BAB 2
Perjumpaan
Aku tidak harus bingung mencari alamat tujuanku karena Nur ternyata tinggal di alamat yang sama. Tanpa memberitahu Nur, aku mengikutinya. Ia naik angkot jurusan ke Pajajaran, aku ikut. Ia menaiki angkot St. Hall - Cimahi, pun pula aku.
Berkali-kali ia bertanya, tapi kukatakan hanya ingin mengantarnya sampai tujuan. Berulangkali ia menolak antaranku, tapi kusampaikan bahwa kebetulan angkotnya satu jurusan. Ketika ia turun di Pasar Baros, aku juga begitu. Ia mengalah ketika aku mengikutinya memasuki sebuah gang sambil membantu menjinjing bawaannya.
Kami pun tiba di sebuah bangunan lantai dua yang terhimpit di antara banyak rumah. Sungguh sebuah kawasan padat penduduk.
“Sampurasun.” Nur mengucapkan salam saat kami tiba di depan pintu rumah utama.
“Rampes.” sebuah jawaban datang dari dalam rumah.
Seorang wanita paruh baya keluar rumah sambil menyusui seorang bayi. Wanita itu nampak cantik dengan daster selutut yang ia kenakan. Kulit kuning langsatnya terekspos indah. Rambut hitam-panjangnya digelung karet membuat leher jenjangnya kelihatan indah menggiurkan. Belum lagi hidung bangirnya memanjang di antara kedua bola mata yang hitam bening. Tapi yang membuatku terbelalak adalah payudaranya yang besar.
Sebagai orang kampung, aku sudah terbiasa melihat payudara perempuan-perempuan desa saat mandi di sungai, tapi pemandangan kali ini membuat dadaku berdesir. Belum pernah aku melihat payudara sebesar dan seindah ini. Meski putingnya tidak kelihatan karena diemut si bayi, tapi juntai putih dengan urat-urat kebiruan tak menutupi keindahannya. Nampak besar dan sekal.
“Sari? Akhirnya kamu sampai juga. Gimana perjalananmu, nak? Lancar?” ia langsung memberondong Nur.
“Lancar, Wa.” jawabnya singkat.
Nur menyalami dan mencium tangan wanita tersebut, disusul dengan saling ciuman pipi. Tanpa memedulikanku, ia langsung meraih si bayi dari ibunya, membuat mulut mungil itu terlepas. Lagi-lagi aku disuguhi pemandangan yang menggiurkan ketika aku masih sempat melihat putingnya dengan bintik putih air susu di ujungnya, sebelum dimasukkan ke dalam beha oleh pemiliknya. Kurasakan ada yang menggeliat di balik celana panjangku.
“Eh ini siapa?” akhirnya kehadiranku diakui.
“Saya Sirna, Bu.” aku mengulurkan tangan.
“Ratih, uwanya Sari.” jawabnya.
“Maaf, Bu Ratih, saya mau ketemu Rad, Raditya. Dia ada?”
“Looh.. kamu temannya Rad?” Bu Ratih nampak heran. Lanjutnya, “Nak Rad masih di kampus, tapi tadi ia menitipkan kunci kamarnya dan titip pesan supaya kamu menunggu di kamarnya dulu.”
“Loh.. kamu mau tinggal di sini juga?” Nur menatapku heran.
Aku hanya tersenyum kecil, membuatnya mendelik sewot.
“Kenapa gak bilang dari tadi?” lanjutnya.
“Lah.. jadi kalian belum saling tahu? Lalu gimana ceritanya bisa datang bareng?” aku urung menjawab karena Bu Ratih langsung menyela.
Belum juga kami menjawab, Bu Ratih sudah berkata lagi, “Eh.. hayu atuh masuk, kita ngobrolnya di dalam saja.”
Akhirnya kami pun memasuki rumah. Aku dan Bu Ratih menjinjing bawaan Nur karena ia menggendong keponakannya. Kami duduk di ruang tengah. Sementara Bu Ratih mengambil minuman, aku mendapat omelan Nur karena aku tidak mengatakan bahwa kami menuju alamat yang sama. Syukurlah hal itu tidak berlangsung lama karena si kecil menangis, dan Nur sibuk menenangkannya.
Bu Ratih menyuguhkan dua gelas air putih, lalu mengambil bayinya. Pandangan mataku terasa nanar ketika ia kembali membuka kancing atas dasternya dan mengeluarkan satu payudaranya. Lagi.. aku disuguhi pemandangan yang membuat jantungku berdebar. Belum lagi cara duduknya yang agak serampangan, membuat paha bagian dalamnya bisa terpandang.
“Sok atuh diminum, matanya jangan jelalatan.” ucapan Bu Ratih sukses membuatku gugup dan salah tingkah.
“Eh.. iya bu.. maaf.. eh anu.. terima kasih.” gugupku.
“Bikin malu.” Nur mendengus pelan, namun masih sempat kudengar.
Kuraih gelas dan meminumnya sampai habis setengah. Mataku masih sempat melirik bayangan hitam di selangkangan Bu Ratih saat ia menumpangkan kakinya. Sekuat hati aku menahan diri agar tidak melirik payudaranya kembali.
Kecanggunganku sedikit terobati ketika Bu Ratih lebih fokus pada Nur, keponakannya. Dengan cerewet ia menanyakan kabar keluarga di kampung. Dari obrolan mereka, aku tahu bahwa ia datang ke Bandung untuk kuliah ekonomi di Unjani. Sekali lagi aku menahan senyum ketika ternyata aku dan Nur bukan hanya tinggal di tempat yang sama, melainkan juga akan kuliah di kampus, bahkan fakultas, yang sama.
Sebelum Bu Ratih menanyaiku, aku langsung menyela obrolan keduanya.
“Maaf, Bu. Boleh saya meminta kunci kamar Rad?” tanyaku sambil menunduk agar tidak melihat payudaranya.
“Oh iyaah.. maaf ibu jadi lupa.” serunya.
“Sebentar ibu ambil dulu kuncinya.” ucapnya lagi.
“Makasih, Bu.”
Aku menatap punggung Bu Ratih yang beranjak menuju sebuah rak. Tiba-tiba Nur mencubitku dengan mata melotot. Aku hanya bisa meringis sambil berusaha menepis tangannya.
“Nuur.. sakiit..!!” desisku.
“Dasar otak mesum.” gerutunya pelan.
Hampir aku teriak saat ia semakin mengeraskan cubitannya, tapi kutahan ketika kulihat Bu Ratih sudah berbalik. Nur bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa, sementara aku hanya bisa tersenyum kecut sambil mengusap lenganku yang memerah.
“Ini kuncinya, nak. Maaf ya, seminggu ini kamu tidur dulu di kamar Rad karena kamar buatmu baru kosong minggu depan. Ibu sudah meminjamkan kasur tambahan.” ucapnya.
“Iya, bu. Terima kasih banyak.” jawabku sambil berdiri.
Kuraih kunci, lalu pamit pada Bu Ratih dan Nur.
“Sial.” gerutuku.
Aku lupa menanyakan nomor kamar Rad. Segera aku membalikan badan untuk kembali ke dalam rumah.
“Nomor 14.” teriak Nur yang sedang berdiri di ambang pintu.
Aku hanya nyengir sambil mengacungkan kedua jempol. Kulanjutkan langkahku menyusuri lorong kostan. Kususuri lantai satu, mentok di nomor tujuh. Kulangkahkan kakiku menaiki tangga. Ternyata kamar yang kucari berada di ujung lantai dua.
Kumasukan anak kunci dan masuk ke dalamnya, tanpa menutup kembali pintu. Sebuah kamar yang sederhana dengan dua kasur berjajar tanpa dipan. Satu lemari pakaian dan meja kecil di dekat jendela. Kuletakkan tasku lalu membuka lemari untuk mencari makanan, siapa tahu Rad menyimpan makanan atau setidaknya ada mie istant. Nihil!!
Aku hanya menarik nafas panjang sambil mengusap perutku yang terasa lapar.
“Hai, anak baru ya?” tiba-tiba sebuah suara menyapaku dari ambang pintu.
Aku segera membalikan badan, menengok ke arah datangnya suara. Mulutku sedikit terbuka tanpa mampu bersuara untuk menjawab sapaannya. Nampak seorang gadis dengan pakaian modis sedang berdiri di ambang pintu. Cantik.. gadis tercantik yang pernah kujumpai selama ini. Tapi yang membuatku semakin terpana adalah wajahnya. Sangat mirip dengan…
“Maya?” tanpa sadar aku menyebut sebuah nama.
“Heh? Dari mana kamu tahu namaku?” ia nampak terperanjat.
Aku tak kalah terperanjat melihat reaksinya. Namanya ternyata memang Maya. Tapi kenapa bisa? Wajah itu mirip sekali, dan bahkan nama mereka pun sama.
“Ma.. maaf…” aku tergagap.
Si gadis nampak masih keheranan. Pertanyaan yang sama ia ajukan.
“Aku hanya sedang ingat seseorang,” jawabku setelah bisa menguasai keadaan.
Aku melangkah mendekatinya, kuulurkan tangan untuk memperkenalkan diri.
“Sirna.” ucapku.
“Maya. Maya Husna Husein.”
“Purnama Sirnawa.” aku menyebutkan nama lengkapku sambil merasakan telapak tangannya yang halus.
Tanpa sepakat, kami sama-sama melangkah menuju kursi panjang di depan kamar. Kami duduk bersisian sambil mencoba mengakrabkan diri. Maya ternyata hanya datang untuk menemui temannya yang bernama Lia, tapi rupanya ia belum pulang dari kampus. Ia juga kenal dengan Rad, sahabatku, sehingga ia datang ke kamar ini ketika melihat pintu terbuka.
Maya kuliah di salah universitas terkenal di kota Bandung.
“Maya itu pacarmu, ya?” tanyanya kemudian.
Aku menjawabnya dengan anggukan sambil kembali mengamati wajahnya.
“Emang aku mirip dia, yah? Kok namanya bisa sama denganku?” ucapnya lagi.
Sekali lagi aku mengangguk, disertai dengan mengangkat bahu pertanda tidak mengerti. Ia terus bertanya tentang almarhumah, tapi selalu kualihkan karena aku tidak mau membahasnya. Tak kusampaikan pula kalau ia telah meninggal. Aku hanya bercerita tentang tujuanku datang ke Cimahi ini, yaitu untuk kuliah di Unjani. Kusampaikan juga kedekatanku dengan Rad, karena kami sama-sama satu kampung halaman dan sudah bersahabat sejak kecil.
Tiba-tiba kami menjadi akrab. Obrolan kami begitu nyambung dengan sekali-kali disertai candaan yang membuat kami tertawa kecil. Satu yang pasti, yang ia tidak tahu, ada perasaan halus berdesir dalam hatiku. Perasaan yang sama ketika aku sedang bersama kekasihku.
“Kamu sudah makan?” tanya Maya.
“Belum. Tadi aku mau cari makan ke luar, tapi kamu keburu datang.” jawabku.
“Yaudah.. yuks kita makan bareng.” Maya mengajakku dengan antusias.
Kami sama-sama berdiri. Kukunci kamar lalu melangkah bersamaan. Karena gang yang sempit, sekali-kali lengan kami bersentuhan, dan aku sangat menikmatinya. Terasa begitu halus dan membuat perasaanku selalu berdesir.
Begitu tiba di ujung gang dekat tangga, tiba-tiba sosok Nur muncul sambil membawa sepiring nasi lengkap dengan lauknya.
Langkah kami bertiga sama-sama terhenti.
“Aku bawakan makan untukmu.” ucap Nur.
“Aku.. aku…” aku tergagap sambil melirik Maya.
“Kenapa?” tanya Nur sambil melirik Maya dengan sorot mata tidak suka.
“Aku mau makan di luar dengan Maya.” ucapku akhirnya.
“Oh..” Nur berucap singkat, ekspresi tidak senang semakin terlihat.
“Eh… yaudah atuh kamu makan di sini aja. Aku gak apa-apa kok, nanti bisa makan nanti bareng Lia.” Maya langsung berujar.
“Gakpapa.. kalian makan aja. Makanan di luar lebih enak, apalagi ditemani gadis cantik.” potong Nur.
Tanpa permisi ia kembali menuruni tangga setengah berlari.
“Nur!!!”
Teriakanku sia-sia, karena ia tidak menggubris. Aku dan Maya saling berpandangan sejenak, sebelum ia menuruni tangga untuk berusaha mengejar Nur, tapi karena terburu-buru, kakinya tidak menjejak anak tangga dengan tepat sehingga terpeleset.
Huuuffff!!!
Sigap aku menangkap tubuhnya yang oleng. Kakinya terpeleset, tapi tubuhnya masih sempat kuraih dan kupeluk. Refleks ia melingkarkan tangannya pada leherku, sementara tanganku melingkar di pinggang dan bahunya.
Nafas Maya tersengal karena kaget, sementara aku ngos-ngosan karena melihat wajah cantiknya yang begitu dekat dengan mukaku. Jarak kami hanya beberapa senti saja. Aku begitu terpana.. jantungku tiba-tiba berdetak kencang.
Waktu seakan berhenti. Pendengaran seakan tertutup. Yang ada adalah keheningan saat kami saling bersentuhan dalam wajah yang sama-sama terpana. Bibirnya yang merah alami terbuka, dan aku mendekat. Pelukan kami makin erat.
“Ehem..!!”
Kami sama-sama terperanjat. Nampak Rad dan seorang gadis berdiri di bawah tangga. Aku yang tersadar dari keadaan segera memapah Maya supaya berdiri tegak. Tapi sial baginya.. ia kembali terpeleset, tubuhnya terjengkang tanpa sempat kuraih.
Hanya teriak dan jeritan yang bisa kami lakukan ketika Maya terhempas dan tubuhnya meluncur menuruni tangga.
Dengan panik aku mencoba meraih tangannya, tapi luput. Mataku nanar, air mataku mengembang. Peristiwa itu seakan kembali terjadi di hadapan mataku, kekasihku meluncur ke bawah tebing dan kepalanya membentur batu serta pepohonan berulang-ulang.
“Mayaaa!!!” teriakku.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar