Cincin dari masa lalu part 1


BAB 1

Langkah Pertama

Aku terbangun saat kudengar bunyi penggorengan dari arah dapur. Sesaat aku mengerjap sambil melirik jam dinding yang menempel pada bilik kamarku. Jam tiga subuh. Segera aku bangkit dan meraih handuk yang menggantung pada paku, kuraih juga lampu senter dan gayung berisi peralatan mandi.

“Pagi, Bu.” sapaku pada wanita paruh baya yang sedang menggoreng nasi di atas tungku.

“Kamu sudah bangun, Nak?” jawabnya tanpa melirik ke arahku.

“Hmmm… sudah… Saya mandi ke tampian dulu, Bu.” ucapku.

Ibuku hanya mengangguk tanpa menjawab. Melirik pun tidak. Aku hanya menghela nafas berat sambil melangkah keluar rumah. Aku tahu ibu sedang menyembunyikan kesedihannya, meski dapur hanya diterangi oleh lampu minyak dan perapian dari dalam tungku, aku masih bisa melihat kalau ibu memasak sambil menangis.

Dengan penerangan senter aku menyusuri jalan setapak di antara rumah-rumah tetangga, menuju pemandian yang terletak di pinggir kampung. Suasana masih sangat sepi karena hari masih dini, hanya sekali-kali terdengar suara batuk dari dalam rumah yang kulewati. Setibanya di tampian, aku segera membersihkan diri tanpa mengabaikan dinginnya air yang mengucur dari pancuran. Inilah hari, di mana aku akan meninggalkan kampung yang sangat kucintai, meninggalkan semua kenangan masa lalu, sekaligus memulai kehidupan di tanah rantau bernama Bandung.

Sekembalinya dari tampian, kulihat sepiring nasi goreng dan telor dadar sudah tersaji di atas meja, sementara ibu sedang duduk melamun di depan tungku. Hatiku turut sedih melihat sikap ibu, tapi aku harus bersikap tegar di hadapannya. Setelah menyampirkan handuk pada seutas tali, aku masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Celana dan kemeja terbaik yang kupunya.

Kuperiksa kembali tas gendongku untuk memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. Setelah yakin tidak ada yang tercecer, aku kembali ke dapur.

“Kamu makan dulu, Nak.” sambut ibu sambil memerhatikan penampilanku.

“Iya, Bu. Makasih.” jawabku sambil meraih piring nasi goreng, lalu duduk di atas jojodog di samping ibu.

“Kalau kamu sudah nyampe di Bandung, jangan lupa langsung kabarin ibu biar tidak khawatir. Kamu jaga diri di sana, jangan ikut-ikutan arus pergaulan di kota.” cerewet ibu kembali kumat. Ia terus menasihatiku yang sedang menyantap sarapanku.

Aku sebenarnya tidak selera makan karena kesedihan yang kurasakan, tapi kalau aku tidak makan malah akan membuat ibu semakin menyembunyikan kesedihan dalam sikap cerewetnya.

Kuteguk teh hangat untuk mendorong suapan terakhirku. Lalu menatap ibu dengan tetap diam. Tiba-tiba ibu diam dari segala nasihatnya, ia sudah tidak bisa menyembunyikan kesedihannya lagi. Air matanya mengalir pada wajahnya yang sudah mulai menunjukkan guratan-guratan penuaan

“Bu, aku mohon restu. Maafkan kalau selama ini aku banyak berdosa pada ibu dan sering mengecewakan ibu.” Aku bersimpuh mencium kedua tangannya.

Ibu segera meraih tubuhku dan memeluk sambil terisak. Ketegaranku runtuh, tubuhku berguncang di dalam pelukan ibu. Sebetulnya aku tidak tega meninggalkan ibu seorang diri sejak ayah pulang ke alam baka lima tahun yang lalu, tapi aku harus mencari sesuatu yang baru, demi kebaikanku, dan semoga menjadi kebaikan ibu suatu saat nanti.

“Ibu baik-baik di rumah, jangan terlalu capek.” Akhirnya aku bisa kembali bersuara, meski harus terbata-bata. Dengan berderai air mata, ibu mencium keningku, juga kedua pipiku.

Kupeluk sekali lagi sosok yang telah menjadi pahlawan hidupku; pahlawan yang telah mencintai dan membesarkanku dengan cinta tak terbatasnya. Pahlawan yang menjadikanku menjadi seorang pria seperti sekarang ini.

Setelah saling melepaskan diri. Aku beranjak mengambil tas gendongku di dalam kamar. Sesaat aku dan ibu saling bertatapan. Sekali lagi kupeluk tubuhnya, kukabarkan rasa sayangku, kuberikan niat dan tekadku untuk membahagiakannya di masa depan nanti.

Ibu mengantarku sampai ke ambang pintu. Aku melangkah menyusuri kegelapan subuh dengan diiringi oleh isak tangis ibu. Kelak isak itu akan selalu menjadi kenangan di saat-saat rapuh hidupku. Dan aku.. sudah tak sanggup lagi melihat ke belakang.

Kususuri gelapnya subuh… bukan… bukan ke perbatasan kampung, tapi ke sebuah saung yang terletak di kebun kopi, tempat aku dan Maya menghabiskan banyak waktu berdua. Kududuk di atas bale-bale, tempat ia biasa menyandarkan kepala pada bahuku.

“Sayang.. aku pamit. Kamu sudah sampai pada perhentian terakhir hidupmu, sementara aku masih harus melanjutkan yang tertunda. Aku pergi sambil membawa rasa sayang ini. Bahagialah kamu di sana, ijinkan aku selalu membawa namamu di dalam sanubariku.” ujarku dalam hati.




Sejenak aku mengenang semua kebersamaan kami, sampai pada hari terakhir ia memejamkan mata untuk terakhir kalinya dalam pelukanku. Perih rasanya membayangkan aku pergi tanpa ada yang menanti lagi di saung ini. Dadaku sesak, karena rasa kehilangan dan kerinduan yang sangat mendalam.




Kuhadirkan semua kenanganku tentangnya, dan kuucapkan sekali lagi rasaku. Rasa yang belum bisa tergantikan oleh siapapun.




Kulihat petunjuk waktu di hapeku, jam 04.30. Setelah mengucapkan sebait doa, aku mencoba mengikhlaskan kehendak semesta yang telah memisahkan kami, juga memberi tahu kepada waktu bahwa aku rela berpisah. Sampai kapan aku bisa benar-benar lega? Aku tidak mau melawan takdir dengan berandai-andai. Kalau Ia memang merestui, tentu aku akan sampai pada titik itu. Tititk dimana aku bisa mensyukuri sebuah keadaan yang bernama perpisahan. Aku tidak akan pernah membenci Sang Pencipta karena keadaan ini, aku hanya butuh waktu untuk benar-benar sampai pada perasaan lega. Satu yang pasti.. aku sangat mencintainya.






Langit semesta…


Beri teduhmu untuknya


Karena dia adalah tetap kekasihku


Meski tak mungkin lagi bisa menyatu.




Kulangkahkan kakiku…


Langkah awal meraih mimpi…


Langkah awal perjalanan, juga petualangan pencarianku…


Langkah awal yang memisahkanku dari kampung yang telah melahirkan banyak kenangan.








https://t.me/cerita_dewasaa








Waktu sudah menunjukkan jam lima pagi ketika angkutan pedesaan menuju kota kabupaten tiba di alun-alun desa tempatku menunggu. Aku masuk melalui pintu belakang kotak besi berwarna kuning ini; lalu duduk di dekat pintu karena sudah ada beberapa penumpang lain di dalam terhimpit di antara tumpukkan karung dan dus-dus bekas mie instant tempat bawaan mereka.




Mobil pun bergerak perlahan menembus kegelapan dan melewati banyak perkampungan dan desa, hamparan pesawahan, hutan, dan perkebunan. Sambil menyusuri jalan yang membelah pesawahan, aku memandang kegelapan ke hutan berbukit di kejauhan. Di balik samar kegelapan subuh, tersembunyi kampung indah tempatku lahir dan mengenal kehidupan ini.




Bayangan hitam lereng-lereng yang berbaring memanjang nampak tersamar, berbaris di antara lembah-lembahnya. Di sanalah aku tumbuh. Mengenal setiap bukit dan lembahnya, hafal hutan dan ladangnya, tahu persis setiap baris pesawahan dan lingkar sungainya. Di sana… aku mengenal cinta.




Tepat jam enam aku tiba di terminal kabupaten. Kunaiki PO Cintung Kasarung jurusan Bandung. Bis yang kunaiki rupanya sudah penuh oleh penumpang dan hanya menyisakan beberapa kursi kosong di barisan paling belakang.




“Punten, Téh, tiasa calik di dieu?” (Maaf, Mbak, bisa (saya) duduk di sini) tanyaku kepada seorang gadis yang duduk di samping jendela.




Dia tak menjawab, tapi hanya menganggukkan kepala tanda meng-iya-kan.




“Hatur nuhun,” lirihku sambil meletakkan tas di antara tumpukan dus di belakang jok.




Aku duduk sambil meliriknya yang setengah memunggungiku. Seorang gadis manis dengan rambut hitam bergelombang.




Bis pun bergerak menandakan sudah saatnya berangkat. Ada perasaan kosong yang kurasakan seiring semakin jauhnya aku meninggalkan tanah kelahiran. Aku pun asyik dalam lamunanku, sepertinya halnya gadis di sebelahku yang juga anteng melamun.




Adalah kehadiran kondektur yang kemudian membuat kami sama-sama bergerak dan saling lirik sejenak. “Manis juga,” radarku kelelakianku langsung memberi tahu. Kuraih uang yang sudah kusiapkan di saku bajuku dan menyerahkannya kepada kondektur. Pun pula si gadis membayar ongkosnya dengan empat lembar uang pecahan sepuluh ribuan.




Kami sama-sama memandang punggung kondektur yang berjalan kembali ke depan, lalu kembali saling lirik. Kuberikan sebuah senyum, tapi ia hanya melengos sambil kembali memandang ke luar jendela.




“Badé ka Bandung, Téh?” sebuah pertanyaan bodoh kuajukan.




Kembali ia mengangguk.




“Téh Maya Bandungnya di mana?”




Pertanyaanku sukses membuat si gadis menengok dan memandangku sambil mengerutkan dahi. Kuajukan pertanyaan yang sama sekali lagi sambil membalas tatapannya.




Sebentar kupandang wajahnya yang manis dan ayu. Gincu merah jambu terpulas di bibirnya yang seksi dan tipis, pipinya agak merona kemerahan karena pulasan make-up tipis. Wajah cantiknya terpampang sangat indah; berpadu dengan rambut panjang-hitam-bergelombang.




“Namaku Sari. Jangan ganti nama orang sembarangan.” jawabnya.


“Iya… nama Tétéh Mayasari, kan?”


“Sembarangan!” Ia nampak tidak suka. “Nurmala Sari,” lanjutnya sambil memalingkan pandangan ke depan.




Aku hanya tersenyum mendengarnya. Ternyata tidak sulit untuk mengetahui nama gadis ini.




“Namaku Sirna.” aku mengulurkan tangan.




Bukannya menyambut uluran tanganku, Sari malah menahan tawa, dan aku sudah tahu penyebabnya. Dalam bahasa Sunda, sirna berarti “hilang” atau “lenyap.”




“Bade sirna ka mana, kitu?” (Mau menghilang kemana gitu?). Sari mulai tidak bisa menahan diri. Ia terkekeh.


“Beneran namaku Sirna, Purnama Sirnawa.” aku menegaskan.


“Ohhh…” gumamnya pendek tanpa mengabaikan tanganku yang masih terulur.


“Téh?”


“Sari saja.”


“Nur”


“Kok jadi Nur?”


“Kan Nurmala.”


“Iya deh Nawa.”


“Kok Nawa?”


“Kan Sirnawa.”




Kami pun sama-sama terkekeh, mendengar dialog aneh yang kami lakukan. Suasana pun menjadi cair meski aku belum bisa menyentuh kulitnya karena ia tidak menanggapi uluran tanganku.




Meski begitu, kehadirannya membuatku sejenak bisa melupakan rasa sedih karena meninggalkan kampung halaman. Sisa perjalanan pun terasa lebih menyenangkan seiring perkenalan dan obrolan ringan yang kami lakukan.




Sari, eh Nur, karena aku lebih suka memanggilnya demikian, ternyata berasal dari Kalapa Gunung, yang mencoba peruntungan dengan merantau dan ikut uwa-nya di Bandung. Sama sepertiku, ia baru sama-sama lulus SMA setahun yang lalu.




“Kok kamu manggil aku Nur terus, sih?” ia protes untuk kesekian kalinya.


“Lebih bagus Nur, gak pasaran.” jawabku.


“Iiiih…!!!”




Sebuah cubitan pun mendarat di lenganku, membuat aku bisa merasakan sentuhan kulitnya. Sentuhan pertama yang menyakitkan.




“Daripada Sirna. Lebih kampungan lagi. Absurd!!” ucapnya tanpa memedulikanku yang meringis kesakitan.


“Eh kamu Bandungnya di mana?” tanyaku sambil mengusap bekas cubitannya.


“Cimahi.” jawabnya.


“Tepatnya?”




Deeegh!!!




Aku terkejut saat ia menyebutkan sebuah alamat. Alamat yang sama dengan tujuanku.








BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar