KETIKA SENJA PART 32

 

Third POV:


Perubahan sikap Senja di rumah Almarhum Mang Oyeh, bukan hanya mengundang perhatian Ega, tetapi juga ada orang lain yang ikut merasakannya. Diam-diam ia menyelinap keluar rumah dan bersembunyi di kegelapan. Hatinya diliputi rasa takut dan kecemasan ketika ia melihat Senja berbicara kepada Ega secara tegas tanpa memberi kesempatan sedikitpun bagi Ega untuk berbicara. Ia merasakan ada yang tidak beres dengan Senja, dadanya berdegup kencang dan air matanya tiba-tiba meleleh. Ia kalut karena takut.




Ia segera menyelusup untuk mengejar Senja, namun pemuda itu berlari begitu kencang, tak terhalang gelapnya malam. Akhirnya ia hanya bisa bersimpuh dalam deras air mata dan doa tak terucapnya.




Di tempat lain, tepatnya di sebuah gudang belakang rumah, Pak Ikin sedang duduk bersama lima orang suruhannya. Wajahnya jelas menunjukkan rasa kecewa dan cemas. Juga marah. Sementara kelima pria yang bernama Bara, Sukma, Jaya, Jagad, dan Sena hanya duduk diam sambil menghisap rokok masing-masing. Inilah pertemuan pertama mereka sejak kematian Mang Oyeh.




“Aing menta silaing (saya meminta kalian) melenyapkan pemuda keparat itu. Tapi kenapa malah membunuh Mang Oyeh? Percuma dibayar mahal kalau tugas begini saja tidak becus.” Pak Ikin meluapkan emosinya yang selama ini ia tahan. Matanya melotot dan bibirnya bergetar. Sementara kelima pria di depannya hanya menunduk.


“Kalian dengar, aing sudah mencoba membuat si keparat itu percaya. Aing sudi membeli kopi dan kapol kepadanya meski harganya mahal. Aing oge (juga) sudi menyuruh pacarnya tinggal di rumah aing untuk belajar membuat keripik. Itu semua untuk membuat Senja percaya… Tapi kalian goblok semuanya.”


“Kenapa pada diam? Hayo ngomong!!!”


“Tenang dulu, juragan. Tolong dengarkan penjelasan kami.” Bara membuka suara.


“Saya kira pemuda ini bukan orang sembarangan.” Sahut Jaya.


“Betul, gan. Ia sepertinya punya ilmu pangaweruh.” Kata Sukma.


“Kami sampai tidak bisa melacak keberadaannya. Kami seperti kena ilmu sirep.” Sambung Jagad.


“Bahkan Mang Oyeh pun bisa berubah rupa menjadi Senja, sehingga kami terkelabui.” Tambah Sena.




Mereka membeo bersahutan.




“Anjing!!! Jelaskan yang bener, goblok!” Pak Ikin naik pitam.


“Begini ceritanya, juragan.” Bara memegang kendali. “Sesuai rencana, kami menunggu kepulangan mereka di perbatasan kampung Sawer. Tapi entah bagaimana, kami sangat kelelahan dan tidak bisa melanjutkan perjalanan memasuki kampung. Akhirnya kami bersembunyi di balik semak. Tapi kami seperti kena sirep; kami tertidur. Bahkan hujan deras pun tidak kami rasakan. Kami bangun menjelang magrib dalam keadaan basah kuyup. Kami sempat menunggu beberapa saat, tapi ketika menyadari bahwa kemungkinan mereka sudah lewat kami memutuskan untuk pulang dan mencari kesempatan lain.”


“Tapi setibanya di sasak, kami melihat sosoknya. Kami sempat heran karena ia sendirian. Kami pun langsung menghajarnya tanpa perlawanan berarti, lalu kami melemparnya ke dalam sungai.”




Bara mengakhiri cerita dan diamini keempat rekannya. Pak Ikin hanya menarik nafas panjang antara percaya dan tidak.




“Aing sengaja menahan Mang Oyeh di sini supaya tidak memergoki aksi kalian. Tapi sorenya ia maksa pulang dengan alasan istrinya sedang hamil muda. Tapi silaing malah menghabisinya.” Pak Ikin geram.


“Itu dia, juragan. Kami juga tidak mengerti mengapa Mang Oyeh bisa berubah menjadi sosok Senja sore itu.” Tungkas Jagad.




Semua saling menceritakan aksi mereka sore itu.




Buuuuk. Braaaak.




Perbincangan mereka terhenti ketika ada yang mendobrak pintu gudang. Mereka semua terperanjat. Sosok Senja berdiri di ambang pintu. Wajahnya tenang dan dingin, sorot matanya tajam.




“Sampurasun,” salam Senja datar.


“Ra.. rampes… Nak Senja kok malam-malam ada di desa?” Pak Ikin tergagap.


“Iya pak, saya sengaja datang malam-malam ke mari. Ada urusan yang harus kita selesaikan.” Senja melangkah masuk, membuat kelima orang kepercayaan Pak Ikin berdiri; mereka langsung siaga. Sementara Senja dengan dinginnya melangkah dan meraih rokok 234 milik Sukma dan menyulutnya.




“Waktu kalian hanya sebanyak hisapan batang rokok,” genderang kematian dilontarkan Senja sambil menghembuskan asap pertama dari mulutnya.




Plak. Bluk. Jleb. Sukma yang berada paling dekat dengan Senja menjadi korban pertama pukulannya. Tubuhnya terhuyung, tak siap mendapat serangan mendadak dari Senja.




“Anjing.” Jagad naik pitam. Tinjunya melayang lurus ke wajah Senja. Namun dengan tenang Senja memalingkan wajahnya sedikit, lalu lututnya menghantam perut Jagad yang sempoyongan-terbawa tenaganya sendiri. Jleb. Hmmmf. Aaaarg. Bluuug. Jagad terhuyung dan ambruk.




Senja menghisap kembali rokoknya sebelum ia melayang menjatuhkan diri dan menancapkan sikunya ke atas dada Jagad yang sedang berusaha bangun. Jleeeb. Heeekkk. Kraaaak. Jagad hanya menganga tak mampu bersuara; tubuhnya langsung terhempas tak berdaya. Tulang rusuknya patah.




Ciaaaat. Buuuuk. Sukma yang tadi mendapat pukulun Senja, kini balas menyerang dan menghantam tengkuk Senja dengan tinjunya. Senja Ambruk di atas tubuh Jagad sambil meringis. Merasa berada di atas angin, Sukma melayangkan kembali tinjunya ke arah kepala belakang Senja. Naas bagi Jagad karena dengan gesit Senja segera berguling dan tinju Sukma menghantam hidungnya. Buuuug. Kreeek. Jagad melolong sambil menutup hidungnya. Ia terkulai pingsan.




Dengan gesit, Senja kembali bangkit sambil satu kaki terayun menghantam selangkangan Sukma. Buuuuk. Hmmmmfff. Sukma terhuyung sambil memegang penisnya, matanya melotot nanar dan mulutnya menganga. Seueul. Braaaak, buuuuuk. Jleb. Jleb. Jleeeeb. Senja tidak mau membuang kesempatan. Tendangan dan tinjunya merobohkan tubuh besar Sukma. Ia ambruk tak berdaya.




Senja mengambil kembali rokoknya yang sempat terjatuh. “Waktu kalian tinggal tiga perempat batang lagi.” Suara Senja sangat dingin dan dalam. Matanya tajam memandang Pak Ikin dan tiga pria yang tersisa.




“Anjiiiiing…!” Sreeeet. Traaaang. Bara, Jaya, dan Sena serentak menghunus golok masing-masing. Sementara Pak Ikin mundur ke dinding belakang gudang, dikawal oleh Bara.




Wuuuuuut. Jaya dan Sena mengayunkan golok mereka. Wuuuusssh. Golok Jaya menyasar leher Senja sedangkan Sena siap mencabik perutnya.




“Huuuf.” Senja terperangah sesaat. Buru-buru ia melangkah ke samping, untuk mengamankan perutnya dari golok Sena, dan kepalanya merunduk untuk menghindari serangan Jaya sehingga sambaran golok Jaya hanya melesat di atas kepalanya. Naas bagi Senja. Ketika tangannya menangkis pergelangan lengan Sena, Jaya berhasil menghantam punggungnya; Senja tersungkur sambil mengeluh pendek. Dadanya terhempas ke lantai. Tapi pemuda ini terlalu kuat.




Senja lekas berguling dan bergegas bangkit. Sementara Jaya sudah melompat menerjang sambil mengayunkan golok. Breeeeet. Sleeeep. Brruuuuk. Senja berhasil menghindar sehingga golok Jaya hanya membabat karung kopi; isinya berhamburan. Fokus Senja pada Jaya membuatnya sedikit lengah pada gerakan Sena. Sreeeeet. Buuuuuk. Brukkk. Sapuan kaki Sena menghantam lutut belakang Senja membuatnya terpental dan kembali ambruk. Rokok di bibirnya terpental.




“Cuiiiih. Dasar anak kemarin sore. Punya nyali tapi kemampuan hanya sebatas teri.” Sena menyeringai menang sambil menginjak rokok Senja sampai mati. Senja tetap berbaring waspada sambil menahan nyeri. 


“Dengan mematikan rokok itu, berarti kalian telah memperpanjang penderitaan kalian.” Senja mencoba memancing emosi lawannya.




Benar saja. Emosi Sena tersulut. Tubuhnya melayang sambil menghunuskan golok. Naas, kakinya mendarat pada biji kopi yang berserakan sehingga ia terpeleset dan oleng. Senja tak mau membuang kesempatan. Ia mengayunkan kakinya dan melakukan guntingan. Wuuuush… buuuuuk…. Brrruuuuk. Tubuh Sena terjengkang ke belakang. Dengan sangat gesit Senja berguling dan menyambut tubuh melayang Sukma dengan tekukan lututnya.




Duuuk. Jleeeeb.




“Aaaaaarrrg… anjiiiing!” Sena melolong dan ambruk. Tulang punggungnya patah sehingga tak lagi mampu bergerak.




Senja menyadari ada bahaya lain. Ada hembusan angin kencang yang menyasar. Kilauan golok Jaya menyambar lehernya yang masih terhempas di lantai. Tak ada pilihan lain. Dengan cepat Senja menangkap pergelangan tangan Jaya dan sedikit menghempasnya ke samping. Traaaang. Ujung golok membetur lantai semen, sementara bilah tajamnya tinggal beberapa senti di atas kulit lehernya. Adu dorong pun terjadi.




Hanya dalam hitungan sepersekian detik Senja mengumpulkan seluruh kekuatan di tangannya, sementara kakinya menjejak pangkal betis Jaya sehingga terpeleset. Brukkk. Jaya kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terhempas menyilang di atas dada Senja. Sigap Senja mendorong tangan Jaya sehingga lehernya terhindar dari golok yang mengancamnya.




Senja segera mengunci leher Jaya sambil menggulingkan badan. Lututnya menghentak pergelangan tangan Jaya sehingga goloknya terlepas. Senja yang masih muda jauh lebih bertenaga. Tanpa memberi kesempatan, ia segera memilin dagu Jaya ke samping dan memutarnya. Kreeeek. Kraaaak. Heeek. Dalam sekali putaran, Jaya terhempas tanpa daya. Ia tak sadarkan diri.




Senja segera mengayunkan kedua kakinya ke atas dan dengan gesit menapak sambil mengangkat tubuhnya. Ia kembali berdiri sambil memasang kuda-kuda.




“Edan! Kuat sekali anak ini!” Bara yang melihat keempat anak buahnya tak berdaya mendengus marah. Sementara Senja dengan dingin meraih puntung rokoknya yang tinggal setengah, lalu menyulutnya dengan korek dari saku celananya. Sikap Senja tentu saja mengundang amarah Bara. Ia merasa di lecehkan.


“Setaaaaan!!! Ciaaaat…” Bara meloncat sambil mengibaskan goloknya dengan cepat ke arah tubuh Senja. Senja melompat ke belakang, sehingga sambaran golok itu tidak menemui sasaran. Dan belum sempat Senja berbuat sesuatu, kembali Bara menyerang membabi buta. Senja hanya bisa berkelit berlompatan tanpa mampu membalas. Baik golok, pukulan dan tendangan Bara tidak berarti sama sekali terhadap Senja.




Dalam sekali kesempatan Senja berkelit sambil melayangkan tinjunya ke muka Bara, namun Bara lebih sigap. Buuuuuk. Tinju tangan kiri Bara mendarat lebih cepat di pelipis Senja. Tak ayal lagi, tubuh Senja terjengkang dan tubuhnya terhempas di atas karung kopi. Kepalanya limbung.




Bara yang merasa di atas angin, segera mengayunkan kakinya. Buuuk… “Oeeeek” Senja memegang perut. Ia bergulung menahan sakit. “Hahaha…” Bara terlalu pongah, ia berpikir Senja sudah tidak berdaya. Wuuuuut… goloknya mengayun. Jleeeeeeb.




“Wadaaaaauuu…”




Bara teriak. Goloknya hanya menusuk karung, sementara perutnya mules disambut hentakan kaki Senja.




Keduanya bangkit sambil terhuyung. Merasa disepelekan oleh anak kemarin sore, Bara segera menyerang kembali dengan ganas. Ayunan golok, tinju dan tendangan menyerbu silih berganti. Gencar dan berbahaya. Senja yang sudah merasakan kerasnya pukulan Bara, tidak mau lengah lagi. Tenaga Bara jauh lebih kuat daripada keempat anak buahnya. Ia segera menangkis, meloncat, dan balik menyerang. Keduanya saling jual-beli serangan, tanpa satu pun yang mengenai sasaran.




Melihat Bara tak memberinya kesempatan sedikit pun, Senja segera meloncat sambil menghisap kembali rokoknya. Kali ini Senja yang mengambil inisiatif serangan. Ia mengerahkan semua kekuatannya dengan melayangkan pukulan, tendangan, sapuan. Namun Bara dengan gesit bisa menghindar. Semua serangan Senja hanya memukul angin.




“Rasakan setaaan...!” Bara berteriak menyerang. Dikibaskan goloknya dengan kecepatan penuh. Senja terperangah sesaat. Ia berkelit sambil mendoyongkan tubuhnya ke belakang. Sambaran golok besar itu berhasil dielakan. Tapi angin sambarannya membuat Senja limbung. Dalam keadaan seperti itu, Senja tidak mungkin menghindari pukulan tangan kiri lawannya. Buuuuk. Heeeeek. Pukulan itu telak menghantam dadanya. Senja mengeluh pendek. Dari mulutnya mengucur darah segar. Saat tubuhnya terjajar ke belakang, satu sabitan ujung golok menyayat lengan-kiri-atasnya. Senja terpekik sambil memegang luka yang mengucur darah.




“Ha... ha... ha...!” Bara yang merasa di atas angin tertawa puas. Sementara Senja meringis menahan perih. “Sekarang kau yang tak punya waktu, setan. Majulah!! Jauh-jauh kau datang hanya untuk mengantarkan nyawa!” Bara menghina dengan lantang. Senja hanya mendengus.




Cepat sekali Bara melompat sambil menghantamkan goloknya ke tubuh Senja. Tapi hanya dengan memiringkan tubuhnya sedikit, Senja berhasil mengelakkan tebasan golok itu. Dan tanpa diduga sama sekali, tangan Senja berhasil menyodok ke perut. Buuuuuk. “Ups…!” Bara terkejut, dan badannya sedikit terhuyung.




Dengan cepat, Senja melontarkan pukulan beruntun ke arah perut dan dada Bara. Buk. Buuuk. Jleb! Jleb! Wuuuush… Buuuuuuk. Senja memberi pukulan terakhir yang tepat mendarat di bawah dagu Bara. 




“Aaaaarrrggghhhh!!” Tubuh Bara terjengkang dan goloknya terpental.




Senja langsung mengambil kendali. Sambil menjatuhkan diri ia melepaskan satu pukulan keras ke arah perut. Pukulannya tidak terbendung lagi. Heeeeeekkkk. Oeeekkkkk. Bara memuntahkan darah.




“Cuiiiih.” Senja bangkit sambil meludah dan membuang puntung rokok dari bibirnya. Tepat satu batang rokok ia habiskan. Sementara Bara hanya memandang geram karena amarah, tetapi sudah tidak berdaya lagi. Ambek nyedek tanaga midek (nafsu makin besar tapi tak punya tenaga lagi).


“Duduk!” Senja memandang dingin Pak Ikin yang sedang melongo tak percaya. Tubuh gemetarnya beringsut menuju kursi kayu, sementara Senja hanya berdiri sambil meraih sebatang rokok lagi. Setelah dinyalakan, ia membuka baju kampret-nya. Breeeet. Ia sobek lalu ia ikatkan pada lengan atasnya yang masih mengucur darah segar.


“Selama ini bapak sudah mengkhianati kepercayaan saya, dan bapak telah melenyapkan nyawa Mang Oyeh yang tidak bersalah. Kali ini bapak selamat karena saya masih menghormati Pak RT dan Ratna. Tapi ingaaat!!! Tidak ada kesempatan kedua!” Senja menghardik geram.




Pak Ikin hanya menunduk gentar; tubuhnya berpeluh keringat dingin. Kini ia bukan sedang melihat sosok Senja yang lembut, melainkan bayangan seorang pembunuh.




“Bawa mereka semua keluar!” Bentak Senja sambil menunjuk orang-orang suruhan Pak Ikin. Bagai kebo dicucuk hidungnya, Pak Ikin menuruti perintah Senja. Dibantu Bara yang terhuyung, mereka menyeret tubuh Sukma, Jaya, Jagad dan Sena keluar gudang.




Setelah semua keluar, Senja menendang jerigen minyak tanah. Buuuuk. Byuuuuur. Klik. Wuussssh. Api menyala membakar seluruh isi gudang. Lalu tubuhnya melesat, ditelan kegelapan malam.

Posting Komentar

0 Komentar