KETIKA SENJA PART 8

 


KALI KEDUA?

Hujan masih tak kunjung reda, meski tak sederas sore tadi. Kuletakkan piring di atas baskom lalu kududuk kembali di atas jojodog. Ibu masih makan, sementara ayah yang sudah selesai duluan nampak sangat menikmati rokoknya. Ada perasaan lega di dada, ketika ayah dan ibu sangat mendukung rencanaku dan teman-teman. Mereka malah menasihatiku supaya melakukan sesuatu yang lebih luhur dari sekedar jualan kopi.


Spoiler "“Aya


“Sing inget kana warisan karuhun, Ja, yen hirup teh kudu silih asih, silih asuh tur silih asah. [(kamu) harus ingat pada warisan leluhur bahwa hidup itu harus saling mengasihi, saling menjaga/mengasuh dan saling mendidik]. Usaha kalian bukan sekedar untuk mencari keuntungan pribadi, tapi sebagai wujud kepedulianmu kepada warga kampung supaya bisa membantu meningkatkan kesejahteraan warga. Itulah yang disebut silih asih. Wujud ‘silih asuhnya’ tentu saja dengan membangun kesadaran bersama bahwa kekayaan alam yang kita miliki juga untuk kebaikan bersama, bukan hanya memberikan keuntungan pada segelintir orang. Seperti alam telah menjaga kita dan kita menjaga alam, demikian juga di antara kalian harus saling menjaga. Jaga kekompakkan kalian berempat, jaga juga kerukunan warga. Kamu harus ingat, Ja, kamu harus bisa tetap menjaga kerukunan warga, jangan sampai terpecah belah karena usaha kalian ini. Di satu sisi, kamu bagun kesadaran warga, dan jangan mau dibohongi lagi. Di sisi lain, jaga mereka dari penipuan dan kebohongan, tanpa harus ada kebencian warga terhadap orang-orang yang telah membohongi mereka. Pasti ada yang setuju dan menolak; ada yang merasa diuntungkan dan dirugikan. Nah, kamu jaga jangan sampai yang berseberangan ini kemudian bermusuhan. Yang bener harus didukung, yang salah diluruskan. Itu namanya silih asah. Yang penting kamu sing eling (harus sadar) bahwa kepentingan orang banyak harus menjadi yang utama.”


Wejangan ayahku sebelum makan tadi masih terngiang. Ayahku sangat bijaksana dalam hal ini. Kebijaksanaan kakek, yang separuh hidupnya dihabiskan sebagai sesepuh kampung, nampaknya nitis ke ayah. Aaah… rasanya bangga punya bapak sebijak ini. Tapi gimana mewujudkannya, pak? Bukankah dalam usaha juga ada politik dagang? Aku memang punya cinta, aku memang punya mimpi mensejahterakan warga, aku juga punya niat untuk mengurai dan memetakan persoalan, tapi aku juga punya sisi lain yang menggelora di dalam dada. Aku ingin berpetualang dengan caraku sendiri. Kuambil rokok bapakku dan kusulut. Kuhisap nikmat sambil meresapi semua wejangannya yang masih terngiang.


Ketika orang kota mulai keluar malam untuk makan atau jalan-jalan, sebaliknya warga kampung sudah masuk peraduan sejak jam delapan malam. Mereka biasanya bangun jam empat atau jam lima lalu berangkat ke sawah. Aku bergegas mengambil payung dan keluar rumah lalu menyusuri becek jalanan di bawah derasnya hujan. Dengan penerangan senter aku menerabas malam dengan hati-hati agar tidak terpeleset.


Ketika tiba di depan rumah yang sudah temaram, aku mengurungkan niatku untuk masuk. Aku melanjutkan langkahku ke rumah sebelah yang hanya dipisahkan kandang ayam. Kubersihkan kaki tanpa alasku di bawah air hujan yang mengucur dari atas genteng, lalu menaiki rumah panggung yang menandakan masih ada kehidupan di dalamnya. Seorang pemuda berkerudung sarung membukakan pintu. Di bibirnya menempel sebatang rokok yang tinggal setengah. Tanpa memedulikan tatapan herannya aku masuk karena badanku mulai menggigil kedinginan.


Kami duduk dalam diam beberapa saat, sampai akhirnya aku menyampaikan sebuah rencana. Matanya menerawang. Kaget. Heran. Jail. Setengah tidak percaya. Anggukan setuju. Senyum nakal. Sikap tengil. Semua ada padanya. Sejam kemudian aku beranjak. “Ingat! Sementara ini hanya kita berdua yang tahu. Jangan sampai Ega tersakiti.” Pesanku. Ia pun hanya mengangguk dan aku meninggalkannya.


Setelah membersihkan kaki, aku mengetuk pintu rumah ini beberapa kali. Lama sekali mendapat jawaban. Apakah sudah tidur? Kucoba dan coba lagi… Ceklek. Fiuuh.. akhirnya. Sesosok wanita membukakan pintu. Rambutnya acak-acakan tanda baru bangun dari pembaringan. Ia tampak kaget melihatku di ambang pintu. Ia mengucek matanya sebentar lalu merapihkan dasternya yang hanya menutupi tubuh montoknya sampai lutut. Ia tak tahu bahwa kancing atasnya terbuka memamerkan belahan payudaranya yang putih. Sesaat ia melirik kiri-kanan mengamati suasana dan mempersilakanku masuk.

Kami duduk berhadapan. Tampak kantuknya sudah hilang, dan sorot matanya menjadi tajam. Aku menangkap gurat kemarahan di sana. Aku menunduk


“Karena Sae?” Semprotnya tanpa tedeng aling-aling (tanpa basa-basi).


“Heh?”


“Inget Ja. Kampung kita ini kecil jadi kabar apapun bisa langsung menyebar. Ibu malah taunya dari bu Euis langsung.”




Aku diam.




"Kamu pikir ibu tidak tahu waktu kamu menciumnya di tanjakan ke bubulak? Kamu pikir ibu tidak tahu waktu kamu sembunyi di belakang kandang kambing sambil merokok? Kamu pikir ibu tidak tahu waktu kalian bermesraan di saungnya si Ega? Kamu pikir ibu tidak tahu waktu tadi sore kalian ciuman di bawah hujan, di samping rumahnya?” Ia mencecarku.




Aku diam. Dedemit(hantu) nih orang, bisa ada di manapun. Tapi kayaknya ilmunya belum sempurna karena sama sekali tidak menyinggung aksiku waktu mengintip bu RT dan mang Oyeh. Eh tunggu dulu… waktu itu ia seakan memanggil namaku walau hanya sekedar terdengar dalam getar hati.




“Kalau begitu, ibu juga tahu rencana usaha kopi bareng teman-teman?” Akhirnya aku bersuara.


“Hmmm..” Ia hanya menggumam. Aku tahu kalau itu berarti ‘iya’.


“Maaf bu…”


“A.. aku.. menghindar selama ini.”




Entah kenapa… saat ini aku tidak bisa berbohong. Aku menceritakan semua pengalamanku dengan Sae; minus yang mesra-mesra tentunya, tohtadi juga ia udah bilang kalau tahu semuanya. Aku juga berusaha membahasakan perasaanku yang besar kepada Sae, termasuk janji hatiku senja itu. Bukan hal yang mudah mengungkapkan perasaan secara tepat dalam rumusan kata-kata, karena seringkali kata tak bisa mewakili semua rasa.




“Aku sangat menyayangi dia bu. Dan aku bisa merasakan rasa sayangnya kepadaku yang sangat besar dan tulus. Tapi aku juga tak bisa melupakan kebersamaan kita saat itu. Aku takut jadinya. Takut mengecewakan dia.” Jujurku.


“Jadi kalau selama ini saya menghindar bukan berarti saya melupakan ibu. Bahkan ketika bersama Sae pun bayangan ibu sering muncul. Aku merasa bersalah bu. Bersalah pada Sae dan Ibu.” Lanjutku.


“Ibu tahu? Malam itu aku memanggil ibu dengan panggilan ‘sayang’ dan paginya waktu mau ke kebun aku memanggil ibu ‘istriku’. Itu jujur bu, meski kita berbeda usia. Aku menyayangi ibu, walau mungkin rasa ini hanyalah sebuah aib di kampung kita. Dan semuanya berubah karena pagi itu juga aku bertemu Sae di kebun dan kami jadian di saung itu. Ibu tahu? Aku sudah menyayanginya sejak lama. Jadi aku merasa hari itulah waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua perasaan yang telah lama kusembunyikan.”




Aku bergetar. Entah kenapa aku merasa menjadi pemuda paling lemah saat ini. Aku tak berdaya di hadapannya. Bayangan dirinya yang selama ini kusembunyikan dari siapapun, termasuk Sae dan sahabat-sahabatku, cukup mengganggu selama dua minggu ini. Dan kini aku ungkapkan semuanya di hadapan orangnya. Siapa lagi kalau bukan bu Rohmah, wanita yang kini duduk di hadapanku. Kupejamkan mataku sambil bersandar di tiang dinding bilik rumahnya. Sepi… sunyi… Hanya gemericik hujan yang kudengar. Bahkan aku tak mendengar gerakkannya yang berpindah ke sampingku.




Kurasakan ada tangan yang meraih kepalaku dan dibenamkan ke dadanya. Aku kian bergetar. Aku ingin mengungkapkan semua kegelisahan ini dengan menangis, tapi entah kenapa tak ada air mata yang keluar. Dan itu menyiksaku. Kulingkarkan tanganku di pinggangnya tanpa mengalihkan wajahku dari empuk payudaranya, telapak tangannya kurasakkan mengelus rambutku.




“Kamu mirip sekali kakekmu, Ja.” Bisiknya.


“Ma.. mak..sud ibu?”


“Udah kamu bangun dulu. Jadi lelaki jangan cengeng.” Ia tak menjawab pertanyaanku. Lalu kutegakkan tubuhku dan duduk bersandar seperti semula. Ia beranjak ke dapur. Kuperhatikan pinggulnya yang besar dan betisnya yang menggoda. Ujung daster belakangnya terangkat karena terganjal pinggulnya yang mekar, sehingga menampakkan pahanya yang merangsang. Rambutnya yang masih acak-acakan menambah aura seksinya. Aku menyukainya.. menyukai kematangan tubuh itu.




Bu Rohmah kembali sambil menyodorkan secangkir kopi.




“Bu?”


“Tenang ini bukan ramuan.” Ia tahu maksud pertanyaanku. Lalu kembali duduk di sampingku.




Aku tersenyum getir sambil meraih cangkir dari tangannya, lalu kutiup-tiup isinya. Glek.. kuteguk dengan pelan. Kopi beneran, batinku. Lalu keletakkan di samping tubuhku.




“Kenapa ibu menyebut nama kakek?” Aku memecah keheningan.


“Senja…” Aku diam menyimak. “Bagi kamu bercinta itu bukan sekedar meluapkan birahi. Semua orang memang punya nafsu, termasuk kamu.”


Termasuk ibu juga, batinku


“Kamu dengarkan ibu, jangan ngelantur!”




Heh? Apakah dia bisa mendengar suara hatiku. Aku bergidik.




“Tapi meskipun punya nafsu, kamu tidak melandaskan hubungan badan hanya pada nafsu semata, melainkan dilandasi perasaan untuk memberi. Kepuasan itu bukan semata meraih nikmat, tapi juga ketika bisa memuaskan pasanganmu. Bahkan ketika kamu tidak bisa meraihnya, tapi pasanganmu terpuaskan itu sudah cukup bagimu. Itulah kepuasan bagimu. Ibu yakin, kamu tidak akan bisa bercinta dengan sembarang perempuan. Secantik apapun perempuannya, kalau dia tidak memiliki keistimewaan dalam dirinya, kamu tidak akan bisa. Nafsumu akan padam seketika. Tapi sekalipun tidak berparas cantik, tapi memiliki keistimewaan, kamu bisa jatuh ke dalam pelukannya.” Bu Rohmah bicara panjang lebar, bak seorang peramal.


“Nah, yang di kolam itu apa, bu? Saya tidak sayang ama bi Iyah, tapi aku bisa terangsang. Apa karena ia memiliki keistimewaan aura?” Selidikku.


“Tidak.” Jawabnya tegas.


“Dari mana ibu tahu? Buktinya.. maaf.. ibu waktu itu bisa lihat sendiri kalau aku bisa meraih kepuasan, walau hanya membayangkannya.”


“Kalau aura kalian cocok, lalu kenapa kamu meminta bantuan temanmu, bukan kamu sendiri yang melakukannya?” Dia balik bertanya.


“Heeeh??” Bener-bener menyeramkan nih orang.


“Ibu kok jadi menuduh saya?” Aku mengelak.


“Kamu ke sini juga sejatinya untuk meminta resep ramuan, kan?” Jegeerrr. Aku kena pukulan telak.


“Sudahlah, Ja. Kamu tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari ibu. Kamu pikir yang memanggil kamu waktu mengintip Mang Oyeh dan bu RT siapa?”




Kampret.. dukun beneran ini mah.




“Katanya sayang, tapi kok bilang kampret?”




Fix. Ni orang bener-bener nyeremin. Bukan manusia biasa di bumi ini. Kucoba untuk tidak berpikir agar ia tidak bisa membaca isi hatiku. Hmm.. tapi mana bisa, pikiranku sedang penuh saat ini.




“Ibu juga tahu, sampai ada wanita yang memuaskan dirinya sendiri sambil membayangkanmu.”


“Hah? Memuaskan gimana bu?”


“Dasar bloon!!” Ia mengucek rambutku gemes, aku cuma mematung tidak mengerti.


“Ya itu.. hmm… kamu juga kan bisa memuaskan diri sendiri toh dengan mengocok.. nah sama perempuan juga bisa mencari kepuasan sendiri dengan…” Aku meliriknya penasaran. Keliatan mukanya memerah.


“Arrgh.. sudahlah, kamu harusnya mengerti.”


“Iya bu.. hmm.. dengan mainin itunya ya bu. Tapi siapa bu? Ibu yah?”




Pletak. Kepalaku dijitaknya. Aku cuma meringis sambil mengusap-usap kepalaku.




“Kalau wanita itu adalah ibu, ngapain ibu cerita ke kamu.” Katanya.


“Lalu siapa bu?” Aku semakin penasaran.


“Nanti kamu akan tahu sendiri.” Jawabnya menggantung.




Hadeuh. Kok jadi makin rumit gini.




“Satu lagi,” katanya. “Kalau kamu bertemu dengan perempuan yang memiliki tanda lahir di pundaknya, kamu tidak boleh menidurinya. Pamali. Kamu harus mencintai dan menjaganya, tapi jangan sekali-kali menondainya.”


“Siapa dia, bu? Emangnya kenapa?” Aku penasaran, rasanya bu Rohmah menjelma menjadi makhluk yang penuh misteri. Tak kudengar jawaban sedikit pun. Beuuh… ya udah aja gak usah ngasih tau sekalian kalau gak mau menjelaskan.




Pletak. Kepalaku kembali dijitak. Aku hanya bisa mengeluh sambil kembali mengusap kepalaku.




Eh iya, bu Rohmah belum menjawab pertanyaanku. Aku memandangnya sebentar, “Hubungannya dengan kakek apa, bu?”




“Ya karena kamu ibarat titisan kakekmu, dalam dirimu terwaris kepribadiannya.” Jawabnya. Aku garuk-garuk kepala. Ayah dan ibu saja tidak pernah bilang kalau aku mirip kakek.


“Bu??? Maaf..maaf… kalau ibu tahu bagaimana kakek memperlakukan wanita di ranjang.. berarti ibu per.. pernah…”




Plak. Kali ini pipiku yang ditampar.




“Kamu jangan sembarangan!!”


“Lah… lalu?” Aku mengusap pipiku.


“Kamu dengarkan baik-baik…”




Bu Rohmah kemudian menceritakan panjang lebar tentang kehidupan kakek mulai dari diangkat sebagai sesepuh kampung sampai pada meninggalnya. Ia juga menyampaikan sebuah rahasia besar yang bahkan ayah dan ibuku pun tidak tahu. Sementara ia bercerita, aku cuma bisa olohok (terbengong-bengong)




“Nah gitu ceritanya, Ja.” Ibu Rohmah mengakhiri. “Jadi sekarang ibu sudah tidak punya hutang lagi pada kakekmu, semua sudah ibu sampaikan.” Pungkasnya.




Aku tak menjawab. Mataku terasa panas, dan di saat tidak ingin menangis, malah mataku mengembang dan meneteskan air mata. Sementara tadi saat ingin menangis, tak ada satu pun air mata yang keluar. Entah bagaimana, kini aku sudah terisak di pelukan bu Rohmah. “Kakek.” Aku menyebut namanya dalam batinku.




Kami berpelukan dalam diam.




“Sekarang kamu tidak usah khawatir..” Suaranya memecah kesunyian. “Sejak saat ini ibu tidak bisa mengikuti kamu lagi. Begitu ibu menyampaikan semua pesan kakekmu, saat itu pulalah ibu tak bisa membaca suara hati kamu lagi.” Aku merebahkan kepalaku di atas pangkuannya dengan wajah menempel di perutnya. Kupeluk pinggangnya erat.




Kini aku seperti anak kecil yang sedang ogoan (manja) dengan ibunya. Aku memeluknya manja, dan ia tak hentinya membelai rambutku. Sambil bermanja-manja, aku bercerita tentang rencanaku dengan para sahabatku secara lebih detil, tak lupa juga bercerita tentang pertemuanku dengan Haji Sosmed. Bahkan aku pun bercerita tentang nasihat ayahku tadi sore.




“Ayahmu memiliki kebijaksaan seperti kakekmu, Ja, tapi ia tidak mewarisi kemampuannya.” Bu Rohmah menanggapiku. Aku hanya mengangguk.




Aku membalikkan badanku. Wajahku yang semula menempel di perutnya berputar sebaliknya. Kutatap kaki jenjangnya. Aku baru sadar ternyata betisnya memiliki bulu-bulu halus. Sangat seksi dan serasi dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Kuusap-usap betis itu sampai bulu-bulunya tampak meremang. Tak ada sedikit pun penolakkan darinya. Ketika usapanku sampai di atas lututnya, terasa bu Rohmah sedikit menggelinjang. Aku bukannya takut, tapi malah semakin bersemangat. Kumainkan ujung dasternya, dan sangat perlahan kutarik ke arah pangkal pahanya. Dadaku berdegup menyaksikan paha putih yang hanya beberapa senti dari mataku.




Merasa tak ada penolakkan… aku pun mulai menyentuh paha putih itu. Kumainkan ujung jemariku di sana. Pori-porinya tampak merinding… sangat seksi. Lalu mulai kuusap-usap dengan telapak tanganku. Lembab menggairahkan, dan nafas bu Rohmah pun terdengar semakin berat.




Kuangkat kepalaku lalu kutarik ujung dasternya sampai mentok di perutnya. Lalu aku kembali membenamkan wajahku. Pipiku kini menempel di kulit pahanya. Tak perlu kusuruh, tanganku sudah tahu tugasnya untuk kembali mengelus paha bu Rohmah. Kuusap lembut mulai dari lutut sampai ke setengah pahanya. Kuulangi berulang-ulang dengan penuh perasaan. Cup.. Kukecupkan bibirku, disambut desah bu Rohmah. Aku makin lupa diri… kukecup-kecup paha itu sambil sekali-kali menjulurkan lidah dan menjilatinya.




Dug. Karena asik menciumi paha bu Rohmah dengan posisi membelakangi perutnya, aku tak sadar ada yang lebih indah menggairahkan. Ada yang menggelembung di balik celana dalam hitam yang ia kenakan. Tampak sedikit lembab. Gairahku melonjak. Ciumanku semakin liar mendekati pangkal pahanya. Hidungku mencium aroma khas yang sulit kujelaskan, namun tak pelak membuat isi celanaku sakit.




Aku membuka mulutku untuk mencecap gundukan itu. Haaa.. aku siap mencaploknya. Namun seketika rambutku dijambak keras dan ditarik ke atas. Sial. Aku mendongak protes. Nafas bu Rohmah sangat tersengal, bibirnya sedikit terbuka dan matanya sayu memandangku. Haaap… kukecap bibir itu. Tak dapat bibir bawah, masih ada yang atas pikirku. Kami berciuman cukup lama dan liar. Tanpa melepaskan pagutan kami, tanganku merambat ke pahanya dan mulai menyentuh gundukan vaginanya.




Bu Rohmah tampak sadar dan mulai meronta melepaskan diri. Tapi aku yang sudah kadung nafsu tak mau menyerah begitu saja. Tangan kami saling dorong sehingga membuat mulut kami terpisah. Tak kalah akal kuhisap lehernya, namun bu Rohmah semakin meronta mendorongku.




“Ja, jangan sekarang Ja.” Kudengar ia mengingatkan.




Aku tak peduli. Aku semakin menempel tubuhnya dengan nafas yang menggelora.




“Ja, jangan… ada….”


“SAE!”




Duniaku berhenti seketika

Posting Komentar

0 Komentar