KETIKA SENJA PART 9

 

SUNGAI KENANGAN


Asap mengepul dari dalam tungku dapur. Pemiliknya masih di sawah, tapi ada dua gadis yang beraktivitas di sana. Ya. Dia adalah Sae dan Ratna. Mereka sedang memasak untuk makan siang kami. Sementara kami berempat melepas lelah setelah membersihkan bekas kandang kambing milik Ega dan menyulapnya menjadi semacam gudang tanpa dinding. Pekerjaan yang mulanya aku pikir gampang, ternyata tidak semudah yang dipikirkan. Betapa tidak.. setelah tempat penggilingan padi disiapkan muncul ide-ide susulan di antara kami. Ega mau supaya lahan yang dipenuhi ilalang dibersihkan sebagai lahan menjemur kopi yang sudah digiling, Jaka mau bikin saung tambahan tempat nongkrong bagi ibu-ibu yang datang untuk menggiling kopi mereka. “Sekaligus sebagai markas baru kita,” katanya. Tampak mulia, tapi aku sudah tahu isi kepalanya. Ardan beda lagi, ia tidak mau alat giling dibuat manual tapi harus pake dinamo supaya tidak capek. Hadeuh.. mana ada listrik di sini.




Kami duduk sambil menikmati kopi seduhan Sae; rehat sebelum melanjutkan pekerjaan yang paling sulit: membuat alat giling kopi.




“Ar, cerita donk.” Kataku.


"Carita naon?"


“Itu.. bi Iyah kelanjutannya gimana?” Aku menyeringai.




Ega dan Jaka yang ngelepus merokok, langsung mengamini dan memasang sikap serius.




"Biasa aja, nyet." Ardan jengah dengan sikap ega dan jaka. "Oke... aing mulai dari mana nih? Langsung lanjutannya aja yah.”


“Ah.. gak seru.” Protes Jaka. “Mulai dari awal lagi aja biar ngegel (menggigit).


“Yakin?”


"Enya,” kami bertiga serempak.


“Jadi gini nih ceritanya…” Sambil celingukan memastikan aman dan hanya ada kami di sini.










“POV Ardan:"






Aku menyusuri pematang sawah milik mang Oyeh sambil memikul karung kopi yang kupetik hari ini. Rencanaku aku mau langsung pulang dan menemui mang Oyeh di rumahnya. Eh.. kulihat bi Iyah sedang membungkuk di pematang. Tampak ia sedang membetulkan pematang yang bocor karena keuyeup (kepiting sawah). Ia tidak menyadari kedanganku yang muncul di belakangnya. Sejenak aku diam. Mengamati bokong besarnya yang mengembang di balik balutan kain samping. Aku yakin hanya kain sampinglah satu-satunya penutup bagian bawah tubuhnya karena aku bisa melihat cetakkan celana dalamnya. Umumnya kalau ke sawah, ibu-ibu memakai celana panjang dan merangkapnya dengan samping. Aku terpana dan pikiranku mulai ngeres. Ingin kupegang pinggangnya dan kutempel bokongnya. Kuda-kudaan. Si jago pun terasa ngarey (berdesir) merespon pikiranku kotorku.




“Rajin banget, bi.” Akhirnya.


Sontak bi Iyah menjerit dan badannya melonjak. Namun pijakan kakinya mendarat di pinggir pematang yang licin. Srooot… byuur… bleeefff… Pantat besar itu sukses berkubang di lumpur sawah.


“Aaaaah… pekiknya.”


“Ardaaan… hash hash hash… bikin kaget bibi aja. Kalau jantungan gimana?” Ia nampak kesal sekali. Mukanya memerah karena marah dan dadanya tersengal. Susah payah ia berusaha bangkit, namun karena ia terbenam di lumpur yang cukup dalam ia nampak kesulitan.




Aku segera menurunkan karung kopi dan meletakkannya di atas pematang.


“Maaf bi.. gak ada maksud. Abisnya bibi meni gak nyadar pisan ada yang datang.” Kataku sambil mengulurkan tanganku.


“Aaarghhh.. Ardan. Kamu ini… jadi kayak gini kan. Mana gak bawa ganti lagi.” Bi Iyah ngedumel seraya meraih uluranku dengan tangannya yang belepotan lumpur. Kami saling menjabat erat kemudian menarik tubuh bi Iyah. Tapi karena tangannya licin, genggaman kami terlepas. Tangan kirinya sigap meraih ujung bajuku hingga badan kami oleng. Sreeet… kecipak… Bluuuuffff.. tubuh gempalnya sukses amblas di dalam lumpur, kembali menciptakan sebuah kubangan. Setengah badannya terkubur. Sementara setengah tubuhku amblas dan wajahku nyungsep di sela-sela kedua payudaranya. Kenyal dan empuk. Kuresapi beberapa detik pendaratan nikmatku. Kami tak ada bedanya dengan kebo yang berkubang. Salah.. kami seperti kebo kawin di kubangan.




“Aaargggh…” Kami berkecipak sambil mengerang. Buuuk.. sebuah pukulan menimpuk punggungku. Segera kuangkat wajahku.


“Punten bi.. punten… tangan bibi licin.” Aku berusaha bangkit sambil terus meminta maaf. Susah payah aku berdiri. Kulihat seluruh tubuh bi Iyah penuh dengan lumpur. Ia kokosehan (kelejotan?) berusaha bangkit.




Sumpah serapah pun mengalir dari bibirnya. Pengen rasanya kulumat biar diam. Cuh…cuh… ia meludah, membuang cipratan lumpur di mulutnya. Kuulurkan tanganku, tapi ia mengabaikan. Akhirnya aku hanya mematung sambil memelas. Bi Iyah kelejotan di lumpur, berusaha bangkit. Tampak lucu dan menggelikan. Kalau dalam keadaan normal aku pasti sudah terbahak. Kuusap wajahku… anjriiit… lupa kalau tanganku penuh lumpur. Cuih..cuih… aku meludah membuang lumpur.




“Ha ha hahaha…” Kali ini malah bi Iyah yang terbahak.


“Doraka tah (durhaka sih),” bi Iyah mengumpat di sela tawanya.


“Atulah bi…” Aku memelas.




Bi Iyah sudah berhasil berdiri, tapi drama belum usai. Ketika melangkah tak sadar lipatan kainnya sudah terlepas… dan karena berat oleh basah lumpur kain itu melorot. Breeet… sruuut…guprak… Samping itu meluncur dari tubuhnya. Anjrrrit.. Aku terperangah melihat pemandangan di depanku. Segitiga pengaman berwarna hitam tak mampu membungkus pangkal paha dan pinggul putihnya. Gundukan selangkangannya mengembung dan sebagian bulu kemaluannya terurai dari sela celana dalamnya. Aku cuma bisa menganga.. si jago pun mendongak.




“Aaaah… Ardaaan….”. Bi Iyah menjerit seraya segera meraih sampingnya dan menutup kembali tubuhnya alakadarnya. Mukanya merah padam antara marah, kesal, malu, dan entah apa lagi. Aku yang baru saja mendapat tontonan gratis masih terpaku.


Plaaak!!! Mukaku ditimpuk lumpur. Cuiiih… kubersihkan mulutku seraya mengerjap perih di mata.




“Ampun bi.. kan gak sengaja.” Kataku seraya membersihkan tanganku ke permukaan sawah dan mengusap-usap wajahku yang penuh lumpur.


Bi Iyah sudah tak bisa berkata apa-apa lagi, dadanya tersengal karena marah dan malu.


“Udah bibi ke lebak aja untuk membersihkan diri, biar saya rapihkan dulu benihnya.” Aku turun ke sawah untuk menebus dosa. Kubereskan benih padi yang berantakan dan kutanam kembali.




Bi Iyah rupanya masih terpaku di pematang. Aku pun menyelesaikan pekerjaanku dan naik di sampingnya. “Jangan bilang siapa-siapa.. bibi malu…” Katanya. Dijawab anggukanku.




“Lah kalian kenapa?” Mang Oyeh datang sambil menenteng sabit dan tali bambu. Aku pun menceritakan insiden yang menimpa kami sambil minta maaf. Mang Oyeh pun ngakak lepas, sementara bi Iyah hanya merengut sambil kukulutus (ngedumel).




“Eh iya mang. Saya ada perlu, bisa kita ngobrol di saung?”


“Mamang mau ngarit dulu ka wetan (timur), Ar. Kalau mau, kamu bersihkan diri dulu lalu tunggu mamang di saung.”


“Siap mang. Hatur nuhun.”




Mang Oyeh pun pergi sambil tetap terkekeh. Aku dan bi Iyah berjalan sebaliknya menuju lebak. Setelah meletakkan karung kopi di dekat cukang (jembatan setapak yang terbuat dari batang kayu), kami menuruni pematang dan menyusuri pinggir lebak. Kami berjalan ke hilir mencari tempat yang terlindung untuk membersihkan diri. Akhirnya kami pun masuk ke dalam air yang jernih. Bi Iyah agak ke hulu dan aku dihilirnya. Kami hanya dipisahkan oleh batu besar setinggi bahu.




Akupun berjongkok di dalam air yang agak dalam tanpa melepas pakaianku. Bunyi kecipak air pun terdengar. Ceplaaak… Kulihat kain samping bi Iyah tersampir di atas batu. Disusul kebaya dan BHnya. Aku mengamati tegang. Pluk… terakhir celana dalam hitamnya. Aku yakin ia telah telanjang. Dengan membuat suara kecipak seolah sedang mandi aku mendekat dari balik batu, dan mengangkat kepalaku perlahan.




Deg deg seer.. dadaku melihat pemandangan di hadapanku. Bi Iyah membelakangiku menghadap ke hulu seraya berjongkok. Punggung dan kepalanya membungkuk untuk mencuci rambutnya. Tinggi air yang hanya sebetis tentu saja menyulitkan dalam posisi seperti itu. Ia pun semakin menundukkan kepalanya dan bokongnya sedikit terangkat. Si jago tegang maksimal melihat bokong mekar nan menggairahkan itu. Gundukkan hitam pun mencuat meneteskan air dari lebat bulunya.




Kepalaku pusing maksimal, si jago pun kian mencekik. Tanpa ba bi bu aku tanggalkan semua pakaianku. Tuiiing.. si jago mencuat mencari sinyal. Aku berjingkat mendekat. Kecipak dan gemercik air membuatnya tetap asik, tanpa sadar ada batang nikmat di belakangnya. Punggung itu ingin segera kudekap, tapi bibirku tidak bisa bekerja sama.




“Bi..” Aku bergetar karena nafsu. Ia cepat beranjak kaget dan berbalik. Matanya melotot dan mulutnya mengaga. Tangan kirinya segera menutup kedua ujung payudaranya, dan tangan kanannya hendak meraih samping yang tersampir di atas batu. Namun aku lebih sigap meraihnya, dan melemparnya ke pinggir sungai. Kepanikan tergurat di wajahnya, sebisa mungkin melindungi dadanya.. lupa yang di bawah terekspos menganga.




Ia hendak menjerit. Tapi aku segera menyuruhnya diam sambil menunjuk ke hulu. Ia pun mendongak. Dari sela rimbun pepohonan nampak ada orang yang sedang menyeberangi cukang. Bi Iyah pun hanya bisa menutup mulutnya dengan panik.




“Nga..ngapain kamu..? Jangan kurang ajar… bibi mohon…” Ia mulai terisak.


Aku lebih fokus pada tubuh sintal dan matangnya, daripada mendengar omongannya. Khas tubuh wanita setengah baya. Kedewasaannya sungguh menggiurkan. Tak lama rupanya bi Iyah sadar akan diriku yang sama-sama bugil. Matanya melotot menatap si jago yang mencuat panjang. Aku bangga dibuatnya.




Haaap… Aku ambruk memeluk dirinya. Kami terjengkang ke dalam air.


“Hmmmmff…” kulumat bibirnya yang hendak berteriak. Kupegang kepalanya yang hendak menghindar. Setengah tubuh kami terendam air, dan aku bersusah payah melumat bibirnya. Penisku mengganjal di pahanya. Kupegang kepalanya erat seraya melepaskan bibirku.




“Kalau bibi teriak, nanti orang mendengar.” Kataku tersengal.


“Aku masih muda bi. Diusir dari kampung masih bisa hidup, nah bibi apakah bisa menanggung aib yang bukan hanya menyebar di kampung kita tapi juga ke kampung lain?”


Bi Iyah tampak berpikir sambil terisak. Tubuhnya sudah tak meronta lagi.


“Maaf bi… bibi sangat montok… aku sudah lama mengagumi bibi… Aku ingin bi... ingin sekali.. tolonglah.. aku janji akan membuat bibi punya pengalaman baru.” Aku merayu sambil ngos-ngosan. Kuusap air matanya lembut.




Matanya sedikit memerah, sorotannya nampak bimbang. Tak ada kata terucap dari bibirnya. Aku yang merasa sudah bisa menguasai suasana segera mencium dahinya. Tidak ada perlawanan. Kedua pipinya. Dia diam. Dagunya. Dia mendongak. Kucium juga kedua matanya sehingga membuatnya terpejam. “Hmmmfff…” Aku menerkam bibirnya yang merah tanpa polesan. Aku mengemutnya penuh perasaan. Lama aku mengemutnya. Bi Iyah yang semula diam mulai membalas dan membuka mulutnya. Hatiku sangat girang. Kuemut bibir atasnya, dan ia mengemut bibir bawahku.




Tanpa melepaskan pagutan kami. Aku mengatur posisi tubuhku. Aku duduk selonjor di dalam air dan dengan sedikit memaksa aku dudukkan bi Iyah di atas pahaku. Tubuh bugil kami menempel sempurna. Kedua payudaranya menempel erat; empuk kurasakan. Aku semakin menggelora kumasukkan lidahku dan disambut ulekan liar lidahnya. Kuusap-usap punggung basahnya, membuat kami semakin liar. Ketika kusentuh belakang telinganya.. bi Iyah mendesah keras. Aku mengerti… kedua tanganku langsung menyentuh bagian itu kiri-kanan membuatnya kelejotan. Pinggulnya merangsek… tak pelak lagi kemaluan kami berjumpa dan saling menempel vertikal.




Kulepas ciumanku dan kualihkan ke telinganya menggantikan tanganku. Kukecup dan kujiliat.. mulai dari kupingnya, bagian belakangnya yang menampakkan bulu-bulu halus rambutnya, dan akhirnya lubang telinganya. Perbuatanku membuatnya semakin menggelinjang… pinggulnya sudah tak malu lagi bergoyang. Mungkin si jago sudah belepotan cairannya dan air sungai.




Kusangga kedua bahu belakangnya, dan kujilat lehernya. Bi Iyah sudah mendesah-desah sambil mendongak ke belakang. Kususuri lipatan-lipatan seksi lehernya dengan ujung lidahku.


“Hash…hash…hash…Ar.. Ampun.. enak Ar…” Akhirnya ia tak bisa lagi bersikap alim. Nafsu sudah membuatnya lupa. Begitu juga aku.




Kedua payudaranya sangat menggoda, tapi bibirku kesusahan menjangkaunya karena tubuhku yang lebih tinggi dari bi Iyah. Sementara aku perpikir tanpa melepaskan jilatanku, bi Iyah tampak mengerti. Ia bangkit dan berlutut bertumpu pada kedua lututnya. Aku masih duduk. Haaap… sigap kucaplok puting kanannya. Kujepit dengan bibirku dan kuemut dengan ujung lidahku. Kedua tanganku meremas bokongnya liar. Di luar dugaan.. aksiku membuatnya menjerit.. Tangannya mencengkram rambutku erat.




Aku makin bersemangat, kualihkan mulutku ke payudara kirinya, satu tangan kupakai untuk meremas yang satunya. Bercumbu di alam terbuka memang menantang dan mendebarkan. Bi Iyah tak bisa menguasai diri lagi… “Aaarrrrr… Sssssttt… aaaah.” Tubuhnya terkejat-kejat. Klimaks. Kuhentikan aktivitasku dan mendongak, ia menunduk sambil terengah-engah, bibirnya setengah terbuka dan matanya sayu memandangku. Entah air sungai atau keringat.. mengucur dari wajahnya.




Kuberikan senyum termanisku dan kusentuh bibirnya lembut. Kamu saling mengemut lembut.




“Bi…?”


Ia hanya mengangguk. Kami beranjak… Ia berbaring di atas batu setengah berdiri. Kukecap kembali payudaranya sambil mengelus pahanya yang gempal menggemaskan. Tangannya tanpa sungkan lagi meraih penisku dan mengusap ujungnya dengan jempolnya. Aku tersengat nikmat. Nafas kami semakin tersengal. Kuturunkan wajahku dan kujilat lembah di bawah kedua payudaranya. Turun lagi ke perutnya.. kukenyot-kenyot lipatan-lipatan kecil di perutnya. Sontak.. ia menggelinjang dan mulai mengocok jagoanku.




Kami tak malu sama cicit burung, tak sungkan pada bentangan alam, tak peduli seandainya ada manusia yang datang. Kami hanya mau berpacu menuju puncak. Aku merasakan tarikan pada si jago, dan aku hanya mengikutinya. Membuatnya tercenut-cenut menemukan bibir basah dan lembab. Tangan bi Iyah memegang kendali.. digesek-gesekkannya si jago pada bibir-bawah-merekahnya. Desah bi Iyah semakin menjadi ketika si jago mencucuk klitorisnya.




Tak sabar.. diarahkan si jago ke lubang yang seharusnya. Clepp.. ada lubang basah di sana. Tangannya sudah terlepas, berganti meremas pinggulku dan menekannya. Saatnya si jago beraksi. Penuh perasaan kutekan perlahan… ujungnya menghilang.. ada sedotan dari dalam.. kutekan lagi…lagi…lagi dan… blesssss. Amblas. Kami mengeram, pinggulku perih tercengkram kuku bi Iyah. Aku teremas. Aku mendesah. Aku terhisap. Aku kalap.




Kugoyangkan pinggulku.. aku mulai memompa perlahan…makin keras… keras dan keras… keringat bercucuran dari tubuhku.


“Ardaaan.” “Bi…” kami memekik bersamaan.


“Trus.. Arrr… ssssstttt… uuuh… bibi nikmat… hash hash… enak Ar.” Suaranya membuatku makin kalap dan memompa makin liar.


“Bi… bi… bi… aaargh… jepitan bibi… aaaarghhhh… heunceut bibi enak…” Aku meracau.


“Hayu ar… hayu… aaaarghhh… kontol…”




Kata-kata kotor membuat nafsu kami memuncak. Cengkeraman vaginanya makin kuat, dan si jago mulai mendesak. Kesadaran kami mulai hilang.


“Bibi bucaaaaat….”


Srrrrr… crat…craaat… crooottt… dua lendir berjumpa di lubang yang seharusnya.


Semua gelap sesaat. Aku tersungkur di bahunya.






….tik tok tik tok….






………………………..






………………………..






………………………..






Kami akhirnya menggeliat. Kupandang wajahnya. Matanya sayu… ada senyum mengembang di sana, tapi juga ada bulir air mata yang menetes. Kukecup keningnya lama… mengungkapkan semua rasa.




“Aaaaw…”


Aku kaget ketika kurasakan sebuah cubitan di pinggulku. Kutatap lekat kembali matanya.


“Dasar anak durhaka… tak tau diri… tak tau malu…” Makinya. Tapi tak ada nada kebencian di sana. Aku tersenyum…


“Bibi cantik…”. Sontak mukanya memerah seketika. Diraihnya kembali bahuku dan kami berpelukan.




Plooop. Kucabut si jago yang mulai mengkerut. Sangat ngilu. Kami mendesah bersamaan. Lalu saling pandang kembali dengan binar nakal.




“Bibi jangan ketagihan ya.” Godaku sambil memperhatikan suasana di sekitar kami.


“Enak aja!!! Palingan kamu yang ketagihan.”


“Aku memang ketagihan bi. Pengennya minta jatah terus.” Aku sok tak acuh.


“Ihhh… ya udah. Kapan?” Katanya.


“Heh? Beneran?” Kami cekikikan. Kami sama-sama tahu ini bukanlah yang terakhir.




Bi Iyah berjongkok di atas sungai untuk membersihkan dirinya, punggungya tampak memerah dan lecet-lecet. Pasti tergores karena tadi bersandar di atas batu. Aku yang iba hendak membantunya membersihkan diri. Tapi ia menolak, takut mang Oyeh keburu datang.




Kami pun membersihkan diri masing-masing. Setelah mengenakan pakaian basahku, aku berjalan duluan menuju saung. Masih kosong. Sepuluh menit kemudian bi Iyah datang menyusul. Memang sudah direncanakan, untuk sekedar berjaga. Kucium pipinya singkat. Lalu bertatapan mesra. Ah.. kami bagaikan sepasang kekasih baru. Lupa ada jurang usia di antara kami. Tak lama kemudian, di kejauhan nampak sosok mang Oyeh muncul, dan kami pun bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.”








Hening. Jantungku berdetak kencang. Gambaran Ardan tentang tubuh bi Iyah mengingatkanku pada peristiwa senja itu. Jaka melongo mesum. Ega menunduk memainkan cangkir kopi yang tinggal ampasnya. Sementara Ardan menerawang, mungkin masih terbuai pengalamannya yang mendebarkan. Kami serempak yakin, Ardan tidak sedang membual.




Lima menit kemudian suasana kembali cair.




Sikap tengil jaka mulai kumat. " jadi udah gak perjaka, nyet? Tapi aing gak percaya kontol maneh panjang. Palingan cuma sampai setengahnya lubang bi Iyah.”




Ardan melotot marah.


Sontak aku dan Ega yang sejak tadi terdiam ngakak dibuatnya.


Begitulah kami… tak ada lagi rahasia yang saling disembunyikan.




“Senjaaa!!! Siniiih!!!” Guyonan kami mendadak terhenti.


“Nyonya masih marah tuh.” Ega memberi kode.




Dengan gontai aku menuju dapur.




“Nih bawain nasi dan sayurnya ke luar. Atau mau makan di sini aja?” Duuuh… masih judes.


“Di luar aja.” Jawabku sambil mematung.


“Ya udah nunggu apa lagi?? Nih bawain!!” Matanya menatap tajam. Aku tak berkutik dan hanya menuruti perintah Sae, sementara Ratna hanya mengulum senyum. Perempuan kalau sudah marah susah ditaklukan, sungutku dalam hati.




Kuraih boboko yang berisi nasi pulen, kutumpangkan piring yang berisi jengkol muda dan bakar ikan tanjan di atasnya; tak lupa kubawa juga baskom urab daun singkong di sampingnya. Sementara Sae membawa teko yang berisi air minum dan cangkir yang terbuat dari batang bambu. Ratna membawa tumpukan piring seng setelah sebelumnya menumpangkan ulekkan yang penuh dengan sambel dadak. Kami pun keluar dapur menuju ketiga sahabatku yang menunggu.




“Aku ingin melihat senyumu lagi, Sa.” Aku membatin.

Posting Komentar

0 Komentar