Cincin dari masa lalu part 3

 

BAB 3

PERASAAN YANG GANJIL

Aku hanya bisa mondar-mandir dengan gelisah di depan ruangan UGD Rumah Sakit Dustira, untuk menunggu kabar tentang keadaan Maya. Ia benar-benar jatuh tersungkur dan terjerembab di atas tangga tanpa mampu kutolong. Ada beberapa luka yang ia alami, dan yang membuatku paling khawatir adalah benturan pada kepalanya.

Dalam keadaan panik, aku dan Rad, juga gadis yang datang bersamanya yang adalah Lia, langsung membawa Maya ke rumah sakit, dengan menggunakan mobil Maya yang diparkir di ujung gang.

“Sudahlah.. kamu gak usah gelisah gitu, Wa.” Rad yang sedang duduk di atas bangku menenangkanku.

Aku menengok ke arah sahabatku, lalu mengangguk. Meski begitu aku tetap tak berniat untuk duduk di sebelahnya. Rad nampak mengerti apa yang sedang kurasakan. Ia sudah tahu apa yang menimpa kekasihku di masa lalu, ketika ia terpeleset sepulang dari sawah, dan terjerembab ke dalam jurang di depan mata kepalaku sendiri; sampai akhirnya ia meninggal di dalam pelukanku. Dan hari ini.. aku harus melihat seorang gadis lain dengan wajah yang agak mirip, juga nama panggilan yang sama, terjerembab di atas tangga. Sekali lagi aku tak mampu menolongnya.

Aku seakan mengalami de javu di awal kedatanganku ke Cimahi. Berkali-kali kuucapkan doa dalam hati bagi kebaikan Maya. Berulang kali kuusap wajah untuk menghilangkan bayangan-bayangan buruk yang memenuhi pikiranku.

Tiba-tiba pintu terbuka, dan sosok Lia mendekati kami.

“Gimana?” ucapku dan Rad bersamaan.

“Lia, gimana keadaan Maya?” aku kembali mencecarnya sambil memegang dan menggoyang kedua pundaknya.

Dalam keadaan normal, ia tentu saja akan marah karena diperlakukan seperti ini oleh orang yang baru dikenal. Tapi ia hanya menepis kedua tanganku lembut sambil mengerutkan dahi.

“Tenang… tenang…!!” ujarnya. “Maya tidak kenapa-napa. Ia hanya mengalami luka dan memar-memar. Tidak ada yang membahayakan.”

“Tapi kepalanya gimana? Tangan dan kakinya juga tidak ada yang pa.. pa.. patah, kan?” aku masih perlu meyakinkan diri.

“Aku kan sudah bilang kalau Maya baik-baik saja. Ia hanya luka luar, dan boleh langsung pulang.” jawabnya.

Aku menarik nafas lega mendengar jawabannya. Doa syukur pun kuucapkan berkali-kali.

“Kubilang juga apa, Wa. Kamu hanya ketakutan oleh pikiranmu sendiri.” Rad nyeletuk sambil meninju bahuku.

“Sorry… aku trauma.” jawabku pendek, yang ditanggapi sekali lagi oleh tinjuan sahabatku.

“Eh kita belum kenalan loh.” celetuk Lia.

“Ini Sirna, temanmu yang kamu bilang, yank?” lanjutnya, kali ini sambil melirik ke arah Rad.

“Iyah, ini Sirna. Sahabatku di kampung.” jawab Rad.

“Aku Lia.” ia mengulurkan tangan.

Aku hanya tersenyum kecut sambil menyambut uluran tangannya. Kepanikan yang kurasakan membuat aku baru menyadari bahwa kami belum berkenalan, meski tadi Rad sempat bercerita tentangnya. Lia adalah kekasih Rad, sekaligus sahabatnya Maya.

“Aku.. aku Sirna.” balasku.

Aku menyadari bahwa Lia begitu detil mengamati penampilanku, tapi tak kugubris karena pikiranku kembali dipenuhi oleh Maya.

“Boleh aku menjenguknya?” tanyaku.

“Kenapa tidak? Yuks masuk.” Lia menjawab sambil mengamit lengan Rad.

Kami pun memasuki ruangan UGD. Setelah melewati beberapa bed yang disekat oleh kain putih, kami tiba di tempat Maya berada.

“Hai!” Maya yang sedang berbaring menyapa kami duluan.

Kepalanya diperban, dan juga beberapa bagian luka di kaki dan tangannya

“Kamu gak apa-apa, kan May? Maaf aku tidak bisa menolongmu? Ini.. ini semua karena kesalahanku.” aku langsung menyampaikan penyesalanku.

“Hihi…” bukannya menjawab, Maya malah terkekeh memamerkan barisan giginya yang putih.

“Kok malah tertawa?” tanyaku sambil mengamati keadaan Maya.

“Kok kamu perhatian banget sih? Padahal kita baru kenal.”

Tentu saja ucapannya membuatku salah tingkah. Kedua pipiku terasa panas karena memerah.




“Aku tidak apa-apa. Makasih ya.” Maya nampak menyadari sikap kikukku.




Aku tersenyum mendengarnya. Beban rasa bersalah yang selama ini menghimpit, terasa sirna seketika. Kutatap wajahnya sambil tersenyum untuk mengabarkan kelegaan. Pun pula tatapan mata Maya tak terlepas dariku. Senyumnya tersipu dan pipinya sedikit merona karena mendapat perhatianku. Entah bagaimana, tanganku sudah menyentuh lengannya dan mengusap halus.




“Eheeem.” Rad dan Lia berdehem bersamaan.


“Eh…” ujar Maya.


“Anu.. itu…” gugupku.


“Hallo.. ada kami berdua loh di sini.” goda Lia.




Ucapannya tentu saja membuatku benar-benar salah tingkah, kecuali Maya yang hanya menanggapinya dengan tawaan. Kami berempat pun melanjutkan obrolan ringan sambil menunggu perawat membawa hasil rontgent dan resep yang harus kami tebus. Dari pertemuan kecil ini, aku sudah langsung tahu kalau Lia adalah seorang gadis yang riang dan bawel; ia juga supel dan mudah akrab. Sedangkan Maya adalah tipe gadis kota yang gaul tapi tetap tidak mampu menyembunyikan sikap anggun yang ia miliki.




Tak hentinya aku mengamati Maya dengan kagum. Ada rasa hangat yang kurasakan saat menatap wajahnya, sekaligus mendengar renyah suaranya. Sekali-kali sorot mata kami beradu pandang, membuatku tersipu.




Hampir satu jam kami ngobrol bersama, dan kami bagaikan empat sahabat yang sudah saling mengenal lama. Kami cepat akrab, dan saling berbagi canda meski harus menahan volume suara supaya tidak mengganggu pasien yang lain.




Obrolan kami terhenti saat seorang perawat masuk dan menyerahkan hasil rontgent, resep dan bukti administrasi yang harus dibayar. Dengan sigap, Lia menerimanya.




“Biar aku yang ngurus. Ayo temani aku, yank.” ajak Lia kepada Rad.


“Aku minta tolong, ya Li. Nanti aku ganti di rumah.” ucap Maya.


“Udah tenang aja, beib. Gampanglah itu.” jawab Lia sambil menarik tangan Rad.


“Maaf.”


“Makasih.”




Ucapku dan Maya bersamaan saat kedua sosok itu sudah tak terlihat lagi.




“Kok minta maaf lagi?” tanyanya. Dahinya yang ia kerutkan membuatnya semakin kelihatan manis dan menggemaskan.


“Kok bilang terima kasih?” aku bertanya balik.


“Iiih.. kamu nyebelin.” gerutunya sambil berusaha memukulku, tapi urung, ia malah meringis menahan sakit pada lengannya.


“Eh.. kamu jangan banyak gerak dulu.” ucapku sambil berusaha menahan tubuhnya yang hendak bangkit.




Dengan perlahan kubantu Maya untuk membaringkan dirinya kembali. Lalu kutekan tombol di bawah bed untuk mengangkat bagian atas tubuhnya sehingga ia setengah duduk di atas kasur.




“Jadinya tadi kamu gak jadi makan, maaf ya.” ucapnya sambil menatapku. Ia malah memikirkanku.




Kulirik jam di atas dinding. Sudah menunjukkan jam setengah lima sore. Kalau Maya tidak mengingatkan, aku malah lupa pada rasa laparku. Aku lupa kalau belum makan.




“Udah gapapa.. Yang penting kamu baik-baik saja.” jawabku.


“Tapi gara-gara aku, kamu jadi gak makan.” Maya nampak merasa bersalah.


“Kok jadi khawatirin aku? Yang penting adalah kesembuhanmu.” balasku.


“Tapi wajahmu pucat gitu. Kamu pasti lapar.”




Dadaku terkesiap saat Maya menyentuh pipiku yang dibilangnya pucat. Ini sentuhan wanita ketiga pada wajahku, selain ibu dan kekasihku. Refleks aku meraih punggung tangannya yang sedang menyentuhku. Dunia seakan melambat saat aku menggenggamnya dengan sedikit erat, sementara mata kami saling memandang lekat.




Sorot teduh matanya, caranya tersipu juga tersenyum, dan garis-garis raut mukanya sungguh mengingatkanku pada almarhum. Aku seakan sedang berada bersamanya. Hampir saja aku merunduk dan mengecup dahinya. Tapi aku segera tersadar. Aku mengerjap beberapa kali sambil menurunkan tangannya.




“Maaf.” lirihku.


“Dari tadi kok maaf-maaf terus?” tanyanya. Ia seakan tidak menyadari apa yang sedang kurasakan. Bahkan ia seperti enggan ketika tangannya kulepaskan.




Aku hanya menanggapi ucapannya dengan senyuman. Aku sendiri sangat bingung harus bersikap bagaimana di hadapannya. Baru hari pertama aku datang di kota ini, dan aku ingin melupakan masa laluku. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, aku dipertemukan dengan orang yang membawaku kembali pada apa yang ingin kulupakan.




Kurekatkan gigiku untuk sekedar membuatku sadar diri. Sadar pada statusku sebagai orang kampung; sadar bahwa aku memiliki luka di masa lalu; sadar bahwa gadis di hadapanku ini bukanlah siapa-siapaku dan baru saling mengenal sejak beberapa jam yang lalu.




Tapi apa yang kupikirkan, berbeda dengan sikap Maya. Tingkahnya yang tiba-tiba manja membuatku serba salah. Ia yang tadi kuat menahan sakit tiba-tiba banyak mengeluh, bahkan ia seperti sengaja ketika memintaku mengambilkan minum dan membantunya meneguknya. Bahkan ia juga memintaku untuk menyuapinya dengan roti yang ada di dalam tasnya. “Aku lapar dan belum makan siang,” begitu katanya. Dengan kaku dan grogi aku pun menyuapinya. Itu pun hanya setengah, karena ia memaksaku untuk menghabiskan sisanya.




Beruntung situasi ini segera berhenti ketika Rad dan Lia muncul sesaat setelah aku menelan suapan terakhir rotiku. Tak lama kemudian seorang perawat datang untuk memberitahu bahwa Maya sudah boleh pulang.




Kami mendudukan Maya di atas kursi roda, lalu kudorong menuju lobi rumah sakit. Sambil jalan kami memutuskan bahwa Lia akan mengantarnya pulang ke Bandung, sementara aku dan Rad akan naik angkot ke kostan. Setibanya di parkiran, Lia beranjak mengambil mobil yang diparkir agak jauh, sementara kami bertiga menunggu sambil ngobrol ringan.




Begitu Lia datang, aku dan Rad langsung membantu Maya untuk masuk ke dalam mobil, di jok depan. Setelah berhasil duduk, aku masih membantunya memasangkan safety belt sementara Rad mengembalikan kursi roda. Lia masih sibuk membuka pintu bagasi, entah apa yang sedang ia lakukan.




“Sirna…” tiba-tiba Maya berbisik dan mencegahku yang hendak menutup pintu.




Aku yang masih menunduk segera berpaling dan menatapnya.




Cuuuup!!!!




Tubuhku terasa kaku saat tiba-tiba ia mencium pipiku. Jantungku berdetak kencang dan nafasku terasa pendek. Adalah bayangan Lia yang membuatku segera sadar. Tanpa bisa menanyakan maksud ciuman ini, aku segera menutup pintu dan berdiri mematung.




Tiba-tiba kaca mobil turun. Wajahnya kembali terlihat jelas.




“Makasih ya.”




Aku hanya bisa mengangguk kaku; dan kaca jendela kembali tertutup. Meski begitu aku masih melihat wajah Maya yang memerah. Kulihat Rad berdiri di seberangku sambil berbicara dengan Lia. Kejadian baru saja membuatku bego seketika, sehingga aku hanya bisa terkejut saat mobil bergerak.




“Woooi, Wa..!!” teriak Rad.


“Kamu kenapa sih? Itu si Lia pamitan gak dijawab.” protesnya sambil mendekatiku, sementara mobil yang dikendarai Lia sudah memasuki jalanan yang sedikit macet.


“Gapapa… aku lapar.” jawabku sekenanya sekedar menutupi rasa gugup.


“Hahaha… yaudah kita makan dulu. Tuh ada warung ayam goreng.” jawab Rad sambil menunjuk tenda biru di seberang rumah sakit.




Kami pun menyeberangi jalan dan memasuki tenda. Setelah memesan makanan dan duduk, aku dan Rad sama-sama tertawa saat menyadari bahwa hari ini adalah pertemuan pertama kami di Cimahi ini, setelah sekitar setahun tidak bertemu. Kejadian yang menimpa Maya membuat kami (khususnya aku) diliputi rasa panik dan berbagai perasaan tidak karuan lainnya. Saling berbagi kabar dan cerita pun kami perbincangkan sambil menyantap makanan yang kami pesan.




Rad tidak tahu bahwa di balik obrolan dan tawa kami ada rasa kehilangan yang kurasakan. Hatiku terasa kosong, tanpa kutahu ini karena ingat pada almarhum Maya atau karena Maya yang baru saja menciumku di dalam mobil tadi.




Seusai makan, kami memutuskan untuk pulang jalan kaki sambil melanjutkan obrolan. Dari Rad aku tahu bahwa ia sudah pacaran dengan Lia sejak lima bulan terakhir ini. Ia adalah teman satu kampusnya, meski berbeda jurusan. Kedekatan mereka juga dibantu dengan seringnya bertemu karena sama-sama tinggal dalam satu kostan. Rad juga sudah mengenal Maya, karena ia adalah sahabat Lia. Mereka berdua adalah sudah bersahabat sejak SMP.




Menurut Rad, Maya tinggal di kawasan Ciumbuleuit, di sebuah perumahan elite. Kedua orangtuanya adalah pengusaha ternama di kota Bandung. Mendengarnya, aku sungguh merasa minder dan telah salah langkah di awal perkenalan kami. Aku juga berharap agar kedua orangtuanya tidak mempersalahkanku karena jatuhnya Maya.




Kepada Rad, kuceritakan juga kabar di kampung. Tentang orangtua dan keluarganya, tentang ibuku dan tetangga-tetangga kami, juga tentang musim panen yang berkurang karena serangan babi hutan yang semakin merajalela.




Karena asiknya bercerita, tanpa terasa kami sudah tiba di kostan. Kami memasuki pekarangan, terdengar keramaian dari arah kostan pertanda penghuninya sudah pada pulang. Terdengar juga tangisan bayi dari dalam rumah induk.




Aku sedikit terkejut ketika kulihat sosok Nur sedang duduk di depan rumah. Ingin kumenyapanya, tapi urung ketika Rad menyapanya duluan. Mereka nampaknya sudah saling kenal. Nur nampak begitu ramah bertegur sapa dengan sahabatku, tapi tidak denganku. Melirik pun tidak. Aku hanya diam menyaksikan obrolan mereka; bahkan ketika Nur cerita ia datang bersamaku, aku hanya diam karena aku seakan tidak ada.




Dasar si Rad gak peka. Bukannya membaca gelagat yang tidak baik, ia malah mengomeliku karena tidak bilang kalau aku datang bersama Nur. Sikap diamku pun dianggapnya tidak sopan terhadap Nur. Kampret! Padahal sikap Nur sendiri yang membuatku seperti ini. Dengan terpaksa aku harus ikutan berbasa-basi dan meminta maaf karena tidak menerima tawaran makan siang yang ia bawakan. Belum juga kusampaikan bahwa Maya jatuh di tangga…




“Selamat malam, Rad. Sampai ketemu besok.”




Sial!!! Bukannya mendengarkanku, Nur malah pamit pada Rad dan masuk ke dalam rumah. Tidak sedikit pun ia melirik kepadaku.




“Eh.. iya selamat malam, Sari.” jawab Rad kaget.


“Ada apa sih, Wa?” tanyanya padaku.




Aku hanya mengangkat bahu, lalu mendahuluinya melangkah ke arah kamar. Aku ingin segera mandi karena badanku terasa lengket. Meski begitu, sebagai pendatang baru aku harus menyapa dan memperkenalkan diri kepada beberapa penghuni yang kebetulan sedang nongkrong di depan kamar mereka. Kini aku baru tahu kalau semua kamar di lantai dua dihuni oleh anak-anak cowok, sedangkan para cewek mengisi kamar di lantai dasar.




Setibanya di dalam kamar, kuberikan beberapa oleh-oleh dan titipan dari orangtua Rad. Setelahnya aku langsung menenteng handuk dan alat mandi, menuju kamar mandi yang terletak di ujung gang.




Kulucuti pakaianku. Keadaanku yang telanjang, membuatku sadar pada kalung yang melingkar di leherku. Kugenggam bandulnya, dan menciumnya seiring dengan munculnya kembali kenangan-kenangan akan masa lalu. Dua wajah langsung berkelebat bergantian dalam benakku: Maya di masa lalu dan Maya yang baru saja kukenal.












BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar