BAHAGIA ITU SEDERHANA
POV BAGAS
Senja mulai berganti malam, sinarnya pun telah tergantikan oleh pijar-pijar jutaan lampu PLN. Di sudut sebuah kampung, terlihat seorang remaja duduk menyendiri di bangku kayu yang terletak di depan rumah kontrakan kecil dan sangat sederhana. Terlihat sorot matanya kosong, pikiran remaja itu sepertinya sedang menerawang jauh.
“Pengalaman hari ini seakan membekukan kerja otakku. Aaarrrgghh...!” Gumamku membatin.
Rasa penasaran dan bimbang menjadikan beberapa pertanyaan-pertanyaan untuk diriku sendiri. Aku seakan terhanyut akan lamunan yang panjang, dan tiba-tiba aku tersadarkan ketika terdengar bunyi dering handphone jadulku menggema. Handphone keluaran lama, sedangkan untuk saat ini remaja se-usiaku sudah banyak menggunakan smartphone berbasis blackberry.
Untukku itu termasuk barang mewah. Ya jelaslah, itu barang mewah. Jangankan untuk buat beli HP baru, buat makan sehari-hari saja aku harus kerja keras menjadi kuli panggul. Dan dari upahku yang kudapatkan dari jasaku sebagai kuli panggul, aku hanya cukup untuk memperpanjang jadwal makanku saja tiap hari.
Terlihat layar handphoneku yang sudah mulai kusam, sebuah nama “gadis berlesung pipit” teman sekolahku. Sedikit ragu sambil mengernyitkan dahi, aku menekan tombol berlogo gagang telpon berwarna hijau di handphone “Tumben, dia telpon malem-malam gini, biasanya Anin telpon cuma kalo ada tugas atau pun kegiatan-kegiatan yang menyangkut sekolah dan kini kami ‘kan sudah lulus.” Pikirku sejenak.
Anin : “Malem, Gas.”
Aku : “Malem.”
Anin : “Lagi apa, Gas? Anin ganggu nggak?”
Aku : “Lagi di teras, Nin. Nggak ganggu kok, sante aja.”
Anin : “Gas, Anin mau cerita ke Bagas. Anin diterima di fakultas kuning di kota sebelah. Hari Rabu besok, Anin berangkat.”
Aku : “Hmmm... Selamat ya, Nin. Bagas ikut seneng deh, semoga kamu sukses di sana.”
Anin : “Gas...!” Suara Anin dari ujung telpon sana sedikit melemah.
Aku : “Iya, Nin?
Anin : “Bisa turutin permintaan Anin sebelum berangkat ke kota sebelah?”
Aku : “Eeh iya, Nin! Apa yang bisa Bagas bantu?”
Anin :" Besok kan hari terakhir, sebelum anin berangkat gas. Anin pengen jalan, bagas mau nggak temenin anin jalan? mau ya. Please”
Aku pun teringat semua kebaikan Anin. Dia sering ke rumah sekedar membawakan makanan untukku. Sering juga, dia dari kantin membawakanku sebotol air mineral dikala uang saku sekolahku hanya cukup untuk ongkos pulang pergi naek angkot dan semua kebaikan-kebaikannya lainnya tiba-tiba semua memori tentang sosok Anin terlintas kembali di ingatanku.
“Hmm... Sekali lagi, aku bakalan sendiri lagi bahkan teman yang kadang menemaniku atau sekedar menyapaku ternyata juga akan meninggalkanku sendiri di kota ini.” Kataku membatin dalam hati.
Anin : “Gas, Bagas...! Kok malah diem, dijawab donk.”
Aku : “Eh iya, Nin. Besok, ya? Bagas usahain, ya.”
Anin : "Please , sekali ini harus bisa ya Gas. Ga pengen apa, Bagas ketemu sama Anin sebelum Anin pergi?”
Aku : “Iya Nin, Bagas bisa.”
Anin : “Makasih, Gas. Udah dulu, ya. Jangan bobo’ malem-malem ya! Besok samperin Anin di rumah jam 8 nggak pake telat, ya. Malem, Bagas.
Aku : “Eh iya, Nin. Sama-sama. Malem juga, met bobo’ juga ya.”
Sambungan telpon dari Anin terputus.
“Hmm... aneh ya, kenapa berbicara dengan Anin di telpon pun aku ngerasa segrogi ini.” Kembali aku terbawa lamunan.
Anin gadis yang selalu ceria dengan paras ayu dilengkapi lesung pipit di kiri dan sunggingan senyum berhias dua gigi gingsul menambah pesona dara yang menjadi fokus lamunanku. Kagum iya, itu pasti. Siapa lelaki yang nggak kagum akan pribadi baik Anin ditunjang pula paras ayunya? Adem banget kalo lihat Anin, nggak mungkin bisa aku pungkiri ada rasa simpati di sana. Munafik, kalo aku nggak mengakui kekagumanku ke Anin. Namun siapa aku, kembali lagi keadaan memaksa logikaku untuk berusaha keras mengusir bayang-bayang Anin di otakku. Dia siapa dan aku siapa logisnya gitu? Hidup nggak seperti sinetron ftv di mana si miskin akan bisa mendapatkan seorang putri cantik jelita.
Fajar pun mulai menunjukan senyumannya, menandakan berakhirnya kesunyian dari kegelapan malam.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, di mana aku bisa bersantai ria menikmati tidur. Kini ingatan soal ajakan Anin untuk menemaninya jalan mengganggu pikiranku, mempengaruhi mata ini untuk terpejam, semaleman aku tak dapat memejamkan mata.
Ya mungkin, aku terlalu aneh atau lebih condong dibilang kuper.
Baru kali ini, aku menerima ajakan jalan dari cewek. Beberapa kali, Anin sempat mengajakku sekedar membeli buku dan lain-lain namun selalu kutolak. Alasannya karena minder menjadi faktor utama. Namun kali ini, nggak tau kenapa ajakannya nggak bisa aku tolak. Mulutku seakan mengambil peranannya sendiri, berbicara menuruti hatiku. Iya, menuruti ajakan Anin berarti akan membuatnya bahagia, hanya itu saja yang bisa aku lakukan. Aku tak ingin lihat dia sedih itu saja alasanku.
Dan, semua itu berimbas banyak.
Bingung mau pakai baju apa, karena semua baju yang aku punya sudah lusuh. Sekelasku, beli baju mungkin hanya pada saat lebaran itu pun kalau ada rejeki sisa. Akhirnya pilihan baju kutujukan ke celana jeans kumal satu-satunya yang kumiliki. Celana jeans yang hampir berumur dua tahun lebih dan kaos oblong berwarna putih. Warna putih ‘kan nggak kelihatan lusuh, itu menurutku berbeda dengan warna-warna lain di mana semakin sering dipakai maka warnanya kian memudar.
Pukul 7.30 pagi, kuputuskan untuk berjalan kaki ke rumah Anin. Lumayan jauh juga jaraknya, sekitar 20 menit kemudian barula aku sampai di pintu gerbang rumahnya Anin. Ada perasaan di mana aku ingin kembali pulang. Ya, perasaan minder dan sungkan selalu menjadi momok menakutkan buatku. Namun kali ini kubulatkan tekad untuk menyapa satpam penjaga rumahnya.
“Pagi, Pak...!” sapaku ramah dan sopan.
Orang yang bernama Pak Tris melihatku sembari berkata. “Eh, Nak Bagas! Bapak tadi sudah dipesenin sama Non Anin, katanya kalo Nak Bagas datang suruh langsung masuk aja ke rumah, Non Anin udah nungguin."
“Makasih, Pak.” sahutku singkat.
Sosok Pak Tris, beliau orang yang sangat ramah menurutku. Di balik wajahnya yang serem dan sangar menjadi seorang satpam. Pak Tris sudah hafal denganku karena aku sering bertamu ke rumah ini saat mengerjakan tugas atau sekedar mengajari mapel yang dirasa sulit oleh Anin tapi berbeda keadaan dengan saat ini.
Ah, kembali lagi moodku hilang, pikiranku berkecamuk “Siapa aku dan siapa Anin? Apa pantas, orang miskin sepertiku jalan dengan seorang putri cantik ini?”
“Eh, Gas! Tumben bisa tepat waktu.” Tiba-tiba terdengar suara Anin saat aku dipersilahkan duduk oleh Mbak Marni pembantu di keluarga Anin.
Seketika membuatku kembali sadar dari pikiran-pikiran yang memenuhi kepalaku. Fokus mataku tersihir ke arah suaranya. Terpapar di depanku, Anin menggunakan kaos berwarna biru muda dipadu padankan dengan sebuah rok sedikit di bawah lulut. Wajahnya terlihat begitu ceria, paras ayunya menyihirku untuk menikmati lamunan ini. Hanya sedikit make-up tipis yang menghiasi wajahnya. Nampak simple namun terlihat istimewa di mataku.
“Gas, ngelamun aja.” Tegur Anin yang melihatku hanya bengong memandangi dirinya.
“Eh, maaf Nin!” sahutku sedikit grogi dan salah tingkah. "Kamu cantik, Nin." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
“Duh, malah keceplosan! Semoga aja dia nggak denger.” Gumamku membatin.
'”Bentar Gas, Anin ambil tas dulu di atas!” ucapnya dengan senyum yang menawan dan nampak wajahnya sedikit merah merona.
“Iya, Nin.” jawabku singkat. Aku masih saja seolah sedang tersihir oleh kecantikannya. Aku terus saja memperhatikan setiap langkah Anin meninggalkanku menuju kamarnya di atas.
“Nggak naik angkot aja, Nin?” tanyaku saat Anin mulai berjalan menuju mobilnya. Ya, di sana sudah terparkir sebuah mobil Honda Jazz berwarna putih, memang cocok sih, dipakai gadis jelita kayak Anin.
Dia hanya melolot melihatku.
Yang nyetir ya, pastinya Anin. Manusia miskin sepertiku naik mobil mewah gini aja, baru sekali mana bisa nyetirin dia.
“Nggak enak aku pake sandal jepit gini naek mobilmu, Nin.” Kembali aku mengatakan keberatanku, bukan apa-apa karena memang ada perasaan malu, minder dan tidak enak hati terhadap Anin.
Anin menggembungkan pipinya. “Naek, nggak...?” sahut Anin sedikit menaikkan nada bicaranya.
“Memang sifat Anin sering ngambekan dan sedikit manja, dasar horang kaya...!” Gumamku hanya bisa mendumel dalam hati.
Ternyata kami menuju sebuah Mall yang lumayan besar di kota ini. Setelah sebelumnya mampir dulu untuk mengisi perut di warung soto.
“Makasih ya, Gas. Udah ditraktir soto, ditunggu juga traktiran yang lainnya. Hehehe...” Kekeh Anin. Kemudian kami berjalan memasuki lantai satu Mall itu.
"Iya nin, alhamdulilah , Bagas ada sedikit rejeki.” sahutku senang karena jujur baru kali ini aku bisa mentraktir Anin dengan uang yang kupunya, selama ini lebih banyak ia yang mentraktirku. Namun aku nggak boleh sombong, walau saat ini saku celanaku lumayan tebal. Di saku celanaku ada uang tiga juta rupiah dari Paman yang aku sendiri tidak tau persis siapa namanya kemarin.
“Makasih Paman. Niatku hari ini, untuk membalas semua kebaikan Anin bisa terwujud. Semoga uang yang kupunya ini bisa aku gunakan untuk sekedar mentraktirnya makan dan lain-lain.”
“Bagas, nonton yuk!” ucap Anin tiba-tiba.
“Nonton apaan, Nin?” sahutku bingung.
“Banyak nanya kamu tuh, Gas.” jawabnya sedikit gemas. Sembari tanganku digandeng, setengah ditarik "seperti kerbau yang ditarik oleh pemiliknya" menuju lift naik ke lantai atas yang merupakan ruang bioskop 21.
Aku masih celingak-celinguk sambil berjalan mengikuti geretan tangan Anin, jujur baru dua kali ini aku memasuki sebuah mall megah seperti ini. Decak kagum, melihat kanan dan kiriku semua terkesan wow, mewah dan megah.
Sampailab kami, di loket penjualan tiket di bioskop 21. Setelah sedikit berargumen, aku lebih suka film action dan Anin memilih film romance . Namun tetap saja, “wanita selalu menang” dan itu sekarang baru aku rasakan.
“Pake ini aja, Nin...!” kataku sambil menyodorkan uang lima puluh ribuan dua lembar untuk membayar tiket.
Tatapan mata Anin penuh selidik, ia seperti ingin menyelidikku lalu menyahut. “Duitmu banyak, Gas. Kamu nggak nyopet ‘kan? Hahaha....” sembari dia ketawa mengejekku.
"Sial...! Aku menggerutu dalam hati. “Semalem ‘kan kamu yang ngepet, Nin. Aku yang jagain lilin, mosok lupa ya? Hahaha....” Selorohku. Niatku hanya ingin mencairkan suasana.
Tapi bukan mendapat respon tertawa darinya melainkan sebuah cubitan yang cukup keras dari Anin pas di perutku, membuatku sedikit meringis kesakitan.
Sakit, itulah yang kurasakan saat ini. Rasanya aku ingin berteriak namun malu juga dan hanya bisa menahan rasa sakitku dengan sedikit menggerutu kesal.
Di dalam bioskop nggak ada hal yang istimewa, mata Anin nampak terlalu fokus ke film genre romantisnya dan aku malah sebaliknya. Aku justru celingak-celinguk melihat orang-orang berpacaran di ruang bioskop yang gelap ini. Hahaha.
Habis nonton, kami memutuskan untuk sekedar mengganjal perut lagi di fastfood di lantai dua, kemudian melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan pulang, Anin lebih banyak diam dan fokus ke jalan.
“Heran saja, kenapa dia tak seceria tadi? Apa aku salah, ya?” Gumamku dalam hati.
Merasa kikuk kucoba untuk membuka obrolan. “Nin, Bagas ada salah ke Anin?”
Dia hanya melirikku dan kembali fokus mengemudi.
Serba salah, kemudian aku mencoba membuka obrolan lagi. “Nin, Bagas minta maaf! Kalo bikin Anin sedih atau marah, jangan diem gitu donk!”
Bukannya Anin menjawab perkataanku melainkan ia menghentikan laju mobilnya di tepi jalan.
Air matanya mulai mengalir.
Aku jadi semakin bingung, cuma bisa diam saja.
Telegram : @cerita_dewasa
POV ANIN
“Dasar cowok, nggak peka...!” Gerutuku dalam hati. Sedikit emosi kuhentikan mobilku di tepi jalan.
Bagas hanya diam menunduk.
“Keterlaluan mungkin aku ,tapi biarin deh.” Kembali aku bergumam dalam hati.
Air mataku mulai menetes terbayang besok akan terpisah jauh dari Bagas.
Dikarenakan kuliahku ntar
Iya Bagas yang udah bikin hatiku penuh, nggak bisa diisi nama cowok lain.
Bagas yang lugu,
Bagas yang baik,
Bagas yang cakep.
Iya, dia cakep banget loh. Cuman ya, agak-agak culun gitu. Maklum dia anak yang sangat pemalu, rasa minder karena keterbatasan ekonominya membuatnya jarang banget bergaul tapi itu semua yang bikin Anin sayang ke Bagas.
“Gas, inget nggak sih, dari kecil Anin udah sayang banget sama Bagas. Ingat nggak kamu udah nyelamatin aku pas jatuh di sungai. Mungkin kamu udah lupa ,tapi Anin bakalan ingat setiap moment Anin sama Bagas. I love U.” Gumamku membatin.
Kelamaan ah, langsung kujambak rambut Bagas agar dia nggak menunduk dan kuarahkan kepalanya menghadapku dan...
CUUPP...
Bibir kami, saling menyatu.
“Aanniinn...! Hey, kenapa aku? Kenapa aku senekat ini? Iiih, aku cewek! Kenapa malah begini? Gimana ‘ntar pandangan Bagas ke aku?”
Masih diliputi rasa gemuruh di dada, aku beranikan menatap wajah Bagas.
“Gas, itu ciuman pertama Anin, Anin sayang sama Bagas. Anin takut jauh dari bagas, terserah Bagas mau gimana? Anin bakalan nunggu Bagas, hati Anin cuman ada nama Bagas. Anin bakalan nunggu ciuman kedua, ketiga dan seterusnya dari Bagas. Janji sama Anin ya, Gas! Jaga hati Bagas buat Anin, ya! Kelak susul Anin di kota sebelah. Janji ya, Gas...!”
Tak terasa air mataku tak dapat terbendung lagi, mengalir deras.
Bagas masih terdiam, cuman gerakan senyuman dan anggukan kepala yang ia lakukan.
“Dasar, cowok culun!” Omelku dalam hati.
Tiba-tiba...
Tangan kanan Bagas mengelus rambutku, adem rasanya. Seketika air mataku, berhenti. Aku tersenyum ke Bagas.
“Ajaib kamu, Gas! Diammu aja bikin Anin luluh.”
Kulajukan kembali mobilku menuju gang rumah Bagas, rumah Bagas memang hanya bisa dilewati oleh motor. Sebelum Bagas turun dari mobil, kupegang kembali tangannya. Entah keberanian dari mana?
“Anin, otakmu udah error ya?”
CUUPP...
Kucium lagi, pipi Bagas dan berucap. “Ingat janji tadi, ya!”
Walau nggak dijawab oleh Bagas, namun aku percaya Bagas bakalan menepatin semua yang aku minta tadi.
“Pede. Ya, haruslah pede. Buat Bagas, aku wajib pede.hehehe...” Kataku membatin dalam hati.
Kembali Bagas hanya tersenyum setelah mendapatkan kecupan di pipinya.
Dia keluar dari mobil, sembari berucap. “Hati-hati di jalan, Nin...!”
“Besok, jangan lupa. Anin berangkat jam 9 pagi dari rumah, Gas. Kamu harus dateng, ya?”
Kembali hanya anggukan kepala dan senyuman polos khas Bagas.
“Iih, dasar Bagas...!” Gerutuku dalam hati.
Telegram : @cerita_dewasa
POV 3rd
Nampak dari kejauhan seorang wanita berkacamata hitam berdiri memandang fokus ke kedua insan yang berada di dalam mobil itu, terkembang senyuman nakal dari bibirnya.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar