ADAPTASI (PROLOG)

 

Mentari nampak sangat bersahabat dengan para awan, sehingga siang ini terasa tak begitu panas. Beberapa burung berkicau riang sembari terbang ringan hinggap kesana kemari di antara ranting sebuah pohon beringin besar. Sebuah pohon beringin yang berumur mungkin puluhan atau bahkan telah mencapai ratusan taun tersebut tumbuh subur dan cukup rindang berdiri kokoh di halaman depan sebuah SMA. ​

Berada di lingkup halaman sekolah.

Gemuruh suara teman-teman bersorak ria merayakan kelulusan SMA. Hal itu tergambar dengan jelas dari keceriaan yang nampak tergambar jelas di wajah mereka. Sebagian mengekspresikan kegembiraan dengan mencoret-coret baju seragam, baik itu dengan spidol permanen, maupun menggunakan cat pillox.

Namun hal itu tidak denganku, justru aku memilih menyendiri menjauh dari keramaian teman-teman se-angkatanku.

Perbincangan diantara mereka hampir mayoritas berkaitan dengan rencana-rencana mereka setelah lulus SMA. Ada yang ingin melanjutkan kuliah di Universitas Diponegoro, Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Indonesia, bahkan ITB yang notabene salah satu universitas terfavorit di Indonesia.

Selain itu pembicaraan mereka lebih mengarah tentang harta dari orang tua. Mereka menceritakan mendapat reward sebuah mobil, motor sport hingga tour keluar negeri dari orang tua karena berhasil lulus dari bangku SMA. Hal tersebut jelas membuatku minder bergabung dengan hiruk-piruk kebahagiaan mereka

Aku sadar diri, siapa aku? Ya, dalam hal materi aku memang berbanding terbalik 180 derajat dibandingkan dengan teman-teman di sekolahku ini.

Tempatku bersekolah mayoritas di penuhi anak-anak dari kalangan menengah ke atas. Aku dapat bertahan menyelesaikan studi SMA-ku hanya karena mendapat beasiswa berprestasi. Aku sangat memaklumi atas perlakuan teman-temanku yang lain. Mereka sering menghindar dariku, tak mau berurusan denganku dan banyak juga mengacuhkan keberadaanku di sekolah ini, semua itu dikarenakan keterbatasan materiku. Mereka yang tingkat sosialnya tinggi hanya menganggapku kaum minoritas, tidak selevel atau bahkan jauh di bawah level mereka. Bagiku itu hal wajar, sekali lagi aku sadar siapa aku.

Untuk urusan wajah, entah benar atau hanya bualan orang-orang yamg menilai, wajahku menurut segelintir orang cukup tampan. Penilaian wajah menurutku relatif, tergantung dari sisi mana orang menilainya. Postur tubuhku lumayan tinggi sekitar 175 cm, berat 65 Kg. Untuk bentuk tubuh, aku bersyukur mempunyai bentuk tubuh yang bisa kubanggakan. Dadaku berbidang dan perutku membentuk sixpack kudapat karena terbiasa dengan pekerjaan yang cukup berat, yaitu sebagai kuli panggul di pasar. Hal itulah yang membuat otot-otot di tubuhku terlihat kekar dan kuat. Iya, dengan bangga aku mengakui jika separuh waktu kuhabiskan untuk menjadi kuli panggul di pasar. Hasilnya jelas untuk menambah rupiah guna menyambung hidup.

Tiba-tiba perhatianku teralih setelah mendengar suara langkah kaki yang semakin lama terdengar semakin jelas. Suara langkah kaki milik seorang gadis yang bergerak menghampiriku. Gadis itu tersenyum manis sambil membawa setangkai mawar putih di tangannya.

Gadis cantik yang mempunyai senyuman yang khas karena memiliki lesung pipit di pipi kiri dan dua buah gigi gingsul yang terlihat ketika dirinya tersenyum atau tertawa lebar. Walau terkesan mirip dracula dengan dua gigi taringnya yang sedikit menonjol ke depan, dimataku itu malahan membuatnya semakin nampak cantik dan mempesona.

Gadis itu bernama ANINDITA RAHARJA. Atau aku dan teman-teman lebih akrab memanggilnya Anin. Baik, supel dan ala kadarnya hal itu menempel lekat di gadis cantik tersebut

Menurut sisi penilaianku, Anin merupakan gadis yang baik mengingat dia berbeda, atau bisa dibilang berbanding terbalik dengan mayoritas teman-temanku di sini. Dia sering menyapaku walau sekedar basa-basi, mengajak ke kantin ataupun mengajakku belajar bersama.

Di sekolah hanya Anin teman yang paling sering ngobrol denganku, tak pernah dia menggubris pandangan teman-teman yang lain, yang lebih senang mengucilkan atau membully si miskin sepertiku. Kadang aku dibuat tersenyum mengingat Anin yang tak pernah bosan ataupun kapok mengajakku ngobrol walaupun terkadang hanya kujawab dengan sebuah anggukan kepala.

Tiba-tiba...

Sosok yang kubicarakan kini sudah berada di hadapanku.

“Selamat ya, Gas. Kamu lulusan dengan predikat terbaik, loh.” Sapa Anin, sambil tersenyum manis ke arahku.

“Iya, sama-sama Nin,’ jawabku singkat, sembari mengarahkan pandangan ke bawah. Entahlah bertatap muka dengannya merupakan hal berat untukku saat ini.

“Makasih ya, Gas. Udah mau berbaik hati belajar bersama sekaligus ngajarin Anin, jadi nilai-nilai Anin ikutan bagus. Nih bunga buatmu Gas.Hehehe.” Seloroh Anin panjang, sambil memberi seuntai bunga mawar berwarna putih padaku.

“Bukan aku yang bikin nilaimu bagus, Nin. Melainkan itu berkat usaha dan kemauan belajarmu sendiri.” Jawabku singkat, berbicara sesuai dengan kenyataan jika saja keberhasilan gadis cantik ini memanglah usaha dirinya sendiri.

Jujur saat ini aku dibuat sedikit bingung dengan bunga pemberian Anin.

“Ini bunga buat apa, ya?” Tanyaku penasaran.

“Cuma tanda selamat kok gas. Semoga kita bisaa berteman dan dekat kayak gini sampe nanti ya Gas.” sahut Anin yang nampak tersipu malu, terlihat dari rona pipinya yang memerah.

Bibirku kelu, sehingga hanya menjawab kembali dengan sebuah anggukan kepala dari pertanyaan yang lontarankan oleh Anin.

“Eh Gas. Kamu mau lanjutin ke mana Gas?” tanya Anin kemudian dengan nada penasaran.




Hanya gelengan kepala yang dapat kulakukan sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan Anin.




“Masih aja kamu, Gas. Orang ngomong, ya dijawab dong!” Anin sedikit merengek kesal.


“Kan udah Bagas jawab tadi, Nin.” Jawabku sedikit bingung.


“Ga sopan tau, jawab pake gerakan kepala seperti itu. Dan Ga jelas juga maksud kamu apa, Gas?” Anin sedikit cemberut dan memberiku nasehat. Iya memang kali ini aku salah nin,batinku kemudian,


“Fokusku kali ini mungkin mencari kerja dulu, Nin. Kalo untuk melanjutkan ke bangku perkuliahan belum ada difikiranku. Kamu tau sendiri ‘kan kondisiku gimana?” jawabku lirih, kembali menundukkan muka tanpa mampu menatap binar mata indah yang dimiliki gadis cantik di depanku ini.




Sejenak keheningan menerpa kami berdua. Kami sama-sama terdiam dalam pikiran masing-masing.




“Sabar ya, Gas. Hmm... Untuk masalah kuliah, gimana kalo Anin bilangin ke ayah? Kamu bisa kerja sambil kuliah di kantor Ayah, Gas?” kata Anin setelah tadi ia terlihat berpikir sejenak.


“Ga usah Nin!” Tolakku halus.


“Ayahmu sudah terlalu baik kepadaku, Nin.” Cercaku kemudian.






Teringat kembali minggu yang lalu, kakekku meninggal mendadak karena suatu kecelakaan di tempat kerjanya. Aku yang saat itu sedang di landa kedukaan, bagai mendapat sebuah uluran tangan dari malaikat. Malaikat yang kumaksud adalah Ayah Anin, beliau adalah orang yang membantu semua proses pemakaman kakekku. Ayah Anin sosok yang sangat baik dan dermawan di mataku. Dengan menjabat sebagai salah satu Direktur di salah satu perusahaan swasta. Beliau nampak tidak memiliki sifat sombong dan satu hal yang membuatku salut dengan sosok beliau, beliau menanamkan kepada anaknya untuk berteman dengan siapa saja, tanpa memandang status sosial. Suatu hal yang kini sudah jarang kita temui, dimana kasta jelaslah menjadi hal yang di agung-agungkan. Mengingat kebaikan yang beliau lakukan aku pun berjanji pada diri sendiri, kelak akan kubalas kebaikan dari Beliau.






“Gas. Nggak baik loh, nolak kebaikan. Ayolah!” Bujuk Anin, dengan nada merajut.


''Maaf Nin! Aku diajarkan tidak mengharap belas kasihan orang. Maafin Bagas Nin!!” Tolakku halus.


“Makasih Nin. Tapi untuk hal ini, aku bakal berusaha sendiri. Aku bukan anak kecil lagi. Sukses buat kuliahmu ‘ntar, aku undur diri dulu.” Tambahku, sembari meninggalkan Anin yang nampak diam terpaku.


“Gas, Bagassss....!” Dia sedikit berteriak.


“Maafin aku Anin!” Serunya dari kejauhan.






Tak kugubris perkataan Anin, langkahku semakin menjauh meninggalkan sosoknya. Kian lama suara teriakan Anin terdengar semakin samar hingga semakin lama tak terdengar lagi.




Sebenarnya, aku tak ingin membuatnya sedih, ingin rasanya aku menerima tawarannya tadi. Namun aku kembali teringat oleh pesan dari almarhum orang tuaku, lebih terhormat berusaha dengan kemampuanku sendiri ketimbang mengiba lantas meminta belas kasihan orang lain.




Aku berjalan menuju halaman luar sekolah, melewati hiruk-pikuk gerombolan teman-temanku yang penuh suka cita merayakan hari kelulusan mereka. Harusnya aku juga pantas ikut berbahagia bersama mereka. Terlebih paling bahagia diantara mereka karena aku menyabet predikat lulusan dengan nilai terbaik di tahun ini. Tercantum jelas namaku, ‘BAGAS PERMANA’ sebagai peringkat pertama di papan pengumuman kelulusan siswa di sekolah.




Bagas Permana, itulah nama pemberian kedua orang tuaku yang sudah meninggal sepuluh tahun silam. Dan elapan tahun terakhir, aku dibesarkan oleh kakekku. Beliau hanya bekerja sebagai kuli bangunan dan seminggu sebelum acara kelulusanku ini, aku mesti kehilangan Beliau yang mengalami kecelakaan kerja hingga membuatnya meninggal dunia, pergi menghadap Sang Maha Pencipta.




“Hidupku kini sebatang kara.” Gumamku dalam hati kecil.


“Entah bagaimana kelak, aku menjalani hidup ini? Jangankan untuk melanjutkan kuliah, memikirkan makan dan kebutuhan sehari-hari saja saat ini aku masih bingung.”




Aku biasa dipanggil BAGAS dan inilah sepenggal kisah perjalanan hidupku....










BERSAMBUNG





Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar