CINTA, RENCANA DAN PERSELINGKUHAN
Ibuku menggoreng ikan asin di atas tungku, sementara ayahku membolak-balik pisang kepok di dalam abu panas. Aku menggenggam secangkir kopi di sampingnya. Inilah ritual sore yang rutin kami lakukan setiap senja, menjelang makan malam. Inilah momen paling indah dalam keluargaku; saat kebersamaan yang menenteramkan. Kami bercerita tentang sawah, tentang ladang, tentang ternak, tentang cuaca, dan segala hal yang akrab dengan kehidupan sehari-hari. Bayangan Sae pun muncul dalam benakku. Kenangan dengannya di saung siang tadi pun muncul kembali. “Sae”. Kupanggil namanya. Tentu saja hanya membatin.
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, Ja?” Ibuku rupanya memperhatikan tingkahku.
“Eh… nggak kok bu. Siapa yang senyum.” Elakku.
“Halaah… jangan bohong. Kenapa?”
“Anu bu.. aku.. aku.. duh.. malu sayanya.”
Ayah mengeluarkan pisang kepok dari dalam tungku dan menaruhnya di atas daun pisang.
“Emang ada apa, Ja?” Kali ini ayah yang bertanya seraya meniup-niup pisang panas sebelum masuk ke dalam mulutnya.
“Tapi ayah dan ibu jangan marah ya.”
“…”
“Aku.. aku pacaran sama Sae.”
“Oalaaah… kalian pacaran? Sejak kapan? Di mana jadiannya? Terus orang tuanya sudah tahu?” Ibuku mencecar seraya berhenti menggoreng. Tatapan penasaran tersorot dari wajahnya.
“Bu.” Ungkapku memelas. “Satu-satu atuh nanyanya.”
“Tadi siang saya nembak Sae, dan dia menerimanya. Titik.. udah jangan nanya-nanya lagi malu akunya.” Aku meneruskan.
Ibu tampak menarik nafas lega. Sementara ayah masih menyimak seraya menghabiskan pisang kepok.
“Terus rencanamu apa, Ja?” Akhirnya ayahku bersuara.
“Ya belum tahu, pak.” Jawabku. “Sementara ini jalan aja dulu sambil merencanakan gimana ke depannya. Lagian kan kami masih muda. Gak mau juga menikah cepat.”
“Apa gak sebaiknya kamu cari kerjaan di kota, biar bisa menyiapkan masa depanmu dan Sae dengan lebih baik. Kalau di kampung terus kamu tidak akan berkembang. Masa kamu tidak mau membahagiakan istrimu kelak. Bapak tahu, hidup kita sekarang sudah lebih dari cukup walau hanya mengandalkan hasil kebun dan sawah, tapi kamu juga harus membuka wawasan dan mencari pengalaman baru.” Ayah memberi wejangan dengan panjang lebar. Ibu hanya diam sambil memasukkan ikan asin ke dalam piring.
“Masalahnya kalau ke kota mau ikut siapa, pak?” Kataku.
“Ya kan si Ilham ada di Bandung. Siapa tahu dia bisa membantu.” Kali ini ibu yang menyela.
“Iya deh nanti saya pikirkan.” Timpalku pendek.
Gak lama kemudian makanan pun telah siap dan kami makan bersama. Makan malam kali ini terasa spesial bagiku, karena satu fase dalam hidupku telah dimulai yakni punya pacar. Hidup ini terasa mengalir dan lancar bagiku, dan aku bersyukur karenanya.
Seusai makan aku pamit kepada kedua orangtuaku untuk nongkrong bersama teman-teman di rumah Ega. Berbekal sebungkus Djarum Coklat dan senter, aku pun beranjak ke luar rumah. Sae. Duh.. baru tadi siang ketemu, kok rasanya kangen terus. Aku pun mengubah arah ke rumah Sae.
“Sampurasun.” Salamku.
“Rampes”, serempak jawaban dari dalam. Pintu pun terbuka, dan ternyata Sae yang membuka pintu. Ah aku kangen senyummu itu. “Masuk, Ja.” Undangnya. Tampak ia masih malu-malu. Padahal sebelumnya kami selalu rame dan tanpa basa-basi. “Kita ngobrol di sini aja,” tawarku.
“Ya udah. Bentar yah, aku bikin kopi dulu.”
“Siapa Sa?” Suara seorang perempuan bertanya dari dalam rumah. “Senja, bu.” Jawab Sae.
Aku pun melongok ke dalam pintu. Nampak bu Euis, ibunya Sae, sedang memetik cengkih dan pak Sarda, ayahnya, sedang merokok tembakau lintingan. Rahma, adik Sae yang berumur tujuh tahun sedang tiduran di lantai papan.
“Selamat malam, pak, bu.” Sapaku.
“Masuk, Ja.” Undang pak Sarda.
“Di sini aja pak. Sambil ngadem.” Jawabku.
“Ya sudah sok ajah. Bapak mah di dalam aja, takut masuk angin.”
“Iya pak.” Aku pun ngeloyor ke depan dan duduk di tangga bale-bale.
Tak lama kemudian Sae keluar sambil membawa kopi panas dan meletakkanya di lantai, lalu duduk di sampingku. Suasana cukup remang-remang karena hanya mengandalkan penerangan yang keluar dari dan sela-sela pintu dan kaca jendela. Untuk menghemat energi tenaga surya, kami jarang memasang lampu di depan rumah apalagi memasang penerang jalan.
“Kok tumben gak ke rumah Ega?” Sae memulai obrolan.
“Kan sekarang mah udah ada yang diapelin.”
“Iiih.. kamu kok jadi gombal ginih sih.” Sae mendorong pipiku. Aku pun cuma bisa terkekeh. Kuarahkan tanganku meraih tangan Sae. Kami pun bergenggaman.
Kami ngobrol ringan sambil sekali-kali kucium pipinya. Sae pun menyenderkan kepalanya di pundak kiriku. Bunga-bunga cinta pun semakin mekar di antara kami. Malam semakin sepi, dan ia menjadi saksi kemesraan kami berdua. Setelah dirasa cukup dan kopiku telah habis, aku pun beranjak hendak pamit. Sae ikut berdiri dan memandangku malu. Aku tahu. Kurentangkan tanganku dan Sae pun menjatuhkan dirinya dalam pelukanku. “Bapak dan ibumu sudah tahu?” Bisikku. “Sudah”. Jawabnya. Aku kian bahagia.
Kuangkat wajahnya dan kukecup bibirnya. Lagi dan lagi. Awalnya hanya ditempelkan berulang-ulang, lama-lama menjadi seperti magnet yang enggan dipisahkan. Kami saling mengulum dan menjulurkan lidah cukup lama. Setelah dirasa cukup karena waktu sudah menunjukkan jam sembilan malam, aku pun pamit ke rumah Ega. Sae melepasku dengan enggan. Kuberi kecupan terakhir di dahinya dan melangkah pergi diantar tatapan Sae yang masih berdiri di depan pintu sampai aku menghilang.
Hatiku girang dan senyumku mengembang sepanjang jalan. Pikiranku dipenuhi bayangannya. Sreeet… srodooot…. bluuuuk…. anjrit. Karena membayangkan Sae, aku kurang fokus pada jalan setapak yang kulalui. Aku kepeleset dan sukes melucur di tanah becek. Huuuufff kuraih batang kopi pinggir jalan. Selamat… tapi… pluk pluk pluk.… pletak…bruuk… wajahku tertimpa buah kopi yang rontok. Hadeuh… Terpaksa harus pulang dulu untuk ganti pakaian.
“Kopi oh kopi… kau telah menyelamatkanku dan semoga kelak kau juga membawa keberuntungan.” Batinku.
Telegram : @cerita_dewasaa
“Si anjing, akhirnya datang juga.” Ega ‘menyambutku’ dengan makian ketika masuk ke dalam rumahnya. Jaka dan Ardan melihatku penuh selidik. Blef. Kulempar pantatku di samping Ardan sambil menggeplak kepalanya. “Kampret sia.” “Datang-datang maen jotos aja.” Aku cuma nyengir sambil mengeluarkan Djarum Coklat, dan menghisapnya. Kuhembuskan asapnya sambil memonyongkan bibir sehingga membentuk lingkaran-lingkaran yang menggulung.
“Kemarin kemana, njing?” Ega menyelidik.
“Katanya demam, tapi aing mah gak percaya.” Jaka mewakiliku.
“Kalem semuanya.” Kataku. “Kemarin itu tidak penting. Yang paling penting adalah hari ini.”
“Halah palingan maneh mah abis merawanin anak kambing, kan? Kambing siapa korbannya?” Jaka menyela.
“Kalem heula atuh, nyet. Dasar bujang lapuk, bacot gak jauh-jauh dari selangkangan.”
“Halah… sesama lapuk juga.. sok sok udah laku aja.” Jaka geram.
“Eh silaing (kamu, kalian) dengerin yah. Hari ini aing sudah melepas masa jomblo. Sah.. di atas meterai genep rébu (enam ribu).”
“Pacaran ama siapa, njing? Ama kambing bi Iyah?” Ega ngakak.
Aku pandang mereka satu per satu sambil menghisap rokokku. Mataku mengerling penuh kemenangan.
“Tadi siang…”
“….”
“Aing nembak Sae.”
Buk. Pletak. Jleb. Ardan melemparku dengan bungkus rokok, Ega menggetok kepalaku, dan Jaka menonjok perutku. Mau tak mau aku meringis antara sakit dan kesel. Mereka hanya riuh tergelak. “Silaing garelo (kalian pada gila) ya? Sakit kampret.” Gerutuku.
“Selamat ya, njing. Maneh udah berhasil macarin mantan aing. Udah bobol tuh.” Jaka terbahak.
“Kalau boolnya mah waktu itu aing yang merawanin.” Sambung Ega.
“Kalau yang pertama ngenyot pentilnya mah aing da.” Ardan gak mau kalah.
“Anjrit… bacot dijaga nyet. Aing huapan (suapin) tai kambing nyaho kabeh.” Aku naik pitam. Mereka ngakak sepuas-puasnya.
Beuh.. Aku ngeloyor ke dapur untuk menyeduh kopi. Bagiku dan teman-temanku, rumah Ega sudah seperti rumah sendiri. Demikian juga sebaliknya, rumah siapapun di antara kami sudah merasa rumah sendiri. Tidak saling sungkan.
Dan aku tidak ambil pusing dengan omongan mereka barusan, yang seolah tanpa kontrol dan kurang ajar, karena memang begitulah cara kami bersahabat.
Aku kembali ke depan sambil membawa secangkir kopi hitam. Tampak meja sudah bersih dan kartu gaple sudah dibagi empat. Kami duduk melingkar dan membuka bagian kartu masing-masing. Sambil bermain aku menceritakan prosesku menembak Sae, tentu saja bagian romantisnya aku skip. Begitulah kami. Selalu terbuka satu sama lain. “Maaf kawan, aku tidak bisa jujur soal peristiwa di kolam pak RT dan kisahku dengan bu Rohmah,” batinku.
Kami bermain sambil bersenda gurau. Tentu saja dengan bumbu ledekan dari yang menang dan makian dari yang kalah. Entah berapa putaran kartu yang kami mainkan, ketika waktu sudah melewati tengah malam. “Udahan ah, ngantuk.” Ardan membereskan kartu dan berbaring di pojokkan. Jaka mengikuti di sampingnya. Mereka berdua meringkuk di dalam sarung masing-masing. Sementara aku dan Ega masih duduk sambil menghabiskan rokok yang masih setengahnya.
“Maneh balik atau tidur di sini?” Ega bertanya.
“Aing balik aja, Ga, dingin tidur di tikar mah.”
“Ya gak apa-apa. Ngomong-ngomong selamat ya maneh geus jadian ama Sae. Iri aing mah. Semoga aing juga bisa jiga maneh wani nembak si Rina.” Rina adalah anak pak RT, sebaya dengan Sae. Tapi ia hanya sekolah sampai lulus SMP.
“Ya sok atuh. Nungguin apa lagi?”
“Aing ragu, Ja.” Ujarnya. “Soalnya aing pengen cari pengalaman dulu ke kota. Kalau udah pacaran mah susah nantinya.” Kami saling diam dengan pikiran masing-masing. Pikiranku menerawang membayangkan Sae. Apakah ia akan setuju jika aku merantau juga? Kalau tidak apakah ia akan minta putus? Dan kalau setuju, apakah ia mau setia menunggu? Sepertinya aku harus mewujudkan rencanaku.
“Ja..” Ega mengakhiri kebisuan kami.
“Naon?”
“Gimana kalau kita gak usah ke kota?”
“Lah.. terus ngapain kita?”
“Kita usaha kopi.”
“Aing gak ngerti.. gimana tuh?”
Aku pun membeberkan rencanaku yang sebenarnya sudah kupikirkan sejak pulang dari rumah Sae. Di kampungku hampir semua warga memiliki perkebunan kopi, hasilnya dijual ke penadah -yang menurutku- harganya sangat murah. Ideku adalah kami berempat yang menjadi pengelola penjualannya kopi milik warga. Membeli kopi dengan harga yang layak, lalu kami menjualnya ke pasar. Dengan demikian warga bisa terbantu dan kami pun bisa memperoleh untung. Daripada kami buntung karena penadah dan yang untung hanya mereka, lebih baik kami yang mengelola sendiri.
Ega menyimak penjelasan panjang lebarku sambil menengadah ke langit-langit.
“Tapi kita butuh modal, Ja? Lagi pula mau dijual ke mana? Kalau di pasar ketemunya penadah juga kan sama saja. Malahan kita yang rugi.”
“Aing juga tahu kalau butuh modal… tapi kita bisa bekerjasama dengan Haji Sosmed di dayeuh (desa). Kita nego dia berani bayar berapa per kilo nya. Untuk tahap awal kita kumpulin aja dulu kopi dari warga lalu kita angkut ke tokonya Haji Sosmed, nah hasil penjualan pertama baru kita bayarkan ke warga sesuai kesepakatan. Tentu kita juga harus mendapatkan untung.”
“Menarik, Ja. Aing satuju.”
“Dan aing punya usul,” lanjutnya. “Kita meminta warga jangan menjual kopi basah. Kita suruh mereka untuk mengeringkan dan mengolahnya. Jadi kita hanya menerima biji kopi yang sudah jadi. Harganya tentu akan lebih mahal.”
“Tah.. aing ge satuju, Ga. Tumben otak maneh encer.”
Pletak.
“Anjrit..”
“…”
“Besok kita bahas lagi untuk mematangkan rencana ini. Kita perlu kerjasama dengan pak RT juga biar warga bisa percaya.”
“Iya. Tapi pak RT lagi ka dayeuh, Ja, ama si Rina. Katanya Ua-nya Rina mau hajatan.”
“Lah.. bu RT?”
“Camer perempuan mah di rumah, baru nyusul setelah selesai tandur.”
“Gayamu Ga.. ngomong camer, tapi nembak anaknya gak berani.”
Ega nyengir domba (di kampungku gak ada kuda, jadi domba aja deh).
“Aing ngantuk, Ga. Balik dulu ya.”
“Ya sok atuh. Besok siang abis ngarit (menyabit rumput) kita rapat berempat di markas.”
“Gayamu, nyet, pake istilah rapat segala.” Celaku. “Siplah.. besok bada lohor ya.”
Aku pun beranjak dan bergegas pulang. Aku menyusuri pekat sambil membungkus kepalaku dengan sarung. Inget peristiwa jatuh tadi, aku pun berbelok ke kiri, tak mau melewati jalan yang sama. Aku melewati beberapa rumah warga yang sangat sepi, berbelok lagi melewati kebun singkong, lalu menyeberangi parit kecil. Kemudian aku melipir mengikuti jalan setapak di samping rumah pak RT.
“Aaaah.. kang… ampun…”
Suara itu… Aku yakin itu suara bu RT. Aku mematung, memastikan kembali sumber suara. Kumatikan senterku dan celingukan mengamati suasana. Hening sesaat.
“Udah kang… ampun…”
Tak salah lagi suara itu berasal dari dalam rumah bu RT. Aku waspada. Kulepaskan sandal jepitku, dan perlahan bejinjit mendekati sisi datangnya suara. ‘Masa ada maling di kampung,’ pikirku. Aku menyisir dinding bilik dengan sangat hati-hati. Penjar lampu yang memancar dari lubang-lubang bilik memudahkanku untuk mengamati suasana di dalam.
Kuintip ke dalam. Kosong. Ya ruang tamu tampak kosong. Aku berjingkat lagi ke sisi lain. Ada yang berderik-derik di sana. Deg-degan aku mendekatinya dan semakin menajamkan pendengaran.
Suara berisik makin terdengar. Kutempelkan telingaku… tak salah lagi. Suara ini datang dari dalam kamar. Tapi tidak ada celah untuk mengintip. Semuanya rapat. Di kampungku, biasanya dinding kamar dilapisi kalender atau koran bekas. Fungsinya selain untuk menahan angin, juga untuk melindungi aktivitas penghuninya dari pengintip. Aku terus menyisir bilik luar kamar. Kreek. Fiuuuh.. aku menginjak ranting kecil.
Cling… ideku muncul. Kuraih potongan ranting itu. Dengan sangat hati-hati aku mencari lubang yang agak besar. Suasa gelap tentu saja menyulitkanku, aku hanya bisa meraba dengan sangat pelan. Setelah kutemukan lubang yang pas, kutusukkan ujungnya dan memutarnya dengan sangat pelan. Kutusuk…putar…tusuk…putar… begitu seterusnya. Sementara deritan ranjang semakin intens terdengar, sekali-kali terdengar suara desahan. Kuselesaikan pekerjaanku… Hal semudah ini menjadi terasa begitu sulit dan lama karena aku tak mau menimbulkan suara yang mengundang kecurigaan.
Perlahan kutempelkan mataku ke arah lubang hasil karyaku. Kulihat sesosok tubuh berambut pendek yang menunduk dan bergerak-gerak. Kok gak pake baju ya? Duh.. aku tak bisa melihat dengan jelas karena posisiku yang berada di bagian kepala dipan (ranjang kayu). Suara desahan dan lenguhan semakin kerap kudengar. Sial. Aku yakin sosok itu sedang bersetubuh. Ini bukan pencurian atau perampokkan. Mungkin juga bukan pemerkosaan karena tidak terlihat perlawanan.
Kutusukkan kembali ranting yang masih kupegang, kali ini dengan menggunakan ujung sebaliknya, yang lebih besar. Kali ini terasa lebih mudah karena lubang sudah terbuat, hanya tinggal memperbesarnya saja. Pluk. Setelah merasa cukup, aku membuangnya ke tanah dan kutempelkan kembali wajahku.
Deg. Dua sosok sedang saling berpacu meraih puncak birahi. Si lelaki menggenjot dari atas sementara kepalanya menunduk menciumi leher si wanita yang menggelinjang liar. Aku tidak bisa melihat bagian bawah tubuh mereka karena tertutup selimut sampai ke pinggang. Aku semakin penasaran dibuatnya. Tampak mereka semakin liar dan… pekik tertahan si wanita pun terdengar. Kedua tangannya yang meremas seprei tampak menegang. Tubuh mereka melekat erat, sementara si pria menghentikan genjotannya.
Jantungku seakan berhenti berdetak, ikut meresapi kenikmatan itu. Semenit..dua menit.. Lelaki itu akhirnya mendongak dan memulai menggerakkan pinggulnya pelan. Si wanita mendesis kepedesan. Tiba-tiba tangannya mendorong dada si pria. Anjriiit… Mang Oyeh. Si wanita menendang selimut yang menutupi bagian bawah mereka, tubuh mereka berguling tukar posisi. Tanpa melepaskan kelamin, mereka bertukar posisi. Kali ini si wanita yang menduduki mang Oyeh. Kagetku semakin menjadi. Bu RT!!! Wanita bernama asli bu Sainah (biasa dipanggil bu Inah, atau cukup bu RT karena jabatan suaminya) nampak berpeluh. Rambutnya yang acak-cakan tampak lengket karena keringat. Pinggulnya tumpah melebar. Kedua payudaranya tak kalah menggiurkan. Meski sudah agak kendur tetapi menggelayut lonjong dan besar. Kedua putingnya hitam dan menegang.
Dengan bertumpu tangan pada dada mang Oyeh, ia mulai menurun-naikkan pinggulnya. Batang hitam dan panjang itu tampak mengkilat di antara rimbun bulu kemaluan mereka yang lebat. Sekali-kali bibir vagina merahnya terlihat merekah. Bunyi berkecipak berpacu dengan eraman dan desisan, memancing isi sarungku mengacung.
“Oh kontoooll… enak… enak… kang kontolmu kang aaaah…”. Bu RT meracau jorok, berbanding terbalik dengan sikap sehari-harinya yang santun dan lembut. “Hash..hash…heunceut (memek) ibu menjepit… empot bu empot… mmmrghhh…” Meski keduanya berusaha mengendalikan suara, tetap saja semakin nyaring terdengar. Keduanya makin binal tanpa kendali. Shiit..kenapa tanganku mengocok si junior?
Tangan mang Oyeh kemudian meremas kedua payudara bu RT yang menggelantung liar, membuat bu RT menahan pekik. Pinggulnya bergoyang makin tak karuan… menggenjot, menggeol, mengempot.. begitu seterusnya. Bintik keringat mengucur dari wajah, leher dan sela kedua payudaranya. Seksi sekali.
“Ganti, bu”. Mang Oyeh dengan cepat menahan tubuh bu RT. Secepat itu pula bu RT mengangkat tubuhnya lalu menungging dengan berpegangan pada pinggir dipan. Wajahnya tersungkur di atas kasur. Mang Oyeh beranjak. Plak… ditamparnya pinggul lebar itu hingga memerah. Lalu dengan segera memasukkan penisnya kembali dan menggenjot dari belakang. Aku cuma bisa melongo… ternyata bisa yah bercinta seperti itu. Itu seperti gaya kambingku kalau kawin. ’Pelajaran baru’ pikirku. Eh… kok sarungku merosot?
“Terus… kang…oh heunceutku enak kang… ah ah aaaah… yang kenceng.. iyah gitu… duh gustiii…” Bu RT sudah tak bisa lagi mengontrol suaranya. Aku yakin suaranya bisa terdengar ke rumah sebelah. Untung rumah itu hanya dihuni seorang nenek yang sudah renta dan tuli.
“Aaah… kang… kontolmu ahhh… duh ampun… aaah…”
“Iya bu… ibu binal… duh heunceutmu… enak… cabok kua aing…” Plak. Mang Oyeh menampar kembali pantat itu.
Anjrit… kenapa si junior berkedut?
“Ayoo kang… hampir… duh.. duh… kaaang…”
“Balik…!” Geram mang Oyeh.
Dengan gerakkan cepat mang Oyeh mencabut penisnya. Bu RT menelentangkan tubuhnya dan kedua kakinya menjuntai di pinggir dipan. (hmm.. ilmu baru lagi). Mang Oyeh turun dari dipan dengan tergesa… Segera ia menindih kembali. Cleppp…celeeep… Liar…. “Kaaang… heunceut Inaah… aaaarghhh…. bucaat….” Ia meraih selimut dan menggigitnya kuat-kuat. “Bareng buuuu…” hash.. hash.. hash… Kedua tubuh itu mengejang.
“….”
Gelap.
Aku menarik wajahku dan memejam di kegelapan. Duh.. sia malah ikutan muncrat!!!
Aku sudah tak tahu lagi adegan selanjutnya di dalam. Ada nikmat dan kalut. Aku gak habis pikir kenapa mereka bisa selingkuh. Cara pandangku terhadap mereka yang cukup kusegani berubah saat ini. Aku memasukkan si junior ke kadangnya, lalu menjauh gontai.
“Kukuruyuuuuuk.” Suara ayam pun berkokok tanda subuh telah tiba. Bersamaan dengan itu, sebuah suara mengagetkanku.
“Senja!!!”
Aku tercekat.
“Ahhh.. dia lagi!”
0 Komentar