KETIKA SENJA PART 45

 

DRAMA DI BALIK CERITA

POV Ratna

Aku tidak lagi bisa menangis, meski mataku masih terasa perih karena sedih dan panas oleh amarah. Gigiku saling rekat dan rahangku mengeras. ‘Jaka harus dilabrak. Setelah apa yang ia lakukan pada ibuku, kini ia juga menodai Teh Sae. Aku harus membalasnya.’ Aku membatin.

Aku bangkit. Namun belum juga aku melangkah, Teh Sae sudah meraih tanganku. Ia menggeleng di tengah isak tangisnya.

“Jangan.. aku mohon jangan, Rat.” Teh Sae menahanku. Ia tampaknya bisa membaca perubahan raut mukaku, dan paham akan niatku.

“Tidak, Teh, tidaaak… Jaka tidak bisa dibiarkan.” Aku menahan geram supaya suaraku tidak terdengar sampai ke saung.

"Lagian teteh kenapa diam saja? Tidam menghajar dia pas dia mencium teteh!!” Aku berontak melepaskan cenkeraman tangannya, tapi ia makin erat menahan pergelangan tanganku.

“Ini bukan yang pertama, Rat. Hiks hiks…”

“Haaaah???”

“Dengarkan aku dulu. Sini duduk.” Teh Sae menarik tanganku, lalu mengusap air matanya. Aku hanya menuruti permintaan Teh Sae sambil tetap menahan geram.

“Ini bukan sepenuhnya kesalahan Jaka karena aku sendiri yang memintanya.”

“Teeeeh???” Aku melotot sambil menutup mulutku.

“Yang pertama adalah sebelum Senja ke Bandung,” Teh Sae kembali terisak.

“Waktu itu Senja datang ke saung dan aku langsung memeluk Jaka. Aku sengaja melakukannya.. kamu pasti tahu maksudnya.. hiks hiks.. Aku bisa merasakan kehadirannya, Rat. Aku bisaa.. Auranya selalu aku rasakan.. Lalu aku berbisik kepada Jaka untuk menciumku. Hiks.. hiks… Jaka awalnya tidak mau, tapi aku memaksanya, sehingga ia mencium keningku. Hiks.. hiks…”

“…” Aku sudah tidak tahu lagi harus bilang apa.

“Kamu tahu apa yang terjadi, Rat? Senja hanya diam dan seolah tidak melihat apa-apa.. hiks..hiks.. Ia tetap tenang.. Tapi ia tidak bisa bohong dariku.. Tidak!!! Aku bisa merasakan kemarahan dan kekecewaannya; tapi ia berusaha menutupinya. Dia Senjaku, Rat. Senjakuuu.. aku tahu semua tentang dirinya. Aku hampir mau menubruk dan memeluknya.. hiks hiks hiks.. tapi sekuat tenaga aku tahan.. aku tak mau semuanya berantakan karena ini baru awal.”

Air mataku kembali meleleh merasakan kepahitan yang Teh Sae alami.

“Aku selalu diam dan diam.. untuk membuatnya menjauh dariku. Aku tahu itu menyakitkan baginya. Juga bagiku, Rat. Aku sakiiiit!!! Aku tahu ia sangat kesakitan... hiks hiks… ketika ia melihat kami berpelukan dan Jaka menciumku. Tapi ia hanya diam.. Bohong, Rat. Dia berbohoooong… hiks.. hiks… Ia menutupi luka dan kesakitannya. Hiiiiksss…”

Teh Sae sudah tidak bisa menahan diri lagi. Tubuhnya terguncang. Kami saling berpelukan dan terisak.

“Lalu kenapa sore ini harus terulang, Teh?” Aku berbisik, tanpa melepaskan pelukan kami.

“Aku sayang dia, Rat. Teramat sayaaang. Hiks hiks… Aku ingin ia benar-benar pergi karena aku tak ingin ia mencelakai dirinya sendiri demi aku.

Teh Sae melepaskan pelukannya.

“Begitu tahu Senja datang, kami kembali berpelukan dan meminta Jaka untuk menciumku seperti waktu itu. Kamu tahu apa yang terjadi? Ia bukan mencium keningku, Rat. Bukaaan!!! Hiks hiks… Ia men.. hiks hiks… mencium bibirku. Aku marah! Sangat maraaah!! Aku jijiiik!!! Tapi aku tidak berdaya.. aku hanya bisa membalasnya supaya Senja tidak curiga. Hiks hiks... Aku tak relaaa…!!!”

Aku kembali ikut menangis sambil mengepalkan kedua tanganku. Sedih dan geram bercampur-aduk.

“Aku pura-pura kaget ketika ia berdehem. Aku sangat tegang menunggu luapan amarahnya. Tapi ia hanya diam dan menyapa kami. Ini yang membuatku terluka dan merasa sangat berdosa, Rat. Tadi Senja terlihat sangat tenang… tapi ia tetap adalah Senjaku. Ia tidak bisa menyembunyikan kesakitannya dariku. Ia.. ia.. hiks.. gak ada ubahnya dengan mayat hidup, Rat. Tak ada lagi cahaya di wajahnya. Dingin, Rat. Sangat dingin… Senyumnya tak bisa mengelabuiku. Hiks hiks…”

“Setelah bersalaman aku langsung berlari ke dapur untuk membasuh mukaku, Rat. Aku ingin membersihkan wajahku dari bekas sentuhan Jaka. Tidak seharusnya ia menciumku begitu.. Aku ingin membuang semua jijikku. Tapi itu hanya bisa membersihkan wajah dan bibirku; tidak mampu membersihkan sesalku. Hiks.. hiks…”

Aku hanya bisa ikut menyesali. Aku mengurungkan niatku untuk melabrak Jaka, karena tak ingin pengorbanan sandiwara Teh Sae berantakkan. Kini aku juga membulatkan tekad untuk membatalkan rencana A Ega untuk mendekati dan merayu A Senja.

Cukup lama kami menenangkan diri dan membersihkan muka masing-masing. Kami tak ingin A Senja menyadari kalau kami habis menangis, walaupun sebenarnya kesedihan tak bisa hilang dari wajah Teh Sae. Akhirnya kami pun kembali ke dalam saung sambil membawa tiga cangkir kopi.

Walaupun Teh Sae bilang kalau A Senja seperti mayat hidup, kalau aku sih tidak melihat perubahan itu. Ia tetap berwibawa, tenang, ceria, dan bercanda seperti biasa. Iya sih.. kadang ia diam.. tapi karena ia asik dengan hapenya. Berarti Teh Sae peka banget ya orangnya sampai bisa membaca apa yang disembunyikan A Senja.

Aku bener-bener bingung. Teh Sae menyimpan kesedihan yang dalam dan menyembunyikan luka karena sikap Jaka, tapi A Senja sendiri seperti tidak pernah mengalami apa-apa. Si Jaka sih emang kelihatan lebih banyak diam, dan nampak sungkan pada A Senja. Amit-amit.. denger cerita Teh Sae, aku gak mau menyebut dia Aa lagi.. cukup Jaka saja. Melihat wajahnya pun aku sudah sangat muak. Kalau bukan demi Teh Sae, aku ingin sekali melabraknya.




Sejenak aku lupa pada kesedihan yang aku dan Teh Sae alami, ketika A Ilham menelpon. Suasana saung jadi rame. Apalagi pas A Senja membagikan oleh-oleh… seneng bangeeet… Ia membelikan kaos yang kupesan. Sebetulnya aku hanya pesen dua kaos yang berwarna sama, tapi entah kebetulan atau tidak, ternyata kaos yang dibeli A Senja bukan hanya modelnya yang sama, tapi juga ada tulisan ‘R&E’-nya.




Senangku berubah haru ketika A Senja memberikan cincin untuk perkawinan A Ardan dan Bi Iyah. Cincinnya bagus bangeeet… Aku sampai melirik A Ega.. siapa tau ia juga akan membeli cincin seperti itu pernikahan kami nanti. Hihihi…




A Senja nampak sayang banget ama A Ardan dan kami semua. Ia menjelaskan semua persiapan perkawinan mereka; dan membagi tugas di antara kami. A Ardan sampai berkaca-kaca menahan tangis.




Aaah… Ada apa hari ini? Suasana seperti siklus perempuan kalau lagi premenstruasi; moodnya berubah-ubah dengan cepat. Itu juga yang terjadi di saung ini… Aku sedih karena Teh Sae, seneng karena dapat oleh-oleh, haru karena perhatian A Senja pada A Ardan dan Bi Iyah, semangat karena rencana-rencana baru usaha kopi kami, dan… tiba-tiba saja A Senja menyampaikan hal yang sangat mengejutkan.




“Setelah pernikahan Ardan, aku akan merantau ke Bandung.” A Senja berkata dengan tegas dan mantap.


“Yank…?” Karena kaget, Teh Sae memanggilnya dengan sebutan ‘sayang’.




Kami semua terkejut. Lalu..


Aku melongo.


Rokok A Ega terjatuh.


A Ardan meremas bungkus rokoknya.


Jaka menunduk.




Belum juga kaget kami lewat, A Senja sudah berbicara panjang lebar, “Jadi kalian harus menjadi tulang punggung dalam menjalankan usaha kita di kampung. Sementara aku... aku akan membantu menjalankannya di Bandung sambil mencari kakakku. Jangan tanya kapan aku pulang. Tapi…”




Jantungku berdegup kencang.




“Kalau Ega dan Ratna menikah, atau Jaka dan Sae, aku pasti akan datang…”




Aku sudah tidak bisa lagi menyimak, sekuat tenaga aku menahan tangis. Aku seolah bisa merasakan pedihnya perasaan Teh Sae saat ini, sedih ketika keputusan ini begitu mendadak, dan A Senja akan pergi dalam situasi relasi yang sedang tidak baik seperti ini.




Situasi semakin sedih ketika Aa Ardan tiba-tiba teriak kencang.




“Anjing!!!”




Ia menubruk dan memeluk A Senja. Tubuhnya bergetar menahan tangisan. Sementara Teh Sae berlari ke dalam rumah sambil menangis. Aku ingin mengejarnya, tapi A Ega memberi kode supaya tetap duduk. Aku sudah tidak bisa menahan diri lagi, air mataku meleleh.




"Ga, semua mimpiku aku titipkam kepadamu. Jaga semua yang sudah kita mulai ini, dan jadilah sesepuh untuk kelompok kita, meski usiamu masih muda. Nanti aku pasti akan banyak menghubungimu. Dan kamu, Rat, temani Ega. Jangan pernah mengecewakannya, dampingi Ega dalam menjalan semua usaha kita.”




Dan.. tangisku benar-benar pecah. Betapa besarnya perhatian dan kasih sayang A Senja pada kami berdua. Semua kebaikannya selama ini kembali terbayang di benakku, tangis pedih Teh Sae teringat kembali… Aku.. aku.. kalau aku saja bisa merasa sedih begini.. apalagi Teh Sae.. hiks…hiks…




Aku sudah tak mendengar lagi apa yang mereka bicarakan. Aku terlalu sakit dan shock mendengarnya. Sungguh tak terbayang.. seperti apa rasa sesalku kalau aku benar-benar menggodanya sesuai rencana A Ega. Mungkin aku tak akan pernah bisa memaafkan diriku sendiri…








POV Jaka




“Ka, aku minta tolong banget.. Pliiss kamu harus mau.”


“Nggak, Sa. Nggak! Aku gak mau nyakitin Senja.”


“Kamu mau dia mati? Kamu mau Sawer hanya tinggal kenangan? Oke kalau begitu!! Kamu turut berperan dalam kehancuran kita semua.”


“Eh Sa.. Saaa.. tunggu dulu. Oke-okeee.. aku mau bantu. Tapi harus yah dengan cara seperti ini?”


“Gak ada pilihan lain, Ka. Senja gak mau ninggalin aku. Satu-satunya cara adalah membuat dia patah hati.”


“…”


“Oke, aku anggap kamu mau. Makasih yaaa.”








Anjing.. bodoh.. bodoh… kenapa aku bisa sebodoh ini. Aku hanya bisa memaki dalam hati. Sungguh suatu kebodohan bagiku yang telah berani-beraninya mencium bibir Sae. Masih kurasakan sakit pinggangku karena cubitan Sae yang sangat keras. Ia memang tidak menolak ciumanku, tapi cubitannya menjadi tanda penolakkan dan kemarahan. Aaaah… bodoh.. bodoh… Kenapa juga aku mau menyetujui permainan Sae waktu itu.




Ada apa dengan aku ini? Sejak aku tidak berhubungan lagi dengan Bu Inah aku menjadi tak punya tempat pelampiasan nafsuku. Kehadiran Sae malah membuat rasaku yang sudah kupendam dalam-dalam kini muncul kembali, dan aku tak bisa menahan gejolak untuk mencium bibirnya. Lembut. Bibirmu lembut sekali, Sa. Aaaah….




Andai kamu dan Senja tahu bahwa aku sudah meniduri ibuku, entah apa reaksi kalian. Nafsuku sangat menggebu tanpa kutahu penyebabnya, dan aku tak bisa kumenahan diri lagi. Kalian tahu? Bukan hanya aku. Aku pernah memergoki Ratna dan ibunya bercinta. Aku pernah memergoki Abah Barja onani sambil mengintip ibunya Ardan di tampian (pemandian). Jangan-jangan karena itu sehingga nafsuku semakin menggebu pada ibu dan Sae? Anjing bangetlah…




Sialnya.. Senja juga hanya diam.




Kamu kampret, Ja. Kampret banget…


Aku siap kaupukul.


Kautampar.


Kautendang.


Kaumaki.


Tapi apa??


Kau hanya diam.




Kaumembuatku semakin merasa bersalah. Apakah kau benar-benar rela melepaskan Sae demi kebahagiaannya? Demi kebahagiaan aku, sahabatmu? Atau apakah kau sudah tidak sayang lagi pada Sae? Kautahu, ini hanya sandiwara Sae, Ja!! Atau, jangan-jangan kamu sudah menemukan pengganti Sae di Bandung? Aaargggh…




Sae! Kau yang memulai, kau pula yang harus mengakhirinya. Kaupilih Senja, atau kita jadikan sandiwara ini menjadi nyata sesuai anggapan Senja.




Aku beranjak keluar saung karena senja merongos, menyuruhku menemani Sae. Dengan gontai aku masuk ke dalam rumah, sementara Ega mengantar Ratna pulang dan Ardan menuju rumah Bi Iyah. Sementara Senja memilih duduk menyendiri, sibuk dengan hapenya.




Deg.




Keadaan Sae sangat mengenaskan. Ia duduk di bale-bale ruang tengah dengan wajah terbenam di atas kedua lututnya yang ditekuk. Tubuhnya bergetar karena tangis. Dadaku sesak karena sesal, tapi juga sakit karena gadis yang kusayang menyendiri dalam kesedihannya. Dalam diam aku menghampiri, dan duduk di sampingnya. Tak ada reaksi dari Sae. Ia masih tak peduli dengan kehadiranku.




“Sa..” Dengan ragu kusentuh pundaknya.




Plak!


Plaak!!


Plaaak!!!




Perih. Perih banget tamparan ini.




Aku sampai terhempas dibuatnya, mataku berair karena kesakitan. Tampak Sae sudah mau teriak untuk mengungkapkan semua kemarahannya, tapi dengan cepat aku memberi kode kalau Senja masih ada di saung.




Sae hanya mengepalkan kedua tanggannya menahan geram. Matanya melotot di balik tangisnya. Mataku panas, pipiku perih; kini telingaku juga memerah mendengar semua makiannya. Ingin kulumat bibirnya biar diam…




“Ma.. maaf… maafin aku, Sa. Tadi.. tadi itu.. aku…”


“Kampreettt… seetaannnnn… bbeeggooooo… Kamu sialan, Ka!!!”




Anjiir.. makian itu keluar dari mulut manisnya. Kata-kata seperti itu memang biasa kami ucapkan ketika sedang bercanda, tapi kali ini aku merasa sakit dan kecewa mendengarnya.




“Sa!!” Aku membentaknya. Emosiku tiba-tiba meluap. Kenapa aku harus jadi korban dari semuanya.


“Apa?? Tidak suka??” Sae makin nyolot membuatku ingin menggamparnya balik. Untung dia perempuan. Anti bagi seorang Jaka menampar perempuan.


“Kamu dengar ya!!” Aku menurunkan volume suaraku.


“Kenapa kini semuanya ditimpakan padaku, Sa? Hah? Kamu yang memulai, Sa. Kamu!! Kamu yang memaksaku untuk memainkan sandiwara ini. Kamu yang memaksaku, walau awalnya aku tidak mau.”




Tubuh Sae seketita kaku karena melihat amarahku.




“Setelah semua sandiwara ini, sekarang kamu membelanya?? Kamu yang menyakitinya, sekarang kamu mau bilang mencintainya?? Seolah akulah penyebab semuanya. Kamu jahat, Sa!!”


“Kamu pikir aku ini apa? Bisa kamu peralat seenaknya. Aku juga sakit hati, Sa… Sakit hati… Kamu tahu kenapa aku sakit hati?? Karena menyakiti Senja, berarti juga menyakitiku, Sa. Dia sahabatku juga, Sa! Sahabatku!!!”


“Dan…”




Jantungku berdetak kencang karena luapan emosi dan perasaanku.




“Dan… aku sakit hati karena kalian pacaran. Aku sayang kamu, Sa. Sayaaang!!! Tapi kamu tidak pernah tahu itu.”




Nafasku tersenggal, sementara sae melotot dengan air mata masih mengalir di pipinya. Ia nampak shock dengan dengan kejujuran yang kuungkapkan.




“Ja..di… jadi karena itu kamu menciumku?” Sae tergagap.


“Maaf, Sa. Maaaf.. aku benar-benar minta maaf.”


“Aaaargggghhhh…” Tiba-tiba Sae memukuli dadaku. Tangisnya kembali pecah. Kuraih tubuhnya untuk kupeluk.


“Hmmmmf.” Aku hanya bisa tersedak, ketika Sae menonjok perutku.


“Kamu jahat, Ka. Aku kecewa.”


“De.. dengar, ya Sa.” Aku terbata sambil memegangi perutku; menahan sakit.


“Demi kalian berdua, aku berusaha menyembunyikan dan mematikan perasaanku. Tapi dengan sandiwara ini malah membuat perasaan sayangku mencuat kembali. Aku…”


“Iyaaa… terima kasih atas kejujuranmu.. hiks hiks hiks… tapi kenapa kamu memanfaatkanku? Memanfaatkan situasi?? Hiks hiks…”


“Maaf, aku sendiri tidak tahu, Sa. Aku tidak bisa menahan diri. Aku selalu ber.. maaf.. bergairah kalau di depan perempuan.” Anjriiit.. kenapa aku bisa sejujur ini.


“Apa, Ka? Apa kamu bilang?” Sae bertanya. Aku sudah siap dimaki kembali, tapi rupanya tidak. Ekspresi wajahnya berubah drastis. Marahnya berkurang.


“Kamu jujur dengan semuanya itu?” Ia mencecarku.


“Iya, Sa. Aku jujur. Sekali lagi aku minta maaf.”




Tik tok tik tok




“Berarti benar.” Sae bergumam sambil membersihkan sisa air matanya.


“Maksudmu apa, Sa? Apanya yang benar?” Aku heran.


“Ka, terima kasih atas kejujuranmu. Aku menghargainya… kamu sendiri tahu aku sangat menyayangi Senja, dan aku tidak bisa berpaling ke pria lain, selain dia. Bahkan sampai seumur hidupku. Maafkan aku kalau selama ini aku tidak peka, dan tak bisa menjaga sikap kami di depanmu sehingga membuatmu menyimpan luka.”




Sae tak menjawab pertanyaanku. Ia menarik nafas panjang, lalu lanjutnya, “Aku harus berbicara dengan Senja kalau kampung kita makin tidak aman.”




“Aku gak ngerti, Sa. Ada apa dengan kampung kita?”


“Nanti kita bicarakan berempat bersama Ega dan Ratna. Aku minta tolong untuk memanggil mereka berdua. Panggilin mereka ke sini sekarang juga.”


“I.. iya Sa. Tapi di saung masih ada Senja.”


“…”




Tanpa saling berbicara, kami seolah sepakat menuju dapur. Kami mengintip ke arah saung. Senja tampak sedang menyendiri sambil menelpon seseorang. Wajahnya serius. Meski gelap sudah mulai meremang tapi aku bisa melihat Senja saat ini yang berbeda dengan tadi ketika berkumpul bersama. Kalau tadi ia tampak tenang dan tegar, kini aku bisa melihat dirinya yang asli. Sedih. Murung. Dan bahkan marah. Seketika rasa bersalah kembali menyeruak di dadaku. Sae juga nampaknya melihat hal yang sama, tubuhnya kembali bergetar menahan tangis.




Sepuluh menit kami mengintip dari balik jendela dapur, sampai akhirnya Senja beranjak. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Tubuhnya mendekat ke arah kami, wajahnya tampak kaku dan beku. Dingin.




Deg.




Tiba-tiba ia berhenti. Aku berdebar karena kupikir Senja tahu kalau kami sedang mengintipnya. Tapi bukan… Kulihat wajahnya tampak bimbang sesaat, lalu ia meraih sesuatu dari dalam saku celananya. Dan.. ia membuangnya. Meski remang, aku masih bisa melihat ada benda yang berkilat, melayang ke arah jarian (tempat pembuangan sampah). Lalu melangkah pulang.




Sae mengendap ke ruang tengah untuk mengamati kepergian Senja, sementara aku tetap diam di dapur. Tak lama kemudian Sae berlari, tanpa menyapaku ia membuka pintu dan berlari ke arah jarian. Aku menyusulnya di belakang.




Tanpa memikirkan tempat sampah yang kotor, Sae loncat ke dalam lubang dan mengorek-orek di antara tumpukkan sampah. Namanya di kampung, tempat sampah hanyalah sebuah lubang besar tempat dedaunan dan sampah dari dapur dibuang serta dibakar. Dan Sae sudah berkubang di dalamnya.




Miris aku melihatnya. Lalu aku kembali ke dalam rumah untuk mencari senter. Aku tahu di mana Ega biasa meletakkannya. Dengan cepat aku ambil dan membawanya keluar.




Buuukk.




“Anjriiiit.”




Aku menubruk seseorang. Ega. Kami mengaduh bersamaan. Di sampingnya Ratna terperanjat kaget. 




“Loh kenapa Ratna kembali?” Tanya heran.


“Nanti kuceritakan. Mana Sae?” Ega bertanya sambil mengusap dadanya yang tertubruk.




Aku tak menjawabnya. Segera kunyalakan senter dan berlari ke arah Sae. Menyadari itu, Ega dan Ratna mengikuti. Di dalam lubang, Sae sedang mengorek dan mencari apa yang Senja buang.




“Sa, tenang… Jangan panik. Nanti malah terkubur.” Aku mengingatkan.




Sae mulai menyadari kebodohannya, dengan bantuan senterku ia mengorek setiap sudut tempat sampah. Semenit… lima menit… sepuluh menit… dan… Tangis Sae kembali pecah.




Tangannya meraih sesuatu, lalu bersandar di tepi lubang. Wajahnya tampak lusuh dan tubuhnya sangat kotor. Ega segera menenangkan Sae dan menarik tubuhnya ke atas. Ratna ikut menyambutnya di atas, melihat untaian tali kalung di genggaman Sae, Ratna segera memeluk tubuh Sae dan ikut menangis. Aku dan Ega hanya bisa membisu kelu.




Kuserahkan senter ke Ega lalu bergegas ke dalam rumah. Kuambil seember air dari dalam gentong air minum, kubawa keluar untuk membersihkan tubuh Sae. Dibantu Ratna dan dengan tetap terus menangis, Sae membersihkan kaki dan tangannya. Lalu Ratna membantu membersihkan wajahnya dengan kain yang ia selempangkan. Setelah itu kami bersama-sama masuk ke dalam rumah.




Aku mengembalikan ember. Ega menyalakan lampu dan mengambil air putih untuk Sae. Ratna memapah Sae ke ruang tengah.




“Ada apa?” Ega membuka pembicaraan, sementara Ratna masih memeluk Sae yang terisak sambil mengamati kalung di telapak tangannya. Kalung yang cukup bagus dengan tulisan “RSP” di bandulnya.




“Kenapa kalian kembali?” Aku balik bertanya.




Lalu Ega menjelaskan bahwa ketika mengantar Ratna pulang, Ratna memaksa kembali untuk berbicara dengan Sae. Sebuah rahasia ia ungkapkan.




Jedeeeer!!!




Aku dan Sae kaget mendengar rencana yang pernah mereka buat untuk membuat Senja mencari sang kakak. Ega menceritakan semua rencananya sepulang dari desa kala itu. Namun Ratna masih ragu karena terlalu sungkan ke Senja. Dan setelah kejadian sore tadi, ketika Ratna mendengar semua cerita Sae, ia semakin membulatkan tekad untuk membatalkan rencana mereka dan memaksa Ega untuk kembali; berbicara dengan aku dan Sae.




“A, ceritakan saja.” Ratna menyela. Matanya sembab karena tangisan.


“Nggak Na..” Ega menggeleng.


“Harus A.. bagiku ini bukan aib.. Nana gak keberatan ini diketahui Teh Sae dan Jaka. Asal kalian janji untuk menjadikan ini rahasia.”




Ega hanya mematung, sementara aku dan Sae menatap mereka heran. Ega kembali menggeleng.




“Kalau begitu biar aku saja… Jaka aku minta maaf. Aku sudah cerita ke Teh Sae tentang kejadian saat itu ketika aku memergoki perselingkuhan kalian dan aku kepergok Teh Sae sedang berpelukan dengan A Senja. Aku menceritakan ini karena aku tidak mau Teh Sae salah paham.”




Aku hanya bisa terpaku; ada rasa takut dan malu. Sementara Ega masih nampak tidak setuju dengan kebulatan tekad Ratna untuk menyampaikan rahasianya. Sae? Sae juga menyimak dengan tetap menunduk dan memainkan kalung di tangannya. Tangisnya masih ada, meski tak ada lagi air mata.




Ratna pun menceritakan pengalaman seksnya dengan Bu Inah; aib lesbi dengan ibunya sendiri. Bermula dari ia memergoki perselingkuhan kami, kejadian di rumah Senja ketika tubuh telanjangnya memeluk Senja, dan Sae memergoki mereka sehingga akhirnya Senja sakit, sampai usahanya untuk menjelaskan kepada Sae.




“Tadi aku sudah jujur semuanya sama A Ega. Dan aku siap.. hiks.. hiks.. aku siap kehilangan A Ega. Aku siap kehilangan cintanya dengan…”




Tiba-tiba ia menubruk Ega dan merangkulnya. Ia sudah tidak bisa berkata-kata lagi.. tangisnya pecah. Tanpa mendengar kelanjutan kisah Ratna, aku sudah bisa mengerti dengan bahasa tubuh mereka. Ega tetap mau menerima dan mencintai Ratna apa adanya.




Aku Jaka. Untuk pertama kalinya aku menitikkan air mata. Inikah perngorbanan? Atas nama cinta dan persahabatan, orang rela berkorban, bahkan sudi membeberkan aib sendiri.




Kusulut rokokku, dan kutatap langit-langit berbilik. Gengsi kalau tangisku ketahuan, kualihkan pikiranku pada semua apa yang telah kulakukan. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak. Aku harus bercerita tentangku, tanpa melibatkan Senja sebagai otaknya.




“Ka.. woooi…” Aku terperanjat ketika Ega memanggilku.


"Naon (apa)?” Aku mencoba tiis.


“Malah bengong.. sekarang kami ingin mendengar penjelasanmu kenapa kamu mencium Sae dengan cara seperti itu?”




Aku cuma bisa garuk-garuk kepala sambil menghisap kembali rokokku. Kupandang Sae untuk meminta persetujuan, namun ia nampak lebih asik dengan kalungnya. Ega dan Ratna menatapku.




“Si Senja emang kampret.. kita semua dibikin susah karenanya…” Aku mencoba untuk mengendalikan perasaan sedih dan haruku dengan memaki Senja. Di hadapan mereka bertiga, kuceritakan kembali seluruh kisahku. Kisah perselingkuhanku dengan Bu Inah sampai kami akhirnya kepergok Ratna, dan Senja membantu kami menyelesaikannya. Kuceritakan pula rencana Sae yang mengajakku bersandiwara sampai akhirnya Senja ‘memergoki’ kami berpelukan dan berciuman. Dan puncaknya adalah sore ini ketika Senja percaya kalau kami saling menyayangi dan meminta kami untuk saling mencintai dan saling menjaga.




Sae mulai terisak kembali, sementara aku segera menyambung rokokku dengan yang baru. “Aku gak nyangka aja, karena selain kami, ternyata kalian juga punya rencana sendiri yang tidak kami ketahui.” Kuakhiri ceritaku.




“Tapi kenapa kamu mencium Sae seperti itu?” Ega malah mencecar, tanpa mengabaikan ucapan terakhirku.




Baiklah… kalau Ratna bisa jujur, kenapa aku tidak. “Jadi begini…”




Aku ceritakan semua pergulatan perasaanku selama ini. Nafsuku yang selalu menggebu dan sulit kukendalikan. Sampai akhirnya kejadian sore itu… aku menyetubuhi ibuku sendiri di saung sawah. Bukan hanya itu, hari-hari berikutnya selalu kami ulang dan ulangi lagi; bahkan terakhir kami bersetubuh tadi pagi di saung sawah kami. Kuceritakan juga kalau sebenarnya aku pernah memergoki Ratna bercinta dengan ibunya, dan juga pernah memergoki Abah Barja mengintip ibunya Ardan mandi.




“Nah.. karena itu semua pikiranku jadi mesum.. bahkan aku tidak bisa menahan diri untuk mencium Sae.” Kuakhiri ceritaku.




Ti tok tik tok.




“Aku tahu jawabnya.. Dan hanya Senja yang bisa menyelesaikannya.” Sae akhirnya bergumam.




Aku dan Ratna kaget, sementara Ega tampak menerawang sambil tetap memeluk tubuh kekasihnya.




“Besok atau lusa aku akan berbicara dengannya,” Sae melanjutkan.


“Kenapa kamu gak cerita aja sih, Sa?” Aku protes.




Tapi Sae hanya menggeleng.




“Okee… kalau tidak mau cerita, tapi tolong jelaskan kenapa kalian semua menghendaki Senja pergi? Apa hubungannya dengan wasiat kakeknya? Dan apa akibatnya?” Aku nyerocos, entah bertanya kepada siapa.


“Makanya kalau cerita dan petuah orangtua itu kamu simak; jangan diabaikan begitu saja.” Ega menatapku tajam. “Kamu pasti sudah dengar, tapi baik aku ceritakan kembali,” lanjutnya.










Berpuluh-puluh tahun lalu, ketika Sawer mulai berdiri sebagai kampung, ada seorang tokoh yang bernama Ki Nawir. Meski masih muda ia sangat disegani karena wibawa dan kesaktiannya. Waktu itu tak satu pun jawara silat yang mampu mengalahkan kesaktiannya, baik ilmu teluh (santet) maupun pertarungan di arena silat, tak mempan untuk melumpuhkannya. Bahkan gerombolan DI/TII yang datang dengan bersenjata lengkap pun mampu ia halau dari kampung ini.




Ia sangat ditakuti sekaligus dikagumi. Banyak orang datang ke Sawer untuk berobat atau hanya sekedar mendengarkan petuahnya.




Konon, selain sakti, Ki Nawir juga mempunyai harimau peliharaan yang bernama Sawaka. Ki Nawir menjadi jawara tak tertandingi karena adanya Sawaka ini. Bencana datang ketika Sawaka meminta pasangan dengan cara Ki Nawir harus meniduri tiga wanita selain istrinya, tapi Ki Nawir tidak mau karena ia sangat menyayangi Nyi Mantili, istrinya.




Sawaka ngamuk. Seperti senjata makan tuan, Sawaka membunuh Ki Nawir, Nyi Mantili, dan ketiga anaknya. Sebetulnya Ki Nawir punya empat anak, hanya yang satu diasuh oleh keluarga bibinya, alias adik Ki Nawir, karena ia mandul. Mereka tinggal di kampung Rujit, sehingga mereka selamat dari amukan Sawaka. Nah, Bu Euis, atau ibunya Sae, adalah satu-satunya keturunan Ki Nawir saat ini. Tentu saja kini Sae dan Rahma, adik Sae, adalah keturunan terakhir dari Ki Nawir.




Noted:






“Ja, Sawaka harus segera diberi pasangan. Kalau tidak kampung kita semakin dalam keadaan bahaya. Kamu harus menjaga kesucian kampung. Hawa panas sudah mulai datang, dan jangan sampai lebih banyak lagi perbuatan tabu di Sawer ini.” Aku mengangguk. 


“A Senja, Rahma pulang dulu ya.” Gadis berusia 7 tahun melambaikan tangan sambil menjejeri ibunya.




Aku hanya memberikan senyumku sambil mengangguk. Sorot mataku mengantar kepergian mereka sampai punggung mereka menghilang di balik padang ilalang. Kami sekedar berpapasan, sepulang mereka dari kebun.




Masalahku dengan Sae sedang runcing, kini sudah ditambah masalah baru. Belum lagi masalah wasiat kakek untuk mencari Teh Hera, kakakku.








Apa hubungannya dengan Senja? Ki Prakasa, kakeknya Senja adalah satu-satunya murid Ki Nawir yang mewarisi ilmunya. Bedanya, Ki Prakasa tidak mau menonjolkan ilmunya sehingga ia tidak setenar gurunya. Karena Ki Prakasa pulalah Sawaka akhirnya bisa dikendalikan dengan syarat bahwa Ki Prakasa dan keturunannya sendiri yang akan mendatangkan pasangan bagi Sawaka. Namun sejak saat itu Sawaka menghilang. Menurut cerita ia mati dan berubah menjadi makhluk astral.






“Nah, aku sangat kaget ketika suatu saat Senja bercerita bahwa ia harus menjalankan wasiat kakeknya, makanya aku berusaha membuatnya pergi karena takut Senja mengalami hal sama seperti tragedi Ki Nawir.” Ega mengakhiri ceritanya.


“Wooow!!” Spontanku. “Berarti Senja dan Sae adalah keturunan dari para pendekar Sawer,” lanjutku sambil berusaha bercanda.


“Heh!! Aku belum memaafkanmu yah!!” Sae menghardikku, membuatku bungkam; sementara Ega hanya nyengir sambil mengelus rambut Ratna. Pemandangan seperti inilah yang menjadi ‘kampret moment’, dulu Senja dan Sae yang selalu bermesraan di tengah kami, kini Ega dan Ratna. Lah aku…? Masa harus kawin ama Sawaka.


“Tapi.. apakah A Senja sudah memiliki harimau itu?” Ratna mulai bingung.


“Ya gak tahu, Na. Senja tidak pernah bicara tentang hal ini,” Ega menyahut.




Tiba-tiba Sae menarik nafas panjang, wajahnya mulai tenang meski tidak mampu menyembunyikan kekhawatirannya.




“Aku juga tidak tahu.. tapi menurut firasatku Senja sudah bertemu dengan Sawaka. Sekarang sih masih aman-aman saja. Tapi kalau ia tetap gak mau pergi bisa gawat untuk dirinya, ia bisa bernasib sama seperti kakek buyutku. Makanya aku memaksanya pergi.”


“Aku dan ibu merasa yakin bahwa Senja sudah memiliki Sawaka yang ditandai dengan adanya aura panas di kampung kita. Ini ditunjukkan dengan Jaka yang tidak bisa mengendalikan nafsunya dan berbuat mesum, Ratna juga dengan ibunya, Abah Barja.. bahkan kalau mau jujur… pasti bukan hanya Jaka yang sering mengalami rangsangan tapi juga Ega dan.. dan.. aku juga. Nampaknya Sawaka sudah meminta jodohnya kembali.”




Wadaaaaw…




“Ja.. jadi kamu juga sange, Sa. Udah tidur ama siapa?” Ooops… anjrit… keceplosan lagi kan.




Buuuuk…




“Hmmmmfff… Anyyyiiiiiing….”




Asbak melayang ke dadaku. Puntung berserakan di lantai.




“Makanya punya mulut dijaga!” Sae sewot.


“Aarrrghhh.. iyah maaf.” Aku masih meringis sambil mengusap dadaku yang terasa nyeri.


“Aku masih belum ngerti,” kali ini Ratna yang menyahut sambil membantu membereskan asbak dan puntung. “Masa A Senja harus meniduri kakaknya sendiri? Lalu kok Bu Euis tahu tentang aroma mesum di kampung kita?”


“Nah loooh..” Aku menatap Sae.


“Ibu tahulah.. secara ia kan keturunan kakek buyut,” Sae menjawab. “Kalau masalah bahwa Senja harus menikahi kakaknya untuk mendatangkan jodoh Sawaka, aku kira bukan begitu… Aku merencanakan Senja pergi, sekurang-kurangnya supaya kalau Sawaka ngamuk, ia bisa selamat,” lanjutnya.


“Lalu supaya Sawaka punya pasangan gimana caranya?” Ratna masih penasaran. Sebenarnya aku juga, tapi daripada ditimpuk lagi lebih baik memilih diam.


“Itu aku tidak tahu. Hanya Senja sendiri yang tahu.”


“…..” Tik tok tik tok.


“Jadi intinya… demi keselamatan Senjalah aku membuat rencana supaya Senja pergi, dan rupanya Sae pun merencanakan hal yang sama. Tahu gitu aku gak harus nyuruh Nanaku untuk merayu Senja. Iya gak, Na?” Akhirnya Ega bersuara sambil membelai wajah Ratna.




Anjiiiiirrr… kampret moment lagi…




“Iiih… apaan sih?” Muka Ratna memerah.


“Tapi kalau tahu Senja sudah memutuskan akan ke Bandung secepat ini, aku tidak harus bersandiwara seperti tadi dan menjadi korban mesum,” Sae melotot ke arahku, namun ia nampak sudah tak marah lagi setelah tahu situasi yang sesungguhnya.


“Bentar dulu… Senja memutuskan ke Bandung karena kita pelukan dan ciuman atau karena sebelumnya ia sudah membuat keputusan?” Aku mulai bertanya.


“…” Tak ada yang tahu.


“Kamu gimana, Sa?” Ega bertanya kepada Sae. Ia tampak mengerti maksud pertanyaannya, tapi aku tidak.


“Aku menyesal dengan semua sandiwara ini. Aku telah membuatnya terluka begitu lama dengan cara mendiamkannya, serta membiarkannya melihat kami berpelukan dan berciuman. Aku akan berbicara dengannya.” Sae menjawab.


“Sa..” Aku ragu-ragu


“Apa?”


“Ingat omongan Senja tadi sore ketika ia seolah merelakanmu dan melepaskanmu?”


“Tolong kamu jaga Sae baik-baik, Ka. Jangan pernah kamu mengecewakan dan menyia-nyiakan dia.”


“Sa, terima kasih atas kesempatan yang pernah kauberikan padaku. Tolong cintai Jaka apa adanya.”


“Aku ngerti, Ga. Tapi aku tak mau menjadi batu sandungan buat Sawer dan hubungan kalian.”


“Jangan tanya kapan aku pulang. Tapi kalau Ega dan Ratna menikah, atau Jaka dan Sae, aku pasti akan datang.”




Deg.




Jantungku tiba-tiba berdegup kencang. Sae diam sambil menggenggam kalung dan meletakkan di dadanya. Ega dan Ratna saling pandang penuh kekhawatiran.

Posting Komentar

0 Komentar