KETIKA SENJA PART 50

 

PERTANDA DAN PERISTIWA (2)


Dua puluh tujuh senja kemudian…

Hari-hariku kembali normal. Memetik kopi, nyabit rumput untuk kambing dan si jalu, cari kayu bakar, dan nongkrong di saung. Persahabatan kami pun kembali seperti semula; akrab, ceria, penuh tawa, juga bahu-membahu menjalan usaha kopi bersama. Uang kas kami sudah belipat, dan tabungan pribadi sudah lebih dari cukup untuk modal merantau kelak.




Hubunganku dan sae juga berjalan wajar. Kadang-kadang aku mencuri pandang untuk mengagumi kecantikkan dan anggunnya; demikian juga dia sering kupergok menatapku sendu. Tanpa sadar kami masih memberikan perhatian-perhatian kecil dan saling tahu kebiasaan-kebiasaan sederhana di antara kami. Ia pun selalu mengenakan selendangnya, dan aku masih enggan melepas gelang pemberiannya.




Intinya, kami sudah bisa saling berbicara dan bercanda, walau tak pernah lagi jalan berdua. Hanya satu yang masih mengganjal, ia selalu menanyaiku kapan berbicara berdua di bubulak dan jawabanku selalu sama: nanti saja. Aku belum siap untuk kembali mengenang keindahan masa lalu yang belum tentu bisa terulang. Aku hanya ingin fokus pada usaha yang sedang kami jalankan; juga pada persiapan perkawinan Ardan.






Ardan dan Bi Iyah.




Mereka makin dekat dan tak sungkan menunjukkan kemesraan di hadapan kami; meski hanya sekedar melalui sikap saling perhatian dan sorot mata mereka. Sempat mereka menjadi bahan gunjingan warga, namun perlahan semuanya hilang dengan sendirinya. Warga sudah mulai mengerti. Secara ekonomi, penghasilan mereka berdua pun sudah lebih baik karena selain berkebun kopi miliknya, Ardan juga mengolah kebun peninggalan Mang Oyeh.




Dan…




Mereka kini sudah resmi bertunangan. Orangtua Ardan, ditemani penghuni saung, sudah melamar Bi Iyah. Kami disambut Abah Barja dan orangtua Mang Oyeh sebagai wali keluarga, mengingat Bi Iyah sudah yatim piatu. Sebuah tanya disampaikan ayahnya Ardan kepada Abah Barja, dan Abah Barja menyerahkan jawabnya kepada Bi Iyah. Jawabnya adalah: IYA. Nafas lega di antara kami semua terhembus sore itu. Kami pun bercengkrama dengan gembira sambil menikmati hidangan yang ada. Urusan hitungan tanggal perkawinan kami serahkan kepada para tetua, kami yang muda hanya menerima dengan gembira.






Ega dan Ratna.




Mereka makin dekat dan mesra. Kini sikap mereka sudah seperti aku dan Sae dulu. Selalu mesra dan tak malu berpelukan di saung kami. Sungguh perpaduan sempurna antara seorang lelaki yang berkepribadian dewasa dengan seorang gadis ceriwis dan manja.






Jaka.




Masih tengil seperti biasa. Bedanya, kini ia lebih tekun bekerja. Bahkan kini ia sedang membuka lahan perkebunan baru, kebun kopinya pun makin luas. Sempat aku berpikir untuk menjodohkannya dengan Sore, tapi tampaknya akan sulit karena mana mau Sore tinggal di kampung seperti ini. Belum lagi aku menangkap keganjilan Sore melalui perhatian-perhatiannya padaku yang semakin sering menelpon dan mengirim pesan.




Eeeh...




Jaka malah menemukan cinta lamanya. Menang banyak dia... Selamat deh untukmu kawan. Aku ikut bahagia bersamamu.






Bu haji.




Kami masih berkomunikasi hampir setiap hari. Kami baru bertemu sekali pasca ritual kami, dan belum melakukan percintaan lagi.






Raka dan Mae.




Kalau memperhatikan grub whatsapp kami, mereka juga tampak makin mesra. Mae pun sudah tak malu memanggilku dengan mesra layaknya seorang adik kepada kakak. Warga grup tentu saja sudah saling tahu dan tak mempermasalahkannya. Bahkan kami sering menjadi objek ledekkan, karena gayanya kadang-kadang bisa lebih mesra kepadaku daripada kepada Raka.






Ilham dan Irma.




Ini lain lagi. Kedekatan dan kemesraan tidak mereka tunjukkan dengan kata-kata manis, melainkan melalui bahasa gaul dan terkesan saling meledek, saling omel dan menyudutkan, dan tak jarang melalui makian. Pasangan yang aneh.






Aku dan pemilik account merah_delima.




Kami masih saling berbalas puisi, tapi setiap aku ingin mengenalnya lebih dekat ia selalu menjawab dengan rangkaian angka yang sama. Tidak ada dialog darinya, kecuali sahutan puisi-puisinya. Anehnya, aku merasa sangat dekat dan seolah sudah mengenalnya di dunia nyata. Siapakah dia? Hadeuh…






Bu Sawarni.




Nama ini akhirnya kudengar dari dua wanita yang berbeda: Bu Euis dan bu haji. Dialah garis keturunan wanita ketigaku. Tapi tak seorang pun tahu di mana keberadaannya. Keluarganya merantau ketika zaman perang DI/TII, dan usianya diperkirakan seumuran Bu Rohmah. Aku tidak tahu apakah aku bisa menemukannya sebagai wanita ketigaku, atau malah sudah menitis kepada anak perempuannya; itu pun kalau ada. Entahlah… Untuk yang satu ini aku tidak terlalu memikirkannya,






Pak haji dan Pak Ikin.




Mereka masih tetap menjadi rekan usaha kami. Kini bukan hanya kami yang dibantu, tapi usaha mereka juga makin maju. Pak Ikin pun sudah tidak berani macam-macam lagi.






Sawaka dan Mantili.




Tetap setia menjaga kampung, berkeliling menjaga perbatasan dan menjadi penguasa setiap hutan.






Kini…




Kami sedang berkumpul di saung kami. Minus Ratna yang sedang pergi ke desa bersama kedua orangtuanya. Para pria asik menghisap rokok dan menyeruput kopi, Sae asik memainkan hapeku sambil berbaring di pangkuan Bi Iyah.




Sebuah rencana baru saja kami bicarakan. Kami sudah sepakat membeli sepetak lahan milik Abah Barja yang terletak di tengah kampung dengan harga 2,7 juta rupiah. Di lahan ini kami akan mendirikan pendopo kampung tempat semua warga melakukan kegiatan. Selain ruang itu, kami juga akan memindahkan penggilingan kopi di sana. Maka pendopo akan menjadi pusat berkumpulnya warga sebagai tempat pertemuan, dan bangunan tambahan untuk penggilingan kopi, tempat menumbuk padi, ruang pembuatan keripik dan emping, gudang, dan lapangan tempat jemuran hasil sawah dan ladang.




Uang kami miliki, ijin dan kesepakatan warga sudah kami kantongi, bahan bangunan tersedia di hutan kami dan papan akan kami beli dari ayahnya Jaka sekaligus menunjuknya sebegai tukang bangunan; dan tenaga adalah gotong-royong warga. Perhitungan kami, bangunan bisa diselesaikan tidak sampai sebulan. Rencananya, pendopo utama akan digunakan juga sebagai tempat hajatan perkawinan Ardan dan Bi Iyah.




Pendopo utama akan kami bangun dengan tetap mempertahankan model panggung. Itu sesuai nasihat dan wejangan Abah Barja dan ayahnya Ratna. Mengapa? Karena rumah panggung adalah simbol perpaduan tiga dunia, dunia atas (langit semesta), dunia tengah (manusia), dan dunia bawah (bumi). Aku setuju saja, apalagi ketika Bu Euis menyampaikan makna lain dari arti tiga dunia ini pada suatu senja.






“Ja, Pengatur Semesta dan karuhun (leluhur) kita adalah penguasa dunia atas, dan kita manusia adalah penghuni dunia bawah. Kelak kita semua akan menuju ke atas, kembali kepada Pemilik Siang dan Malam, Penguasa Fajar dan Senja, Pengelola Semua yang berada di bawah langit. Selama kita masih kumelip di alam dunya (hidup di dunia), di antara kita dan yang di atas sana ada dunia tengah yang menghubungkan dan menjaga keteraturan serta keharmonisan, ada makhluk ilahi dan duniawi, itu disimbolkan oleh Sawaka dan Mantili karena mereka adalah makhluk yang ada sekaligus tiada. Mereka adalah tanda dari adanya sebuah ikatan antara pencipta dan semua ciptaan.”




“Lalu kenapa aku harus berhubungan dengan takdir Sawaka dan Mantili?”




“Dunia tengah itu harus dikenali supaya kita mengenal kehendak yang ilahi. Pertarunganmu dengan Sawaka dan kekalahanmu dari Jaka dalam mimpimu itu adalah tanda sebuah persiapan untukmu. Egomu harus kalah dan dikalahkan supaya dirimu lebih peka pada kehendak semesta, bukan hanya mementingkan diri sendiri. Selalu butuh pengorbanan dalam sebuah pengabdian; dan butuh perjuangan untuk meniti cita-cita masa depan. Ini adalah filosofi kopi kampung kita.”






Filosofi ini kuanggap sebagai pertanda akan makna hidupku bagi kampung ini. Semua cita-citaku harus kupersembahkan untuk kemajuan Sawer. Semoga kelak bisa menjadi kampung budaya.




Rencana kini telah matang. Mulai besok lusa kaum lelaki akan menebang kayu dan bambu untuk bahan bangunan, dan kaum ibu sepakat bagian penyedia hidangan. Dua minggu lagi kami sudah siap membangun. Pembangunan sendiri diperkirakan bisa lebih cepat daripada persiapan bahan-bahannya, karena kami akan lakukan dengan kerja bakti dan gotong royong.




Kuraih hape yang sae sodorkan, sesaat sebelum bubar. Layar aplikasi notes masih terbuka dan kubaca serangkaian tulisannya:




Siapa Sore? Kok kalian mesra sekali?


Siapa merah_delima? Kok romantis sekali?


Jadi ini yang membuatmu sudah mantap meninggalkan masa lalu kita?




Kalau kamu penasaran, aku tahu arti 46-166-167-16 yang dimaksud merah_delima. Tapi aku hanya mau memberitahu di bubulak. Itu terserah kamu.




Deg.




Sudah seminggu aku tidak menghapus chatting, dan tadi lupa sign out dan menutup halaman browsing. Ya sudahlah.. aku abaikan saja.

Posting Komentar

0 Komentar