Cincin dari masa lalu part 9

 

BAB 9


PERJAKA UNTUK…






Sudah beberapa hari ini tak ada lagi kopi yang menyambut pagiku. Jangankan membuatkan kopi, menemuiku pun Nur tidak mau. Seperti pagi ini, bukannya wajah manis dan secangkir kopi yang menyambut pagiku, tapi malah wajah lecek Rad.




“Bangun, Wa. Kamu gak ada kuliah?” tanyanya sambil mencari sesuatu di dalam lemari kamarku.


"Hoaaam... hari ini kosong. Katanya dosennya baru, dan baru masuk minggu depan. Fresh graduated gitu katanya.” jawabku sambil menurunkan selimut.


“Emang hari ini cuma satu kuliah?”


“Hmm.. tiga SKS. Kamu nyari apaan sih?” tanyaku lagi.


“Punya kopi, gak?”


“Hadeuuw.. kagak ada. Beli gih.. dua sekalian.”


“Kampret!”




Aku bangkit dari kasur dan menggulung selimut begitu saja di atas kasur.




“Yank, kamu di sini rupanya. Nih ngopi dulu.” aku dan Rad serempak melihat ke arah datangnya suara. Lia sedang berdiri di ambang pintu kamarku.




Huuufff. Aku langsung berdiri dan bergegas menyambutnya. “Pagi, Li. Kebetulan banget nih. Makasih yaaa.”




“Eh.. eh.. Sirna!!! Ini buat Rad.” Lia mulai menghindar, tapi ia mengalah daripada isi gelas tertumpah.




Kuseruput kopi buatan Lia. Tak kupedulikan pelotot marahnya, sementara Rad hanya ngedumel sambil merebut cangkir dari tanganku. Tanpa memedulikan keduanya, aku menyatut sebatang rokok dan menghisapnya. Pun pula Rad. Jadilah kami merokok sambil berbagi kopi. Sedangkan gadis manis ini, meskipun ngedumel, ia tidak kehilangan sifat aslinya. Ia membereskan tempat tidurku, lalu duduk di tepian kasur sambil mengamati tingkah kami.




Kami pun ngobrol bertiga, hari ini Rad kuliah siang, sedangkan Lia tidak ada kuliah. Jadi kami masih punya waktu banyak untuk menikmati kebersamaan seperti ini. Meskipun kami bersahabat dan tinggal satu kostan, tapi kesibukan di kampus membuat kami jarang ngobrol bersama. Waktu kosong kami sering tidak bersamaan.




Mereka sudah tahu hubunganku dengan Maya, pun pula sikap Nur yang mulai menghindariku. Sebagai sahabat, Rad dan Lia hanya menasihatiku supaya bersikap jantan dan menyelesaikan persoalan secara baik-baik. Memilih Maya, berarti membuat Nur terluka, tetapi aku harus bisa memulihkan dan memelihara persahabatan dengan Nur. Tinggal satu halaman, dan kuliah satu kampus, tanpa saling bertegur sapa bukanlah hal yang mudah. Maka memulihkan relasi adalah satu-satunya cara yang paling mungkin. Sulit pasti, susah sudah barang tentu, tapi kalau tidak dicoba, masalah takkan pernah bisa diselesaikan. “Kalaupun toh tak terselesaikan, setidaknya sudah dicoba,” begitu kata Lia tempo hari.




“Kalian mandi dulu gih. Yank, aku ikut ke kampus ya. Mau ngerjain tugas di perpus aja.” Lia mengakhiri kebersamaan.




Kami pun beranjak. Rad mencium pipi Lia sebelum ia turun menuju kamarnya. Sementara aku menenteng handuk menuju kamar mandi.




Jam sepuluh Rad keluar dari kamarnya untuk berangkat ke kampus, sementara aku asyik membaca buku “Pengantar Bisnis” yang menjadi buku wajib mata kuliah itu. Maklum mahasiswa baru, jadi tabungan rajinnya masih banyak.




“Eheeem.. rajinnya.” sebuah suara yang sangat kukenal mengagetkanku.




Kutengok ke arah pintu yang tertutup setengah. Aku cukup terkejut melihatnya. Ia ada di sini.




“Sayang? Kok gak kuliah?”


“Kangen!” wajahnya dibuat lucu sambil masuk dan menutup pintu dengan rapat.




Aku berdiri dan menyambutnya, kami saling memeluk dengan erat. “Tapi gak harus bolos juga, donk yank.” ucapku sambil mengusapi rambutnya.




“Nggak kok.. tadi aku ke kampus, tapi dosennya hanya ngasih tugas karena ada rapat akreditasi. Terus aku ke sini deh.”


“Dasar.” ucapku sambil merenggangkan pelukan.




Kurapikan helai rambut yang menutupi dahinya lalu kukecup lembut. “Lalu tugasnya gak dikerjain?” kali ini aku bertanya sambil menyangga dagunya dengan jemariku, sementara ibu jari dipakai untuk mengelus tepi bibirnya.




“Dikumpul minggu depan kook. Jadi aku kosong, nanti ada kelas lagi jam dua.”


“Iiiih.. kok nanya-nanya kuliah terus. Aku kangeeen.” gadisku berubah manja.


“Iyaaah.. aku juga kangen. Padahal semalam bobo bareng.” jawabku sambil kembali memeluknya.




Tidur bareng yang kumaksud adalah telponan sampai kami tertidur. Lumayan pake paketan malam yang murah.




Cuuuup!!




Maya mengecup bibirku lembut.




“Kamarmu bau rokok.” ucapnya sambil melepaskan pelukan.




Ia melangkah membuka jendela, sementara aku duduk di atas kasur sambil membuka tas Maya. Yang kucari pun kutemukan, sebuah tupperware berisi roti.




“Iiih.. itu jatah makan siangku.” kekasihku pura-pura merengut.


“Aku belum sarapan.” jawabku cuek.


“Kamu tuh yaaah.. kalo pagi diusahain sarapanlah.” gerutunya.




Sementara aku makan roti, Maya membaringkan dirinya di atas kasur dengan menjadikan pahaku sebagai bantalan kepalanya. Sesekali kusuapi kekasihku.




Sebetulnya aku lebih suka ubi rebus daripada roti tawar yang diolesi coklat seperti ini, tapi tetap saja terasa nikmat saat makan ditemani oleh orang tersayang dalam pangkuan. Tak hentinya kami saling pandang dan berbagi senyuman. Kuteguk air mineral dari botol minum yang ia sodorkan. Maya membersihkan bibirku dengan tissue, setelahnya ia berikan untuk kupakai membersihkan tangan.




“Yank, kok pake rok sih?” tanyaku sambil melirik paha dan betisnya yang putih indah.


“Kenapa emang?” ia mengerling nakal.


“Nanti banyak cowok yang tergoda.” jawabku sambil menyentuh dan mengusap pelipisnya.


“Biarin..!! Biar kamu ngejaga aku terus.”




Dengan gemas kupencet hidungnya membuat kekasih meringis lucu. Sebuah cubitan kecil mendarat di perutku. Indah kurasakan..




“Bobo.” manjanya.




Aku pun membaringkan diri, sementara Maya memosisikan diri untuk memelukku. Kepalanya berbaring pada dadaku, kaki kanannya sejajar dengan kedua kakiku, sedangkan kaki kirinya menekuk di atas pahaku.




Sejenak kami saling diam menikmati saat-saat indah kebersamaan. Getar-getar cinta semakin mekar di dalam hatiku, sayang ini semakin besar, dan itu kukabarkan melalui debar jantung yang menyatu dalam pelukan ini.




“Yank.” panggilanku membuat gadisku mengangkat kepalanya.




Sorot mata kami beradu sendu.




“Makasih.” ucapku sambil mengusap kedua pipinya.


“Untuk?” tanyanya setengah berbisik.


“Karena kamu ada, dan aku bisa menemukanmu.”




Maya menjawab ucapanku dengan merunduk lalu mengecup kedua bibirku. “Aku sayang kamu,” bisiknya saat bibir kami terpisah. Segera kutarik kepalanya, dan bibir kami kembali beradu. Kali ini bukan hanya mengecup, tapi juga mengulum dan melumat, sekali-kali sambil membelitkan lidah, membuat nafas terengah.




Maya sudah sepenuhnya menumpangkan diri di atas tubuhku, sementara ciuman kami semakin dalam.




“Yank.. sayang…” aku sadar akan keadaan.




Gadisku mengangkat wajahnya dengan nafas tersengal. Keningnya mengkerut pertanda heran sekaligus menahan gairah.




“Bajumu nanti kusut.” aku beralasan, padahal aku hanya mencoba menghentikan percumbuan karena takut kebablasan.


“Biarin.” rengut manjanya sambil membelai rambutku.


“Nanti kan masih ada kuliah.” sambil menahan kedua pipinya yang kembali mau menciumku.


“Gak mau kuliah, pengen bareng kamu terus.”


“Hussh.. gak boleh gitu. Kalau kuliahmu berantakan, aku akan merasa bersalah loh.”


“Bentar…”




Tiba-tiba Maya bangkit, membuatku sekilas bisa melihat pelapis selangkangannya yang berwarna putih. Ia membuka lemariku lalu mengambil salah satu kaos yang terlipat di undakan paling atas. Sambil menyentuh kancing kemeja atasnya ia menatapku, “Mau ngintip atau nggak?”




“Mau.” aku menjawab sambil nanar menatapnya, juga dengan jantung berdebar.


“Yaudah..” Maya tak acuh memereteli kancingnya.




Tindakannya tentu saja membuatku salah tingkah, segera aku telungkup dan menyembunyikan wajahku di atas bantal. “Hihi.. katanya mau ngintip.” suaranya terdengar jahil-menggoda.




Bleeef. Terasa ada yang menduduki pinggang belakangku.




Aku membalikkan badan, sementara Maya mengangkat pinggulnya agar aku bisa berbalik dengan mudah. Pakai baju apapun, kekasihku tetaplah cantik dan manis.




“Cocok, gak?”




Ia menunjukkan kaos yang ia kenakan, nampak sedikit kebesaran, meski tak mampu menyembunyikan payudaranya yang membusung.




Kuamati tubuh yang kini sedang menduduki perutku; dan jantungku terkesiap saat melihat kedua pahanya yang terpampang indah. Posisi duduknya yang seperti ini membuat roknya tertarik ke atas.




“Indah.” gumamku sambil terpaku pada pahanya. Ia menekan rok bagian depan sehingga pangkal pahanya tetap tersembunyi.


“Sayaaang.. iiih… ditanya kaos, malah jelalatan ke mana-mana.” Maya merengut.


“Mau pakai baju apapun, kamu tetap cantik, sayang.” gombalku membuat Maya sedikit tersipu. Namanya perempuan, walaupun tahu digombalin, tetap saja senang diperlakukan seperti itu.




Dengan tangan gemetar, aku mencoba menyentuh kedua pahanya, tapi Maya menepis tanganku. Kucoba lagi.. ia tepis juga…




“Mesum!” ledeknya.


“Terus yang kita lakuin bukan mesum?”


“Bukan.”


“Apa donk?”


“Hmmm… ungkapan sayang.”


“Mesum karena sayang, atau sayang lalu mesm?”


“Iiih.. apaan sih?”




Mata indahnya mendelik, sangat menggemaskan kulihat. Kucoba lagi untuk mengelus pahanya, tetapi Maya kembali menepis.




“Kamu mau megang?” Aku mengangguk.


“Bilang dulu.”


“Bilang apa?


“Hayooo!!”


“Maya, aku sayang kamu.”




Maya langsung merebahkan dirinya dan melumat bibirku. Tanganku sudah menyentuh kedua pahanya meski tak bisa kulihat lagi karena sibuk melayani cumbuannya. Terlalu indah ciuman ini, terlalu halus sentuhan ini. Tubuhnya semakin gelisah, sementara badanku terasa panas karena gairah.




“Mmmh.. yank.” lenguhnya saat ia menggelepar sambil mengambil nafas.


“Yank, aku basah.” wajahnya merah padam menahan malu. Ia selalu jujur di hadapanku.


“Aku juga tegang.” jawabku sambil memindahkan tanganku pada pinggulnya.




Kudorong ke bawah sehingga kemaluan kami saling menempel. Tubuh kami sama-sama menggelinjang.




“Mau sekarang?” ia bertanya antara malu dan birahi, tapi kutangkap juga sorot bimbang.


“Kamu siap?”




Ia menatapku meminta keyakinan, lalu mengangguk malu. Namun demikian, aku menangkap keraguan pada sinar matanya. Aku pun memberikan senyuman sambil menarik kepalanya dan mencium keningnya.




“Belum saatnya, sayang. Kita tak boleh lebih.” bisikku.


“Kenapa?”


“Karena aku sayang kamu.”


“Makasih.”




Gadisku berkaca-kaca sambil membelai rambutku.




“Aku juga sayang kamu. Sangat!!” ucapnya lembut namun terdengar tulus dan penuh keyakinan. Ia melanjutkan, “Aku hanya ngetes kamu, ternyata kamu tahan, malah aku yang nggak. Hihi…”


“Kalau ternyata aku gak tahan?”


“Ya aku nurut, kan sayang.”


“Yeee.. itu mah bukan ngetes namanya.”




Ciuman kecil pun ia berikan pada pipiku. Selalu begitu ketika ia kehabisan kata. Aaaah... Terasa indah kemesraan ini. Kami saling bercumbu di sela-sela obrolan ringan kami; juga saling menggoda. Saling membelai dan menyentuh. Kalau lagi gemas… maka lumatan panjang yang kami lakukan.




“Yank, ada yang mau kubicarakan.” bisikku lembut.


“Apah?” bola mata beningnya menatapku.


“Tapi jangan marah ya.” jawabku. “Aku hanya mau kita saling terbuka.”


“Katakanlah..”




Kudorong lembut tubuhnya yang sedang menindihku, sehingga kami tidur miring berhadapan. Satu pahanya tetap ia tumpangkan pada pinggangku.




“Tentang Nur.” kataku dengan sedikit ragu.


“Mala maksudmu?”


“Iyah.. Namanya kan Nurmala.”


“Kenapa?”




Kuceritakan kedekatanku dengan Nur selama ini, mulai dari awal perkenalan kami hingga minggu-minggu pertama kedatanganku ke kostan ini. Kuceritakan juga alasan aku tidak jadi menjenguk Maya kala itu karena menemani Nur ke alun-alun Cimahi dan membeli kopi ke Bandung.




“Dia kayaknya gak suka kita dekat. Udah beberapa hari ini selalu menghindar dariku.” aku mengakhiri cerita sambil menatap wajahnya.




Raut wajahnya berubah, sinar matanya menyembunyikan rasa cemburu. Senyumnya juga sedikit memudar.




“Lalu?” katanya dengan sedikit judes.


“Ya.. aku ingin kamu tahu aja tentang kedekatanku dengan Nur. Aku gak mau kamu mendengar pertemanan kami dari orang lain, lalu malah menimbulkan salah paham.” kataku.




Maya melepaskan pelukkannya lalu membalikkan badannya sambil menatap langit-langit kamar.




“Aku akan mencari waktu untuk mengajaknya berbicara dan berusaha memulihkan persahabatan kami. Aku juga akan mencari tahu tentang perasaannya padaku, tapi bukan untuk jadian, tapi supaya ke depannya saling bisa menjaga diri. Karena…”


“Karena apa?” ia masih belum mau melirikku.


“Karena aku sayang kamu, aku sudah memilikimu, tapi aku juga tidak mau kehilangan persahabatan.” aku menjelaskan.


“…”




Suasana menjadi hening dan kaku seketika. Aku sibuk dengan jalan pikiranku sendiri, sementara isi hati Maya aku masih menunggu jawabnya.




Aku menoleh saat Maya kembali memiringkan badannya. Kulihat air matanya berlinang dan mengalir di atas pipinya.




“Sayang.. kok nangis?” aku sedikit kaget.




Kuusapi air matanya dengan lembut; dan ia tidak menolak.




“Aku.. aku bahagia.. hiks hiks…” Maya tak mampu melanjutkan ucapannya.




Ia langsung memelukku erat, terlampau erat seakan takut kehilanganku. Seakan aku hanya menjadi miliknya.




“Kamu gak marah, yank?” tanyaku sambil mengeratkan pelukan.


“Nggak hiks.. kamu jujur itu sudah cukup bagiku. Dan aku.. aku.. hiks.. bahagia karena itu berarti kamu betul-betul menyayangiku.” ia menjawab di sela isaknya.




Ada rasa lega sekaligus haru saat mendengar jawabannya. Lega karena Maya tidak marah, sekaligus haru menyadari akan keluasan hatinya.




“Makasih.” hanya itu yang bisa kukatakan. Perasaanku diselimuti rasa haru.


“Aku akan membantumu, yank.” katanya sambil mengangkat kepala. Kembali kuusap air matanya dengan lembut sambil menunggu ia melanjutkan ucapannya.


“Sahabatmu adalah sahabatku, juga sebaliknya, aku akan memberi waktu pada kamu dan Nur untuk menyelesaikan urusan kalian berdua, lalu atas seijinmu aku akan mendekati Mala, aku akan bersikap baik padanya.. semoga ia mau menerimaku dan berteman denganku.” ucapannya terdengar begitu tulus.




Kini aku seakan tiba-tiba rapuh di hadapannya. Air mataku berlinang mendengar semua ucapannya.




“Iiih.. kalau kamu cengeng, lalu siapa yang akan menghibur aku?” ucapnya. Manja dan jailnya muncul kembali.




Bukan menjawab, tapi segera kupeluk kekasihku dengan erat. Sebuah doa pun kuucapkan dalam hati, agar gadis ini adalah sungguh-sungguh anugerah semesta yang akan menjadi pendamping hidupku.




“Aku percaya ke kamu. Kamu selesaikan baik-baik, wanita itu perasa, jangan jadikan usahamu mendekati Mala malah membuatnya semakin terluka.” kata-katanya mengalun merdu.




Maya mengangkat wajahnya dan kami saling berpandangan. Saling mengalirkan rasa sayang, saling memberikan peneguhan dan kekuatan. Dan… bibir kami pun saling menyambut, saling mengecup, saling mengulum.




Kali ini hanya rasa sayang yang kumiliki, mencumbunya dengan syahdu tanpa berbalut nafsu. Terasa manis saat ia mengulum bibir bawahku, dan perasaanku melayang ketika kubalas mengulum bibir atasnya. Kami lakukan dengan lembut, lalu bertukar kuluman bibir. Kata-kata cinta dan sayang terasa sudah tidak berarti lagi, karena desiran perasaan yang kami bagikan lebih dari sekedar itu.




Ia mengangkat wajahnya tapi kususul agar bibir ini tidak terlepas, kulum dan kecup pun berlanjut. Aku mencoba berpaling agar ciuman kami terlepas, tapi ia yang enggan berpisah. Jadinya ciuman kami tak pernah terlepas.




Adalah getaran smartphone Maya yang membuat kami saling melepaskan diri. Kami saling memandang sejenak, dan ia mengecup bibirku sekali lagi sebelum beranjak meraih tasnya.




“Yihaaaa!!” serunya.




Sebelum aku bertanya, Maya menunjukkan pesan WA dari grup teman-teman sekelasnya.




Guys.. kuliah jam dua ditiadakan, karena dosennya sakit.




Aku turut senang membacanya. Kami merayakan “kebebasan” Maya dan teman-temannya, meski itu dilakukan atas penderitaan sang dosen. Ekspresi lucu Maya membuatku semakin gemas. Aku yakin yang membuat ia senang bukan pertama-tama karena tidak ada kuliah, melainkan karena waktu bersamaku bisa lebih panjang.




Maya kembali membaringkan diri dengan sumringah, kusambut tubuhnya dan kukecup keningnya. Tubuh kami kembali berpelukan.




Pikiranku sedikit melayang ke masa lalu. Sejenak aku menimbang, mungkin lebih baik aku mengatakannya sekarang, sebelum rasa sayang ini semakin besar dan akan membuat kekasihku terluka teramat dalam. Ada dua kemungkin ketika kita menghadapi seseorang yang sangat kita sayang: jujur mengatakan atau diam menyembunyikan.




“Yank, ada satu lagi yang mau kusampaikan.” ucapku lembut.


“Seneng atau sedih?”


“Dua-duanya.”


“Hmmm..” gumamnya, lalu berkata, “Aku masih seneng bisa seperti ini. Nanti aja ceritanya, pengen bobo bareng kamu.”




Aku menyembunyikan senyum kecut dan sedikit kegelisahan saat mendengar ucapannya. Kulayani sikap manjanya, dekapan erat pun kuberikan. Tak bosannya aku membelai rambut kekasihku. Aku bahagia dan bangga, kagum dan penuh sayang, sekaligus hati ini mulai memuja. Di balik itu, ada rasa takut… takut kehilangan untuk kedua kalinya. Kutarik selimut untuk menutupi bagian bawah kami, sekaligus menutupi pahanya yang sangat indah. Aku tidak ingin tergoda lebih jauh.




Kugeser posisiku sambil berusaha meletakkan kepalanya di atas bantal, tapi ia menolak. Tubuhnya dipertahankan rapat, dengan kepala menumpang di dadaku.




“Love you. bisikku sambil mencium kepalanya.


“Love you too.”


“Katanya mau bobo?”


“…”




Nafasnya mulai terdengar halus, dan pelukan tangannya mulai mengendur. Aku ikut memejamkan mata, dan memasuki alam mimpi sambil tersenyum.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar