KETIKA SENJA PART 7

 

POV Ega

"Mangga dileueut, jang (silahkan diminum, nak)." Bu RT meletakkan tiga gelas kopi dan kukus pisang kepok di lantai kayu rumahnya lalu duduk di samping suaminya. Kami duduk melingkar. Aku dan Ardan pun mengangguk sopan. Pak RT nampak menikmati lintingan tembakau sambil sekali-kali memejamkan matanya.


“Jadi gini, pak, bu…” Aku mulai menceritakan rencana kami. Aku menyampaikan bahwa aku, Senja, Ardan dan Jaka berencana menampung kopi warga dengan harga yang pantas, lalu kami sendiri yang akan menjualnya. Tak lupa aku juga menyampaikan bahwa kopi yang kami beli adalah biji kopi yang sudah jadi, bukan kopi basah.


“Jadi begitu pak.” Aku mengakhiri ceritaku sambil melirik sekelebat bayangan dari arah dapur.


“Kalian sudah yakin, Ga?” Pak RT meraih cangkir kopi dan menyeruputnya.


“Yakin pak. Kami memang tidak punya modal, tapi untuk tahap pertama kami akan mengumpulkan kopi warga lalu membayarnya setelah kami jual ke desa.”


“Bukan itu maksud bapak. Tapi kalian yakin warga mau mengolah kopinya terlebih dahulu? Warga di sini sudah biasa menjual kopi basah. Selain karena tidak perlu repot menumbuknya, warga bisa langsung mendapatkan uang.” Pak RT menjelaskan.


“Karena itu kami kemari untuk memohon bantuan pak RT agar bisa meyakinkan warga. Lagian kalau harganya jauh lebih mahal mereka juga pasti mau.” Ardan akhirnya buka suara.




Pak RT melirik istrinya, dan mereka berpandangan sejenak.




“Emang kopinya mau dijual ke mana, nak?” Tanya bu RT.


“Rencananya ke haji Sosmed.” Jawabku.




Pasangan setengah baya itu tampak terkejut.




“Begini..” pak RT menyulut kembali lintingannya. “Kenapa kalian tidak kerjasama dengan pak Ikin saja? Nanti saya bantu. Kan tidak enak juga kalau tiba-tiba kita tidak menjual ke pak Ikin karena selama ini ia yang sudah banyak membantu membeli kopi warga.” Aku mulai menangkap adanya modus tersembunyi.




Aku dan Ardan saling lirik sebentar dan terdiam.




“Bapak berani bilang ke pak Ikin supaya menaikkan harga kopi basah menjadi empat ribu. Untuk kopi kering yang sudah digiling.. hmm.. bisalah dihargai tujuh sampai delapan ribu.” Aku sedikit tehenyak, mengingat kemarin waktu ketemu Senja di tampian (pancuran tempat mandi), ia bilang bahwa Haji Sosmed siap membayar lebih dari tujuh belas ribu.


“Murah banget.” Ardan tak bisa menahan diri.


“Emang Haji Sosmed berani nawar berapa?” Pak RT berusaha mengendalikan dirinya dan seolah bersikap tenang. Istrinya hanya diam menyimak. Ardan juga terdiam karena tidak tahu.


“Ya.. di atas lima belas ribuan pak.” Aku menjawab tanpa menyebutkan angka pastinya.


"Gelo.. mana ada harga kopi segitu. Ulah rek ngabohongan kolot (jangan membohongi orang tua),” pak RT menyela. “Kan kalian juga tahu kalau mang Ikin itu kakak dari ibunya Ratna (kakak iparnya dia), jadi bapak tahulah harga kopi di pasaran.”


“Bener pak. Senja sudah tanya ke pak hajinya langsung. Dan ia berani bayar di atas lima belas ribu tergantung kualitas kopinya.” Aku meyakinkan. Ardan yang baru tahu informasi ini langsung menambahkan, “Kalau pak Ikin bisa bayar segitu juga, ya udah kita dengan mang Ikin saja.” Tak pelak lagi, pak RT tampak tersinggung karena omongan Ardan. Raut tidak suka langsung tergurat. Bu RT hanya tertunduk memainkan ujung kebayanya.


"Kieu barudak... (begini anak anak)" pak RT mengela nafas. "Seumur umur bapak hirup, gak pernah dengar harga kopi setinggi itu. Jadi kalian tidak usah mengiming-imingi warga dengan harga segitu lalu kalian membawa minggat uangnya. Apa tidak kasian pada kedua orang tua kalian. Jangan bikin malu mereka.”




Kalau bukan karena sesepuh kampung dan tidak sadar bahwa ia adalah ayahnya Ratna, mungkin aku sudah marah mendengar tuduhan itu. Tapi aku hanya diam sambil sedikit mengeratkan gigiku. Lain halnya dengan Ardan, ia tidak bisa menyembunyikan kekagetan dan emosinya. “Bapak jangan menuduh kami atuh pak. Kami hanya mau membantu warga bukan ingin menipu mereka.” Ketusnya. Nampak pak RT sudah mau marah, tapi keburu ditahan istrinya dengan mencolek pahanya. “Bapak bukan mau menuduh, tapi yang masuk akal sedikitlah… kan kalian masih anak kemarin sore jadi jangan membohongi orang tua. Pamali."


“Punten.. punten pisan pak.” Aku berusaha menahan diri. “Jadi gimana pak? Intinya Bapak tidak bisa membantu untuk menyampaikan kepada warga?”


"Bukan saya tidak mau, tapi jauh ti akal (Gak masuk akal). Saya tidak mau nama baik kampung menjadi jelek gara-gara ulah kalian.”




Gondok rasanya mendengar itu, namun aku berusaha tenang. Kuraih dan kuhabiskan kopiku.




“Baik pak kalau begitu. Tadinya saya hanya mau menyampaikan rencana kami demi kebaikan warga sendiri. Maafkan kalau kami salah. Kalau begitu kami pamit dulu pak.”




Aku beranjak dengan bertumpu pada bahu Ardan, lalu menyalami pak RT dan istrinya dengan dibuat sesopan mungkin. Ardan menyusul dan melakukan hal yang sama.




Kami berdua melangkah keluar pintu diantar oleh bu RT, sementara pak RT masih duduk seperti semula.




"Permios pak,bu, sampurasun.” Aku permisi dan mengucapkan salam yang dijawab oleh mereka. Di belakang punggungku terdengar bu RT menutup pintu.




Ardan berjalan cepat. " aing langsung balik aja ya. Daripada emosi mending sare (tidur) dulu. Nanti kabarin kalau mau ngumpul.” Ia bergegas tanpa menoleh lagi. Aku cukup mengerti dan hanya meng-iya-kannya. Aku berbelok ke arah yang berlawanan karena rumah kami memang beda arah.




"A.. sakedap (Aa.. sebentar).” Sebuah suara menghentikan langkahku, dan aku segera berbalik. Seorang gadis dengan mengenakan daster motif bunga-bunga menghampiriku. Rambunya dikepang kuda.


“Ada apa, Rat?” Aku menyapanya sambil berusaha tersenyum.


“Aa gak marah kan?”


“Maksudnya?”


“Udahlah… tadi Ratna dengar dari dapur kok.”


Aku pun mengerti. “Nggak kok Rat. Tenang aja.” Jawabku.


“Beneran?” Ia memegang kedua pergelangan tanganku.




Anjriit.. ingin kupeluk dirimu.


Aku menangguk untuk meyakinkannya.




“Syukur deh kalau begitu. Aku jadi lega.” Senyumnya mengembang tanpa melepaskan tangannya.


“Rat..”


“Apa?”


“Jalan-jalan ka kulon yuk. Kita cari jambu batu.”


“Hayu.”






Jadi gitu ceritanya. Ega menarik nafas panjang sambil menyandarkan kepalanya pada tiang saung.




"Anjrit.. jadi maneh geus nembak Ratna?” Jaka malah gagal fokus. Kami pun seakan kompak, lupa pada inti masalah dan ikutan gagal fokus. Semua mata memandang kepadanya.


“Kampret malah ngomongin Ratna. Ini kopi gimanaaa?” Ega berusaha menutupi kegugupannya.


“Jadi?” Jaka mencecar. Ega membuang muka ke arah sawah.


"Aing gak nyangka aja, Ga.” Ardan bersuara. “Abis gondok ama orang tuanya eh masih bisa-bisanya macarin anaknya.”


Ega berbalik. "Heh kampret.. siapa yang pacaran. Aing cuma ngajak jalan sebentar habis itu pulang. Nembak aja nggak malah dibilang pacaran.”


“Halaaah…”


“Udah-udaaah… kalian tuh yaah..” Sae segera memotong omongan Ardan yang masih mau mendebat Ega.


“Berarti kan intinya pak RT gak setuju. Sekarang bagaimana tentang mang Oyeh? Ar, hayo cerita..” Lanjut Sae.




Kami diam dan mulai fokus ke Ardan. Ia pun mulai bercerita.




"Karena ega ngakunya disuruh bapaknya cari kayu bakar, padahal pacaran jadi aing nemuin mang Oyeh sendiri.” Ardan masih berusaha meledek Ega, disambut oleh Ega yang meraih sabut kelapa untuk dilempar. Untunglah gadis di sampingku sigap. Ia melotot sambil menunjuk Ega dan Ardan bergantian. Sehingga mereka diam.




“Kamu kalau galak serem, yank.” Aku berbisik dan sedikit mengabaikan Ardan yang bercerita. Kali ini aku yang kena pelototannya.






 “POV Ardan"




Aku menyusuri pematang sawah milik mang Oyeh sambil memikul karung kopi yang kupetik hari ini. Rencanaku aku mau langsung pulang dan menemui mang Oyeh di rumahnya. Eh.. kulihat bi Iyah sedang membungkuk di pematang. Tampak ia sedang menutupi lubang tanah yang bocor karena keuyeup (kepiting sawah). Ia tidak menyadari kedatanganku yang muncul di belakangnya. Sejenak aku diam, mengamati bokong lebarnya di balik balutan kain samping.. Pinggiran celana dalamnya tampak tercetak. Aku terpana dan pikiranku mulai ngeres. Ingin kupegang pinggangnya dan kutempel bokongnya.




“Rajin banget, bi.” Akhirnya.




Sontak bi Iyah menjerit dan badannya melonjak. Namun pijakan kakinya mendarat di pinggir pematang yang licin. Srooot… byuur… bleeefff… Pantat besar itu sukses berkubang di lumpur sawah.




“Aaaaah… pekiknya.”


“Ardaaan… hash hash hash… bikin kaget bibi aja. Kalau jantungan gimana?” Ia nampak kesal sekali. Mukanya memerah karena marah dan dadanya tersengal.




Aku segera menurunkan karung kopi dan meletakkannya di atas pematang.




"Maaf bi... maaf.. gak ada maksud. Abisnya bibi meni gak nyadar pisan ada yang datang.” Kataku sambil mengulurkan tanganku.


“Aaarghhh.. Ardan. Kamu ini… jadi kayak gini kan. Mana gak bawa ganti lagi.” Bi Iyah ngedumel seraya meraih tanganku dengan tangannya belepotan lumpur. Kami saling menjabat erat dan menarik tubuh bi Iyah. Tapi karena tangannya licin, genggaman kami terlepas. Tangan kirinya sigap meraih ujung bajuku hingga badan kami oleng. Sreeet… Bluuuuffff.. tubuh gempalnya sukses amblas ke dalam lumpur dan kembali membentuk sebuah kubangan. Setengah badannya terkubur. Sementara setengah tubuhku amblas ke dalam lumpur dan wajahku nyungsep di tengah dadanya. Kenyal dan empuk. Kuresapi beberapa detik pendaratan wajahku. Kami tak ada bedanya dengan kerbau yang berkubang. Salah.. kami seperti kebo kawin di kubangan.




“Aaargggh…” Kami berkecipak sambil mengerang. Buuuk.. sebuah pukulan menimpuk punggungku. Segera kuangkat wajahku.


"Punten bi.. punten… tangan bibi licin.” Aku berusaha bangkit sambil terus meminta maaf. Susah payah aku berdiri. Kulihat seluruh tubuh bi Iyah penuh dengan lumpur. Ia masih belum beranjak, tampak wajahnya masih syok.


“Bi…”




Bi Iyah sadar dan sumpah serapah pun mengalir dari bibirnya. Pengen rasanya kulumat biar diam. Cuh…cuh… ia meludah, membuang cipratan lumpur di mulutnya. Kuulurkan tanganku, tapi ia menepisnya. Akhirnya aku hanya mematung sambil memelas. Bi Iyah kelojotan di lumpur, berusaha bangkit. Ia tampak lucu dan menggelikan. Kalau dalam keadaan normal aku pasti sudah terbahak.




Kuusap wajahku… anjriiit… lupa kalau tanganku penuh lumpur. Cuih..cuih… aku meludah.




“Ha ha hahaha…” Kali ini malah bi Iyah yang terbahak.


"Doraka tah(durhaka sih),” bi Iyah mengumpat di sela tawanya.


“Atulah bi…” Aku memelas.




Bi Iyah sudah berhasil berdiri, tapi drama belum usai. Ketika melangkah tak sadar lipatan kainnya sudah terlepas… breeet… guprak. Samping itu meluncur ke lumpur. Anjrrrit.. aku terperangah melihat pemandangan di depanku. Segitiga pengaman berwarna hitam itu tak mampu membungkus gundukan...








“Ardan!!!” Bentakku panik.




Jaka ngakak sambil memegang perutnya, sedangkan Ega sudah guling-guling di atas bale-bale juga dengan memegang perutnya.




Ardan diam dan melihatku. Kuberi kode dengan mataku, melirik ke arah Sae. Tampaknya ia mengerti. Dua manusia masih ngakak dengan puasnya, kuperhatikan Sae dan wajahnya tampak merah, entah apa yang dipikirkannya. Lalu kuusap-usap lengan atasnya.




"Aing minta cerita tentang mang Oyeh. Kenapa jadi cerita mesum?” Hardikku. 




Sebenarnya aku sangat geli dan ingin ngakak. Ditambah lagi rasa penasaran mendengar kain bi Iyah melorot. Tapi aku tidak enak hati dengan Sae, sehingga berusaha untuk bersikap kalem.




“Ardan mesuum… gak suka…” Sae akhirnya membuka suara. Terdengar sangat ketus.


“Lanjut.. lanjut…” Setelah tawanya reda Jaka meminta kepada Ardan.


“Heh… udah.. udah… mang Oyeh gimana?” Aku memotong.




Kami pun kembali menatap Ardan tajam.




"Hampura atuh baraya (maaf lur).." ardan bersuara. " ya itu.. abis itu aing ketemu mang Oyeh di Saung dan ngobrol di situ.”


“Trus?” Aku tak sabar.


“Kalem, nyet.” Balik menghardik.




Akhirnya Ardan cerita kalau mang Oyeh tidak setuju. Alasannya tidak enak hati ama pak RT dan pak Ikin yang selama ini telah memberi nafkah tambahan dengan menjadi kuli pikul buah kopi ke desa. Bahkan ketika Ardan menawarkan untuk tetap mempekerjakannya dengan upah yang lebih besar, ia tetap menolak.




"Aing curiga ada sesuatu di antara mang Oyeh dan pak RT. Tapi gak tau apa.” Ardan mengakhiri ceritanya.


“Terus apa rencana kita selanjutnya?” Aku bertanya. Semua diam.


“Ga?” Dia diam.


“Ka?” Diam.


“Ar?” Diam.




Fiuuuh…


Kutoleh Sae yang mengangkat wajahnya dari pundakku.




“Gimana Sa?” Tanyaku.


“Ya udah kita gak usah maksa. Kita mulai dari kopi milik kita sendiri ajah.” Sae melanjutkan, “Kita minta ijin ke orang tua kita untuk mengolah kopi sendiri dan menjualnya ke haji Sosmed. Kalau hasilnya bagus kan warga juga bisa tertarik dan percaya ke kita, tanpa harus meminta bantuan pak RT untuk meyakinkan mereka.”


“Setuju.” “Okeh.” “Mantap.” “Apik.” Kami membeo bersahutan.


“Besok bada lohor kita kumpul di rumah Ega.” Jaka melanjutkan.


“…??” Mata kami tertuju kepadanya.


“Kita harus membuat mesin giling kopi sendiri. Dan tempat yang paling memungkinkan adalah rumah Ega, karena di belakang ada saung bekas kandang kambing yang tidak terpakai. Kita jadikan sebagai markas dan penggilingan kopi.” Tukasnya. Kami pun mengangguk.




Kami pun menginventaris kebutuhan yang diperlukan untuk membuat mesin. Ega punya beberapa lembar papan, Ardan akan nebang pohon pelending (semacam pohon pete cina), Jaka akan mengangkut peralatan dan sisa paku dari rumahnya mengingat ayahnya adalah seorang tukang, sementara aku bersama Sae akan merancang gambar beserta meminta seng bekas kepada ayahku. Selesai.




Kami pun beranjak dari tempat duduk masing-masing. Meski hujan masih belum reda, kami tetap harus pulang. Kuraih daun pisang milik Jaka dan kuserahkan ke Sae. Ardan berjalan paling depan sambil nyuhun (menaruh di atas kepala) rumput. Aku jadi ingat, suara tadi rupanya berasal dari rumput yang dijatuhkan Ardan. Untung dia gak langsung masuk saung. Ega mengikutinya dari belakang, disusul Jaka, Sae dan aku paling belakang.




Setibanya di kolam pak RT, Jaka dan Ega berhenti untuk mandi.




“Nanti malam gak maen gaple?” Tanya Jaka.


“Nggaklah malam ini mah. Istirahat dulu.” Jawabku.




Kami bertiga melanjutkan perjalanan, kali ini Sae berjalan paling depan. Sebelum berpisah dengan Ardan aku berbisik, “ Maneh masih punya hutang.”


“Apaan?”


“Bi Iyah.” Mataku mengerling.


“Anjriit.” Ardan ngeloyor dan aku segera menyusul Sae.




Aku mengantar Sae sampai ke depan rumahnya.




“Aku masuk, ya Ja. Dingin… Besok sebelum ke rumah Ega, ke sini dulu ya.” Ucapnya.




Aku diam sambil menatapnya.




“Apa?”




Kukedipkan mataku.




“Kamu tuh!!” Ia berjalan sambil menarik tanganku ke samping rumah.




Di bawah deras hujan kami berciuman.




“Muuuaaach”. Ciuman panjang mengakhiri kebersamaan kami hari ini. Kulepas pelukannya dan kuusap pipinya. Ia segera berlari ke dalam rumah melalui pintu dapur dan aku bergegas menerabas derasnya hujan.




Ada rasa sesak di dadaku. Tapi aku membulatkan tekad untuk menemuinya malam ini.

Posting Komentar

0 Komentar