PARA ISTRI DAN PRIA TUA
Sudah beberapa jam ini Dina Febrianti resah menghitung tagihan bulanan yang bertebaran di atas meja makannya. Wanita cantik berusia 30-an tahun yang terlihat sepuluh tahun lebih muda itu berulang kali mengusap rambutnya yang tidak gatal.
Ia membolak-balik belasan kertas berisi deretan angka. Tagihan listrik, telepon, air, televisi kabel, pulsa, internet, kartu kredit, cicilan motor, cicilan mobil, pembayaran kredit kontrak rumah dan cicilan kredit biaya rumah sakit mertua. Jumlah terhutang sangatlah besar dan tiap bulannya seakan jumlah itu selalu bertambah besar karena bunga yang ditanggung juga meningkat. Bunga berbunga yang seperti tiada akhir, derita para pengguna kredit.
“Huff...
Dina menarik napas panjang, mencoba melerai stress dari dalam pikirannya. Ia menyisihkan surat-surat tagihan dan mengambil sebuah amplop besar berwarna coklat yang berisi tagihan kredit pinjaman pembangunan rumah. Anton dan Dina memang tengah membangun sebuah rumah di kawasan pinggir kota karena sudah bosan selama ini mengontrak terus.
Sayangnya, rumah yang sedang mereka bangun saat ini menurut Dina terlalu besar dan mewah untuk ukuran mereka, bukannya tidak suka, ia hanya merasa dengan kondisi keuangan saat ini mereka belum siap membangun rumah sebesar itu, terlebih dengan kredit di tempat lain yang belum lunas terbayarkan. Terlalu gegabah membayar kredit begitu besar sementara kebutuhan lain belum terlunasi.
Dina sering membujuk Anton agar berhemat karena dia tahu untuk membangun rumah seperti yang diinginkan Anton akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan seandainya mereka mengambil kredit, maka biaya berikut bunganya akan sangat besar karena mereka kemungkinan mengambil kredit tanpa jalur KPR.
Anton selalu saja hanya tertawa dan mengatakan istrinya terlalu banyak khawatir. Namun saat menyesuaikan keuangan rumah tangga dan tagihan hari ini, Dina tahu kekhawatirannya beralasan, ini yang dinamakan besar pasak daripada tiang, pemasukan mereka minim sementara hutang terus membengkak. Saat memeriksa catatan pemasukan Dina bisa menarik napas lega, untungnya jumlah anggaran yang mereka kumpulkan bulan ini cukup untuk membayar semua tagihan. Paling tidak cukup untuk bisa bertahan hidup hingga beberapa bulan kedepan.
Dina berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih hati-hati dalam hal keuangan. Dia berniat memaksa Anton untuk lebih bijaksana. Paling tidak mereka bisa memotong anggaran untuk kartu kredit dan kembali ke pembayaran tunai. Bunga yang ditarik oleh bank untuk kartu kredit sangatlah besar dan membuat mereka mengalami defisit akibat terlalu mudah belanja. Entah bagaimana caranya mereka harus bisa menutup kartu kredit yang didimiliki
Sebelumnya tiap kali hendak memotong kartu kredit permintaan Dina selalu ditampik oleh Anton. Suami Dina itu selalu mengulang-ulang kata-kata andalannya, kalimat yang sama yang sekarang bagaikan di-loop berulang di benak Dina.
Jangan khawatirkan masa depan, karena semuanya belum terjadi. Jangan pula khawatirkan masa lalu, karena apa yang terjadi sudah tidak bisa diulangi. Lebih baik kita nikmati apa yang ada pada saat ini dengan berpikiran positif. Percayalah, semua akan baik-baik saja.
Seandainya mengesampingkan kesulitan finansial yang dialami keluarganya, kehidupan Dina sangatlah sempurna. Menikah saat berusia muda setelah lulus kuliah, dia memiliki suami tampan dan berpenghasilan mapan, dua anak yang hebat dan pintar, keluarga yang mandiri yang tidak bergantung pada orang tua.
Nikmat mana lagi yang didustakan? Dia amat mencintai Anton dan suaminya itu memiliki penghasilan yang cukup untuk menghidupi satu keluarga sederhana. Bersama kedua putranya yang masih kecil, ibu muda yang cantik ini memiliki segala yang mereka inginkan. Hanya sayangnya, mereka tidak punya tabungan di bank seandainya sewaktu-waktu diperlukan pengeluaran mendadak.
Dina tersenyum saat teringat pada kedua anak kebanggaannya. Dani, putranya yang paling besar baru saja naik kelas 2 SD, sedangkan adiknya Dion sebentar lagi akan masuk ke TK B. Keduanya anak cerdas dan membanggakan, namun mengingat kebutuhan mereka yang makin hari makin banyak, senyum Dina memudar. Alat tulis, buku dan seragam semakin mahal. Belum lagi Dani sudah dekat waktunya disunat, tentu biaya yang dibutuhkan akan sangat besar kalau mereka mengadakan syukuran.
Dina mencari amplop berisi uang belanja bulanan yang biasa diberikan Anton. Begitu menemukannya, Dina langsung menghitung uang yang diberikan Anton bulan ini.
Kok aneh…? Tumpukannya terasa lebih tipis, jangan-jangan…
Dina menghitung jumlah uang yang ada di sana. Keningnya berkerut. Dina menghitungnya lagi. Ibu muda yang cantik itu meneguk ludah. Kok… cuma segini?
Takut salah, sekali lagi Dina menghitung ulang.
Tidak! Dia tidak salah hitung! Memang cuma segini.
Betapa kagetnya Dina begitu tahu jumlah pemberian uang belanja bulan ini sangat sedikit. Tidak akan mencukupi kebutuhan rumah tangga selama sebulan! Dina tidak meminta uang belanja yang berjuta-juta, cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari saja sudah bersyukur. Tapi jumlah uang yang mepet itu ternyata masih dipotong lagi oleh Anton! Mana suaminya itu juga tidak bilang diambil untuk keperluan apa!
Dina menarik napas panjang, tangannya menjulur mengambil smartphone, jemari lentiknya lincah menyusuri layar sentuh. Anton belum juga membaca pesan WhatsApp darinya sejak siang tadi. Kemana saja dia? Dina tidak suka mencampuri pekerjaan Anton, tapi karena sudah hampir jam pulang, ia beranikan diri memencet nomor sang suami.
Nomor yang anda hubungi sedang berada di luar jangkauan.
Dina mencoba telepon kantor.
“Selamat sore. Ini dengan istri Pak Anton Hartono, apa bisa disambungkan dengan beliau?” Dina menunggu sebentar, “oh sudah pulang sejak tadi ya? Baik terima kasih, Mbak. Iya tidak apa-apa, saya hubungi ponselnya saja. Iya, terima kasih…”
Dina meletakkan gawainya dengan terheran-heran. “Kemana lagi dia? Bukannya pulang malah keluyuran?!”
Saat itu juga terdengar pintu depan terbuka, langkah kaki yang sangat dihapal Dina masuk ke ruang tamu. Panjang umur. Lega sekali Dina suaminya sudah pulang.
“Maaa, aku pulaaang. Masakin air, ya. Aku mau mandi air panas. Cuuaapek sekali. Hari ini pekerjaanku gila-gilaan.”
Belum sempat Dina berdiri dan menyambut suaminya, Anton sudah masuk kamar dan ambruk di tempat tidur. Dina hanya menghela napas panjang dan menyiapkan ceret untuk memasak ai
Sayangnya Dina tidak tahu, Anton sebenarnya menyimpan rahasia.
Tanpa sepengetahuan Dina, Anton sebenarnya memiliki hobi lain yang tidak halal. Sudah bertahun-tahun Anton berjudi tanpa sepengetahuan Dina. Bahkan dia adalah seorang pemain judi yang sudah akut. Sebelum pulang hari ini pun dia menyambangi arena taruhan dan di luar rumah tadi dia menyobek-nyobek kupon taruhannya karena lagi-lagi salah memasang nomor. Perhitungannya meleset jauh padahal jumlah uang yang dijadikan taruhan tidak sedikit. Itulah sebabnya kenapa kali ini dia pulang ke rumah dengan sangat lesu.
“Pa, kenapa bulan ini isi amplop coklat Mama berkurang banyak, ya? Kan tidak cukup untuk bayar macam-macam sebulan?” Dina mencoba berhati-hati menanyakan perihal jumlah uang belanja sembari merapikan sepatu dan tas kerja Anton, ketika ia memasuki kamar dan menemui suaminya tergeletak lemas di ranjang. “Mama sih cuma butuh untuk membayar tagihan dan belanja saja, tidak perlu lebih. Tapi kayaknya yang bulan ini tidak cukup untuk membayar semuanya.”
Masih berbaring di ranjang, Anton menjawab dengan kepala masih terbenam di bantal, “santai saja, Ma. Ada kok. Aku cuma pinjam sebentar untuk membeli keperluan kantor sama beberapa koleksi. Besok pasti aku ganti. Tenang saja.”
Suara lembut Anton membuat hati Dina luluh. Si cantik itu sangat mencintai suaminya dan dia tahu Anton juga memujanya. Yah, memangnya kenapa kalau suaminya itu sedikit boros? Uang belanja adalah uang Anton juga, sehingga kalau dia memang memerlukannya, tidak ada salahnya Dina rela. Apalagi Anton sudah memberikan banyak hal untuk Dina dan anak-anaknya. Anton sudah membuai mereka dengan harta benda dan kasih sayang berlimpah.
Tiba-tiba saja tangan Anton menarik Dina hingga rebah di ranjang. Dina tertawa kecil sembari meronta dan mencoba bangkit.
“Shhh, anak-anak belum tidur. Jangan aneh-aneh ah,” Bisik Dina pada suaminya yang tiba-tiba saja ‘menyerangnya’. Sekali dua kali Dina melirik ke arah pintu kamar dan berharap kedua anaknya tidak tiba-tiba muncul.
“Lah, masa aku nggak boleh ngentotin istriku sendiri?”
“Pa! Bahasanya kok jorok gitu? Kampungan!”
“Hm, kalau dulu aku tahu akan menikahi perempuan lugu, aku pasti protes keras pada almarhum Bapak dan Ibumu,” canda Anton. “Mereka membesarkan seorang anak perempuan yang pintar dan cantik jelita tapi naif luar biasa.”
“Tidak lucu. Memang kenapa kalau aku anak kemarin sore yang naif atau lugu? Salah sendiri kamu mau menikah sama aku.”
Anton mengamati istrinya: rambut panjang indah menggelora, bulat mata indah dengan bulu mata yang lentik, pipi halus tanpa bercak ataupun jerawat, kulit mulus seputih susu, buah dadanya masih membusung kencang, pinggang langsing, pinggul sempurna di atas pantat yang bulat merangsang dan kaki jenjang yang sangat menawan.
Saking mempesonanya, dulu pernah sekali waktu, seorang agen iklan meminta Dina menjadi model iklan sabun mandi terkenal, namun Dina menolaknya karena ia hanya ingin menjadi ibu rumah tangga biasa. Sejak menikahinya hingga kini, Anton selalu mengagumi kemolekan istrinya yang hampir sempurna, anugerah terindah yang pernah ia miliki. Kemanapun Dina pergi, mata para kaum Adam selalu mengikuti alunan anggun gerak tubuhnya. Sungguh Anton seorang lelaki yang beruntung.
Tangan-tangannya dengan nakal menjelajahi perut Dina. Masih seperti perut seorang gadis remaja, padahal kenyataannya sudah melahirkan dua orang anak.
“Bukan naif dan lugu ya? Hmm... kalau begitu kamu ini wanita konservatif.”
“Maksudnya?”
Anton mulai menyesal memulai percakapan ini.
Dina sangat lugu dan naif dalam hal bercinta dan berpenampilan. Pakaian yang dikenakan istrinya selalu sopan dan tidak pernah menonjolkan kemolekan tubuhnya. Dina juga bukan seorang petualang di ranjang. Dia pemain seks yang amatir dan monoton. Berciuman, saling raba lalu bercinta dengan posisi missionary. Selalu begitu, tidak ada inovasi posisi, tidak ada perubahan, konvensional.
Sekali dua kali, Anton bisa melakukan doggie style, tapi istri Anton itu tidak pernah mengijinkan kemaluan sang suami menyentuh anusnya dalam kondisi apapun, anal sex adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan. Walaupun Dina pernah mengatakan kalau istilah doggie style itu juga merendahkan diri sama seperti binatang, namun dalam kondisi ‘panas’ Dina biasanya menyerah pada keinginan suaminya.
Di awal pernikahan mereka, Anton pernah mencoba melakukan oral seks pada bibir kewanitaan Dina, tapi istrinya itu langsung menjerit dan melonjak-lonjak marah. Dia menghardik Anton dan menandaskan kalau kemaluan mereka kotor dan tak layak dicium atau dijilat.
Dina tidak pernah mengerti kenapa Anton ingin menjilati bibir kemaluannya yang merupakan sumber penyakit. Sebaliknya pun begitu. Suatu ketika sesaat setelah Anton meminta Dina mengulum penisnya, istrinya itu langsung mengunci diri di dalam kamar mandi dan tidak mau keluar selama dua jam. Sejak saat itu Anton tidak pernah meminta posisi yang aneh-aneh lagi. Asal bisa menyentuh istrinya, posisi missionary pun jadilah.
“Jadi? Kok malah bengong? Ayo jelasin! Kenapa konservatif?” lanjut Dina. “Apa karena aku ini kolot dan konvensional? Bukan wanita murahan? Bukan cewek yang kamu suruh apa-apa aja mau? Digulingkan kesana kesini terus buka paha?”
“Duh, kejauhan nih. Kok jadi begini ya? Sudahlah. Lupakan saja.”
“Ga mau ah. Kan kamu yang memulai percakapan ini, jadi aku ingin mendengar lanjutannya. Kenapa aku ini wanita konservatif?”
“Yah, Mama kan memang tidak ingin mencoba hal-hal baru saat bercinta denganku, jadi...”
“Aku melakukan apa yang menjadi tugasku,” kata Dina penuh emosi. “Aku sudah berusaha menjadi seorang istri yang baik, setia, selalu melakukan apa yang kamu minta dan telah memberimu dua orang anak yang cerdas! Masih kurang?”
“Iya… iya… Maafkan Papa, ya? Kamu benar, Mama sayang, aku minta maaf.” Anton mengalah. Dia berusaha mengembalikan mood sang istri yang nampaknya mulai naik pitam. Tangannya kembali bergerak menggerayang.
“Males.” tolak Dina sambil menepis tangan Anton yang meremas payudaranya. Dina bangkit dari ranjang. “Itu airnya sebentar lagi siap.”
Anton memahami nada suara istrinya yang tinggi dan memiringkan badan untuk mengecup bibir Dina. Anton bagaikan mengecup sebatang es batu. Dingin, dan tanpa membuka mulut. Setelah mencium bibir Anton tanpa ekspresi, Dina melangkah keluar kamar. Anton ikut bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi.
Entah kenapa, setelah duabelas tahun menikah dan hapal dengan sifat-sifat Dina, dia dengan tololnya memutuskan untuk membicarakan hal yang menyinggung perasaan istrinya. Kalau sekarang malas, nanti malam pasti juga ditolak kalau minta jatah. Suami Dina itu terpaksa bermasturbasi di kamar mandi untuk melepas hasrat birahinya.
Bukannya bisa ngentotin Dina, malah harus ngocok sendiri di kamar mandi.
Apes bener dah, dasar sial.
0 Komentar