjadi amanah.” tutur ayah disambut anggukan kami semua. “Maka ayah meminta bantuan kalian semua untuk menjalankan amanah ini.”
“Rei dan Rega kalian harus pindah membantu ayah dan Kekey, juga membantu tante dan om kalian. Kami tidak akan selamanya ada di sana, sedangkan Kekey juga pasti harus berbagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Jadi kalian berdua harus mulai mempersiapkan diri dari sekarang sebelum akhirnya benar-benar menggantikan ayah memimpin perusahaan keluarga kita.”
“Yaah…” aku langsung protes. Sejujurnya aku lebih memilih untuk melanjutkan dan memajukan bisnis ayah di RSP.
“Kamu tidak mau?” tanya ayah.
“Ini amanah oma loh.” celetuk Tante Maya.
“Kamu tega ama kakak?” Kak Kekey tidak mau kalah.
“Euh.. itu.. nng.. nggak…” aku tak punya jawaban.
Kutatap Oma Alya untuk meminta dukungan. Ia tertawa kecil, tangannya terulur membetot hidungku.
“Jadi?” ayah menatapku.
“Iya, Yah, aku ikut aja apa kata ayah.” aku menjawab lemas.
“Ayah udah ah..” seru mamah. Tiba-tiba ia setengah memelukku dan mengusapi puhu lenganku.
“Payah…” ledek Tante Maya.
Aku bingung sendiri. Sementara para orangtua kami tertawa kecil.
“Jadi kamu mau pindah kerja dan mengurus perusahaan kita?” ayah masih terlihat serius
“Iya, Yah.” kali ini jawabanku lebih keras.
“Bagus kalau begitu. Karena kamu sudah menyatakan kesanggupanmu, maka ayah memutuskan kamu tetap di RSP, sedangkan kakakmu Rega pindah dari FaF ke kantor kita.” tegas ayah.
“Hah? Seriusan, Yah?” aku melonjak girang.
“Ayah yang baik tahu yang terbaik bagi anaknya.” Suwir Jagad menjawab bangga.
“Mantaaap.” kuacungkan kedua jempol kepada ayah disambut gelak tawa keluargaku.
“Jadi aku adalah anak terbaik ayah, kan?” sambungku setengah menggoda.
“Eh…” ayah bingung sendiri.
“Ayah..!!” kak Kekey cemberut.
“Ayah.. ayo jawab.” si ceriwis Nzi tak mau ketinggalan.
Aku senang karena bisa mengerjai ayah, sedangkan mamah mengulum senyum melihat tingkah usilku.
“Eh.. tadi ayah kan bilang ‘yang terbaik’ bagi anaknya. Nggak bilang kalau kamu adalah ‘anak yang terbaik’… Jadi semua anak ayah, termasuk Rana dan Inka adalah yang terbaik.” ayah menemukan jawaban dan lolos dari jeratan.
“Yeeee… para gadis kegirangan.”
“Tapi kalian tadi mendengarkan apa yang ayah bilang.. ‘ayah yang baik’… Jadi ayah memang baik dan bahkan yang terbaik.” ayah melanjutkan.
“Ayaah…!!” mamah melotot kesal.
“kakak curang…” Tante Maya ngomel.
“Iiih ayaah…” Nzi memekik.
Dan entah siapa lagi…
“Kalau itu sih kayaknya nggak ya. Setuju kan, kak? Dek? Inka dan Rana?” aku masih ingin ‘melawan’ ayah.
“Hmm.. nggak setuju. Ayah yang terbaik.” Nzi tiba-tiba merubah raut muka.
“Setuju.” sahut kakak.
“Iyess.” Inka dan Rana berbarengan.
“Jadi ayah bukan yang terbaik, sayang?” Om Fajar menatap Rana.
“Jadi gitu, ya Ka?” Om Arya tidak mau kalah menatap putrinya.
Jadilah… suasana serius berubah menjadi keriuhan karena keusilan pertanyaanku. Nzi menghambur memeluk lengan ayah, Inka menyenderkan kepala pada bahu sang ayah, dan Rana mencium pipi papahnya.
Para oma dan ibu tertawa melihat tingkah manja cucu-cucunya pada ayah masing-masing. Oma Alya malah tertawa sambil berderai air mata.
“Berarti opa yang paling beruntung.” celetuk Opa Ardan.
“Kenapa?” Oma Alya melirik.
“Karena opa pasti adalah opa yang terbaik. Hehehe…”
Tawa kami semakin keras. Untung opa tidak bertanya siapa oma yang terbaik, karena pastinya suasana akan semakin rusuh.
Setelah semua canda-tawa reda. Ayah pun melanjutkan pembicaraan seriusnya. Keputusannya, ayah dan Tante Maya sebagai komisaris utama akan dibantu oleh Kak Kekey dan Kak Rega sebagai direktur di sana. Tante Maya bersama Om Fajar sekaligus menjadi direktur kantor cabang di ibu kota. Aku dan Inka mengurusi RSP dan segala anak perusahaannya. Rana dan Nzi masih ‘merdeka’ karena keduanya belum lulus kuliah.
Sisa sore kami isi dengan santai karena kami baru akan kembali ke Bandung esok hari.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar