Cincin dari masa lalu part 5

 

BAB 5

NUR

Menyadari bahwa aku memiliki janji di waktu yang sama dengan orang yang berbeda, aku hanya bisa merenung sambil kembali menyulut sebatang rokok. Baru dua hari aku berada di tanah rantau, sudah ada kerikil kecil yang membuatku bingung. Ini bukan tentang aku, tapi tentang perasaan Nur dan Maya. Kalau aku memilih salah satu di antara mereka, lalu bagaimana perasaan yang lain.

Maya? Cantik.. ngangenin… baik… mirip almarhum… sikapnya aneh… tapi kelas kami berbeda. Latar belakang keluarga dan keadaan ekonomi kami bagaikan basement paling dasar dan lantai 27 apartemen. Nur? Cantik.. baik… gemesin… sikapnya juga aneh… tipe gadis desa yang sederhana dan perhatian. Tapi.. aku tidak punya rasa.

“Arrrrghhh…!” aku sedikit mengerang sambil mematikan 7 rokok.

Kuurungkan niat untuk menelpon Maya, lalu kuambil kertas dan membuat coretan di atasnya. Kubuat penilaian tentang Nur dan Maya dengan nilai terendah satu bintang, dan nilai tertinggi lima bintang. Temanku pernah mengajariku tentang cara ini. Eh.. kutuliskan juga nama kekasihku sebagai pembanding.

Nur - Maya - Almarhum 

Kecantikan 

Sifat 

Perhatian 

Daya tarik 

Daya kangen 

Penampilan 

Keuangan 

Peluang jadi pacar

Gaul 

Kesetiaan 

Possesif

Virginitas 

Gairah di ranjang 

Restu ibuku

Restu orangtuanya 

Keputuskan untuk mencoret dua point terakhir karena kupikir tidak relevan. Maka nampaklah bahwa nilai Maya lebih tinggi daripada Nur. Jelas secara selera, Maya adalah tipe gadis idaman, apalagi kedekatanku bersamanya bisa menciptakan rasa nyaman. Semalam pun aku sudah merindukan untuk kembali bersua dengannya. Tapi siapa aku? Anak kampung yang hanya punya modal kemauan. Tampang seadanya, kekayaan tidak ada. Aku harus tahu diri.

Nur? Adalah gadis yang paling realistis untuk kudapatkan. Kami sama-sama anak petani, lahir dan besar di desa, terbiasa dengan hidup sederhana, dan keadaan ekonomi kami tidak terlalu jomplang.

Aku terus menimbang plus dan minusnya. Rambutku sudah acak-acakan karena berulang kali kuremas dan kugaruk tanpa gatal.

“Kuprettt!!” ucapku mengutuki diri.

Kenapa juga aku harus pusing? Tujuan utamaku datang ke Cimahi ini adalah untuk kuliah, bukan mencari pasangan; kalau pun aku kemudian bisa menemukan jodoh di kota ini, itu mah hanya bonus. Lagipula kalau aku pacaran, palingan hanya pelampiasan untuk melupakan almarhum, bukan karena benar-benar mencintainya. Jika itu kulakukan, maka aku bukan hanya menyakiti gadis itu, tetapi juga mengecewakan kekasihku di alam sana.

Aku dan Nur, juga dengan Maya, bukan siapa-siapa. Betapa naifnya pemikiranku yang begitu kegeeran di hari kedua kedatanganku di kota ini. Eh.. tapi kok aku kangen Maya, ya. Sial!! Kutepuk pipiku sendiri agar sadar diri dan kembali pada pemikiran rasionalku.




Kuremas kertas yang berisi tulisan tidak karuanku, lalu membuangnya ke tempat sampah di pojokan. Kulangkahkan kakiku menuju lantai bawah. Kuputuskan untuk mengajak Nur jalan sekarang, lalu sore harinya bisa menjenguk Maya. Kalaupun Nur memutuskan tetap jalan sore, toh aku tidak punya janji apapun dengan Maya, jadi aku akan tetap menemani Nur. Lia yang mengajakku menjenguknya, bukan Maya yang meminta.




“Punten.” salamku sambil melongok melalui pintu rumah yang terbuka.


“Mangga.” sebuah suara menjawab.




Pemilik suara pun muncul dari arah dapur.




“Napa, Wa?” tanyanya dengan wajah sumringah.


“Lagi sibuk gak, Nur? Kita ke alun-alun sekarang yuks.” ucapku tanpa basa-basi.


“Nggak sih. Tapi kalo sekarang mah panas atuh.” jawabnya.


“Halaaah.. biasa juga panas-panasan di sawah. Bisa gak?”


“Yaudah hayo aja. Emangnya sore kamu mau ke mana?”


“Aku diajak Rad pergi.”




Nur mengamatiku dengan pandangan penuh selidik. “Bareng Lia juga.” tambahku.




“Kalo gitu gak jadi deh.” tiba-tiba Nur berubah pikiran.


“Kok? Tadi katanya bisa sekarang?”


“Kalo pergi ama Rad dan Lia pasti kamu mau menjenguk gadis yang kemarin.”


“Kok tahu?”


“Tuh kan bener…!! Kita pergi sore aja.”




Sial!! Aku salah ngomong. Sementara wajah riang Nur berubah jadi cemberut.




“Yaudah deh. Kita pergi nanti sore.” Jawabku lemah. Lanjutku, “Aku balik ke kamar dulu ya. Sampai nanti, Nur.”


“Eh bentar, Wa.” Nur menyahut, lalu ia langsung masuk ke dalam rumah tanpa menunggu jawabanku.




Aku hanya mematung bingung. Tapi mataku menyapu isi rumah siapa tahu aku dapat bonus pemandangan indah lagi seperti tadi pagi. Tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran Bu Ratih.




Tak lama kemudian Nur kembali muncul sambil menenteng dompet dan hapenya.




“Yuks!” ucapnya sambil menutup pintu.


“Ke mana?” dengan tampang blo’on.


“Katanya kita jalan sekarang. Hayuu.”


“Eh…”




Aku tergopoh menyusul Nur yang melangkah mendahuluiku.




“Gadis yang aneh.” gerutuku.


“Aku denger!”




Daripada jadi masalah, aku memilih diam sambil menjejerinya. Kami berjalan bersisian menyusuri gang. Sekali-kali kumelirik ke arahnya yang seperti sedang menyembunyikan senyum.




Setibanya di pasar, kami berdiri di pinggir jalan untuk naik angkot jurusan Pasar Antri. Tiba-tiba aku sadar bahwa aku tidak membawa dompet, dan hape pun kutinggalkan tergeletak di atas meja.




“Nur, aku balik dulu ke kamar ya. Aku ‘nggak bawa dompet.” ucapku sambil menatapnya.


“Emang kamu mau beli apa?”


“Nggak mau beli apa-apa sih. Tapi kan butuh uang untuk ongkos angkot.”


“Itu angkotnya sudah datang. Pake uangku aja.” jawab Nur.




Aku sebenarnya sudah mau kembali menyebrangi jalan, karena toh kostan kami tidak jauh, tapi urung ketika Nur meraih tanganku. Ia mencengkeram pergelangan tanganku, sementara tangan satu dilambaikan untuk menghentikan angkot. Aku hanya bisa menuruti kemauan Nur tanpa berniat protes.




Kami duduk berhadapan di bagian belakang. Karena posisi kami seperti ini, aku jadi bisa mengamati Nur di hadapanku, sementara ia sedikit menunduk karena memainkan hapenya. Rambutnya yang bergelombang dibiarkan tergerai dan tepiannya nampak bersinar karena terpaan matahari yang menembus dari jendela di belakangnya. Wajahnya tanpa make up, tapi dengan itu justru menampakann kecantikan alaminya. Bibirnya merah tanpa pulasan, nampak basah dan seksi.




Dengan kaos putih yang ia kenakan, ternyata ukuran payudaranya juga proporsional, meski tak bisa dibilang besar. Cetakan tepian behanya nampak menggaris, yang pasti akan tercetak jelas ketika basah. Bagian bawah ia mengenakan rok selutut. Aku jadi menyadari bahwa kedua betisnya sangatlah indah; jenjang dan putih dengan bulu-bulu halus yang memberi kesan seksi.




Sejak kemarin aku disibukkan oleh pikiran tentang Maya sehingga tidak terlalu perhatian pada gadis manis di hadapanku ini. Jika lekat diperhatikan begini, Nur tak kalah cantiknya dengan gadis-gadis kota. Bahkan kecantikannya terlihat lebih murni dan alami karena tanpa pulasan apapun.




Tiba-tiba sorot mata kami bertemu saat ia mendongak. Keningnya mengkerut karena melihat sikapku, tapi itu justru membuatnya semakin manis. Ini bukan pertama kalinya aku melihat dia mengerutkan dahi, dan rupanya itulah yang menjadi kebiasaannya ketika sedang heran.




Kami duduk tanpa saling bercakap, meski sekali-kali kami saling memandang. Tak jarang kami bertatapan cukup lama, lalu sama-sama berpaling. Kalau sudah begitu, pipinya akan kelihatan bersemu merah. Tapi kejadian ini terus berulang.




Naluri kelelakianku muncul. Hadir hasrat untuk menjaga dan melindunginya, meski belum bisa kusimpulkan sebagai sebuah rasa cinta. Yang jelas gadis ini telah membuatku terpesona, dan ada yang tersembunyi di balik penampilannya yang bersahaja.




“May, inikah orang yang kaumaksud?” batinku menyambat almarhumah.




Segera kutepis pikiran itu. Aku sedang bersama Nur, jadi ada baiknya aku melupakan sejenak yang sudah berlalu, meski aku tahu aku tak akan pernah bisa menghapus namanya.




Kami berdua turun di Pasar Antri, lalu menyusuri trotoar sepanjang jalan Gandawijaya. Suasana menjadi lebih cair saat kami melangkah sambil mengobrol ringan. Suasana akrab pun tercipta dengan sendirinya. Entah sengaja atau tidak sekali-kali ia mengamit lenganku, meski tidak berlangsung lama. Tapi itu terus terulang.




Kuberanikan untuk menceritakan kejadian kemarin, ketika Maya jatuh dari tangga dan aku mengantarnya ke rumah sakit. Nur nampak terkejut, tapi sikapnya tidak menunjukkan ketidak-sukaan. Ia malah meminta maaf kalau semalam sudah bersikap jutek, meski ia tidak menjelaskan alasannya.




Karena asiknya ngobrol, tidak terasa kami sudah tiba ke alun-alun kota. Nur mengajakku ke Ramayana yang tak jauh dari alun-alun. Orang kota rupanya tidak sungkan berjalan di tempat umum sambil bergandengan tangan. Hal itu membuatku berani meraih telapak tangan Nur meski dengan hati deg-degan. Ajaib!! Nur tidak menolak, ia malah balik menggenggam tanganku. Jadilah.. kami menaiki eskalator sambil bergandengan tangan.




Sekitar satu jam kami berkeliling. Dengan sabar aku menemaninya mencari barang yang ia butuhkan, kami hanya berpisah ketika ia memasuki counter pakaian dalam. Nur banyak membeli perlengkapan untuk kuliahnya, plus beberapa helai baju, yang juga untuk kuliah.




“Kamu lapar, Wa?” tanya Nur ketika kami meninggalkan kasir.


“Nggak.” jawabku pendek.




Bukan tidak lapar, tapi karena aku tidak bawa uang.




“Yaudah yuks.” kali ini Nur yang berinisiatif menggandeng tanganku.




Aku hanya menurut saja ke mana gadis ini melangkah, karena aku belum tahu banyak tentang kota ini. Tapi aku sedikit menahannya ketika ia memasuki sebuah warung sederhana.




“Nur?”


“Udah.. gak usah gengsi. Kamu lapar, kan?”




Betapa peka gadis ini, sama seperti… ah sudahlah…




Aku duduk di atas bangku panjang, sementara Nur memilih makanan.




“Makasih.” ucapku saat ia menyodorkan sepiring nasi yang sudah ditumpangi sayur, juga goreng tempe dan tahu.


“Apaan sih? Selamat makan, Wa.” jawabnya sambil duduk di sampingku.




Bukan rasa lapar atau lezatnya makanan ini yang membuatku melahap isi piring dengan nikmat, tapi karena orang yang menemaniku. Ada rasa nyaman yang datang begitu saja, ada kebahagiaan yang tak bisa kuucap. Ketika aku menolak tambahan tempe goreng yang ia tawarkan, Nur malah memotong tempenya sendiri dan menaruhnya ke atas piringku. Sesaat aku menatapnya, dan ia tersenyum begitu manis.




Seusai makan, Nur mengajakku ke taman alun-alun. Kami duduk di sebuah bangku yang agak sepi.




“Aku tidak pernah seperti ini, Wa.” ucapnya sambil memindahkan kantong belanjaan ke samping kiri. Kini duduk kami tidak terhalang.


“Maksudmu?” aku bertanya heran.


“Aku bukan tipe orang yang cepat nyaman dengan orang baru. Tapi kamu beda.. aku sendiri tidak tahu kenapa bisa merasa senyaman ini ketika dekat denganmu. Padahal kita baru kenal kemarin.” ia menjelaskan.




Entah harus bangga atau tidak ketika aku mendengar pengakuannya, tapi aku menangkap bahwa ada yang mau Nur ceritakan di balik ucapannya.




“Dulu aku sekolah SMP di sini, ikut Bi Ratih.” melihatku hanya diam, ia mulai bercerita. “Tapi aku memutuskan untuk kembali ke Kalapa Gunung dan tinggal bersama kedua orangtuaku. Aku melanjutkan SMA di sana.”


“Kenapa gak ngelanjutin SMA di Cimahi?”


“Wa..”




Bukannya menjawab, Nur malah menatapku lekat. Ada kegundahan yang ia sembunyikan di balik bening bola matanya.




“Sebenarnya ini rahasia. Tapi aku percaya ke kamu…”




Sebuah cerita masa lalu pun mengalir dari bibirnya. Sebuah rahasia yang selama ini ia pendam sendiri.




Dulu Nur memutuskan untuk ikut bibinya, Bu Ratih yang baru setahun menikah. Suami Bu Ratih adalah seorang tentara yang bernama Kurnaka. Mereka hidup bahagia di rumah yang sekarang. Dari nol mereka merintis kost-kostan sampai menjadi besar seperti sekarang. Suatu hari, saat Nur pulang sekolah, tepat di hari terakhir ia menjalankan UN, ia mendapati rumah kosong. Bibinya -yang ia tahu kemudian- sedang ada acara arisan di Cimindi, sedangkan pamannya entah ke mana. Karena tidak bisa masuk rumah yang pintunya terkunci, Nur memutuskan untuk main ke kostan sambil menunggu bibinya pulang.




Di sanalah peristiwa itu terjadi.. Nur mendapati pamannya berselingkuh dengan seorang penghuni kostan; seorang karyawati pabrik. Awalnya Nur hanya curiga pada suara berisik dari dalam sebuah kamar. Ia mendengar suara-suara erangan dan lenguhan yang penuh kenikmatan. Tanpa mengintip, Nur bisa menebak bahwa ada orang yang sedang bersenggama di dalam kamar. Sebetulnya Nur berniat mengintip, tapi tidak ada sedikit pun celah untuk bisa melihat ke dalam. Lagipula ia takut ketahuan oleh penghuni kost yang lain.




Akhirnya Nur memutuskan sembunyi di ujung gang untuk mencari tahu siapa yang sedang ada di dalam. Setengah jam kemudian, pamannya keluar, dan Nur sudah tidak butuh penjelasan apapun lagi. Satu yang pasti, pamannya telah mengkhianati Bi Ratih.




Ia sakit hati. Ia kecewa. Ia marah. Orang yang sangat ia hormati dan kagumi, ternyata telah berselingkuh. Sejak saat itulah ia memutuskan untuk pulang ke kampung halaman, tanpa punya keberanian untuk jujur pada bibinya karena ia tidak ingin membuat hatinya terluka.




Menurut pengakuan Nur, peristiwa itu telah banyak mengubah dirinya. Ia menjadi lebih tertutup dan tidak mudah percaya pada orang baru, khususnya laki-laki. Semasa SMA ia memang pernah pacaran, tapi tidak berlangsung lama, karena Nur sendiri masih trauma dan takut dikecewakan seperti kelakuan paman pada bibinya.




“Yang membuatku mau kembali ke Cimahi karena aku kasihan pada bibi yang sudah memiliki bayi. Om Kurnaka sekarang ditugaskan di Banjar, dan hanya pulang sebulan sekali.” Nur memungkas ceritanya sambil berlinangan air mata.




Mendengar kisahnya, aku hanya bisa menunduk tanpa tahu harus berbuat apa. Hanya bahu ini yang bisa kuberikan saat tiba-tiba ia menyenderkan kepalanya. Sesaat kami hanya saling terdiam dan hanya isaknya saja yang terdengar.




“Maaf.” hanya itu yang bisa kuucapkan pada akhirnya.




Tanganku bergerak mengusap kepalanya. Dalam keadaan normal, mungkin aku akan terbuai oleh suasana ini. Terbuai saat ada seseorang yang menyandarkan kepalanya, terbuai oleh harum dan halus rambutnya. Terbuai untuk balik memeluknya, atau setidaknya mencium ubun-ubunnya. Tapi tidak kali ini, yang ada aku malah ikut larut dalam suasana sedih yang Nur rasakan.




Cukup lama kami hanya saling membisu, sampai akhirnya Nur kembali mengangkat kepala sambil mengusap sisa air matanya.




Kupandang wajah Nur. Aku bukan tipe lelaki yang bisa memberi motivasi pada seseorang yang sedang rapuh, aku bukan tipe orang yang bisa melontarkan kalimat-kalimat penyemangat, apalagi memberikan nasihat-nasihat. Bibirku selalu kelu jika berada dalam situasi seperti ini.




Kuraih tangannya lalu kugenggam erat. Kukabarkan bahwa aku ada, aku hadir untuknya, meski tanpa kata-kata. Sejenak kami saling tatap.. lalu menunduk tanpa kata yang terucap.




“Jadi sampai sekarang Bu Ratih tidak tahu tentang kelakuan suaminya?” tanyaku.




Nur mengangguk, mengamini pertanyaanku.




“Lalu wanita itu?” aku masih penasaran.


“Aku tidak tahu. Aku masih beberapa kali datang ke Cimahi setelah kejadian itu, tapi aku tak pernah melihatnya lagi.”


"Hmmm…”




Aku hanya bergumam mendengar penjelasannya; dan aku sudah tak berniat untuk mengoreknya lebih dalam lagi. Aku tak mau membuatnya semakin bersedih. Maka kualihkan obrolan…




“Berarti kamu baru lulus SMA tahun ini, ya?” tanyaku memecah kesunyian.


“Iya. Kamu sendiri?” ia balik bertanya.


“Aku sudah lulus sejak setahun yang lalu.”


“Emangnya kamu mau kerja di mana sih?”




Aku tidak heran kalau Nur bertanya begitu, karena kemarin aku mengatakan padanya bahwa aku merantau ke kota ini untuk bekerja.




“Nur..” aku menoleh dan menatapnya. “Kemarin aku bohong.. aku sebetulnya datang ke sini untuk kuliah.”


“Heeh? Kuliah di mana?” Nur sedikit kaget.


“Di kampus dan jurusan yang sama denganmu.”


“Sirnaaa!!!”




Rupa sedih pada wajahnya berubah geram. Ia langsung memukuli bahuku dengan gemas.




“Sakit, Nuur.” keluhku.




Omelan pun mengalir dari mulutnya. Sementara pukulannya terhenti karena segera kugenggam pergelangannya.




“Tapi aku gak sepenuhnya bohong kok. Aku juga memang mencari kerja sampingan, tabunganku hanya cukup untuk biaya kuliah.” ucapanku membuat Nur berhenti mengomel.




Kuceritakan pada Nur, kalau sudah lima tahun ini aku hanya hidup dengan ibu karena ayah sudah tiada sejak lima tahun yang lalu. Kami hanyalah keluarga petani biasa, yang tidak bisa dibilang berkecukupan, tetapi juga tidak miskin. Setidaknya tabungan peninggalan ayah dan hasil kebun kopi kami saat ini masih bisa membiayai kuliahku, meski itu belum cukup untuk menopang biaya hidup sehari-hari.




“Aku akan bantu jualan martabak.” kuakhiri ceritaku.




Senyum itu begitu tulus kulihat. Semua kesedihan dan kekesalannya berubah menjadi perhatian yang lembut. Sorot matanya kembali bersinar, meski aku tidak mampu menafsirkannya.




“Aku salut sama kamu.” ucapnya.




Ada desir-desir halus yang kurasakan saat ia kembali menggenggam tanganku. Kami saling meremas, dan aku sudah berani memeluk bahunya ketika ia kembali menyenderkan kepalanya. Mungkin mereka yang melihat kami, akan menganggap bahwa aku dan Nur adalah sepasang kekasih.




Kesyahduan kami terganggu oleh bunyi ringtone dari hape Nur. Kubiarkan ia mengangkat telpon, yang dari pembicaraan mereka aku sudah bisa menduga kalau itu dari Bu Ratih.




“Wa, kamu mau gak nganter aku ke Bandung?” Nur menatapku penuh harap sambil mengantongi kembali hapenya.


“Ngapain?”


“Bibi menyuruhku beli kopi. Malam ini Om Kurna akan pulang.”


“Loh emang gak bisa beli di sini aja, yah?”


“Si om sukanya Kopi Sawaka, dan gak ada di sini.”




"Selera kopi suami bu ratih tinggi juga.” batinku saat mendengar merk kopi yang Nur sebutkan. Ada rasa bangga juga mendengarnya, karena itu adalah produk kopi dari desa kami, tepatnya kampung sebelah.




“Kok malah diam. Mau anter gak?” Nur mendesakku.


“Iyah.. hayu ajah. Tapi…”


“Iyah gakpapa.. aku yang bayarin ongkosnya.” Nur mengerti kegelisahanku.




Aku pun berdiri sambil meraih kantong belanjaannya. Layaknya sepasang kekasih kami berjalan melewati depan Ramayana sambil bergandengan tangan. Kami pun naik angkot hijau jurusan Stasion Hall.




Jalanan begitu macet dan langit mulai mendung. Tapi aku sama sekali tidak terganggu. Kehadiran Nur sudah memberi warna baru bagi hidupku. Aku merasa begitu nyaman berada di dekatnya. Cerita ringan dan candaan saling kami lemparkan, dan aku malah menikmati ketika Nur sekali-kali memberikan cubitan-cubitan kecil saat aku menggodanya.




Sekitar jam empat sore kami sudah turun dari angkot jurusan St. Hall - Dago. Lalu berjalan sedikit menyusuri sebuah jalan, dan memasuki sebuah bangunan di samping resto yang cukup besar dan ramai. Kuputuskan untuk tidak ikut masuk, karena aku ingin merokok.




Aku urung memantik rokokku saat sekelebat bayangan memasuki sebuah mobil. Dari kaca mobil yang terbuka karena hendak membayar parkir, aku begitu terpesona melihat sosok itu. Bukan karena kecantikannya yang membuatku terpesona, tetapi sebuah perasaan ganjil yang tiba-tiba menghinggapiku.




Aku terpana, jantungku berdebar, dan ada perasaan hangat yang tiba-tiba menjalar. Namun semuanya berlalu begitu cepat, sosoknya menghilang saat kaca jendela kembali tertutup, dan mobil itu melaju meninggalkan parkiran.




“Siapa dia?” keluhku dalam hati.




Ada yang kosong kurasakan, ada yang hilang, ia seakan pergi sambil membawa serta sebagian energiku. Rasa kehilangan ini mengingatkanku pada kehilangan di masa lalu, ketika aku menangis mengiringi tubuh seseorang yang menghilang diurug tanah.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar