Cincin dari masa lalu part 6

 

BAB 6








Kami tiba kembali di pasar Baros jam tujuh lebih, disambut oleh rintik hujan. Cuaca malam ini sangat kontras dengan keadaan tadi siang yang cukup cerah. Angin pun berhembus kencang.




Sepanjang jalan tidak ada yang berubah dari kami berdua. Sebaliknya malah membuat kami semakin akrab satu sama lain. Satu yang membedakan, perasaanku masih terganggu oleh bayangan gadis yang kulihat sepintas di parkiran tadi. Siapa dia? Aku tidak tahu. Jangankan kenal, melihat wajahnya pun baru pertama. Tapi ia seakan memiliki magnet yang aku sendiri bingung merumuskannya.




Aku dan Nur setengah berlari memasuki gang, lalu berteduh di emper sebuah rumah yang nampak kosong. Berharap hujan bisa reda barang sebentar. Tubuh kami rapat untuk sekedar saling memberi rasa hangat. Mataku mengerjap saat sebuah motor lewat ke arah jalan besar.




“Cintung?” aku membatin.




Namun motor itu begitu cepat sehingga aku urung menyapanya.




“Dingin.” lirih Nur sambil memeluk lenganku.


“Aku ambil payung dulu ke rumah ya. Kamu tunggu di sini.” jawabku sambil menatap bibirnya yang sedikit pucat.




Nur balik menatapku sambil menggeleng. Sejenak mata kami saling beradu pandang. Sorotnya berubah sayu, dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh rambutnya yang sedikit basah. Kuusap lembut lalu kurapikan poni yang menutupi dahinya. Sikapku membuat Nur menatapku semakin sayu. Wajahku mendekat dan…




Cuuup!!




Kucium keningnya. Semuanya terjadi begitu saja, sangat natural dan spontan, aku seakan terbawa suasana, dan melakukan sesuatu yang berada di luar kesadaranku sepenuhnya. Aku malah ketakutan setelah melakukannya. Tapi semua itu hilang seketika saat Nur tidak marah sama sekali. Ia malah tersipu lalu menyembunyikan wajahnya dalam pelukanku. Jadilah kami berpelukan.. tanganku yang menenteng kantong belanjaan melingkar pada pinggangnya.




Kurasakan gundukan payudaranya menempel lekat pada dadaku, jantungnya terasa berdetak kencang seirama dengan detak jantungku sendiri. Aku enggan melepaskan pelukan ini, pun pula gadis ini. Ia malah semakin mengeratkan pelukannya. Mungkin kalau tidak ada cahaya motor di kejauhan kami akan tetap seperti ini.




Kami saling melepaskan diri sebelum sang pengendaranya melihat kami. Aku dan Nur sama-sama berdiri mematung sampai motor itu lewat.




“Kita hujan-hujanan saja.” ucapnya.


“Nur!!! Masih hujaaan.” teriakku saat ia langsung berlari tanpa menunggu jawabanku.




Terpaksa aku pun mengejarnya yang sudah berlari mendahuluiku. Jarak antara tempat kami berteduh dengan rumah memang tidak terlalu jauh, tapi hujan yang kian deras sudah cukup membuat kami basah kuyup.




“Makasih udah nemenin aku, Wa.” ucapnya sambil meraih bawaan yang kusodorkan.


“Sama-sama.” jawabku.




Ekspresi Nur sangat sulit kugambarkan. Ada binar bahagia di sana, tapi juga seperti marah. Ia seperti senang, tapi juga nampak menyesal. Membingungkan!!




“Aku masuk kamar dulu, ya Nur. Kamu cepat mandi biar gak masuk angin.” pamitku dan hanya dijawab oleh anggukannya.




Aku pun melangkah menuju kamar, sengaja aku memilih melipir menyusuri tembok untuk menghindari cipratan air hujan. Setibanya di depan kamar, tanpa ba bi bu lagi aku langsung membuka pintu.




“Kiyaaaaa!!!” jerit seseorang.




Nampak Lia terperanjat dan melepaskan diri dari pelukan Rad. Sementara aku hanya melongo karena masih sempat melihat mereka berdua berciuman.




“Kupret!! Bukannya ngetuk dulu.” gerutu sahabatku sambil menarik kembali tubuh Lia dan mendudukannya dalam pangkuannya.




Tak ada penolakan dari gadis itu meski nafasnya tersengal karena kaget dan (mungkin) malu.




“Ma.. maaf…” aku tergagap. “Lagian ngerujak tanpa ngunci pintu.” Ucapanku sukses membuat sebuah bantal melayang dan menimpa dadaku. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Lia.


“Kamu sehari ini kemana aja, Wa? Kami nungguin kamu dari sore. Mana hape gak dibawa lagi.” Rad langsung mencecarku.


“Kamu tuh yaaa.. si Maya sampai bolak-balik nelpon nanyain kamu.” sambung Lia.


“Aku pergi sama Nur.” jawabku sambil meraih hapeku yang sejak siang tergeletak di atas meja. Kuabaikan hardikkan Rad karena membuat lantai basah oleh air yang mengalir dari celanaku.




Ada banyak panggilan tak terjawab dan SMS, yang semuanya berasal dari Maya. Kuperiksa semua isi pesan di bawah omelan dan cecaran Rad dan Lia. Kujawab ocehan mereka seperlunya, sambil tetap fokus pada hapeku. Isi SMS dari Maya semuanya hanya berupa pertanyaan-pertanyaan singkat: 


“Kamu datang ke rumahku jam berapa?” 


“Kamu di mana?” 


“Gak jadi datang yah?” 


“Jenguk aku, please.” 


“Wa?” 


“Sirna!!”




Aku hanya menarik nafas sambil memalingkan wajah pada Rad dan Lia yang nampak masih kesal karena sikapku. Meski begitu tubuh mereka selalu menempel, seolah mau pamer kemesraan.




“Maaf.” ucapku.




Lalu kuceritakan kegiatanku hari ini bersama Nur secara lebih detail. Kujelaskan juga kalau aku memang sudah lebih dulu punya janji dengan Nur, sebelum Lia mengajakku menjenguk Maya.




“Ya tapi kamu kan bisa ngomong, Wa. Aku kan udah telanjur bilang ke Maya kalo kita akan datang.” Lia masih kesal.


“Lagian kamu pergi tanpa bilang-bilang, tanpa ngunci pintu lagi. Ini di kota, Wa, bukan rumah kita di kampung!” sambung Rad. Lanjutnya, “Lagian hape itu artinya handphone, jadi fungsinya untuk selalu dibawa, bukan ditinggalin kayak gitu.”


“Maaf,” aku memelas.


“Kampret!!!” gerutu Rad.


“Yaudah kamu telpon Maya sekarang.” ucap Lia.


“Kamu aja yang nelpon yah.. yah.. yah…” aku memohon.


“Iiih.. kamu tuh kenapa sih? Apa susahnya bilang ke Maya kalo kamu abis pergi dan lupa bawa hape.” protesnya.


“Pleaaase!”


“Nggak!! Kamu sendiri yang jelasin ke dia.” ujar Lia lagi.


“Iya, nanti aku telpon Maya.” aku mengalah.


“Sekarang!!”


“Iya.. iya… bawel.” ucapku.


“Yank, temenmu bilang aku bawel.” Lia merajuk pada kekasihnya.




Sial!! Rad malah mencium bibir Lia di hadapanku.




Dengan kesal, aku melangkah keluar kamar dengan maksud mau menelpon Maya tanpa terganggu oleh orang yang sedang gandrung oleh rasa cinta.




Klik!




Kutekan nama Maya pada kolom kontak.




“Nomor yang anda tuju sedang sibuk. Silakan coba beberapa saat lagi.” begitu jawabnya.




Kucoba sekali lagi dan jawabannya masih sama. Aku kembali ke dalam. “Maya tidak menjawab. Nada sibuk.” ucapku sambil meletakkan hape di atas meja, lantas meraih handuk yang digantung pada bentangan tali rafia.




“Kamu SMS aja dulu.” jawab Lia.


“Nanti aja. Aku mau mandi dulu.” aku tak acuh sambil melangkah ke kamar mandi.




Kupilih kamar mandi yang paling ujung, karena di sudut ini ada tiga kamar mandi. Kunyalakan keran air, lalu melepaskan kaosku yang basah.




Cling!!




Bandul kalungku menggantung dan sedikit bersinar diterpa lampu pijar. Aku meraihnya, lalu kugenggam dan kucium.








“Sayang, aku sudah tak kuat lagi.” gadisku meringis, sementara darah masih mengalir dari kepalanya, mengucur bersama derasnya curahan air hujan.


“Ka.. kamu jangan bilang gitu, sayang. Kamu pasti selamat.” ucapku dengan panik.




Segera kurengkuh tubuhnya yang basah dan penuh luka, tapi ia menolak dengan lemah. Dengan tangan bergetar ia meraih jari manisnya dan melepas sebuah cincin yang pernah kusematkan.




“Sa.. sayang.. a.. aku kembalikan cincin ini. Aku sudah ti.. tidak.. memerlukan.. nya.. la.. gi.” ia berucap terbata-bata. Aku hanya bisa tercekat dengan air mata bercucuran.


“Kamu men.. mencitai…ku.. itu sudah cukup bagiku. Aku.. a.. ku.. baha.. gia..!! Kelak.. cincin ini akan membawamu pada peng.. penggantiku.”


“May.. kamu.. kamu jangan ngomong gitu. Semua akan… Mayaaaaaaa!!!!!!”




Aku berteriak sekencang-kencangnya tanpa mampu menyelesaikan ucapanku. Aku hanya bisa meraung sambil memeluk tubuhnya yang terkulai lemas.








Nafasku tersengal saat ingatan itu kembali muncul. Aku hanya bisa menangis sambil menggenggam cincin yang sudah setahun ini kujadikan bandul kalungku.




Semua keindahan bersama Nur sepanjang hari ini terasa tidak berbekas. Semuanya lenyap seiring kenangan buruk yang kembali menghampiriku. Tubuhku merosot dan terduduk di atas lantai kamar mandi. Tubuhku bergetar.




“Siapa, May? Siapa yang orang itu? Apakah Nur? Atau seseorang yang punya nama panggilan sama denganmu? Tapi aku menginginkanmu, May. Kamu!! Bukan gadis lain.” lirihku dengan tubuh terguncang.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar