KETIKA SENJA PART 34

 

Masih di sore yang sama. Sepulangnya dari saung penggilingan kopi…


“Ja, Sawaka harus segera diberi pasangan. Kalau tidak kampung kita semakin dalam keadaan bahaya. Kamu harus menjaga kesucian kampung. Hawa panas sudah mulai datang, dan jangan sampai lebih banyak lagi perbuatan tabu di Sawer ini.” 




Aku mengangguk. 




“A Senja, Rahma pulang dulu ya.” Gadis berusia 7 tahun melambaikan tangan sambil menjejeri ibunya.




Aku hanya memberikan senyumku sambil mengangguk. Sorot mataku mengantar kepergian mereka sampai punggung mereka menghilang di balik padang ilalang. Kami sekedar berpapasan, sepulang mereka dari kebun.




Masalahku dengan Sae sedang runcing, kini sudah ditambah masalah baru. Belum lagi masalah wasiat kakek untuk mencari Teh Hera, kakakku.




Huuuufff.. aku meloncat ke atas punggung si jalu yang sedang asik memakan rumput. Aku duduk mengangkang di atas punggungnya, dan kuerebahkan tubuhku ke belakang. Kini indahnya pemandangan senja yang menghampar di bawah bubulak tak lagi memesonaku. Semburat merah di ufuk barat seolah menjadi perpisahan sinis semesta terhadap hidupku saat ini. Matahari hanya menjadi mata merah yang melukiskan luka sebelum tenggelam, seperti luka-merah-cintaku yang terbenam karena Saeku.




Aku termenung, seluruh ingatanku bernafak tilas pada segala perjalanan hidupku belakangan ini. Semua terlintas; pengalaman demi pengalaman datang dan berlalu dengan cepat, sementara mimpi masa depan kian buram. Seluruh kesedihan dan ketakutan menjadi benaluku saat ini, tak tahu lagi bagaimana aku harus mengurainya.




“Jalu..” Aku ngomong sendiri seolah mengajaknya berbicara. Aku hanya butuh mengeluarkan semua uneg-unegku karena sudah tak ada lagi Sae yang bisa mendengarkanku. 


“Kakek adalah sumber segala masalah ini, lu. Aku kecewa. Seandainya kakek tidak mengijinkan Teh Hera dibawa uwa semua ini tidak akan terjadi. Keluargaku akan lebih bahagia dan aku tak harus mencarinya.” Kumainkan batang rumput di mulutku.


“Semua ini gara-gara kakek, yang menjerumuskanku pada hubungan terlarangku dengan Bu Rohmah; dan memaksaku untuk mencari dua wanita lagi untuk juga menidurinya. Aku tidak tahu, lu. Tidak tahu siapa mereka dan di mana mereka berada.”


“Aku punya mimpi untuk memajukan Sawer, lu. Tapi tidak harus pakai campur tangan kakek di masa lalu. Tidak.. tidak harus dengan cara seperti ini. Aku punya akal dan pikiran. Aku bisa melakukannya tanpa campur tangan kakek.”


“Kalau bukan karena kakek, tak perlu ada Sawaka, tak perlu ada Bu Rohmah, tak perlu memakan korban kematian Mang Oyeh, tak perlu aku bertarung di desa, tak perlu aku menjerumuskan sahabat-sabatku pada wanita-wanita kampung. Tak perluuuu…!” Tubuhku bergetar. Air mataku mengembang karena sesal dan marah. Tak kuhiraukan malam yang sudah datang.


“Jalu.. aku tak perlu hidup kalau keberadaanku kemudian hanya menjadikan kampung ini menjadi tempat yang penuh nafsu dan birahi nantinya. Aku tak perlu mencarikan pasangan untuk Sawaka agar semuanya ini terhindari. Aku tahu.. hanya dengan mencari wanita kedua dan menidurinya dalam ritual yang bisa mendatangkan betinanya Sawaka, tapi bagaimana caranya? Aku tidak tahu siapa wanita itu.”




Aku berpegangan erat pada punggung si jalu ketika ia menurunkan tubuhnya untuk depa (duduk). Batinku memanggil Sawaka untuk datang, saat ini aku merasa sangat marah kepadanya. Aku menyesal telah mengenal dan memilikinya; sekarang aku tidak memerlukan kehadirannya kalau toh akhirnya malah bisa mendatangkan malapetaka baru bagi Sawer.




“Aku tak tahu lagi, lu… aku tak tahu harus bagaimana. Aku tak tahu apakah Sae juga berada dalam lingkaran ini. Ia yang telah menjadi mimpi indahku, kini menjadi lukaku yang paling dalam. Aku menyayanginya, lu. Sangat sayang… Tapi lihat apa yang terjadi sekarang? Ia menghindariku. Haruskah aku menanam luka dengan memutuskan hubungan kami lalu membiarkan Saeku menemukan kebahagiaannya di luar diriku?”


“Aku terlalu menyayanginya, lu.” Kualihkan pandanganku sebentar pada sosok semampai-garang yang baru datang. 


“Kamu tahu, lu. Aku telah memberinya banyak mimpi dengan cintaku. Aku menyesal kalau akhirnya cinta ini harus menjadi luka bagi dirinya. Luka karena tidurku dengan Bu Rohmah. Luka karena Ratna kala senja itu. Dan luka-luka baru karena aku harus juga meniduri dua wanita lain.”


“Kakek, lu. Ini semua gara-gara kakek!!!” Aku menahan marah. 


“Kalau bukan karena kakek aku tidak harus melukai Sae. Aku tidak harus membuatnya menderita. Sae terlalu baik, lu. Cintanya terlalu tulus. Ia buktikan dengan mau menerimaku apa adanya dan memaafkanku meski cemburu karena tidurku dengan Bu Rohmah. Tapi aku tidak bisa membalas ketulusan cintanya. Aku malah hanya membalasnya dengan luka-luka baru. Ratna si sialan itu. Dua wanita itu. Dan entah siapa lagi.”


“Kalau selama ini aku bersikeras untuk bertahan di kampung, itu karena aku ingin membahagiakannya, lu. Ingin selalu ada bersama dan menjaganya. Tapi apa kenyataannya? Adaku hanya membuatnya kecewa. Tak ada lagi senyum cerahnya, tak ada lagi galak perhatiannya, tak ada lagi gelayut manjanya, tak ada lagi cium mesranya; tak ada lagi permintaan polosnya. Hilang, lu. Semua hilang!!!”


“Jalu, kau tahu? Kini semua orang menginginkanku pergi dengan caranya masing-masing. Orangtuaku, Bu Rohmah, dan wanita barusan. Bahkan Sae menyuruh hal yang sama. Mereka terang-terangan menyuruhku enyah dari kampung ini. Ega lebih banyak diam dan membuatku tidak nyaman. Ratna membohongi dan menikamku karena keegoisan perasaannya, padahal aku sudah membantunya. Kini Sae menjauh. Tidak ada lagi orang yang bisa membuatku nyaman. Karena cintaku, lu.. hanya cintaku yang membuat aku bisa bertahan. Tapi apa yang terjadi sekarang?? Bahkan orang yang kucintai tak mau lagi peduli. Jangankan peduli, memandang wajahku pun tak mau lagi.”


“Kini biarlah aku titipkan cinta ini kepada semesta kampung kita; pada hutan dan ladangku, pada sungai dan sawahku, pada langit dan tanah ini. Mereka harus tahu, meskipun Sae sudah tak mau tahu lagi.”




Aku beranjak dan menepuk punggung si jalu. Ia tak peduli. Ia tak mengerti. Tapi aku sudah mengeluarkan beban hati.




Tak terasa malam makin merambat. Alamku gelap. Kabut sudah turun gunung, membuat kulitku terasa dingin. Tapi aku enggan pulang. Aku ingin tetap di sini, mengenang indah adaku di masa lalu; meratapi kehendak orang-orang yang dibebankan kepadaku; mencintai bayangan Sae yang mungkin tak akan lagi bisa kumiliki.




“Dan kau Sawaka!!!” Aku menatap penuh amarah. 


“Kau membuat semuanya makin susah. Enyaaah! Aku tak membutuhkanmu!!”




Menangkap amarahku, Sawaka bangkit dari duduknya. Matanya menyala. Bulu putihnya yang bergaris hitam tiba-tiba memancar terang. Ia pamer kekuatan dengan menggeram dan mengaum ganas. Aku menutup telinga karena aumannya yang memekakkan telinga.




Ia bersemampai gelisah dan marah, gigi dan siungnya yang panjang dan tajam menyeringai. Darahku mendidih melihat kepongahannya memamerkan kekuatan. Tak ada pilihan, keputusan sudah kubuat. 




“Kau atau aku yang mati!!” Aku tak kalah garang. Aku tak gentar, mati adalah takdir dan hidup adalah pilihan. Kupasang kuda-kuda, tubuhku membungkuk sambil membentangkan tangan di depan dadaku; mengundang lawan untuk menyerang.




Sekelebat Sawaka meloncat menyasar dadaku dengan cakaran, mulutnya siap mengoyak leherku. Agin serangannya menerpa wajahku lebih dulu sebelum mulut dan tubuhnya tiba. Aku berkelit . Kepalanya melewati wajahku. Dengan cepat aku membuat gerakan untuk menangkap lehernya. Tanganku yang mengembang siap mencengkram. Namun Sawaka lebih gesit. Dalam keadaan masih tetap melayang ia berbalik, kuku-kukunya siap menyabit wajahku. Buuuk. Aku merunduk sambil menangkis kakinya di atas kepala. Angin panas menyembur dari deru mulutnya. Haaap.. Aku meloncar mundur satu langkah.




Sawaka kembali menjejak tanah. Dengan sebuah auman ia menerjangku tanpa memberiku kesempatan. Kesiur angin dari setiap sabitan kakinya menerpa tajam tubuhku. Hmmmmff.. gesit aku menjatuhkan diri sambil menangkis kedua kakinya. Tubuhnya melayang di atasku. Segera kulancarkan serangan dengan menendang bagian bawah perutnya. Namun Sawaka terlalu gesit, tendanganku hanya menghajar angin. Ia berhasil menghindar dengan menghempas ke samping.




Keringatku mulai mengucur. Ciaaaaat… haaaap… tubuhku melayang. Dengan gerakan siap menerkam, tanganku mengembang menyasar leher Sawaka. Kali ini ia tidak menghindar, kedua kaki depannya menyambutku. Wuuuussssh… Sreeet… sreeeeet… kakinya menyabit tanganku. Breeeet… Lengan bajuku terkoyak. Dan aku tersungkur karena terbawa tenaga sendiri.




Tak ada waktu. Mulut Sawaka sudah menganga lebar menerjang leherku. Aku segera menggulingkan diri dan dengan satu gerakan meloncat berdiri. 




“Baik Sawaka. Kau bukan lagi penjaga, tapi sumber malapetaka bagi semua dukaku.” Geramku.




Aku merunduk dengan satu kaki ditekuk ke belakang; kedua tanganku bertumpu pada tanah. Aku kecewa padamu, kakek. Kau menimpakan semua beban ini di pundaku; dan aku tak sanggup menanggungnya. Huuuufff… ciaaat… aku meloncat. Kepal dan cakarku melayang… wuuuush…. buuuuk. Haaaap… sreeet… buk buk. Aku berhasil menghantam perut Sawaka. Breeeet… ia terpelanting tapi satu cakarnya berhasil menyobek dadaku. Darahku menetes. Perih. Sawaka terhempas beberapa langkah dan aku meringis, mengusap darah.




“Kau bangsat, Sawaka!!! Kau telah mengelabui lawan-lawanku dengan mengorbankan Mang Oyeh. Kau adalah penyebab kematiannya.” Aku menggeram marah.




Huuf.. aku menyerang Sawaka dengan membabi buta. Seluruh amarah, kekecewaan, kebencian, penyesalan, lebih-lebih luka karena Saeku, aku luapkan dalam seluruh seranganku. Aku menghajar, meninju, mencakar, menjambak, mencengkram dan membanting tubuhnya. Sementara Sawaka mencabik-cabik kulitku. Aku bergairah.. Lelaki dan darah adalah aroma kejantanan; sementara Sawaka mengganas, jatidiri harimau dan naluri membunuhnya berkobar. Kami bergumul sampai lewat tengah malam. Kami tak mengenal lelah. Tujuanku saat ini hanya satu, semua rasaku harus kulampiaskan dengan kematian Sawaka; atau aku yang mati sambil membawa semua luka dan sakit hati.




Setiap kelebat seranganku adalah ungkapan perasaan-perasaanku pada setiap orang yang datang dan pergi dalam benakku. Semua jurus dan tinjuku selalu menghentak karena dendam dan benci, setiap sapuan dan bantinganku selalu berurai air mata ketika mengingat cinta dan Saeku.




“Kukuruyuuuuk”. Kokok ayam terdengar dari arah kampung. Fiuuuh.. sepanjang malam kami bertarung. Seluruh tubuhku penuh luka dan berlumur darah. Harus segera kuselesaikan sebelum fajar.




Kami kembali bertarung sengit. Kukumpulkan seluruh sisa tenagaku. Ciaaaattt… huuuuuf… Aku dan Sawaka meloncat bersamaan. Saling menyerang tanpa menghindar. Langsung kukirim pukulan panas dan beruntun ke arah Sawaka. Wajahku dan Sawaka berpapasan panas, sama-sama saling menghindari benturan. Pukulanku kembali menghembus angin. Haaap.. Meski begitu aku berhasil menangkap kedua kaki belakang Sawaka. Tubuhku berputar sambil melayang. Kini tubuh kami sudah saling melayang horizantal di udara. Huuuuf… Bruuukkk… kami terhempas dan berputar di rumput basah.




Sawaka melengkungkan tubuhnya, sementara kedua kakiku segera mengunting dan membelit pohon albasia untuk menghentikan putaran. Greeeek… kraaaak… Tiba-tiba mulut Sawaka berhasil menggigit dan mencengkram pundak kananku. 




“Wadaaaauw…” aku teriak, kaki Sawaka terlepas. Aku terhempas limbung. Seluruh tenagaku hilang, terganti kesakitan yang amat sangat. Mataku berair menahan nyeri.


“Cukup Sawaka!!! Hentikan!!!” Aku merintih.


“Aku sudah ikhlas. Biarkan aku menyelesaikan semuanya dan bersedia melepaskan semua egoku.” 




Cengkeraman mulutnya terlepas. Aku terkulai lemas, sementara Sawaka menggeram sambil mengelilingiku. Auman kemenangannya membahana membelah sepi. Dan aku harus mengakui kekalahanku.




Sejenak aku terhempas mengatur nafas dan memulihkan sisa kekuatan. 




“Sekarang..!” Aku meminta Sawaka dengan lemah. Sawaka segera menjilati pundak dan seluruh luka di tubuhku. Badanku menjadi hangat.




Aku bangkit. Seluruh lukaku sembuh kembali.




Kuraih leher Sawaka dan memeluknya erat. Aku menangis. Kalau sebelumnya aku mengungkapkan seluruh amarah, kecewa dan sedihku kepada si jalu dengan omongan. Lalu meluapkannya dalam pertarungan. Kini aku ungkapkan semuanya dalam tangisan. Jiwa dan ragaku sangat terguncang. Sementara Sawaka hanya membiarkanku sambil mendengus dan menjilati kepalaku.




Setelah bisa menguasai emosiku aku membaringkan kepalaku pada tubuh Sawaka, mataku menerawang menatap gelapnya langit.




“Aku sudah siap.” Gumamku.


“Aku akan menjalankan semuanya ini dengan tulus dan ikhlas. Maafkan kalau selama ini aku sangat egois dan mementingkan diri sendiri.” Kuusap-usap kepala Sawaka.


“Aku sudah ikhlas menjalaninya. Meskipun jika karena misi ini aku harus kehilangan cintaku, aku rela.” Kali ini tidak ada rasa sesak ketika kumengatakannya. Aku seperti manusia baru yang bisa ikhlas menerima seluruh masa lalu dan kekinianku.




Sae, aku akan selalu mencintaimu dan menyayangimu. Di tempat ini, tempat yang sama, kuulangi janji suciku dengan setulus hati. Meskipun seandainya aku tak bisa memilikimu, janji ini akan selalu kupegang, dan aku akan mencintaimu dengan caraku sendiri tanpa mengusik kebahagiaanmu kelak. Aku merasa lega. Sangat lega, aku tidak mau memaksakan egoku sendiri. Aku harus melangkah menyongsong masa depan dengan ikhlas. Apa yang sudah kumulai ini, harus kuselesaikan olehku sendiri; dengan atau tanpa Sae.




Aku kembali memeluk Sawaka dan menyuruhnya kembali ke perbatasan. “Ingat Sawaka, tragedi Mang Oyeh adalah yang pertama dan terakhir.” Pesanku. “Kamu bukan hanya bertugas menjaga kami yang ada di dalam kampung, tapi juga semua warga yang sedang pesiar di luar kampung.” Aku yang sudah berdamai dengan diri sendiri, kembali punya kuasa penuh untuk memimpin dan mengendalikannya.




Ya. Aku Senja, dan dia Sawakaku. Pertarungan kami adalah pergumulan melawan ego; aku versus diriku sendiri. Gigitan dan cengkeraman terakhir Sawaka, itulah yang memenangkanku. Aku adalah pemenangnya. Dan itu karena Sawakaku.




Aku telah tercabik karena cakarannya dan lukaku menganga karena gigitannya; itu adalah seluruh luka batin hidupku. Kini aku sudah menerima masa laluku, karenanya aku kembali disembuhkan Sawakaku.




Kuusap wajahku dengan lega. Kuhirup udara pagi dan kusampaikan syukurku kepada semesta.




Terima kasih kakek. Aku menyayangimu.


Terima kasih ayah, ibu, dan Bu Rohmah.


Terima kasih Ega, Jaka, Ardan.


Terima kasih Mang Oyeh, Bi Iyah, Pak RT, Bu Inah.


Terima kasih pak haji dan bu haji.


Terima kasih Pak Ikin.


Terima kasih Ratna.


Aku menyayangi kalian semua.


Kalian telah membuatku menjadi dewasa.


Karena kalianlah aku akhirnya belajar tentang arti dan tujuan hidupku.


Karena kalianlah aku bisa memaknai semua pengalaman masa lalu dan kekinianku.


Aku bisa belajar untuk menerima dan mencintai diriku sendiri apa adanya; dengan segala lebih dan kurangku.




Aku menjadi Senja seperti sekarang ini,


hidupku menjadi seperti ini,


cara berpikir dan merasaku saat ini,


itu semua adalah produk pengalaman masa laluku.


Dan kini aku melangkah ke masa depan untuk menciptakan pengalaman-pengalaman baru,


dengan harapan semuanya akan menjadi masa lalu yang indah di akhir ajalku.




Terima kasih wahai wanita titipan kakek.


Terima kasih kak Hera.


Terima kasih kalian, yang mungkin akan kukenal di kemudian hari,


Karena kalian akan menjadi masa depanku


Sekaligus masa lalu yang kan kukenang di liang lahat nanti.




Terima kasih, Saeku sayang.




Aku tahu kita memang saling menyayangi.


Seberapa banyak memori indah yang telah kita lewati bersama;


aku tak tahu apakah mungkin kita ‘kan lalui kembali.


Aku bahagia.. bahagia karena mencintaimu.


Aku bahagia karena pernah memilikimu.




Awalnya...


Aku tak bisa memilih kepada siapa cintaku harus kuberikan;


dan aku tak bisa memilah apakah aku mencintaimu karena aku ingin memilikimu berdasarkan keinginan egoku, atau karena memang kau layak dicintai.




Tapi kini...


Aku telah memilih untuk tetap mencintaimu.


Aku tidak mau egois dengan memaksamu menjadi milikku..


Ijinkan aku mencintaimu dengan caraku sendiri


Karena kamu memang layak dicintai.




Terima kasih hidup.


Aku mencintai masa lalu dan kekinianku, aku mencintai bahagia dan dukaku;


Aku mencintai kalian semua apa adanya, sebagaimana aku mencintai diriku sendiri apa adanya.




Aku mencintai kalian semua.


Aku mencintai Sawer dan takdirku.


Dan aku tahu, untuk siapa cinta terbesarku harus kuberikan.


Terima kasih karena kalian telah mengajariku bagaimana seharusnya aku mencintai.




Ini syukurku dan Sawakaku


Atas seluruh gelap dan terang hidupku di masa lalu.


Dan aku ikhlas menyambut masa depanku.

Posting Komentar

0 Komentar