BANDUNG IN LOVE: 2nd DAY
“Kampret.” Aku balik memaki.
Buuuk. Sebuah pukulan berhasil kudaratkan di perutnya sehingga membuatnya terhuyung. Segera kuraih lelernya, dan kugunting dengan tekukan tanganku. Namun ia memberontak sehingga kami oleng. Bruuuuk. Tubuh kami terjerembab.
“Sudah… sudah… Kayak anak kecil aja!” Bu haji menghardik kami. Sementara Raka, Mae, dan Irma sudah berkerumun sambil tertawa kencang. Dengan susah payah kami bangkit dengan tetap saling memaki.
“Dasar monyong lu, ke Bandung gak bilang-bilang.” Ia masih sewot, tapi lengannya meraih tubuhku dan kami saling berpelukan sesaat.
“Hehehe… habis mau gimana lagi secara aku gak punya alamat dan nomor kontakmu.” Jawabku.
“Cieee.. sahabat lama lagi kangen-kangenan, nih.” Irma meledek kami.
“Lu mau minum apa, yank?” Lanjutnya sambil menatap Ilham. Ya, dia adalah Ilham,* sahabat kami di Sawer.
“Yang biasa aja, yank.” Jawabnya.
“Loh.. kalian?” Aku menatap mereka heran mendengar cara mereka saling memanggil ‘sayang.’ Irma tidak menjawab, ia langsung masuk untuk membuat kopi; sementara yang lain ikutan duduk melingkar.
“Iya.. mereka pacaran.” Mae menyahut, sementara Ilham hanya mengerling.
“Si monyong…” Gerutuku.
“Husssh.. udah ah. Dari tadi kalian ngomong kasar terus.” Bu haji mengingatkan sementara kami tergelak dalam tawa.
Lupa.
Ya aku lupa pada segala persoalanku selama ini. Yang ada adalah kebahagiaan bisa berjumpa dengan Ilham dan bisa memiliki sahabat-sahabat baru dalam kunjungan singkatku ke Bandung ini. Baru hari pertama, aku sudah merasa bahagia dan tidak merasa terasing dengan suasana kota yang baru pertama kuinjak ini.
Kami pun ngobrol dan berbagi cerita hingga jam dua, sampai akhirnya Raka mengingatkan untuk pulang, karena nanti harus bekerja lagi. Kalau Sabtu dan Minggu, café buka jam sepuluh pagi.
“Jangan lupa besok sore kita ngumpul di mari.” Ilham mengingatkan sambil menyerahkan helm ke Irma. Aku hanya mengacungkan jempol sambil masuk ke dalam mobil. Ni bocah baru setaun di Bandung sudah gaul dan banyak berubah. Pacarnya itu loooh… Irma oh Irma…
POV Mae:
Hadeuh capek sekali… hari ini café sangat ramai, untung mamahnya Raka mengajak menginap sehingga aku gak perlu jauh-jauh pulang ke kosan. Kasih sayang dan perhatian calon mertuaku membuat hatiku senang, aku bahagiaaaa banget.
Tuh si Senja lucu banget ya.. ganteng-ganteng tapi kampungan. Hihi.. Anaknya polos dan baik, tapi juga berkharisma gitu. Seneng deh punya teman baru sebaik dia.
Kami pun masuk ke dalam rumah, sementara Raka memasukkan mobil ke dalam garasi.
“Loh Mah.. kok kantong belanjaannya ditaruh di sini?” Tanyaku ke pada mamah Raka ketika melihat kantong-kantong plastik berserakkan di balik pintu.
“Hehe.. iyah sayang. Mamah lupa. Tadi mamah dan Senja buru-buru pengen ke toilet, terus lupa deh karena takut kemalaman datang ke café.”
“Oh ya udah. Biar Mae masukin ke kulkas. Bantuin donk, Ja.”
“Iyah kalian beresin ya. Mamah kebelet pipis.”
Aku dan Senja membawa belanjaan ke dapur dan memasukkannya ke dalam kulkas. Lengan kami sempat bersenggolan, membuatku merasakan suatu perasaan aneh. Tapi Senja cuek saja.. memang tidak sengaja.
Setelah semua beres kami kembali ke ruang tengah.
Bleeef. Kuhempaskan pantatku di sofa, sementara Senja naik ke kamarnya, katanya mau ganti baju. Tiba-tiba tanganku menyentuh gumpalan lembab. Ehh.. ini apa? Buset dah siapa sih yang buang tissue sembarangan. Jorok banget sih. Tanganku meraih gulungan tissue di atas sofa, lalu membawanya ke tempat sampah. Tapi aku mencium bau aneh. Kudekatkan ke hidungku, tampak ada gumpalan kering. Tak salah lagi. Ini bau sperma. Sperma siapa ya?
https://t.me/cerita_dewasaa
Selamat pagi Bandung. Kubuka pintu kaca di samping ruang keluarga sambil membawa secangkir kopi lalu duduk di atas kursi rotan yang tampaknya sengaja dipasang sebagai tempat nongkrong. Kuseruput kopiku dan kusulut rokok pertamaku pagi ini. ‘Apakah aku bangun kepagian?’ Pikirku. Hari sudah jam tujuh pagi, tapi mereka belum juga muncul.
“Pagi sayang.” Sebuah suara menyapaku.
Tubuhnya tampak segar sehabis mandi. Kulirik ke dalam ruang keluarga, masih sepi.
Aku berdiri dan kuraih tubuhnya.
“Muuuach. Pagi juga sayang.” Kukecup bibir tipisnya.
“Hihi.. pagi-pagi udah mesum,” rajuknya.
“Abis semalam kamu malah tidur ama Mae. Katanya mau tidur berdua.” Protesku sambil mengusap ujung bibirnya dengan jariku.
“Ya abisnya aku gak enak kalau membiarkanmu tidur di sofa; lagian semalam capek banget.”
Sekali lagi kukecup bibirnya lalu ia duduk di kursi rotan sebelahku.
“Pagi mah, pagi Ja.” Mae muncul. Ia sudah rapih dan berdandan.
“Pagi sayang.”
“Pagi Mai.”
Tak lama kemudian Raka muncul dengan rambut masih acak-acakkan.
“Pagi semuaa.”
“Kamu jorok sekali, sayang? Mandi dulu gih, malu ama ‘istrimu’ yang sudah cantik dan rapih.” Bu haji menyapanya sambil memeluk pinggang Mae.
“Bentar lagi, mah. Mai, bikinin kopi donk.”
“Bentar sayang.” Mae melangkah ke dapur.
“Ya udah mamah sekalian bikinin kalian sarapan.” Bu haji membuntuti Mae.
Hari yang sangat indah. Aku betaaaaah.
Tak lama kemudian Mae datang kembali sambil membawa secangkir kopi.
“Makasih sayang.” Raka meraih cangkir kopi dan… Cuuup… ia mencium pipi Mae.
“Iiih.. apaan sih. Malu ama Senja.” Muka Mae memerah.
Aku hanya nyengir melihat mereka.
“Dah ah.. aku bantu mamah bikin sarapan dulu.” Mae beranjak.
“Ja, sengaja gua nyuruh mamah ngajak lu ke Bandung.” Raka menyeruput kopinya. Aku hanya menunggu sambil menghisap rokokku.
“Lu tahu kan, selain menyediakan kopi dan cemilan, café gua juga menjual kopi bubuk dan bijian. Tapi kini ada masalah baru. Gua sudah gak bisa lagi menampung kopi dari Sawer. Terlalu banyak. Sekarang aja masih numpuk di gudang.”
“….”
“Nah, gua berencana untuk mendistribusikan kopi Sawer ke café-café serupa di Bandung ini, kalau bisa menjualnya juga di supermarket dan toko-toko.”
“Memang bisa ya?” Tanyaku.
“Bisa aja kalau kita punya kemauan. Ini akan menjadi area baru usaha kita. Makanya gua senang pas dengar lu mau pindah ke Bandung. Kita bisa melebarkan sayap usaha kita.”
Raka pun membeberkan rencananya. Ia akan membuat kemasan dan merk dagang pada produk kopi kami, sekaligus akan menggandeng beberapa distributor kenalannya.
“Sawaka,” gumamku.
“Hah? Maksud lu apa?”
“Eh.. iyah.. itu.. nama merknya adalah Sawaka.” aku sedikit tergagap.
“Keren juga sih.. tapi artinya apa?”
“Gak ada artinya sih, Ka. Tapi aku yakin nama ini akan membawa keberuntungan.”
“Gua sih setuju aja, lagian tuh kopi berasal dari kampung lu juga.”
“Gini aja,” lanjutnya, “Gua akan minta Irma untuk mendesign logo dan kemasannya karena dia adalah anak design. Nanti kalau lu setuju ama hasilnya baru gua daftarin ke Departemen Perdagangan.”
“Aku ikut aja, Ka. Gak ngerti yang begituan.”
“Gak bisa gitu juga. Untuk logo kita harus bahas bersama, makanya lu buruan beli hape biar bisa WA-an.” Ia kemudian menjelaskan apa itu WA, setelah aku menanyakannya.
“Nanti lu yang bagian distribusi dan pemasaran. Lu akan dibantu Mae untuk promosi di internet dan media sosial.” Lagi-lagi Raka harus menjelaskan dua nama terakhir.
“Ilham juga bisa kita ajak kerjasama, plus ada satu lagi kenalan gua yang sudah bersedia bergabung. Nanti malam ia akan ke café.”
Aku mendengarkan banyak penjelasan dari rencana-rencana Raka; hatiku sangat antusias mendengarnya, dan merasa tak sabar lagi untuk mewujudkannya. Beberapa rencana dan model kerjasama pun kami sepakati. Aku bersyukur bisa mengenal keluarga pak haji dan anaknya, yang sudah begitu baik membantu memasarkan kopi kami.
Obrolan terhenti sebentar ketika Mae mengundang kami sarapan. Sambil menikmati nasi goreng dan ceplok telor kami melanjutkan obrolan di meja makan. Bu haji dan Mae senang dan sangat antusias mendukung rencana ini. Aku bertugas menyiapkan sahabat-sahabatku di Sawer untuk meningkatkan produksi dan kualitas kopi, bu haji bagian pengemasan di desa, aku -setelah pindah ke Bandung- dan Raka akan menjadi distributor. Jadi kami akan memiliki tiga tim, yaitu tim Sawer yang akan dipimpin Ega, tim desa yang dipimpin bu haji, dan tim Bandung yang dipimpin aku dan Raka.
Kami masih melanjutkan ngobrol bertiga sambil menunggu Raka yang masuk kamar untuk mandi. Tepat jam setengah sepuluh kami berangkat ke café. Bandung ini kami, memulai hari dan merajut mimpi di kotamu.
Setelah membantu membereskan café dengan segala kehebohan Irma pagi ini, aku dan bu haji naik angkot hijau menuju sebuah mall dekat balai kota. Kami membatalkan rencana jalan-jalan ke taman kota dan lapangan Sabuga karena sorenya aku sudah janjian untuk ketemu Ilham di café. Kami turun di Jalan Merdeka, lalu bu haji menuntunku menyeberangi toko buku, menuju mall besar di Jl. Purnawarman. Lain kemarin malam, lain pagi ini. Kini mataku disuguhi pemandangan mall yang hampir semua counternya menjual gadget, laptop, komputer, dan semua barang elektronik, lengkap dengan segala aksesorisnya. Atas bantuan bu haji, aku membeli sebuah hape merk “nukieu”. Katanya merk lama, tapi aku memutuskan membeli karena harganya terjangkau dan bisa menggunakan aplikasi WA. Lengkap bersama kartu perdana dan pulsanya. Suhu Jaya Suporno tolong catat dalam rekor MURI, aku adalah orang pertama dari Sawer yang punya hape.
Bu haji juga membeli sebuah hape merk “maung” dan nomor baru, tapi ia tak menjelaskan kenapa ia membeli hape lagi secara ia sudah punya hape dengan model dan merk yang sama.
Setelah selesai belanja, kami melanjutkan jalan-jalan mengelilingi mall.
“Eh itu ada toilet. Bentar yah.. aku ke toilet dulu.” Aku hanya mengangguk sambil melepaskan genggaman tangannya. Lalu melihat-lihat etalase yang menjual berbagai kamera.
Duuuuk.
“Eh..ma..” Aku hanya bisa melongo tanpa bisa melanjutkan ucapanku.
“Lu? Aaaargggh.. lu lagi-lu lagi! Anak kampung rese!” Hardiknya.
“Ma..maaf teh. Abisnya teteh jalan sambil maenan hape.” Gugupku.
“Jadi gua yang salah? Hah? Lu tuh.. kalau punya mata di pake!! Kampungan!!”
Hadeuh. Aku hanya bisa melongo sambil menatap punggungnya yang bergegas meninggalkanku dengan jengkel. Harusnya aku yang marah, teh, la wong situ yang nabrak aku.
“Kok bengong sih, say?” Tiba-tiba wanitaku muncul.
“Hehe.. nggak kok. Yuks aku lapar.” Aku berbohong.
Tapi aku tak bohong soal lapar. Tak terasa kami sudah menghabiskan waktu setengah hari di mall ini, pantesan perutku minta jatah.
“Ya udah hayu. Kita makan fast food aja ya.”
“Aku gak ngerti, ikut aja deh. Yang penting makan. Hehee..”
Sebuah cubitan mendarat di lenganku, lalu kami menuju food corner di lantai paling atas.
Sambil menunggu pesanan, aku membuka box hape baruku.
“Ajarin makenya yah.” Kataku.
“Eh jangan, say. Itu kan katanya untuk hape bersama.”
“Iyah, tapi kan…”
“Udah. Kamu belajar dari yang ini aja.” Ia mengeluarkan box hape dari kantongnya.
“Loh?”
“Iyaaah. Aku beliin buat kamu.”
Aku cuma bisa bengong.
Ia tidak peduli. Lalu mengeluarkan hape dari boxnya dan menyalakannya.
“Sayaaaaang.” Tiba-tiba aku sadar kalau ia serius, lalu berdiri untuk memeluknya.
“Huuussh.” Ia melotot sambil memberi kode dengan matanya.
“Hehehee.. maaf, yank. Lupa kalau di tempat umum.” Aku hanya bisa tersipu sambil pindah duduk di sampingnya.
Dengan cekatan, bu haji memasukkan nomor-nomor kontak milik Raka, Irma, Mae, dan tentu saja nomornya ke dalam hape baru; tak lupa ia pun memasukkan nomor baru dari hape yang kubeli.
Aktivitas kami terhenti sebentar ketika makanan yang kami pesan datang.
“Makasih, mbak.” Terima kasih kami bersamaan kepada pelayan. Dan kami pun makan sambil ia menjelaskan fungsi-fungsi aplikasi yang ada di layar hape.
“Habis ini kita ke mana?” Ia bertanya sambil menghabiskan minumannya.
“Aku sih mau belin cincin buat Ardan, kaos A7EP dan beberapa baju pesanan teman-temanku.” Jawabku.
“Enaknya sih ke pasar baru, tapi pasti macet banget. Kita beli cincin di BIP saja, lalu kita ke Jalan Riau. Di sana banyak factory outlet dan ada Store Si Biru Maung.” Jelasnya.
Kami pun beranjak menuju lift.
Kami habiskan waktu dengan berkeliling dan berbelanja di sekitar Jalan Riau. Dan aku hanya mengeluarkan uang untuk membeli titipan sahabat-sahabatku, sementara untuk oleh-oleh bagi kedua orangtuaku wanitaku yang membayarnya. Bahkan ia pun membelikanku tas gendong dan beberapa helai kaos dan kemeja.
“Aku seperti sedang mengajak jalan-jalan berondong.” Ledeknya.
“Yeee.. kamu sendiri yang maksa membayari. Terima kasih ya.” Cup aku mengecup pipinya.
Kini kami sudah berada di dalam angkot yang terjebak kemacetan. Karena penumpangnya hanya kami berdua, aku bebas menggenggam tangannya dan bisa curi-curi mencium pipinya, sementara tangan satunya mengotak-atik hape baruku.
“Eh yank, kok kita tidak turun di sini?” Heranku, ketika angkot sudah melewati pertigaan Jalan Teuku Umar tempat café berada.
“Aku mau menghukum kamu. Habis dari tadi sibuk mulu dengan ‘pacar barunya’”. Nadanya ketus, tapi senyumnya nakal.
“Hehe.. maaf.” Kumasukkan hape ke kantong celanaku. Lalu kekecup kembali pipinya yang merona.
Setelah turun dari angkot, kami jalan kaki menuju kompleks perumahan sekitar sepuluh menit. Hatiku berbunga. Bukan karena kebaikannya yang telah mengajakku jalan-jalan dan membelikanku hape serta baju baru yang membuatku berbunga, tapi karena apa yang akan segera kami lakukan setibanya di rumah.
0 Komentar