MANUSIA MISTERIUS
Satu Minggu setelah kelulusan...
5 km jarak yang telah kutempuh dengan berjalan kaki, berbekal iklan lowongan kerja di sebuah media cetak. Aku pun menghampiri tiga alamat kantor yang memasang iklan mencari pegawai lulusan SMA. Mungkin nasib sedang tak berpihak baik kepadaku di mana semuanya menolak lamaranku dikarenakan alasan yang sama tak ada pengalaman kerja yang kumiliki. Rasa capek dan frustasi semakin membuatku tak dapat berpikir jernih, bayangan tak dapat membayar sewa rumah atau untuk makan sehari-hari selalu menghantuiku.
“Begini susahnya, hidup sendiri.” keluhku.
Dengan rasa kecewa, aku memutuskan berjalan pulang untuk menenangkan diri dari berbagai pikiran buruk yang menghantuiku. Belum sampe setengah perjalanan rasa haus menderaku, panasnya terik matahari pada siang itu menambah rasa dehidrasiku semakin meningkat. Memaksaku merogoh saku di mana tinggal uang sepuluh ribu rupiah terakhir yang kumiliki. Aku melangkahkan kaki ke warung untuk membeli sebotol air mineral dan sebatang rokok. Langsung kuteguk hampir setengah air mineral dari botol dan menyulut rokok sembari menuju tempat duduk di taman yang searah dengan tujuanku pulang.
Aku bergumam. “Rehat sebentar, ah!”
Sambil memainkan botol air mineral yang tinggal berisi setengah, anganku menerawang jauh ketika menatap sisa uang lima ribu rupiah yang kugengam di tangan kiri. "Uang segini rasanya untuk makan saja pun tak cukup" ucapku membatin.
Tiba-tiba...
Aku terkejut, entah dari mana datangnya? Tahu-tahu di sampingku sudah ada sosok bapak-bapak berkisar usia 40-an, sama sekali aku tak menyadari kehadirannya. Penampilannya yang sungguh norak memaksaku fokus terhadapnya.
“Orang yang sangat aneh.” Gumamku membatin.
Di taman siang hari gini mengenakan kacamata biru, memakai bawahan celana pendek, atasan kaos, sepatu pantofel dan di tangan kanannya memegang payung hitam. Aku sedikit bergeser dari tempat duduk menjaga ruang untuk beliau. fokusku kembali ke sebatang rokok yang kemudian kuhisap dalam-dalam.
Tiba-tiba..
Orang tersebut membuka pembicaraan.
Bapak-bapak itu : “Sedang apa kau Nak?”
Aku tidak menjawab perkataannya malah berlagak nengok kanan dan kiri.
Bapak-bapak itu : “Saya bertanya sama kamu, Nak.”
Aku : “Maaf, Pak! Saya kurang fokus, saya sedang menikmati sebotol air mineral ini.” Sambil menunjukan air mineral yang tadi sempatku beli.
Bapak-bapak itu : “Panggil Paman saja, boleh saya minta sedikit air mineralmu?”
Sedikit ragu aku menyodorkan botol air mineral yang kupegang.
Aku : “Silahkan, Pak. Eh, Paman
Entah kenapa? Walaupun berpenampilan aneh, namun di balik wajah lelaki tua di sebelahku ini memiliki aura yang kuat. Sampai-sampai aku tidak berani memandang wajah beliau, hanya bisa berguman dalam hati. “Benar-benar orang yang aneh.”
Tiba-tiba...
Bapak-bapak itu berucap kembali : “Saya telah mengawasimu sejak lama, Nak.”
Aku : “Maksud Paman?”
Bapak-bapak itu : “Panjang kalo saya harus bercerita di sini. Intinya saya teman ayahmu, sorot matamu sama persis dengan ayahmu. Sifatmu juga tak jauh beda dengan ayahmu, saya seperti melihat dia di diri kamu Nak. Di saat se-umuranmu, ayahmu sudah menjadi sosok yang hebat. Tak sepertimu saat ini, gampang putus asa. Hahaha... Bener ‘kan kamu anak PERMANA?”
Dalam hati aku bergumam“Sial, dia tau aku sedang putus asa. Siapa Paman ini, sebenarnya. Apakah dia benar teman ayahku?”
Aku : “Iya Paman. Ada hubungan apa, Paman dengan Ayah saya?”
Bapak-bapak itu : “Saya hanya ingin memberitahumu, kalo ayahmu adalah orang yang hebat dan dia benar-benar menyayangimu.
Aku : “Dengan meninggalkanku di usia 10 tahun, bagaimana Paman bisa menyimpulkan orang tuaku menyayangiku?”
Entah kenapa, nada bicaraku meninggi? Rasa kecewa karena merasa ditinggalkan membuat emosiku sedikit lepas kontrol.
Bapak-bapak itu : “Aku pastikan itu, Nak. Ayahmu sudah mempersiapkanmu sejak lama, dia sangat menyayangimu. Ingatkah kamu, waktu balita kau sudah diajarkan cara berenang di arus sungai oleh ayahmu? Dan pada umur 5 tahun, kamu kuat berenang melawan arus sungai yang deras. Pada umur 12 tahun, kamu mampu menyelamatkan teman bermainmu yang terpeleset jatuh ke sungai dan terseret arus, itu tanpa kamu sadari adalah campur tangan orang tuamu Nak. Ingatkah kamu, danua di utara rumahmu dulu. Setiap hari Minggu pagi, ayahmu dulu selalu mengajakmu berlari mengitarinya sebanyak umurmu pada saat berlari itu. Dan berujung di kelas 3 SMP kau bisa menjuarai lari kelas provinsi, kau tak sadar itu semua didikan orang tuamu. Ingatkah kamu hadiah senapan angin pada ultahmu ke-7 dari ayahmu? Dan pada usia 8 tahun, kamu sudah bisa membidik dengan tepat burung pipit yang berjarak tembak 100 meter menggunakan senapan itu. Itu hanya sebagian bekal dari orang tuamu dimasa kecil, jangan pernah kau anggap itu semua hal yang sepele. Dan apakah kamu tidak merasa janggal, sekolah swasta bertaraf internasional memberi beasiswa kepada orang miskin seperti kamu? Ayah dan ibumu telah pergi, tapi percayalah mereka telah mempersiapkan semuanya untukmu, Nak.”
Aku tak dapat berucap, lidahku keluh “Kenapa orang ini tau semuanya tentangku? Sedekat apakah beliau dengan orang tuaku dulu?” semua pertanyaan-pertanyaan itu menghinggap di kepalaku.
Dan, tiba-tiba...
Tenggg...
Tenggg...
Tenggg.
Bunyi lonceng jam di taman kota, membuyarkan fokus pikiranku. Sekilas mataku beralih, menatap jam besar yang berada di tengah taman ini.
Beberapa detik kemudian, aku melihat ke arah Paman. Aku Kaget dan terperanjat. Setelah melihat orang tadi sudah tidak ada di tempat duduknya. Dia menghilang. Aku lantas berdiri untuk mencari keberadaannya. Menengok ke kanan dan kiri, namun hasilnya nihil. Dia menghilang, bak istilah pribahasanya “hilang ditelan bumi”, yang ada hanya tertinggal sebuah amplop coklat bertuliskan “BAGAS PERMANA”.
Sedikit bergidik setelah aku menyadari semua itu,logikaku bertanya "siapa dia? Apa mungkin dia hantu?" Namun logikaku yang lain menjawab. “Tidak mungkin orang tadi hantu, mana berani hantu menunjukan rupanya di siang hari begini.”
Dengan malas, kulanjutkan langkah kakiku sembari membawa amplop coklat peninggalan si Paman. Sepanjang perjalanan, otakku fokus mencerna ucapan demi ucapan Paman tadi. Hatiku semakin penasaran, “siapakah dia?Apa hubungan beliau, dengan orang tuaku?” bahkan aku kembali mengingat-ingat kembali masa laluku “apakah aku pernah berjumpa dengan paman itu?” namun hasilnya 'NIHIL'.
Sepintas aku mengingag kembali petuah-petuah yang selqlu dikatakan ayahku berulang ulang "Jadilah kuat Nak, karena kau seorang lelaki. Pertahankan harga dirimu, di atas segalanya. Gunakan kekuatanmu untuk selalu berbuat baik. Jangan pernah sakiti wanita, hormati wanita seperti kau menghormati ibumu. Sebisa mungkin janganlah kau bergantung kepada orang lain, berdirilah dengan kedua kakimu sendiri."
"Ayah,ibu, aku rindu kalian"jeritku dalam hati. Tak terasa butiran air mataku mulai mengalir, "maaf bagas lemah, yah!" Di bawah terik matahari, kususuri jalan menuju rumah, berbekal lelehan air mata yang tak dapat kutahan.
Tanpa terasa langkah kakiku telah sampai di depan rumah kontrakanku, rasa capek dan sedikit rasa lapar menemani istirahatku di siang itu membuat mataku mulai berat dan berakhir terpejam.
Tiga jam kemudian...
Perutku semakin keroncongan menyebabkan aku akhirnya terbangun juga dari tidurku. Setelah mencuci muka, fokusku akhirnya teralih ke sebuah amplop coklat bertuliskan nama “BAGAS PERMANA”. Dengan penasaran, aku membuka amplop coklat itu. Satu persatu, kubuka amplop itu. Di dalamnya berisikan; kartu nama berbahan mirip emas, bertuliskan toko arloji bertuliskan IN, berlogo setelan jas. Dan tongkat sangat aneh menurutku, serta terdapat uang tunai tiga juta rupiah diikat dengan kertas bertuliskan “uang pengganti air mineral yang kuminta tadi, Nak.”
Dan yang bener-bener membuatku tercengang, ada sebuah buku tabungan atas namaku lengkap dengan kartu ATM. Setelah kubuka, aku hampir tak percaya ketika melihat nominal yang tertera di dalam buku tabungan itu, angkanya 5 Miliar dan yang terakhir adalah sebuah kertas merah bertuliskan, “gunakan tabungan dari orang tuamu ini untuk memulai hidup baru atau kau pilih menemuiku di alamat yang tertera di kartu nama itu untuk menjawab semua yang telah dipersiapkan kedua orang tuamu.”
“Jika kamu ambil opsi pertama , maka hiduplah tenang dengan uang tabungan itu keponakanku namun jika kau ambil opsi kedua ada konsekuensinya. Gunakan uang tiga juta rupiah yang saya berikan untuk biaya perjalanan ke alamat itu dan kembalikan uang di tabunganmu itu kepadaku. Semua itu sebanding dengan biaya untuk menjadikanmu seperti ayahmu sosok “PERMANA”, berpikirlah bijak dalam memilih, persiapkan dirimu dengan baik, semoga saya memang tak salah memilihmu, Nak.”
0 Komentar