CINTA, RENCANA DAN JANJI SUCI
“Eh… nak Senja. Mau nyari apa, Ja?”
Duh bu.. bukan nyari apa, tapi nyari siapa.
Aku tersenyum menerima sambutan bu Euis, ibunya Sae, yang sedang selonjoran di atas bale-bale sambil melipat pakaian yang baru diangkat dari dijemuran. Aku maklum atas pertanyaan bu Euis karena ia punya warung. Orang datang biasanya untuk membeli sesuatu. Tapi jangan bayangkan warung di kampung seperti kedai yang terbuka. Belanjaan dipajang di dalam rumah sehingga siapapun yang hendak membeli kebutuhan harus masuk.
“Nggak kok bu… mau ketemu Sae. Ada?”
“Ada di belakang. Kalian pacaran ya?”
“Maaf… iya bu.” Tundukku malu.
“Kok malah minta maaf?” Katanya. “Ibu
mah gak akan ngelarang atau nyuruh-nyuruh terserah kalian aja.”
“Hatur nuhun, bu.”
“Ibu titip Sae ke kamu. Awas loh kalau macam-macam…”
"Ih.. ibu apaan sih? Emangnya aku teh apaan?” Sosok yang kurindukan muncul sambil menimpal omongan ibunya. Nampak ia mengenakan kaos merah jambu yang selaras dengan warna kulit leher dan lengannya; berpadu dengan rok batik selutut di atas jenjang betisnya. Rambut belakangnya yang hitam-bergelombang dikuncir pake gelang karet, sementara rambut sampingnya dibiarkan menjuntai, mengapit putih lehernya. Bibir merah alaminya merekah-basah menyempurnakan kemolekkannya.
Mata beningnya bergantian menatap aku dan ibu Euis yang sedang terkekeh.
"Tenang bu.. aman sama saya mah. Iya kan, Sa?” Aku mengerling nakal, disambut delikan matanya. Bibirnya yang ia monyongkan nampak semakin menggemaskan.
“Iya.. iya.. ibu percaya.”
"Bu.." ucapku. "Saya mau ngajak sae ke bubulak (semacam ladang rumput tempat menggembalakan kerbau atau kambing). Ada yang mau diobrolkan. Bareng dengan Ega, Jaka dan Ardan juga.” Aku meminta ijin.
“Ya sok ajah.. emang mau ngobrolin apaan?”
“Ada rencana untuk usaha kopi bareng, bu. Tapi ya masih sebatas rencana.. makanya mau diobrolkan lagi. Sekalian ngajak Sae, juga.”
"Mangga wae ibu mah.”
“Kamu belum bilang aku looh.. Gak mau. Sanah kamu aja sendiri..” Sae mendelik dengan sorot gemasnya. Ia meraih kain samping di atas jemuran tali, dan melilitkan sehingga menutupi roknya sedikit ke bawah. Bagus Sa, daripada nanti jadi korban mesum mata sahabatku. Gak rela aku.
Aku memeletkan lidah. “Yuk Sa.. permisi bu.”
"Mangga. Pulangnya jangan kesorean ya.”
“Siap.”
Aku dan Sae beriringan meninggalkan rumah. Di belokkan yang menanjak, aku menepuk pundak Sae, membuatnya berhenti dan menoleh. Cup… aku mengecap bibirnya cepat. Sontak pipinya memerah, telapak tangannya mendorong pipiku. Ia selalu begitu kalau malu atau gemas. “Kamu ngegemesin,” kataku. Tapi Sae tak menanggapiku, ia segera melanjutkan jalannya, dan aku kembali mengekor. Sambil menaiki jalan setapak aku kemudian menceritakan hasil obrolanku dengan Ega tadi malam kepada Sae. Saking semangatnya bercerita, tak terasa kami sudah sampai ke tujuan. Tampak tiga sahabatku sudah berkumpul di bawah pohon jambu batu sambil menikmati kelapa muda.
“Cieee… pengantin baru.” Ardan yang pertama melihat kami langsung meledek.
“Mari kita sah kan pengantin baru kita…” Jaka beranjak sambil mengangkat buah kelapa yang sudah dikupas seolah mau menyiram kami berdua. Sae berlindung di balik badanku, kedua telapak tangannya menempel di punggungku. Sementara Ega tetap anteng ngerok daging kelapa dengan sendok yang terbuat dari kulit kelapa.
"Sia (kamu) macem-macem, aing kutuk jomblo seumur hidup.” Hardikku.
“Gak jadi ah.. kutukannya serem… lagian sayang nih kelapa..” Gurau Jaka sambil kemudian menenggak air kelapa sampai meleleh ke dagu dan dadanya. “Selamat ya udah gak jomblo lagi.” Sambil meninju dadaku. Ega dan Ardan mengamini.
Sae memghamparkan ujung kain sampingnya dan duduk, ujung lainnya ia pakai untuk menutupi kedua betisnya. Aku duduk di sebelahnya sambil menekuk lututku. Setelah bersenda gurau sesaat, akhirnya aku mulai menyinggung rencana usaha kopi. Tentu saja tidak perlu menjelaskan detil lagi karena Ega sudah berbicara kepada Jaka dan Ardan, sementara Sae sudah tau di jalan tadi.
Ega memulai dengan menggambarkan bahwa warga biasa menjual kopi mentah. Begitu dipetik langsung dijual ke penadah dengan harga antara dua ribu lima ratus sampai tiga ribu per kilo. Kami sudah tahu itu. Informasi barunya adalah bahwa penadah yang datang adalah Pak Ikin, masih saudaranya Pak RT alias ua-nya Ratna. Dan, kuli angkutnya adalah mang Oyes. Pikiranku sejenak melayang memikirkan sebuah kemungkinan.
Ardan menyampaikan kembali obrolanku semalam dengan Ega untuk menampung hasil panen warga dan menjualnya ke Haji Sosmed. Tentu saja harus ada yang melobi ke sana. Sementara Jaka menyampaikan kembali ide supaya kami tidak menjual biji kopi basah, melainkan menjual biji kopi kering yang sudah digiling. Di sini tidak ada yang baru.
Sae yang sejak tadi menyimak, melirikku. “Ja, inget pelajaran IPS di sekolah?”
“Yang mana?”
“Itu tentang cara-cara mengolah kopi”. Aku hanya garuk-garuk kepala.
“Ah kamu maaah…” Sae menatapku gemas.
“Cieeee….” Serempak tiga sahabatku meledek sikap Sae.
Mereka sukses membuat kedua pipi Sae memerah. Aku cuma menatapnya nakal.
“Begini…” Sae menjelaskan. “Ada empat cara pengolahan kopi, yaitu dengan full wash, semi wash, dry proccess, dan honey proccess. Keempatnya…”
"Heuh(stop)." Ega memotong. "Pake bahasa manuasia wae lah, sa. Teu ngarti aing mah(saya gak ngerti).” Sae garuk-garuk kepala. Aku nyengir.. gak inget pernah dapat pelajaran itu. Jaka dan Ardan cuma bengong.
"Kieu-kieu… (jadi gini..),” Sae melanjutkan setelah menarik nafas sesaat.
Sae menjelaskan bahwa full wash adalah proses pengolahan kopi dengan cara menumbuk atau menggiling kopi basah yang baru dipetik, setelah itu biji kopi yang sudah terpisah dari kulit dan dagingnya dimasukan ke dalam bak air. Tujuannya adalah untuk melarutkan lendir yang menempel pada kulit gabah. Setelah itu kopi dijemur sampai kering selama beberapa hari. Kopi yang dihasilkan dari proses ini akan menghindari fermentasi pada kopi, diharapkan seduhannya nanti terasa asli; tidak ada citarasa asing selain kopi.
Cara kedua tidak berbeda dengan yeknik full wash, hanya saja setelah digiling dengan sedikit dicampur air, kopi tidak perlu direndam. Sebaliknya kopi bisa langsung dijemur. Teknik ini bisa memberikan karakter pada rasa yang kental pada seduhan kopi.
Cara ketiga adalah proses yang tidak menggunakan air bahkan tidak perlu menggiling kopi terlebih dahulu. Setelah dipetik, buah kopi langsung dijemur di bawah sinar matahari. Proses pengeringan ini memerlukan intensitas cahaya matahari yang tinggi, supaya buah kopi bisa cepat kering. Semakin cepat kering, buah kopi akan dapat terhindar dari jamur dan proses fermentasi yang berkelanjutan. Daging buah yang kaya dengan gula selama mengering di bawah sinar matahari yang panas ikut memberikan citarasa pada biji kopi.
Cara keempat, atau proses madu, adalah dengan menggiling kopi tanpa air, setelah itu kopi langsung dijemur dalam kondisi masih berlendir. Selama proses pengeringan itu, berlangsung juga aktivitas fermentasi. Kopi ini dinamai kopi madu karena masih ada lendir yang menempel pada tekstur bijinya seperti madu. Kopi yang dihasilkan dari proses ini akan melahirkan citarasa yang tingkat keasamannya cukup kuat, namun disertai dengan munculnya rasa halus yang mengesankan.
Wooow. Kami hanya bengong ketika Sae mengakhiri penjelasan panjang lebarnya. Aku kemudian memainkan golokku sambil mengiris-ngiris kulit kelapa.
“Gimana ngerti gak?”
“…”
“Aaargggh… percuma ngomong berbusa-busa di tengah orang pilon.” Sae kesal sambil mengibaskan rambutnya.
“Oke-oke… jadi gimana?” Ega akhirnya bersuara.
“Apanya?” Suara Sae meninggi.
“Iya.. kita mau pilih yang mana?”
Tik tok tik tok..
"Nu kadua (yang kedua).” Ega dan Ardan bersamaan, membuat kami semua cekikikan geli.
“Alasannya?” Tanyaku.
“Krena lebih gampang.” Ega menjawab.
“Prosesnya juga cepat.. gak terlalu repot.” Ardan menambahkan.
“Kamu Ka?” Aku melirik Jaka. Ia hanya mengangkat bahu.
“Sa?” Aku menatapnya.
“Setuju… gampangan yang kedua. Tapi yang keempat juga boleh sih.” Bimbangnya.
Setelah menimbang untung-ruginya kami sepakat memakai proses yang kedua. Pembagian tugas pun dimulai. Aku dan Jaka harus ke desa untuk ngobrol dengan Haji Sosmed, Ega dan Ardan akan berbicara dengan pak RT sekaligus mendekati mang Oyeh, sang kuli panggul. Sae? Sae kekasihku biarkan di rumah saja. Biarlah dia menjadi otak atas semua rencana ini.
“Nya enggeus (ya sudah) aing balik dulu. Keburu sore.” Ega menyudahi obrolan kami. Diikuti oleh Jaka dan Ardan.
"Maneh gak balik, Ja?” Jaka menolehku yang masih duduk. Aku cuma nyengir sambil memasukkan golokku ke dalam sarungnya.
"Aing ngarti.Hati-hati, Sa, jangan sampai melendung (akronim dari hamil) duluan ya.” Cengir Jaka.
Buuuk. Pelepah kelapa sukses menimpuk punggungnya. Pelakunya siapa lagi kalau bukan Sae. Mereka pun meraih rumput masing-masing dan memikulnya. Mata kami mengantar kepergian mereka sampai menghilang di balik ilalang.
Matahari sudah merambat turun di ufuk barat, dan atap-atap rumah di bawah sana sudah mulai mengepulkan asap. Di atas kami, gumpalan awan mulai menyentuh pucuk bukit dan merambat ke dalam belantara hutan. Di antara tarian ilalang, berdiri seorang bidadari desa dengan rambut terurai diterpa sepoi angin. Gelang karet yang tadi terikat di sana sudah melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Makasih, sa. Bangga saya mah.. kabogoh saha(pacar siapa) sih?” Aku memeluknya dari belakang sambil menempelkan daguku di pundak kanannya. Terasa sebuah cubitan kecil di punggung tanganku yang melingkari perutnya. Pipi kami pun menempel, sementara mata kami memandang syahdu ke kejauhan, seolah memandang luasnya masa depan.
“Aku takut, Sa.”
“Heh?”
“Takut semua ini bubar mengingat ternyata penadah kopi kita adalah kakaknya pak RT. Mungkin dia akan menggagalkan semuanya ini.” Sae merenggangkan pelukkanku dan berbalik tanpa melepaskan genggamannya. Mata kami bertemu pandang.
“Jangan su’ujon dulu atuh. Belum apa-apa udah pesimis.”
"Bukannya su'ujon, Sa. Tapi ya gak tau.. aku khawatir aja.” Aku mendesah melepaskan kekhawatiranku sendiri.
Sae mengeratkan genggamannya. Sorot matanya teduh menenangkanku. Sipu senyumnya mengembang seolah memberi pesan ‘jangan takut, aku ada untukmu.’ Gadis 17 tahun ini menjelma menjadi wanita dewasa di hadapanku. Tak ada lagi terpaan angin di dadaku karena kini dada kami sudah menempel dalam pelukan mesra.
“Kalaupun warga tidak mau bekerjasama, kan kita berlima juga punya kebun masing-masing. Apalagi kebun kopi orang tuanya Ega sangat luas. Kita mulai dari milik kita sendiri.” Merdu suara itu mengalir dari bibirnya yang terbenam di bahuku.
Ah Sae.. kau memang selalu punya pemikiran lebih dari kami. Pantes saja kamu selalu mendapat ranking satu di kelas. Kukecup basah lehernya dan kuelus rambutnya yang tergerai sepanjang punggungnya. Pelukannya pun makin erat.
Tiba-tiba pikiranku menerawang mengingat peristiwa beberapa hari belakangan ini. Sesak hinggap di dadaku mengingat peristiwaku dengan bu Rohmah. Meski waktu itu aku dan Sae belum pacaran, tapi rasanya aku telah mengkhianati kasih sayangnya yang begitu tulus. Apalagi waktu itu aku sangat meresapi kebersamaanku dengan bu Rohmah sebagai penyatuan suci antara dua rasa dari dua manusia berbeda. Apakah aku harus jujur kepada Sae atau membiarkannya berlalu begitu saja? Ingatanku pun beralih ke peristiwa subuh tadi. Seusai mengintip bu RT dan mang Oyeh, aku seakan mendengar suara bu Rohmah yang memanggilku. Aku memang lupa memenuhi janji untuk bertandang ke rumahnya. Kamu Sa. Kamu membuat aku lupa pada segalanya, karena kamu adalah adaku dan ingatanku.
Mataku berkaca. Bahagia dan sesal bersua dalam daksa. Tubuhku sedikit bergetar. Dorongan lembut itu kurasakan, dan kami merenggang.
“Kamu kenapa, Ja?” Dahinya mengkerut membuatnya nampak makin dewasa.
“Aku bahagia, Sa. Bahagia banget.. makasih..” Senyumku mengembang malu. Aku tak berbohong. Serius aku bahagia banget saat ini. Tapi juga aku berusaha menutupi rasa sesal ini. Semoga Sae tidak menangkap bahwa ada yang kusembunyikan.
“Laki kok cengeng,” ia memencet hidungku gemas.
Dan tubuh kami kembali melekat. “Aku juga bahagia, Ja. Aku sayang banget sama kamu.” Aku mendekapnya makin erat dan bulir basah menyembul di ujung mataku.
Aku tak tahu apakah aku akan merasakan sebahagia ini jika aku tak mengenal dan memilikimu.
"Kamu jadinya kapan ke desa, sayang?” Suara itu memecah keheningan kami.
Kudekatkan bibirku ke telinganya. “Udah berani sayang-sayangan ya sekarang?” Bisikku seraya menahan naluri alamiah kelelakianku.
“Jadi gak boleh?” Ia hendak mengangkat tubuhnya tapi kutahan.
“Nggak sayang… sangat boleh… aku senang mendengarnya. Tapi aku mau kemesraan ini hanya milik kita berdua, hanya kita, dunia kita. Hanya ketika kita berdua kita mengucapkan kata-kata sakral ini, tanpa harus menjadi tontonan atau kata-kata dongeng yang didengar orang lain supaya tidak menjadi basi dan kehilangan kesuciannya.” Kata-kataku meluncur begitu saja. Tapi aku jujur mengatakannya. Aku gak mau kata ‘cinta’ atau ‘sayang’ kehilangan maknanya di kemudian hari dan menjadi spontanitas yang tak lagi keluar dari hati.
Aku akan selalu mencintaimu dan menyayangimu, sa. Inilah janji suciku. Senja ini menjadi saksi dan semoga beribu senja ke depan akan selalu mengingatkanku akan janji ini. Biarlah ikrar ini hanya menjadi rahasia hati, supaya kelak kau tidak merasa tersakiti atau terkhianati.
Sesaat kami saling menggelinjang dan berpisah enggan. Sae menggulung rambut, menampakkan lehernya yang jenjang, sementara tanganku masih memagnet di pinggangnya. Tak perlu menyampaikan sebuah tanya dan meminta persetujuan ketika wajahku kudekatkan, dan penuh debar mencium bibir merahnya dengan mesra. Mataku terpejam meresapi ungkapan tulus dari rasa cinta ini. Dan kami saling mengulum pelan.
Telegram : @cerita_dewasaa
Hari ini genap seminggu aku menghindar dari bu Rohmah. Pernah suatu sore, sepulang dari sawah, aku mendengar ia ada di rumahku. Mereka sedang mengobrol dengan ibu di dapur. Aku pun urung masuk ke dalam rumah dan lebih memilih merokok di belakang kandang kambing. Aku tak punya cukup nyali untuk menghadapinya saat ini. Pengecut? Ya. Aku tak akan protes jika ada yang mencapku begitu. Aku hanya tahu rasa ini, rasa yang karenanya aku berjanji di bawah senja semesta.
Hari ini juga, jarum jam menunjukkan setengah enam pagi. Aku dan Jaka sudah menembus kabut, menuruni bukit. Ini adalah hari di mana kami akan bertemu dengan Haji Sosmed. Di pundak kami membeban sekarung kopi untuk sekalian dijual.
Kaki kami yang tanpa alas sudah hafal jalanan ini. Kami menyusuri punggung bukit yang kiri kanannya dipenuhi pohon mahoni milik Perhutani. Tak lama kemudian, kami melipir di antara barisan pohon pinus yang mendesah karena terpaan angin yang datang dari lembah. Sejauh mata memandang terhampar barisan bukit-berbukit di ujung sana, sementara sebuah sungai besar mengular di antara lembah-lembahnya. Aku dan Jaka kemudian memasuki pesawahan milik warga kampung Ewer, menyusuri pematang-pematangnya dan tak lama kemudian menyusuri parit yang menuju kampung. Sekali-kali kami berjumpa dan bertukar sapa dengan warga yang hendak pergi ke sawah.
Setelah menyusuri jalan semen yang membelah kampung, kami rehat sejenak untuk melepas lelah. Seperti biasa bakat tengil kami muncul dalam canda dan tawa. Namun tak mau berlama, kami melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalan berbatu yang cukup lebar. Inilah jalan yang menghubungkan desa dengan kampung Ewer. Ke kampung ini sudah bisa masuk kendaraan yang biasa mengangkut hasil pertanian. Karena itulah kampung Ewer jauh lebih maju dibanding kampung kami. Listrik pun sudah sampai ke sini.
Lima belas menit kemudian kami pun tiba di batas desa. Kami menyebrangi sasak (jembatan kayu/bambu) yang melintas di atas sungai yang kami lihat dari atas bukit tadi, kemudian menanjak sampai menemukan jalan aspal. Aku berhenti sejenak di depan sekolah tempatku dulu menempuh ilmu. Menghela nafas sejenak, lalu bergegas menyusul Jaka yang tak menyadari henti langkahku. Tepat jam tujuh, kami tiba di toko Haji Sosmed yang masih tutup. Toko ini cukup besar dan menyatu dengan rumah induk. Di halaman samping rumah, terparkir mobil bak terbuka yang biasa digunakan untuk ngangkut hasil panen atau ngangkut belanjaan dari kota kabupaten yang jaraknya kira-kira dua jam perjalanan dengan mobil. Aku tahu karena aku pernah ke sana pas ada acara sekolah.
Kami pun meletakkan karung kopi, dan menghempaskan tubuh di atas lantai keramik depan toko. Mata kami memandang langit yang jernih membiru disorot matahari pagi; sementara kami mendiam dalam kesibukkan pikiran masing-masing. Jalanan pun sudah mulai ramai dengan anak-anak yang hendak berangkat ke sekolah.
Ceklek. Pintu warung terbuka. Sesosok wanita paruh baya dengan jubah panjang dan jilbab hitam yang lebar keluar dari pintu warung. Sudah jamnya buka toko. Serempak kami bangkit. Dan mengucapkan salam dengan sopan. “Kamu toh Ja. Udah lulus ya sekarang makanya jarang kelihatan?” Sapa ramahnya.
“Iya bu haji. Bu haji apa kabar?”
“Alhamdullilah baik, Ja. Gimana di Pasir (sebutan warga desa untuk kampung kami) baik semua?”
“Alhamdulillah, baik bu haji.” Jaka yang dari tadi merasa diabaikan mendahuluiku menjawab. Kami pun tertawa. Tentu saja bu haji juga kenal dengan Jaka karena dulu pernah sekolah sampai SMP dan sering datang untuk menjual hasil kebun sambil belanja keperluan sehari-hari.
“Pak Haji ada, bu?”
“Ada. Sebentar lagi juga keluar. Tunggu aja.” Jawabnya.
Bu haji pun melanjutkan membuka toko. Sementara aku dan Jaka memasukkan karung kopi ke dalam, dekat timbangan. Setelah itu kami sedikit membantu bu haji dengan menata beberapa tumpukan dus yang menghalangi jalan.
“Sssttt… Ja.” Jaka berbisik kepadaku sambil memberi kode dengan gerak matanya. Perlahan aku memandang ke arah yang ditunjuk Jaka. Deg. Mataku pun mendapat sarapan bokong lebar bu haji yang sedang menungging sambil menata gula pasir. Celana dalam wanita berumur sekitar 45 tahun itu tercetak di balik jubah. Jaka tersenyum tengil dan aku cuma menggeleng mengalihkan perhatian. Harus kuakui ada desir yang sulit kumengerti di dadaku.
Pikiran mesum kami segera teralihkan ketika sosok Haji Sosmed muncul dengan masih mengenakan kain sarung. Ia mengenakan peci putih di atas kepalanya. Kami pun saling mengucapkan salam dan berjabat tangan. Setelah berbasa-basi sebentar aku pun meminta waktunya untuk ngobrol. Pak Haji mengundang kami masuk ke dalam rumah dengan melewati pintu bagian dalam toko.
Kami duduk di atas sofa. Kursi terempuk yang pernah kududuki. Tanpa basa-basi aku dan Jaka bergantian menyampaikan rencana kami untuk bisnis kopi. Pak Haji menyimak dengan telaten. Tak lupa kami pun menyampaikan proses pengolahan kopinya. “Kalian masih ngora (muda) tapi punya pemikiran yang bagus.” Komentar pak haji di akhir ‘presentasi’ kami.
“Bu, buatkan kopi sebentar.” Teriak pak haji kepada istrinya.
Tak lama kemudian bu haji datang dan langsung menuju dapur, sementara pak haji beranjak mengambil catatan di dalam bufet ruang tamu. Kami saling berdiam, sementara pak haji anteng membolak-balik catatannya. Tik tok tik tok…
Fiuuuh… untung bu haji segera muncul dengan membawa nampan berisi tiga gelas kopi dan ubi rebus. Ia menunduk meletakkannya di atas meja. Ada kesepakatan tak terucap antara aku dan Jaka untuk mencuri pandang pada gundukkan yang menggantung di balik jubah itu. “Mangga diminum, .” Bu haji beranjak dan kembali ke dalam warung.
“Makasih bu haji. Ditampi.” Serempak kami menjawab.
Pak haji pun mempersilakan kami untuk minum tanpa mengalihkan mata dari catatannya. Keningnya berkerut tanda sedang berpikir. Aku mengambil gelas kopi dan menyeruputnya, sementara Jaka mengambil ubi dan mengunyahnya dengan lahap. Maklum belum sarapan. Tik tok tik tok. Kami hening dalam pikiran masing-masing.
“Ehem..” Pak haji berdehem. Kami menatapnya menanti jawab.
“Gini Senja dan Jaka. Bapak mah sangat mendukung rencana kalian. Bapak siap membantu.”
Aku bernafas lega.
“Tapi ini bukan semata-mata karena bapak akan punya lahan usaha baru dengan kalian dan mendapat keuntungan, tapi karena bapak juga mau membantu warga Pasir (warga kampung Sawer, kampungku).”
Aku dan Jaka menunggu.
“Kebetulan si Raka, anak bapak yang di Bandung baru lulus kuliah dan mau merintis usaha kedai kopi dengan teman-temannya. Jadi ini kesempatan baik juga buat kita. Hanya…”
“Hanya apa, pak?” Jaka tak sabar.
“Setelah bapak menghitung-hitung biayanya, termasuk biaya pengiriman, bapak belum bisa menjanjikan bayaran sesuai harga kopi pada umumnya. Bapak hanya bisa menawar biji kopi Rp. 17.500/kg.”
Mata jaka mengejap ngejap; aku olohok (melongo). Ini di luar dugaanku. Sangat jauh dibanding dengan harga kopi yang belum diolah yang hanya dihargai antara Rp. 2.500-3.000/kg oleh kakaknya pak RT.
“Itu besar sekali, pak haji.” Jaka akhirnya berkata.
“Sebetulnya itu tidak besar jika dibandingkan dengan harga kopi saat ini. Tapi bapak tidak sanggup jika menawar lebih mengingat bapak juga belum tahu prospek pemasarannya saat ini. Kita belum punya pangsa pasar di kota, kecuali anak bapak.”
“Alhamdullilah.. pak haji. Saya setuju.” Aku memutuskan.
Aku tak bisa lagi menyembunyikan rasa gembiraku. Kelegaan juga nampak di wajah Jaka.
“Kalian ikut bapak.” Pak haji beranjak dan mengajak kami. Tanpa banyak tanya kami mengekor memasuki ruang tengah rumahnya, melewati dapur dan keluar menuju halaman belakang. Pak haji menunjukkan alat penggiling kopi berbahan papan yang cukup sederhana.
"Kalau harus ditutu (ditumbuk) tentu akan membutuhkan proses yang lama dan bisa mengganggu pekerjaan yang lainnya. Sebaiknya kalian juga punya alat giling sendiri. Kalian tidak perlu membeli, buat saja yang sederhana seperti ini.” Pak haji menjelaskan.
Aku dan Jaka mengamati mesin tersebut. Tak perlu kertas, kami cukup merekamnya dalam pikiran, mengingat bentuknya yang sangat sederhana.
Setelah melanjutkan beberapa rencana tambahan di halaman belakang, kami masuk kembali ke ruang tamu. Di dapur kami berpapasan dengan bu haji yang bergegas. Diam-diam aku sempat melirik bokong dan kedua payudara bu haji yang bersembunyi di balik pakaiannya. Tak terasa seuntai senyum tergurat di bibirku.
Aku dan Jaka menghabiskan minuman kami, lalu beranjak menuju warung. Pak haji menyiapkan kebutuhan yang kami beli, karena bu haji sedang di dalam. Setelah menerima uang kopi yang sudah dipotong harga belanjaan, kami menenteng belanjaan dan pamit pulang. Kali ini langkahku terasa sangat ringan.
Spoiler: Di tempat lain
“Aaaaah… bucat.. bucat….” Aku menahan pekik nikmat.
Cairan kental mengalir dari vaginaku. Tubuhku bergetar. Lalu kusandarkan tubuhku pada dinding kamar mandi tanpa mengeluarkan terong yang masih membelah lubang nikmatku. Aku diamkan “penisnya” di sana sambil mengulum bibirnya dalam bayangan.
0 Komentar