PEMBALASAN DENDAM
Tiga hari aku berbaring di tempat tidur. Banyak tetangga yang menjenggukku, tak terkecuali Bu Rohmah, Ratna, dan ketiga sahabatku yang datang setiap hari. Tak ketinggalan Bu RT pun datang sambil membawa pepes ikan, masakan kebanggaannya; juga kedua orangtua Sae. Aku senang atas perhatian mereka, tapi bukan ini yang kubutuhkan. Aku butuh Saeku. Aku ingin ia selalu ada di masa sakitku, tapi harapan tidak menjadi kenyataan. Sae tidak pernah muncul, dan orang-orang selalu mengalihkan pembicaraan ketika aku menanyakannya. Mungkin ini pulalah yang membuat sakitku tak kunjung sembuh.
Kini badanku sudah segar kembali. Malam ini hampir seluruh warga berkumpul di rumah Bi Iyah, meskipun yang punya rumah masih mengurung diri di kamar ditemani mertuanya. Ya. Hari ini adalah tahlilan hari ketujuh atas meninggalnya Mang Oyes. Aku duduk di samping pintu keluar, dengan pandangan selalu terpaku pada sosok yang duduk di pojok; tidak sekalipun ia melirikku. Sakit. Ia sudah benar-benar tak peduli. Dia gadisku, Saeku, sudah benar-benar membenciku.
Aku tidak bisa khusyuk berdoa, hatiku perih, dan pikiranku melayang.
Pagi ini badanku terasa sudah segar setelah tiga hari ini dicekoki jamu buatan Bu Rohmah. Ibu hanya pulang sebentar untuk menengok keadaanku dan menyiapkan sarapan, setelah melihatku sembuh ibu tampak tenang dan kembali ke sawah sambil membawa makanan untuk bapak.
Aku bangun dan turun dari dipan, Ardan masih ngorok di atas tikar sementara Ega dan Jaka sedang minum kopi sambil merokok di ruang depan.
“Widih.. sang pangeran sudah bangun dari pembaringan.” Ledek Jaka. Aku cuma nyeringai sambil beranjak ke dapur. Kuraih gayung dan kuambil air dalam gentong; kubasuh mukaku seperlunya.
“Ja, maafkan aku. Gara-gara peristiwa tempo hari kamu jadi sakit begini.” Tiba-tiba Jaka sudah berdiri di belakangku. Kuciprat mukanya dengan air di tangan.
“Kamu ngomong apa sih, nyet? Aku sakit bukan karenamu, tapi karena kehujanan. Kamu santai aja.”
“Tapi Ja…”
“Udah lupakan. Yang penting semua bisa dikendalikan. Sekarang buatkan kopi ama sarapan, lapar nih ingin mamayu (makan enak pasca sakit).”
Jaka mendengus kesal, tapi aku tidak peduli. Aku kembali masuk dan duduk di samping Ega sambil meraih rokok miliknya; tak lama kemudian Jaka datang membawa secangkir kopi dan sepiring nasi, urab daun singkong dan pepes ikan. Jaka masih ngedumel dan hanya ditanggapi gelak Ega.
Kuseruput kopi dan kucicipi urab daun singkong. Tidak salah lagi, ini urab masakan Sae, aku tidak bisa melupakan rasanya. Siapa yang bawa?
“Siapa yang masak urab, Ka?” Selidikku.
“Bu Inah lah, siapa lagi? Kemarin bawain urab dan pepes ikan.” Jawab Jaka.
“Ohhh..” Singkatku, tak percaya.
Kumatikan rokokku lalu makan dengan lahap. Ega dan Jaka menemaniku makan sambil ngobrol ringan. Tak lama kemudian Ardan datang dengan rambut acak-acakan dan mata belekan. Kami habiskan pagi dengan kegembiraan menyambut kesembuhanku. Tapi aku masih penasaran akan apa yang mereka sembunyikan.
Setelah mengembalikan piring dan cuci tangan aku kembali ke tengah sahabat-sahabatku.
“Sekarang jujur apa yang terjadi selama tiga hari ini.” Aku memberi perintah tanpa basa-basi sambil menyulut rokok.
“Maneh nyaho naon?” (Kamu tahu apa?). Ardan nampak terkejut sambil menyeruput kopi milik Jaka.
“Udah jangan bohong.” Aku anteng memainkan asap rokok yang keluar dari mulutku.
Mereka diam dan saling pandang. Kompak menghembuskan nafas berat.
“Mang Oyeh meninggal, Ja.” Suara Ega berat.
Jedeeeeer.
Aku kaget luar biasa, rokokku terjatuh dari bibirku. Mataku melotot tajam meminta kepastian. Tak ada kebohongan di wajahnya.
“Cepat ceritakan!” Etah kenapa, tiba-tiba aku merasa marah dan naik darah.
“jadi begini ceritanya, Ja. Sehari setelah kita pulang dari desa atau pagi hari pas kamu mulai sakit, ada utusan lurah ke sini yang memberitahukan kabar kematian Mang Oyeh. Hari itu seluruh warga desa gempar karena ada warga yang menemukan mayat Mang Oyeh tersangkut di batu kali, tubuhnya babak belur.”
Hatiku terguncang mendengarnya, lalu aku pindah duduk bersender di tiang bilik. Kupanggil Sawaka supaya pulang dari perbatasan. Jaka dan Ardan hanya diam.
“Mendengar itu, kami bertiga, Pak RT dan beberapa orangtua langsung turun ke desa. Setibanya kami di sana, jenazah Mang Oyeh sudah dibawa ke balai desa. Mengerikan, Ja. Tubuhnya biru-biru dan tubuhnya sudah mengembung karena kemasukan air. Menurut keterangan aparat kemungkinan Mang Oyeh jatuh di sasak dan hanyut sehingga membuat badannya memar dan biru. Setelah urusan di desa selesai, siang itu juga kami langsung membawa jenazahnya pulang dibantu beberapa pemuda dari desa dan kampung Ewer; dan sorenya langsung kami makamkan.”
Air mataku menetes, dan Ardan menangis.
“Karena itulah hari itu kami baru bisa menjengukmu malam hari, sementara Jaka menggantikan bapakmu jaga padi di sawah. Untung ada Bu Rohmah yang merawatmu, karena kami semua sibuk mengurus pemakamannya. Semua warga sedang berduka. Kami sengaja merahasiakannya, karena takut membuatmu semakin ngedrop mengingat sakitmu cukup parah.”
Kupandang Sawaka yang duduk di ambang pintu.
“Jadi tiga hari ini kami seolah bersikap biasa, padahal kami semua berduka.” Pungkas Ega.
Sedih. Marah. Kecewa.
Dadaku bergolak menahan semua rasa. Aku sedih meratapi kematian orang sebaik Mang Oyeh, meratapi kesedihan Bi Iyah yang sedang hamil muda.
Aku tidak bisa marah kepada ketiga sahabat atau orang-orang yang ada di sekitarku yang berusaha menutupi peristiwa duka ini dari padaku. Aku mengerti maksud baik mereka. Tapi aku marah pada kondisiku yang harus tertimpa sakit, marah juga pada kabar yang Sawaka bawa. Aku juga kecewa pada diriku sendiri yang siang itu tidak terlalu peka.
"Hatiku merasakan kebahagiaan Mang Oyeh, dan ada rasa sesal dan sakit di dadaku. Kenapa perasaanku menjadi tidak enak begini."
Kucoba redam semua emosiku. Kuseruput kopi dan kunyalakan kembali sebatang rokok. Jaka kemudian menceritakan kesimpulan-kesimpulannya seputar kematian Mang Oyeh, yang semuanya tidak masuk akal bagiku. Sementara Ardan menceritakan kondisi Bi Iyah saat ini; ia masih meratapi kematian suaminya dan belum bisa menerima kenyataan; ia masih tidak mau keluar kamar.
“Rencanamu bagaimana, Ar?” Ega bertanya kepada Ardan.
“Maksudnya apa?” Heranku.
“Kamu ingat candaanku, Ja?”
“Ardan, hayangeun kawin, Ja. Teu sabar hayang lamaran, tapi ku aing teu meunang. Kudu ngadagoan waktuna heula (Ardan, pengen kawin, Ja. Sudah tidak sabar ingin lamaran, tapi kularang. Harus menunggu waktunya dulu).”
Aku mengangguk. “Sekarang kita dengar dari Ardan langsung.” Lanjut Ega sambil meminta Ardan untuk berbicara.
“Jadi gini, lur. Kalian sudah tahu semua tentang perselingkuhanku dengan Bi Iyah sampai ia hamil.” Ardan menarik nafas panjang. Aku tegang mendengarkan.
“Aku sangat menyayanginya; rasa itu tumbuh dengan sendirinya seiring perjalanan waktu perselingkuhan kami. Sampai aku memutuskan untuk mengakhirinya, dan berjanji untuk tidak mengganggu rumah tangga mereka lagi. Kami sepakat untuk mengakhiri perselingkuhan pada malam setelah Senja pingsan.”
Ardan berhenti sejenak untuk menyeruput kopi.
“Ini semua di luar dugaan, sangat tidak menyangka. Tapi dengan ini aku yakin, nanti setelah masa berkabung lewat aku akan melamar Bi Iyah dan menikahinya. Aku bukan mau memanfaatkan status Bi Iyah yang sudah jadi janda, tapi kulakukan karena memang rasa sayangku.”
Aku menangkap ketulusan dan kejujuran Ardan.
“Tapi kemarin sore sebelum berangkat tahlilan, kedua orangtuaku marah besar ketika mendengar rencanaku. Mereka sangat menentang dan tidak setuju. Alasannya karena rentang usia kami yang beda tujuh belas tahun. ‘Tabu’, itu kata mereka. Di sisi lain, Bi Iyah juga belum tentu mau menerimaku. Tadinya aku ingin menyampaikan rencana ini secepatnya kepada Bi Iyah, tapi Ega menyarankan untuk menunggu setelah empat puluh hari dulu; menunggu masa berkabung lewat sambil menunggu Bi Iyah kembali tenang.”
Aku diam. Jaka tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya, sementara Ega dan Ardan tetap tenang.
“Aku setuju dengan usulan Ega. Dan aku percaya pada niat tulusmu, Ar. Kamu harus mendekati Bi Iyah dengan pelan-pelan; jangan buru-buru. Hargai juga perasaan dan kondisinya yang sedang berduka. Soal kedua orangtuamu biar aku yang bantu.” Kataku tegas.
“Kita bicarakan ini lebih lanjut sepulangku dari Bandung. Sementara kita jalani semua pekerjaan kita dengan normal.” Lanjutku.
Dari kami bertiga, hanya Jaka yang menentang rencana Ardan, aku dan Ega cukup mengerti dan setuju. Ardan bukannya mau memanfaatkan situasi, tapi ia memang tulus menyayangi Bi Iyah. Aku harus membantunya.
“Terima kasih untuk kalian semua yang telah menemaniku selama sakit. Aku mau mandi dulu, nanti malam kita ketemu di rumah Bi Iyah.” Kataku.
Dan kami pun bubar.
Sepulang dari tampian, Ratna sudah menungguku di depan rumah.
“Sudah sembuh, A?” Sapanya.
“Sudah Rat. Terima kasih ya selama ini telah membantu merawatku.” Jawabku sambil menjemur handuk.
“Maafkan Ratna, ya A. Gara-gara Ratna, A Senja jadi kurang istirahat dan sakit.” Sedihnya.
“Kamu tenang aja, Rat. Aku sakit karena kehujanan saja, bukan gara-gara kalian.” Ratna hanya mengangguk.
“Gimana ibumu? Kalian sudah beneran saling memaafkan?”
“Kami baik-baik saja, A. Ratna sudah melupakan semua kesalahan ibu.” Jawabnya.
“Oh iya. Apa syaratmu sehingga kamu benar-benar bisa memaafkan aku?”
Ratna mematung.
“Rat?”
Ia menarik nafas.
“Ratna.. Ratna sayang A Senja.” Aku bengong. Kaget mendengarnya.
“Ratna? Apa maksudkmu?”
“Hiks… hiks… Ratna sudah lama menyayangi A Senja. Maaf.. maafkan Ratna kalau selama ini Ratna tidak jujur dan hanya menjadikan A Ega sebagai pelarianku saja. Hiiiks.”
Aku mematung diam mendengar pengakuannya.
“Ratna ingin A Senja menjadi pacarku. Aku rela melepaskan A Ega demi A Senja. Hiks…hiks…”
Kuusap wajahku. Urusanku dengan Sae belum kuselesaikan, kini sudah datang lagi masalah baru. Aku menghembuskan nafas panjang untuk menguasai diri.
“Terima kasih atas kejujuranmu, Rat. Aku menghargai itu. Tapi maaf aku tidak bisa. Sae adalah segalanya bagiku.”
“Tapi A…”
“Sudah sekarang kamu pulang. Tidak usah berpikir macam-macam dan sayangi Egamu dengan setulus hati.
“A.. Ratna, mohon…”
“Ratna!” Aku mulai tidak sabar. “Maaf, aku sudah mengatakannya, dan aku tidak akan merubah keputusan-cintaku. Dan sekarang aku akan menemui Sae. Maaf, ya Rat. Sampai ketemu di penggilingan.”
Aku masuk ke dalam rumah untuk berganti baju. Ratna masih mematung ketika aku keluar. Aku hanya bisa menghela nafas. “Rat.. maaf aku mau ke rumah Sae, sebaiknya kamu juga pulang.” Ratna mengangguk, lalu berlari sambil menangis.
Aku menghela nafas berat. Mataku lekat memandang Saeku. Tak ada lagi sinar di wajahnya, hari-harinya yang biasa riang kini berubah murung. Lihat aku, Sa. Pandang aku. Tapi keinginan hati hanya sebatas kerinduan, tak sedikit pun Sae melirikku. Aku kangen galakmu, Sa. Kangen manjamu, kangen ceriwismu, kangen keras kepalamu.
Sae tampaknya sudah benar-benar menutup hatinya. Akankah ini hanya sementara seperti katamu? Sampai kapan, Sa?
“Sa..” Aku memandang wajahnya yang mematung di ambang pintu rumahnya. Bu Euis bergegas ke dapur untuk memberi kesempatan kepada kami berdua saling berbicara.
Sae hanya mematung. Wajahnya dingin tanpa ekspresi.
“Boleh kita ngobrol sambil duduk?” Aku memohon.
“Ngomong aja sekarang.” Tanpa beranjak sedikit pun.
“Gini Sa. Aku mau menjelaskan peristiwa tempo hari.” Aku menarik nafas panjang.
“Pas kamu memergokiku berpelukan dengan Ratna.”
“Ya. Lalu?”
“Sa tolong…”
“Hayo ngomong, atau aku tinggal nih?”
“I.. iya ya, Sa.” Aku urung memohon supaya Sae bersikap lebih lunak dan mengajaknya duduk bersama.
Aku pun menjelaskan duduk perkara sore itu. Aku jelaskan sedetil dan sejujur mungkin.
“Gitu Sa ceritanya. Aku mohon kamu jangan salah paham, say..”
“Jangan lagi panggil aku ‘sayang’!” Matanya melotot.
“Kamu tidak percaya ceritaku, Sa? Kamu tidak mau memaafkan aku? Kamu bisa meminta penjelasan Ratna kalau kamu tidak percaya.” Aku memelas.
“Aku sudah menanyakan sendiri kepada Ratna!” Sae masih ketus dan berbicara singkat-singkat.
“Lalu?”
“Cerita kalian beda, dan aku lebih memercayai Ratna, daripada kamu.”
Jegeeeeeer.
Tanganku mengepal penuh emosi. Kuingat kejadian barusan dengan Ratna. Aku benar-benar marah; Ratna pasti sudah memberikan penjelasan palsu.
“Dia bilang apa, Sa? Aku bersedia kita ngobrol bertiga.”
“Cukup, Ja. Kamu tidak perlu cari berbagai cara dan alasan. Cukuuup!! Jangan lagi membuatku semakin kecewa!” Suara Sae mulai meninggi.
“Dan…” Sae menarik nafas sambil mengepalkan kedua tangannya.
“Aku mohon.. kamu jangan dulu menemui aku. Aku sudah cukup kecewa sama kamu.”
“Jadi kita.. kita… pu..”
“Aku bilang jangan dulu temui aku!” Lagi-lagi Sae menukasku.
“Sae???” Aku mulai terbawa emosi.
“Kamu tidak mengerti juga, Ja? Kamu tahu aku, dan aku tidak main-main dengan permintaanku.” Suara Sae tak kalah meninggi.
“Aaaargggh… Sae.. kamu… arrrgh…” Aku sangat emosi.
“Terima kasih, Sa. Terima kasih.” Suaraku bergetar karena marah dan sedih. Aku tak mau emosiku meledak di sini. Aku melangkah pergi dengan segala kecamuk rasaku.
Aku terkejut dan sadar dari lamunanku ketika Abah Barja menanyakan keadaan kesehatanku. Rupanya cukup lama aku melamun sampai tidak menyadari doa telah selesai. “Ba..baik, bah. Sudah mendingan.” Aku tergagap. Dan kami pun berbasa-basi sebentar.
Sementara warga minum hidangan, aku pergi ke luar rumah. Terlalu sakit harus melihat orang yang paling kusayangi sudah berubah dan tak lagi peduli pada kehadiranku. Mungkin masih ada waktu suatu saat nanti untuk memperbaikinya kembali. Semoga.
Aku pun tak mau lagi peduli dengan diri sendiri. Kalau Sae saja bisa mengabaikanku, kenapa aku tidak bisa mengabaikan diri sendiri. Lupakan sejenak aku dan Saeku. Malam ini ada urusan yang lebih penting. Aku semakin membulatkan tekad untuk membalas dendam. Masa berkabung tujuh hari baru saja lewat, saatnya nyawa ganti nyawa dan gigi ganti gigi. Darahku mendidih, rasa sedihku berubah menjadi amarah. Nafasku tersengal; tunggu pembalasanku.
Aku beranjak keluar. Ega menyusulku. Ia tampak curiga akan perubahan sikapku.
“Ga, kalau ada apa-apa denganku, aku titipkan semuanya.” Ucapku datar. “Sekarang tidak usah banyak bertanya, kalau tiga hari aku tidak pulang, kamu baru boleh mencariku. Dan awas.. kamu jangan menceritakan kepergianku kepada siapapun!” Aku memotong Ega yang sudah mau bertanya sambil mengancamnya.
Aku menunjuk wajah Ega sambil melotot, ketika kulihat ia mau mencegahku. Raut takut dan heran tergurat di wajahnya; tapi ia hanya bisa mematung ketika melihat ekpresiku. Aku melangkah cepat menerobos pekatnya malam. Tekadku sudah bulat. Malam ini harus diselesaikan.
Aku dan Sawaka berlari kencang ke makam Mang Oyeh. Kubersihkan pusaranya dari beberapa helai daun yang berjatuhan. Kuungkapkan semua sedih dan sesalku di hadapan gundukan tanah merah ini. Aku menangis dan kuakui semua kejahatan rencanaku selama ini. Sejam aku meratap di hadapan pusara Mang Oyeh.
“Sawaka, nanti kamu tunggu aku di sasak. Kamu tidak aku perkenankan ikut campur. Ini urusan antara manusia dengan manusia, antara laki-laki dengan laki-laki. Tugasmu hanya membawaku pulang kalau terjadi apa-apa.” Ucapku tegas kepada Sawaka. Lalu kami melesat membelah malam, mataku menyala menebar amarah.
0 Komentar