PERTANDA DAN PERISTIWA
Kusampirkan handukku di atas jemuran tali, lalu masuk ke dalam rumah. Setelah berganti baju, kubuka hape untuk melihat waktu, sudah jam 10.27. Lama juga aku tidur sejak ritual kami tadi malam. Dengan secangkir kopi dan sepotong singkong rebus, aku beranjak ke bale-bale depan rumah lalu duduk untuk menikmati cerahnya hari.
Di pekarangan, Sawaka dan Mantili sedang bergulat. Berlari, meloncat. Menggeram, mencakar. Berkelit, menggigit. Tentu saja mereka tidak sedang bertarung, melainkan bermain sambil saling menyalurkan birahi.
“Kalian pergi ke perbatasan, tak perlu mengawalku,” aku memberi perintah. Wuuuush… mereka menghilang seketika. Bercintalah di sana kawan… dan tetaplah jadi cerita anak cucuku kelak.
Kusapa bu euis yang lewat sambil ngelek (mengapit antara tangan dan pinggang) gulungan daun pisang. Kami bercengkrama sebentar dan kuberi kabar tentang ritual tadi malam. “hatur nuhun, Ja. Sekarang kampung kita kembali aman dan tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.” Ia berkata senang.
“Bu, maafkan aku.”
"Karena?”
“Aku dan Sae…”
“Udah gak usah dibahas. Ibu sudah tahu, dan kalian harus menyelesaikannya sendiri.” Ia memotongku.
“Tapi bu..”
“Bukannya ibu tidak mau membantu, Ja. Ibu bisa saja membantu, tapi kalau begitu kalian tidak akan pernah dewasa.” Senyumnya manis tapi juga mencurigakan. Ah.. sudahlah..
"Hatur nuhun, bu.”
Mataku mengantar kepergiannya sampai ia menghilang di pengkolan.
Ya. Aku dan Bu Euis sudah saling tahu tentang sejarah warisan leluhur kami, dan kami sudah beberapa kali membicarakannya. Aku tahu siapa dia dan leluhurnya, aku tahu sejarah dan kiprah kakekku, dan aku juga tahu tentang nama orang ketiga yang harus kucari, selain kakakku. Aku juga tahu tentang situasi kampung yang sempat dilanda birahi. Itu semua dari dia, dari wanita yang sempat kupikir akan menjadi mertuaku. Tapi kini… ya sudahlah… Lebih baik aku fokus pada cita-cita dan kebaikan kampungku.
“Kamu sudah makan, Ja? Nih ibu bawakan goreng mujair.” Sebuah suara memanggilku dari dalam rumah.
“Loh ibu kok sudah di dalam?” Aku berbalik sambil bertanya heran.
“Lah.. kamu malah melamun, tadi ibu masuk dari dapur.”
Aku hanya bisa tersenyum sambil garuk-garuk kepala, lalu beranjak masuk ke dalam rumah. Kututup pintu dan kupeluk tubuhnya erat. Ada ungkapan syukur dan terima kasih yang meluap dari dalam hatiku, tapi hanya melalui pelukan ini aku bisa menyampaikannya.
“Sudah.. kamu makan dulu,” sambil mendorong lembut tubuhku.
Kami sama-sama beranjak ke dapur untuk mengambil makanan. Sepiring nasi, dua ekor mujair goreng, sesendok sambal terasi dan setangkai lalap daun kemangi. Aku pun makan dengan lahap di bawah sorot matanya yang teduh dan penuh kasih sayang keibuan.
“Bu, tadui apuh kemuh bu seuiiss,” aku ngomong sambil mengunyah makananku.
“Hihi..” Ia hanya tertawa sambil beranjak ke dapur. Tak lama kemudian ia kembali sambil membawa segelas air minum dan air kobokan untuk cuci tangan.
Glek. Kutelan suapan terakhirku.
Gluk. Gluk. Gluuuk. Kuhabiskan air minumku.
Lalu kucuci dan kubersihkan tanganku.
“Kenapa Bu Euis?” Bu Rohmah memulai kembali obrolan. Ya, wanita ini adalah Bu Rohmah.
Aku tak langsung menjawab. Kugeser piring dan gelas kosong, lalu aku pindah ke sebelahnya.
Cuuup. Kukecup pipinya lalu berbaring di atas lahunan (pangkuan) -nya sambil memainkan ujung kebayannya.
“Ya, aku cerita saja tentang ritual tadi malam,” jawabku akhirnya.
Kurasakan ia membelai rambutku.
“Tapi ia tak mau membahas tentang hubunganku dan Sae,” lanjutku sambil menarik nafas panjang.
“Tadi malam Ismaja (maksudnya bu haji) bilang kalau ritual hampir gagal,” Bu Rohmah menjawab. “Jadi benar penyebabnya adalah Sae?”
Aku hanya mengangguk di atas pangkuannya.
“Ibu mengerti sekarang…”
Tik tok tik tok
“Dengar, Ja. Perjalanan kalian masih panjang, dan kamu punya tugas berat ke depan. Hidupmu bukan hanya Sae, fokuslah pada tugasmu.”
“Tapi bu..”
“Iya, ibu tahu kalau kamu menyayanginya. Ada maksud di balik ini semua, tapi ibu tidak bisa cerita sekarang… Ibu hanya bisa menyarankan supaya kamu menerima masa lalumu, mencintai kekinianmu, dan menyambut masa depanmu dengan hati baru. Yang Di Atas sudah menyediakan semuanya sejauh kamu ikhlas menjalani hidupmu sendiri.” Nasihatnya panjang lebar.
Aku hanya diam. Pikiranku melayang mengingat hubungan Sae dan Jaka.
“Jaka? Jangan kamu terlalu memikirkan mereka.” Bu Rohmah seakan tahu isi lamunanku. “Kamu bicara baik-baik dengan Jaka, syukur kalau bisa bicara dengan Sae juga.”
“Iya bu.”
“Percaya sama ibu. Jaka baik-baik saja, demikian juga Sae. Yang dibutuhkan sekarang adalah kedewasaan dan kejujuran kalian bertiga.
Kupeluk pinggangnya erat dengan wajah terbenam di perutnya.
“Sekarang apa rencanamu? Kapan kamu pergi mencari kakakmu?”
“Aku akan pergi setelah perkawinan Ardan.”
“Hah? Kok cepat sekali. Karena Sae lagi?”
Aku hanya diam, dan itu sudah cukup untuk memberi jawaban.
“Apapun keputusanmu, ingat jangan menjalani pencarianmu dengan keterpaksaan. Dan ibu harap, kamu jangan pergi sambil membawa kebencian.”
“Iya bu. Kalau itu pasti.”
Tiba-tiba ibuku datang dari arah dapur sambil mengelap keringat di wajahnya; ia baru saja pulang dari sawah. Seketika omelannya menggelontor ketika melihatku sedang bermanja-manja di atas pangkuan Bu Rohmah. “Bukannya bantu di sawah, malah ogoan (manja) di rumah,” katanya. Bu Rohmah tertawa, sementara aku cuma bisa nyengir sambil bangkit dari pangkuannya. Lalu kupeluk tubuh ibuku dan kucium pipinya.
“Aku ke saung penggilingan dulu, ya bu,” pamitku.
“Iya,” jawab ibu dan Bu Rohmah bersamaan.
Aku pun melangkah ke saung markas kami.
Seperti dugaanku, saung masih kosong. Para sahabatku pasti masih sibuk di kebun masing-masing. Kunyalakan rokok dan kukeluarkan hapeku. Kubalas beberapa pesan dari bu haji dan celotehan sahabat-sahabatku di grup “kopi sawaka.” Ada beberapa gambar yang Irma ajukan untuk logo kopi yang akan kami pasarkan, juga Capture halaman blog yang Mae tunjukkan. Setelah diskusi sebentar, kami pun sepakat pada satu pilihan. Setelah selesai chating , lalu kubuka browser
www.***************************************************************.com
Username atau alamat email:
Sudah pernah daftar?
[ ] - Belum, daftar sekarang:
[ ] - Ya, password saya adalah:habayanabahwb
Puisi - klik.
KUPU-KUPU MALAM - klik
Wow… dia sedang online
Kutelusuri kembali sederetan karya-karya puisinya, dan juga beberapa puisi balasanku. Entah kenapa, aku sangat mengagumi dan menikmati setiap rangkaian kata dan kalimat yang ia tuliskan.
Kerinduanku sudah terurai begitu lama, abadi dalam setiap hari dan peristiwa hidupku. Lahirku dan juga lahirmu, matimu dan juga matiku menjadi satu dalam catatan takdir yang tak terhapuskan. Seperti fajar yang dilengkapi senja, seperti siang yang disempurnakan malam, kamu menyempurna dalam cintaku.
Meski senja telah memisahkan siangku dan malammu, ia selalu saja menyenangkan. Karena kadang ia merah merekah bahagia, kadang ia hitam gelap berduka. Tapi langit selalu menerima senja apa adanya. Namun... sampai sekarang aku masih belum bisa... Belum bisa melepas kepergianmu senja itu.
__
Aku selalu menatap kesendirianmu
Menikmati saat kau sapa sepi di ujung senja
Melihatmu melukis langit senja dengan ceria
Hingga tiada hening mampu mendekat.
Melihatmu bercanda dengan sang bayu
Seolah tiada perih pernah menyapa
Gelap seakan tertahan
Terbius oleh tatapmu ke langit barat.
Jiwamu bebas berkelana
Bak maung di istana rimba
Bebas, lepas, melangkah pasti
Hingga sudut terjauh semestamu.
Aku selalu menatapmu..
Melihat rangkaian mutiara yang kau rajut
Sebaris demi sebaris
Hingga terjuntai bak doa sang ibu.
Tetaplah di sana.. di ujung senja
Tetaplah tersenyum.. di langit senja
Kau adalah semestamu
Dan akulah penikmat isi semestamu.
dedicated for @Ketika_Senja
Deg.
Wow...
Akhirnya ia menyapaku. Mendedikasikan puisi terakhirnya untukku. Aku mengerjap.. tapi ini benar nyata. Tulisan itu jelas untukku.. dedicated @Ketika_Senja .. dan itu aku…
Dengan jantung berdetak kutuliskan sebuah puisi balasan. Kuungkapkan segala rasaku dalam imajinasi, dan kutuangkan imajinasiku dalam puisi. Aku seakan sedang berbicara dengan… Ah sudahlah.. yang pasti gadis ini bukan Sae. Tapi.. tapi aku merasa sedang berbicara dengannya.
Kutuliskan sebuah pengantar kecil sebelum kuposting puisiku.
“Ketika_Senja said:
Kau hanya melihat lukisan di langit semesta, kau hanya membaca narasi di rimba kata-kata. Kau bersenandung bersama dendang laguku, tapi inilah kisah perihku yang senyatanya:
Sampaikan salamku pada masa depan
Tak usah kaubawa cerita tentang kita
Anggap tak ada aku di belakang
Karena aku belum siap keluar.
Esokku masih samar
Kiniku hanya malam
Belum ada cercah yang mengundang
Menuntun jiwa kembali berjalan.
Adaku hanya satu
Hidup tanpamu
Semoga waktu masih mau menunggu
Sebelum habis usiaku.
“Sampai jumpa,” katamu
Kataku, “Selamat tinggal”
Entah siapa yang akan menang
Semoga takdir tak mau terburu.
Kaubangun istanamu, kugali tanahku
Kautandur bahagiamu, kupanen lukaku
Kaupetik cintamu, kukubur hatiku
Aku
Kamu
Tak lagi satu.
Post. Klik.
Deg.
Deg.
Semenit.
Lima menit.
Sepuluh menit.
Tak ada balasan.
Padahal dari ID-nya sangat jelas:
Mungkin aku lebih baik menyapanya melalui PM. Kutulis pesan singkat..
Subjek: Salken
Hai..
Maaf kalau aku mengagumi rimba kata imajinasimu, boleh aku mengenalmu lebih dekat?
Thanks atas puisimu yang kau khususkan untukku.
Kirim. Klik.
Semenit.
Dua menit.
Tujuh menit.
Ada tanda merah di inbox Dia membalasku.
Klik.. kubuka..
46-166-167-16
Apa-apan ini? Ia hanya mengirimkan serangkaian angka. Ah.. pasti ini nomor telpon. Dengan lincah kuketik deretan angka yang ia berikan di layar panggilan hapeku. Klik..
Mohon maaf nomor yang anda hubungi belum terpasang.
"Kampret,” makiku.
“Widih.. galak banget, datang-datang langsung disambut makian.”
Deg.
Aku menoleh ke arah datangnya suara.
“Eh.. ma.. maaf, Sa. Aku bukan memakimu. Tapi ini..” Aku menatap Sae yang sudah berdiri di tepi saung sambil menunjuk layar hapeku.
“Hihi.. iyaah.. aku bercanda kok. Aku duduk yah.”
“Eh.. mendingan kamu bikinin kopi dulu gih.”
“Enak ajah.. bikin sendiri sanah..”
“Pliiiisss…”
Sae beranjak ke arah dapur tanpa menjawab lagi.
Aku menatap punggungnya. Hmmm.. masih saja ia memakai selendang pemberianku. Apakah ini sebuah pertanda? Hadeuh. Dua pertanda yang masih misteri kini kuterima dalam hitungan menit, angka misterius dari merah delimaa dan selendang yang selalu Sae kenakan. Kusandarkan tubuhku pada tiang saung sambil meletakkan hapeku di samping.
Tak lama kemudian Sae kembali ke saung dengan membawa dua cangkir kopi.
“Tumben kamu juga ngopi?” Tanyaku.
“Buat Jaka. Sebentar lagi ia juga datang,” jawabnya.
“Oh..” Singkatku.
Belum juga kuseruput kopiku, Jaka muncul sambil memikul karung kopi. Aku menyambutnya dengan ledekan sekedar untuk mengawali perjumpaan tanpa kekakuan. Di luar dugaan, Jaka membalasku balik, tengilnya telah kembali; dan ia seolah tak terpengaruh kejadian tempo hari.
Sementara Sae juga bersikap biasa, tak aneh-aneh lagi. Kami pun duduk bertiga sambil bercerita tentang cuaca yang akhir-akhir ini cukup panas, juga tentang kondisi sawah dan kebun kopi kami.
“Mumpung cuma ada kita bertiga, aku ingin berbicara.” Aku mengalihkan obrolan kami.
Dengan tenang aku pun memohon maaf atas situasi yang selama ini mengganggu hubungan kami bertiga dan berefek pada kemarahan Ardan. Aku tak mau mempersalahkan lagi sikap plin-plan dari Sae; kini aku memosisikan diri sebagai orang yang bersalah karena sikap tidak tegasku. Aku tegaskan bahwa persahabatan ini jangan sampai runtuh hanya karena kisah cinta di antara kami.
“Aku sih gak masalah, Ja.” Jaka menanggapi. “Ini semua bukan salahmu, tapi salah kami juga. Sebenarnya banyak yang ingin kusampaikan, tapi biar Sae saja. Yang penting kita tetap bersahabat.” Ia meninju bahuku sambil melanjutkan ucapannya, “ Salawasna (selamanya).”
Aku memandang Sae sambil berusaha menyembunyikan keterkejutanku atas jawaban Jaka. Sae nampaknya mengerti atas sorot mataku yang meminta penjelasan. Ia memeletkan lidah sebelum menjawab, “Gini, Ja..” Sae menarik nafas sebentar. “Kita sudah sepakat putus sejak di saung sore itu. Maaf kalau setelah itu aku masih berusaha menggodamu, aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri atas kemantapanmu untuk mengakhiri hubungan kita. Aku juga sudah menerima suratmu yang kamu titipkan melalui Rahma. Aku mengerti dan aku paham maksudmu.”
“Lalu hubungan kalian?” Aku memotong.
“Aku dan Jaka juga sudah tidak ada apa-apa..” Sae menjawab, tapi sebelum melanjutkan Jaka sudah memotong, “Dan memang tidak pernah ada apa-apa.”
“Maksudnya?” Aku heran.
Sae segera menjawabku, “Maaf Ja, aku tidak bisa menjelaskannya sekarang. Yang jelas, sejak aku memicu keributan kemarin malam, kami sudah berbicara dari hati ke hati. Bahkan kami juga sudah bicara kepada Ardan, Ega, dan juga Ratna sekepulanganmu.”
“…”
"Khusus kepadamu, aku hanya akan menjelaskan semuanya di bubulak. Aku pernah mengajakmu berbicara di sana, tapi kamu menolak. Sekarang terserah kamu.. kalau sudah siap kamu tinggal datang.. Aku selalu ada di sana.” Sae menegaskan kalimat terakhirnya.
“…”
“Aku harap kita bisa berbicara sebelum kamu berangkat ke Bandung. Tapi terserah kamu.. Kalau kamu tetap tidak mau, aku juga tidak akan memaksa. Tapi ya itu.. aku hanya mau menjelaskannya di sana.”
“Sa?” Aku memohon.
Tapi Sae hanya memeletkan lidah sambil merapikan posisi selendangnya.
“Ka?” Aku menatap Jaka dengan tajam.
Tapi ia cuma nyengir sambil mengangkat kedua bahunya.
Hadeuh…
“Terserah kalian deh.” Aku mengalah. “Yang penting aku tidak ingin terjadi salah paham di antara kita, juga di antara teman-teman yang lain.”
“Jadi kamu sudah siap?” Sae malah bertanya.
“Belum.” Singkatku, yang serentak ditanggapi tawa Sae dan Jaka bersamaan.
Obrolan kami terhenti oleh kedatangan ega dan ratna.
"Nah gitu dong.. harus akur (rukun),” ledek Ega. Nampaknya ia menyadari kalau sudah tidak ada lagi sikap kaku di antara kami bertiga.
Sebetulnya di dalam hatiku masih menyisakan ruang hampa yang tersisa, tapi pulihnya keakraban persahabatan menjadi yang utama saat ini; kuabaikan diriku sendiri demi kepentingan dan keutuhan persahabatan kami. Aku juga merasa kalau Sae masih perhatian padaku, tapi sekarang lebih bisa bersikap dewasa dan menahan diri. Tapi entahlah.. mungkin ini hanya geerku saja.
Obrolan pun kami lanjutkan dengan rencana lamaran dan perkawinan Ardan. Sae menghitung anggaran, Ega dan Jaka menyampaikan rencana detail yang akan mereka lakukan sesuai pembagian tugas yang pernah kuberikan. Sementara Ratna hanya diam sambil bersandar di dada Ega.
“Ardan ke mana?” Aku merasa heran karena tumben-tumbenan ia belum datang, padahal dialah yang paling sering ada di saung.
“Ia sedang memetik kopi di kebun Bi Iyah. Sejak gak ada Mang Oyeh, kebunnya jadi tidak terurus.” Ega menjawab.
“Baguslah kalau begitu. Berarti hari ini Jaka yang giling kopi, dan Ega yang ngarungin jemuran.” Aku menunjuk Jaka dan Ega.
“Lah kamu?” Protes Jaka.
“Hehehe… aku mah mau tiduran dulu. Masih capek.” Aku menjawab sambil merebahkan diri di atas bale-bale.
“Monyet!” Jaka memaki.
“Kampret!” Ega ngedumel.
“Kamu capek kenapa?” Tanya Sae penuh curiga.
Deg.
Tapi kuabaikan mereka dengan pura-pura tidur. Kurasakan ada yang mendekat mengambil hapeku. Biarlah.. toh sudah biasa hapeku dipakai mereka.
0 Komentar