Bejo Suharso adalah pensiunan PNS berusia 62 tahun dengan tubuh tambun dengan kulit hitam kecoklatan akibat terlalu sering berjemur di bawah sinar matahari. Wajahnya sudah dipenuhi keriput, matanya kuning kemerahan dan rambut keritingnya mulai membotak. Wajahnya bukan wajah seorang pria tua yang simpatik, bahkan cenderung buruk rupa.
Walaupun bukan orang berada dan hidup serba kekurangan, Pak Bejo dikenal lumayan akrab dengan penghuni sekitar sehingga sering dimintai bantuan dan punya banyak kawan di kampungnya. Sayang di balik kehidupannya yang bersahaja, terutama di depan keluarga Alya dan Hendra, Pak Bejo sebenarnya bukanlah orang baik-baik.
Bahkan dia jauh dari kata baik.
Pak Bejo adalah seorang preman yang sering judi, jajan PSK, mabuk-mabukan dengan anak-anak muda kampung, dan berkelahi dengan orang yang tidak disukainya. Bagi yang sudah sangat mengenalnya, Pak Bejo dikenal sangat bejat. Bahkan di kalangan preman, ia dikenal dengan julukan Bejo Subejat. Istri Pak Bejo tahu tentang kelakuan suaminya, tapi dia tidak peduli. Yang penting ada duit, semua damai.
Pak Bejo dan istrinya hampir tiap hari berkunjung ke rumah keluarga Hendra dan Alya. Biasanya Bu Bejo akan merawat Opi yang masih kecil setiap kali Hendra dan istrinya pergi bekerja. Pak Bejo dan istrinya memang suka dengan anak kecil apalagi yang selucu dan semanis Opi, tapi Pak Bejo jauh lebih suka melirik mamah muda Opi yang luar biasa cantik dan seksi.
Alya yang masih muda dan jelita adalah wanita impian Pak Bejo. Sejak pindah ke kampung ini, Pak Bejo tak pernah melewatkan waktu sedetikpun untuk mengamati ibu muda yang segar itu. Wajahnya yang cantik, tubuhnya yang seksi, baunya yang harum, kakinya yang jenjang, kulitnya yang putih mulus, rambutnya yang hitam panjang, buah dada yang montok berisi, pantat yang bulat kencang, semua yang ada pada Alya – semuanya; Pak Bejo demen.
Sejak Bu Bejo dipercaya dan sering dipanggil sebagai babysitter keluarga Hendra, Pak Bejo bisa memuaskan dahaga nafsunya untuk mencuri-curi pandang ke arah semua titik lekuk keindahan tubuh Alya di kala sang bidadari itu lengah.
Si Alya memang dahsyat. Coba lihat saja bibirnya yang penuh itu. Kalo dipake buat nyepong, baru nempel aja paling kontolku udah meler. Tubuh seindah itu memang diciptakan hanya untuk dientotin. Ahahaha, pasti sedep banget.
Batin Pak Bejo berkelana setiap kali menyaksikan kemolekan sang nyonya rumah. Hari ini pria tua berpikiran mesum itu lebih beruntung lagi, karena tadi pagi dia sempat mencuri celana dalam Alya yang belum dicuci dari kotak laundry. Dia sempat mencium bau harum belahan selangkangan Alya dari celana dalam bekas pakainya itu. Setelah istrinya tidur, malam ini Pak Bejo beringsut ke kamar mandi dengan sembunyi-sembunyi sambil membawa celana dalam Alya.
Tebak mau apa?
Mau apa lagi selain masturbasi? Ia segera menggoyang penisnya sendiri dengan membayangkan wajah Alya dan bermimpi bercinta dengan istri Hendra itu dari segala macam posisi. Pak Bejo merem melek dan mendengus-dengus penuh nafsu sementara tangannya bekerja.
Kampret. Kalau cuma begini terus, bisa rusak kontol ini aku betot. Gimana yah caranya supaya benar-benar bisa ngentotin istrinya Hendra yang semlohay itu? Mesti cari cara buat masukin kontol ini ke memeknya!
Setelah orgasme dan melepaskan air mani ke lantai kamar mandi, Pak Bejo kembali ke teras rumah dan kongkow-kongkow. Dia masih mengatur berbagai macam strategi untuk melaksanakan pikiran kotornya. Saat melamun, teringatlah Pak Bejo pada adik Alya yang juga sangat cantik dan seksi yang bernama Lidya.
Jingan. Si molek itu kayaknya curiga sama aku. Suatu saat nanti aku harus memberi dia pelajaran di tempat tidur! Yang mana yah enaknya? Alya atau Lidya yang sebaiknya aku entotin duluan? Wah wah, satu keluarga kok semlohay semua. Belum lagi kakaknya yang paling gede, siapa itu namanya… Dina? Wah… toketnya juga oke banget… ah ah… Dina, Alya atau Lidya?
Pak Bejo lantas membuka folder-folder gambar di hape murahannya. Di dalamnya terdapat tiga foto yang sangat dia sukai. Semuanya seronok dan diambil tanpa sepengetahuan sang target. Gambar Dina saat mengenakan kaos ketat yang memperlihatkan kemolekan bukit kembarnya, gambar belahan dada Alya saat pujaan Pak Bejo itu membungkuk sehingga memperlihatkan celah buah dada yang sangat sempurna dan gambar paha mulus Lidya yang seputih pualam.
Dina sudah menikah dan tinggal tidak jauh dari komplek rumah Alya, berbeda perumahan tapi masih dalam satu kawasan. Bersama suaminya, Anton, Dina memiliki dua orang anak yang sekarang sudah bersekolah. Sedangkan Lidya adalah pengantin baru yang tinggal di sebuah rumah agak jauh di pinggiran kota. Karena sering tugas keluar kota, maka Andi suami Lidya kerap menitipkan istrinya ke rumah Alya.
Kalau dari cerita mereka, kedua orang tua kakak beradik Dina, Alya dan Lidya sudah meninggal dunia karena kecelakaan beberapa tahun yang lalu. Beruntung mereka semua sudah menikah dengan orang-orang berpenghasilan mapan.
Sambil menikmati gambar ketiga kakak beradik yang seksi itu, Pak Bejo Suharso terus melamun hingga larut malam sambil menggaruk-garuk selangkangannya yang makin gatal.
Telegram : @cerita_dewasaa
Alya sudah bekerja keras sepanjang hari Minggu ini dan dia kelelahan. Ibu rumah tangga muda yang cantik itu sudah mencuci baju, memasak, membersihkan rumah, memandikan Opi dan menidurkannya.
Ia memang mengerjakan semuanya sendiri sejak asisten rumahtangganya yang lama menolak ikut pindah ke rumah baru dan memilih pulang ke kampung. Walhasil, hari ini si cantik itu lelah sekali, apalagi Alya harus melayani kunjungan ibu mertuanya yang baru pulang sore hari sementara Bu Bejo sedang mengunjungi relasi sehingga tidak bisa datang dan dimintai bantuan. Setidaknya setelah bekerja keras sepanjang hari tanpa henti, akhirnya Alya bisa beristirahat dengan tenang malam itu.
Setelah mandi menggunakan shower, keramas dan mengenakan piyama yang nyaman, Alya merebahkan diri di tempat tidur. Ia hanya ingin beristirahat. Sayang, Hendra sang suami punya pikiran lain dan mulai bergerak mendekati istrinya yang rebah membelakanginya. Hendra memeluk Alya dari belakang, menepikan rambut dan menciumi lehernya yang putih mulus.
“Masih ingat rencana kita memberikan adik untuk Opi?”
“Jangan sekarang, Mas.” tolak Alya dengan halus. “Aku capek banget.”
Hendra tidak menjawab, ia suka suara istrinya kalau sedang manja. Suami Alya itu terus menciumi lehernya dan meletakkan tangannya di payudara kiri Alya. Hendra meremas susu Alya perlahan dan menjilati daun telinganya, sementara tubuhnya kian mendekat sampai akhirnya Hendra bisa menempelkan alat vitalnya di belahan pantat Alya yang montok.
“Mas… jangan sekarang...” Alya menggeliat dan mencoba mendorong suaminya menjauh, ini protesnya yang kedua kali.
Tidak enak juga rasanya menolak melayani suami seperti ini, karena biar bagaimanapun Alya sangat mencintai Hendra dan ingin melayaninya sampai puas. Namun sayangnya, Hendra sering memilih waktu yang tidak tepat saat meminta jatah. Contohnya ya sekarang ini, jelas bukanlah waktu yang tepat, Alya terlalu lelah.
“Ayolah, sayang,” kata Hendra sambil mencopoti kancing piyama yang dikenakan Alya. “Aku kangen.”
“Mas... aku capek.” jawab Alya. Tapi karena Hendra terus merangsang payudaranya, Alya akhirnya luluh juga. Ia mendesah keenakan. Mau tak mau si cantik itu mengalah. Akan lebih baik kalau dia menyerah dan pasrah pada kemauan sang suami.
Alya berhenti menolak dan mulai rileks saat Hendra selesai melepaskan semua kancing piyama yang dikenakannya. Setelah istrinya telanjang dari perut ke atas, Hendra segera menyerang kedua payudara Alya yang ranum dan indah dengan ukuran yang bisa membuat iri setiap wanita berdada rata. Hendra memijat bukit kembar Alya dengan kedua belah telapak tangannya. Suami Alya itu mengelus-elus bukit cinta sang istri dan menciumi sisi-sisinya yang membulat. Hendra hanya sekilas mencium puting susu Alya, tidak cukup lama untuk membuatnya mengeras, lalu bangkit dan berlutut. Ia meraih bagian atas celana piyama yang dipakai Alya dan mencoba menariknya turun. Alya dengan desahan panjang mengangkat pantatnya ke atas supaya celananya mudah ditarik.
Hendra melucuti celana panjang piyama Alya dan melakukan hal serupa dengan celana dalam istrinya. Kini Alya sudah telanjang bulat di depan suaminya. Keindahan tubuh Alya bersinar terang bagai memancarkan aura. Keindahan tubuh molek seorang wanita matang yang menggiurkan bagi mata lelaki normal.
“Seksi banget, sayang. Sudah lebih dari lima tahun kita menikah, tapi bentuk tubuhmu masih indah. Masih seksi, masih mulus dan ehmmmm…” Hendra berhenti sambil mengamati istrinya, lalu melanjutkan lagi, “Tidak... tidak. Aku salah. Tubuhmu jauh lebih seksi, jauh lebih mulus dan jauh lebih aduhai dari siapapun kapanpun dimanapun.” Kata Hendra memuji keindahan tubuh istrinya.
“Gombal ah,” Alya tersenyum, yah paling tidak dia masih mendapatkan pujian dari suaminya, perawatan sederhana dan olahraga untuk menjaga kesegaran tubuh ternyata ada manfaatnya. “Ini semua untuk kamu, Mas.” Kata si cantik itu mesra, tangannya diangkat untuk menarik leher Hendra.
Hendra ambruk di atas tubuh Alya dan istrinya itu otomatis merenggangkan kakinya yang jenjang. Alya mengaitkan kakinya diantara pinggang Hendra dan menjepitnya lembut. Beberapa saat kemudian, Alya merasakan ujung kemaluan Hendra mulai menyentuh bibir kewanitaannya.
Wanita cantik jelita itu menarik napas panjang. Hendra memang bukan orang paling romantis di dunia dan seringkali ia bermain cinta tanpa memikirkan sang istri. Penis suami Alya itu lumayan besar dan kadang ia menyodokkan kemaluannya dengan asal, mengagetkan Alya.
Alya menahan napas dan memejamkan mata sementara Hendra melesakkan penisnya ke dalam vagina istrinya dengan sangat perlahan. Setelah seluruh batang kemaluan Hendra masuk ke dalam mulut rahimnya, barulah Alya melepas napas.
Hendra mulai menyetubuhi Alya dengan gerakan pelan dan lembut. Gerakan Hendra yang ajeg dibarengi dengan erangan dan lenguhan kenikmatan. Alya merintih pelan dan manja, untuk memberikan kesan dia menikmati permainan cinta yang diberikan suaminya.
Meskipun jujur Alya letih sekali.
…ataukah ini karena Alya tidak puas?
Sebenarnya permainan Hendra tidaklah terlampau buruk, tidak pula singkat, Alya dapat terpuaskan perlahan-lahan, tapi permainan Hendra tidak mampu melejitkan Alya ke puncak kepuasan yang optimal. Entah apa yang kurang ia sendiri juga tidak tahu. Selalu saja ada yang berasa kurang, tidak mencapai titik yang pernah ia bayangkan dalam hati. Bukan karena ia sering melakukan ini, Hendra adalah lelaki pertama yang merenggut mahkotanya. Mungkin karena Alya lelah atau ekspektasinya terlampau tinggi.
Alya mencoba mengimbangi gerakan memilin sang suami dengan gerakan pinggulnya, mencoba menyamakan ritme dengan gerakan mendorong yang dilakukan Hendra, tapi kali ini ternyata lagi-lagi Alya harus berpura-pura karena tak berapa lama kemudian Hendra sudah orgasme.
Alya tersenyum dan mencium suaminya lembut. Hendra menyentakkan penisnya dalam vagina Alya untuk kali terakhir sementara air maninya membanjiri liang kemaluan sang istri. Alya tidak pernah takut hamil, ia rajin minum pil KB, dia tahu Opi belum membutuhkan adik. Jika Opi sudah lebih besar nanti, ia ingin melengkapi keluarga mereka dengan anak kedua. Tapi itu jelas bukan sekarang.
Setelah semuanya usai, Hendra bergulir dari atas tubuh Alya, mengecup bahu sang istri dan memejamkan matanya dengan lega.
Alya bangkit dari ranjang, membersihkan diri sebentar dan kembali ke tempat tidur sambil memeluk suaminya yang sudah tertidur lelap penuh rasa puas.
Si cantik itu menarik napas panjang, entah kecewa atau lega.
Sementara itu, di luar sepengetahuan Alya dan Hendra, sesosok tubuh gemuk berhenti merekam adegan persetubuhan mereka. Ia sedari tadi bersembunyi di luar jendela kamar pasangan suami istri itu. Entah bagaimana, sosok itu bisa menemukan celah di antara tirai, mengintip ke dalam kamar lalu merekam adegan seks mereka dengan kamera smartphone murahannya. Ia beruntung kamar cukup terang sehingga rekamannya bisa terlihat, hasilnya pasti berbintik-bintik dan sama sekali tidak nyaman dilihat.
Sosok itu melangkah puas sambil terkekeh-kekeh pulang ke rumah.
Sosok Pak Bejo Suharso.
Telegram : @cerita_dewasaa
.: BEBERAPA HARI KEMUDIAN :.
Siang itu matahari tidak seterik biasanya. Awan gelap bernaung di langit untuk menahan sebaran sinar sang surya. Hawa panas yang biasa menghunjam sedikit luruh oleh selimut mega. Seperti biasa, langit mendung tidak berarti hujan.
Usai melirik cuaca dari jendela, Dina duduk di kamar santai dan menyalakan televisi, tapi ibu muda yang cantik itu tidak bisa menikmati tayangan yang sedang diputar. Ia justru terus memijat-mijat tangannya dengan gelisah di pangkuan dan bertanya-tanya apa yang diinginkan oleh Pak Pramono, pimpinan di tempat kerja Anton.
Pak Pramono menelponnya tadi pagi dan menanyakan apakah beliau boleh datang berkunjung ke rumah karena ada hal penting yang harus ia sampaikan pada Dina. Aneh banget gak sih? Anton yang bekerja buat dia aja baru keluar kota, kok malah mau datang ke sini? Memangnya apa ya yang ingin disampaikan Pak Pramono padanya? Kenapa tadi dia bilang ini berkaitan dengan masa depan Anton di perusahaan?
Walaupun tidak bisa dibilang tidak suka, Dina selalu merasa rikuh saat berhadapan dengan Pak Pramono. Orang itu sering memandanginya dengan canggung saat bertemu. Meskipun sudah tergolong berumur, tapi pria yang rambutnya sudah beruban itu bertubuh besar dan cukup gagah. Kulitnya yang hitam dan kumisnya yang lebat menambah angker penampilan Pak Pramono. Dia lebih mirip seorang perwira militer ketimbang bos perusahaan IT.
Jantung Dina yang terus gelisah seakan meledak saat bel pintu berbunyi.
Ini dia.
Hal apa gerangan yang mau dibicarakan Pak Pramono ya?
Dina buru-buru mematikan televisi, membukakan pintu dan mempersilahkan seorang pria masuk. Dia mengantarkan sang tamu ke ruang duduk di mana mereka berdua akhirnya berhadapan. Dina merasa sedikit grogi berbincang-bincang dengan pimpinan suaminya. Sangat jarang pimpinan Anton itu berkunjung kemari, bahkan bisa dibilang ini baru pertama kalinya mereka berdua berhadapan langsung.
“Selamat siang, Bu Anton. Bagaimana kabar anda?” tanya Pak Pramono memulai percakapan. Dia sopan, tenang dan cukup berkharisma. Sebaliknya Dina yang gugup sedang mencoba menenangkan diri.
Sebenarnya Dina cukup terkejut dengan pertanyaan sopan ini. Pak Pramono bukan orang yang suka berbasa-basi dan wajahnya cenderung menyeramkan. Satu-satunya pertemuan empat mata antara Dina dan Pak Pramono berlangsung di sebuah pesta perusahaan. Saat itu Pak Pramono bahkan tidak tersenyum pada siapapun. Sebaliknya Bu Pramono adalah seorang istri yang sangat ramah.
Dina memutuskan untuk tidak memasang wajah kaku dan berlaku santai. Dia mengatur napas dan duduk dengan tenang. Bagaimanapun juga dia tuan rumah. “Kabar baik, Pak. Terima kasih. Bagaimana kabar Bapak sendiri, dan Bu Pramono, sehat-sehat saja kan?” Dina mencoba bersikap ramah.
“Baik, semua baik. Istri saya juga baik-baik saja. Semua sehat.”
Dina melihat wajah Pak Pramono mengeras, sehingga perasaan tegang kembali menyelimutinya. “Sebaiknya saya langsung saja. Karena saya yakin Bu Anton pasti bertanya-tanya kenapa saya ingin menemui Ibu siang ini?”
“Betul Pak, jujur saya terkejut ketika mendapatkan telepon dari Bapak… apalagi saat ini Mas Anton sedang keluar kota dan rasanya agak…”
“Justru karena Pak Anton tidak berada di rumah sehingga saya berani mengambil kesempatan ini. Akan lebih baik kalau Pak Anton tidak ada di sini. Saya ingin berbincang-bincang mengenai persoalan serius pada Bu Anton perihal Bapak. Karena sifatnya cukup penting dan rahasia, saya beranikan diri untuk menghubungi ibu. Ini semua tentang Pak Anton.”
“Tentang suami saya? Apa ada masalah di tempat kerja?”
“Pertama, apakah ibu tahu soal kebiasaan Pak Anton berjudi?”
Dina terkejut dan hampir pingsan ketika mendengarnya, tapi setelah beberapa saat berdiam, dia mencoba menguasai dirinya sendiri dan menjawab. “Mas Anton tidak pernah berjudi, tidak tepat kalau disebut ‘kebiasaan’, Pak Pramono.”
Pak Pramono membuka tas kerja dan mengambil satu amplop manila. Dia membukanya dan mengeluarkan beberapa carik kertas dari dalam tas. Memisahkan sebagian dan mengambil beberapa lagi. Dia lalu menunjukkannya kepada Dina. Kertas-kertas itu adalah foto. Dina duduk terdiam. Kali ini pandangannya berkunang-kunang, dia benar-benar hampir pingsan.
Tidak mungkin… ini tidak mungkin…
“Ini buktinya,” kata Pak Pramono tenang.
Dalam foto-foto itu tergambar kegiatan Anton saat dia sedang di meja judi. Entah itu saat bermain kartu atau berbagai jenis kegiatan judi lain. Ada foto-foto saat Anton sedang memasang nomor taruhan, ada foto saat Anton merobek nomernya yang kalah dengan kesal dan ada foto Anton saat dia sedang minum bir bersama beberapa bandar yang terlihat di foto-foto sebelumnya.
“Darimana anda mendapatkan foto-foto ini?” tanya Dina kebingungan. Mukanya menjadi pucat pasi, ini sisi lain dari Anton yang benar-benar tidak dikenal oleh Dina dan dia sangat terkejut.
“Sebenarnya tidak penting informasi darimana kami mendapatkan foto-foto ini, yang mungkin penting diketahui oleh Ibu adalah bahwa kami selalu melakukan penyelidikan mendetail pada seluruh karyawan, termasuk Pak Anton. Terlebih lagi karena dalam kasus ini, kami memang mencurigai beliau.”
“Mencurigai! Kenapa?”
“Saya baru saja hendak menyampaikan alasannya. Auditor kami menemukan catatan sejumlah besar dana yang telah diselewengkan oleh seorang karyawan. Hal itu membuat kami harus memulai langkah penyelidikan. Setelah langkah-langkah diambil, semua bukti yang ada mengarah pada Pak Anton, suami ibu. Kami menghubungi pihak yang berwajib dan mereka mengirim beberapa intel untuk, mm..... mematai-matainya.”
“Ini pasti kesalahan besar. Anton tidak mungkin mencuri. Dia tidak pernah berjudi!” Dina mulai gusar, matanya mulai basah.
“Tentunya, seperti yang terbukti dari foto-foto ini, suami ibu jelas-jelas berjudi.” Pak Pramono mengeluarkan beberapa foto lagi dari amplop manilanya. “Bahkan kami punya bukti kalau Pak Anton juga telah melakukan korupsi dan menggelapkan uang perusahaan untuk kegemarannya tersebut.”
Dina yang shock duduk dengan mulut terbuka lebar karena terheran-heran. Ruang tamunya seakan berputar dan perlahan menjadi gelap.
Dina akhirnya benar-benar pingsan.
Telegram : @cerita_dewasaa
“Alya sayang.”
“Iya Mas?”
“Dasiku yang biru kamu simpan dimana sih? Sudah aku cari dari tadi tidak ketemu?”
“Ah, pasti belum dicari. Ada kok, di dalam lemari.”
Hendra selalu berharap Alya akan menyiapkan segala kebutuhannya sebelum berangkat ke kantor. Ketika mereka menikah beberapa tahun yang lalu, Alya sanggup melayani Hendra. Tapi kini, sebagai seorang wanita yang juga bekerja dengan seorang anak yang masih kecil, kesibukan pagi Alya sangatlah padat. Bangun pagi, menyiapkan makan, membangunkan Opi, memandikan Opi, menghidangkan sarapan… terus berlanjut sampai Hendra berangkat kerja, Opi sendiri diasuh Bu Bejo ketika Alya harus berangkat bekerja.
Saat Bu Bejo tidak datang, kehidupan Alya jauh lebih hiruk pikuk. Untungnya suami istri Pak dan Bu Bejo gemar menolong dan mereka selalu datang untuk membantu. Bu Bejo tidak pernah menolak membantu dalam hal apapun juga, hubungan kedua tetangga inipun terjalin erat. Hendra dan Alya sering memberi uang lebih pada Pak Bejo dan istrinya sebagai balas jasa.
Alya sebenarnya mendapat gosip dari tetangga-tetangga yang mengetahui kehidupan gelap Pak Bejo Suharso. Bahkan berdasarkan kabar burung yang bisa dipercayai kebenarannya, Pak Bejo adalah seorang suami yang pemabuk dan sering memukuli Bu Bejo dengan kasar. Hanya gara-gara kalah judi, Pak Bejo tega menghajar Bu Bejo sampai bengkak-bengkak membiru. Biasanya kalau sudah begitu, hanya Pak Bejolah yang datang ke rumah Hendra selama beberapa hari.
Alya menaruh iba pada Bu Bejo, kenapa dia masih tetap bertahan sebagai istri orang yang kasar seperti itu? Mungkin kondisi ekonomi membuat kehidupan Pak Bejo menjadi keras, tapi itu bukan alasan untuk menganiaya istrinya sendiri.
Seandainya Hendra yang berlaku demikian, maka Alya akan minta cerai dan pergi sejauh mungkin dari rumah ini. Bukanlah penganiayaan fisik yang membuat Alya marah, tapi penghinaan berlebih terhadap kaum wanita yang membuatnya tersinggung.
Alya hanya tertawa saat membayangkan Hendra menjadi seorang penganiaya istri, tidak mungkin terjadi. Mereka sudah pacaran sejak SMA dan Hendra adalah orang paling lembut yang pernah ia kenal. Kalaupun ada sifat Hendra yang paling mengesalkan adalah dia kadang cuek dan sangat keras kepala. Hendra tidak pernah mau menerima suatu hal dengan mudahnya, dia selalu berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu dan menerimanya hanya jika dia merasa berhak memilikinya.
Kekerasan dalam rumah tangga bukan hal yang nyaman untuk dibicarakan terlebih jika yang melakukannya orang-orang dekat. Tapi pada suatu ketika Alya pernah nekat menanyakan alasan Bu Bejo bertahan, dia hanya tertawa penuh kesabaran. “Sampeyan niku dereng ngertos nopo-nopo, Mbak. Mbak Alya belum mengerti apa-apa.” Jawab Bu Bejo sambil lanjut meneruskan pekerjaan rumahnya kala itu.
Tapi, Alya sudah membuat Bu Bejo berjanji, setiap kali Pak Bejo berlaku kasar, dia akan lari minta perlindungan pada Alya sekeluarga dan berusaha menyadarkan suaminya dari tindakan yang semena-mena itu. Hari ini Bu Bejo belum menampakkan batang hidungnya, dan Alyapun bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Dia hanya takut hal-hal buruk menimpa tetangganya yang baik itu.
“Opi, ayo habiskan makannya, kita berangkat” Kata Alya memperingatkan putrinya.
Putri kecil Alya punya kebiasaan buruk menghambur-hamburkan sarapan. Toh walaupun sudah masuk kelas 0 kecil, Opi masih seorang bocah. Alya melirik ke arah jam di dinding. Jam tujuh tiga puluh.
“Sayang, aku pergi dulu. Mungkin pulang agak telat hari ini. Ada meeting nanti sore dengan Bos Gede.” Kata Hendra sambil mencium pipi sang istri.
Melangkah keluar dari dapur, Alya dan Hendra mengangkat Opi dari meja makan setelah dia menyelesaikan sarapannya. Kalau Bu Bejo tidak datang, Hendralah yang mengantarnya ke sekolah. Setelah itu, biasanya Opi dititipkan pada sang nenek yang kebetulan tinggal di dekat sekolahnya dan juga bersedia menampung Opi. Hendra atau Alya akan menjemput Opi sore hari sepulang kerja.
Alya merasa tidak enak badan hari ini, sehingga dia memutuskan untuk absen kerja. Setelah menelpon kantor untuk minta ijin, Alya juga menelpon mertuanya untuk menitipkan Opi. Saat melintas di depan kaca, tidak sengaja Alya memperhatikan tubuhnya sendiri. Sangat susah mempertahankan badan agar tetap langsing bagi sebagian orang. Tapi bagi Alya, dia bagai dikaruniai sebuah tubuh indah yang sangat sempurna, beranak satu tapi masih bagaikan gadis muda. Alya merapikan rambut panjangnya yang agak kusut.
“Kamu memang seksi banget, sayang. Kalau jalan-jalan di mall, pasti banyak cowok pengen menggoda.” Kata Hendra. Dia selalu memuji istrinya. Memang bukan hal aneh kalau Alya sering digoda cowok dimanapun dia berada karena sangat cantik dan seksi. Tapi Alya adalah seorang istri yang setia dan punya martabat yang ia junjung tinggi. Dia hanya menjulurkan lidah dengan manis pada suaminya.
“Mama, Opi pegi dulu.” Kata si kecil sambil mencium pipi sang bunda.
“Iya. Hati-hati ya sayang.” Alya mengecup dahi Opi. “Nanti Papa jemput kamu di rumah nenek.”
“Aku pergi dulu, say.” Hendra pamit sambil menggandeng Opi.
Alya melambaikan tangan pada mereka berdua.
Alya ambruk ke atas ranjang setelah Hendra dan Opi pergi. Pengaruh obat yang dia minum setelah sarapan tadi membuatnya sangat mengantuk. Ibu rumah tangga yang jelita itu tertidur selama hampir dua jam sebelum terbangun dan memutuskan untuk bersantai-santai sambil membaca blog santai atau menonton Youtube mengunakan tabletnya.
Alya masih bertanya-tanya kemanakah Bu Bejo hari ini.
Telegram : @cerita_dewasaa
Saat kemudian terbangun, Dina menemukan dirinya sedang terbaring di atas sofa dan Pak Pramono duduk di sampingnya. Kepalanya begitu berdenyut sampai-sampai membuatnya hilang keseimbangan sesaat sebelum kesadaran benar-benar datang.
“Anda ingin saya ambilkan segelas air?” tanya Pak Pramono.
“Apa yang terjadi?” Dina mengejapkan matanya yang pedas dan menyentakkan memori, gelombang ingatan yang datang bagaikan ombak berderu menghantam dan membuatnya pening, “Ya Tuhan, saya ingat! Tidak mungkin!! Mas Anton tidak akan melakukan itu semua!?” susah payah Dina mencoba menarik napas, ia tidak tahu apakah harus menangis atau marah, “A-apa… apa yang akan anda lakukan? Saya mohon pertimbangkan lagi ini... laporan ini akan menghancurkan keluarga kami. Saya mohon.”
“Itulah sebabnya hari ini saya memutuskan untuk datang kemari dan menemui Ibu Dina. Saya punya penawaran seandainya Ibu Dina berkenan dan tertarik.” Kata Pak Pramono. Pandangan matanya yang tajam menatap Dina membuat ibu dua anak itu bergidik ketakutan. Apa yang dia maksudkan?
“Pe... Penawaran? Untuk saya? A... Apa yang bisa saya lakukan?”
Pak Pramono tersenyum nakal. “Begini, Ibu Dina, atau boleh saya panggil Mbak Dina saja supaya akrab? Anda terlalu muda dan cantik untuk dipanggil ibu.”
Dina mengangguk. Muda dan cantik?
“Baiklah, Mbak Dina, begini... sebenarnya, anda bisa membantu suami, dalam hal ini Mas Anton, dan juga seluruh keluarga Mbak Dina jika setuju dengan syarat yang akan saya ajukan. Saya punya bukti-bukti kuat yang akan menggiring Pak Anton ke penjara untuk jangka waktu yang sangat lama. Saat melakukan penyelidikan, kami juga menerima berkas-berkas laporan keuangan dan bon tagihan bulanan keluarga anda.”
Dina sudah siap memprotes karena merasa penyelidikan itu terlampau jauh dan mengusik kehidupan pribadi keluarganya, tapi ia kemudian terdiam dan membiarkan Pak Pramono meneruskan keterangannya.
“Memang apa yang saya lakukan bersama tim terdengar ilegal, tapi saya bersumpah apa yang kami lakukan sah sesuai hukum. Saya menyampaikan info ini kepada anda, karena ingin anda mengerti posisi kami. Dari apa yang kami dapatkan, kami menemukan bukti bahwa keluarga anda telah berfoya-foya dengan membeli berbagai peralatan elektronik dan…”
“Berfoya-foya? Kami tidak pernah minta apa-apa! Itu semua Mas Anton yang membelikan tanpa pernah kami memintanya!” teriak Dina panik.
“Kami minta maaf, tapi saya tetap pada pernyataan saya. Suami anda menghabiskan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan seiring dengan kegiatan judi yang dia lakukan dan banyaknya hutang yang dia tanggung dari kegiatannya itu, saya rasa anda tidak sanggup mengeluarkan lebih banyak lagi dana dari anggaran belanja anda. Pak Anton harus kehilangan pekerjaan dan mendekam di penjara.”
“Ya Tuhan, lalu apa yang akan terjadi kalau anda melakukan itu?! Kami akan kehilangan rumah! Anak-anak! Apa yang terjadi pada mereka? Sekolah dan lain-lain!”
“Benar sekali. Itu sebabnya saya ada disini. Saya ini bukan pendendam, saya hanya bekerja sesuai posisi yang saya pegang. Saya memang sangat marah saat tahu Pak Anton telah mencuri uang perusahaan, tapi saya lalu teringat pada Mbak Dina dan… ahh, saya punya penawaran menarik.”
“Apa yang anda maksud… penawaran menarik?”
“Apakah anda berniat membantu Pak Anton mempertahankan pekerjaannya dan menjauhkan suami anda dari jeruji penjara?”
“Tentu saja.”
“Apa yang anda akan lakukan untuk itu?”
“Apa saja.”
Tentunya Dina bermaksud membayar kembali hutang Anton pada perusahaan, bahkan jika dia harus menjadi pembantu rumah tangga atau buruh cuci untuk melakukannya. Apapun akan dia lakukan untuk mengembalikan hutang Anton itu.
Dina akan sangat terkejut saat Pak Pramono mengutarakan niatnya.
“Saya sangat lega anda berpendapat demikian, Mbak Dina. Tahu tidak, anda sungguh sangat cantik jelita. Sangat mempesona. Saya kagum sekaligus iri pada Pak Anton yang memiliki istri seperti anda.”
Wajah Dina memerah, bukankah ini waktu yang tidak tepat untuk memuji? “Terima kasih. Tapi sebaiknya kita tetap pada pokok permasalahan.”
“Itulah yang sedang saya lakukan. Saya ingin menolong keluarga anda keluar dari kesulitan ini. Dengar baik-baik apa yang hendak saya sampaikan: saya tidak sombong, tapi saya memiliki sedikit kebebasan finansial, jadi saya bisa mengganti semua uang yang dicuri suami anda dari perusahaan hanya jika… jika anda berlaku ‘baik’ terhadap saya.”
“Pak Pramono, apa saya tidak pernah berbuat baik pada anda? Apa pernah saya berlaku tidak sopan pada anda?”
“Mbak Dina. Anda selalu sopan terhadap saya. Tapi itu bukan ‘kebaikan’ yang saya maksudkan. Apa anda tahu maksud saya?”
“Mohon maaf, tapi saya tidak tahu. Pikiran saya sedang kalut dan saya tidak bisa berpikir jernih. Apa yang anda maksud?”
“Baiklah. Saya akan terus terang saja. Kalau anda ingin saya melupakan kelakuan suami anda dan kerugian yang diderita perusahaan, saya ingin Mbak Dina melayani saya. Tidur dengan saya. Saya ingin menggauli tubuh indah Mbak Dina.”
Mulut Dina menganga tak percaya. Dia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Wajahnya pucat pasi dan dia duduk di kursi dengan menggigil ketakutan. Akhirnya, setelah mengumpulkan semua kekuatan karena shock, Dina berteriak kencang. “Keluar dari rumahku! Pergi! Orang tua tidak tahu diri!”
Pak Pramono memindahkan foto-foto yang berada di amplop manila dan meletakkannya di dalam tas kerja dengan santai. Lalu dengan sengaja dia meletakkan tas itu dengan keras di atas meja sehingga membuat Dina terperanjat. Pak Pramono berdiri, membalikkan badan dan perlahan berjalan ke arah pintu. Setelah lima langkah, Pak Pramono berhenti dan membalikkan wajah ke belakang menatap sang ibu muda jelita yang tengah kalap itu.
“Tidak akan ada penawaran kedua, kita sama-sama tahu diri dan tahu posisi,” kata Pak Pramono dingin. “Saat saya melangkah keluar dari rumah ini dan anda tidak bersedia menerima persyaratan yang saya minta, maka pihak yang berwajib – kepolisian, akan segera dihubungi. Segera artinya segera.”
Dina meloncat dari kursinya dan berusaha menahan kepergian Pak Pramono. “Tunggu! Saya mohon tunggu, Pak! Berhenti dulu!” Dina sangat kebingungan. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang sebaiknya ia perbuat? Keputusan apa yang harus dia ambil? Seluruh tubuhnya bergetar karena takut dan dia tidak dapat berpikir jernih. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
Setelah melalui lautan gejolak batin, Dina akhirnya mengangguk lemah. “Baiklah. Anda menang.”
Tidak ada jalan lain lagi.
“Apa itu artinya kamu mau melakukan semua yang aku minta?” Pak Pramono berubah menjadi lebih ketus. Tidak ada lagi anda – saya, sekarang sudah menjadi kamu – aku.
Dina ragu-ragu sesaat, matanya jatuh menatap lantai dengan hampa, ia tahu ia tidak punya pilihan lain selain mengaku kalah dan pasrah. Akhirnya dengan suara lemah si cantik itu menjawab. “Ya.”
“Bagus. Kita buktikan kesungguhanmu.” Pak Pramono kembali duduk di kursi tamu dan menunggu dengan santai bagaikan dialah sang tuan rumah. Saat Dina berdiri terdiam, Pak Pramono pun tersenyum puas, wajahnya yang culas mulai menyeringai.
“Buka bajumu.” Perintah Pak Pramono.
0 Komentar