PERJALANAN, CINTA, DAN LUKA
Badanku terasa pegal setelah hujan-hujanan sepanjang sore ini. Meski hatiku senang karena seharian bersama dengan Sae, tetap saja tubuh menuntut perhatian untuk diistirahatkan. Aku berbaring di dalam kamarku. Bapak dan ibu sudah pergi ke sawah untuk menjaga padi. Perutku terasa lapar, tapi Sae belum kunjung datang. Tadi sebelum berpisah ia janji akan datang mengantarkan makan malam untukku.
Kupandang langit-langit kamar sambil mengenang semua kejadian hari ini, wajah Sae, Bu Haji, Ega, dan Ratna muncul bergantian di benakku. Kuhadirkan semua kenangan hari ini. Kucium gelang pemberian Sae sambil terpejam, dan kuingat Saeku sore tadi:
“Kalau aku ikut, aku tidak bisa mewakili dirimu untuk ngurus usaha kita, sayang. Kalau aku di sini, kamu bisa menyelesaikan tugas dari kakekmu, dan aku tetap bisa melanjutkan mimpimu untuk mendatang kesejahteraan warga kita. Jadi dua-duanya bisa berjalan bersama, sampai akhirnya kita bersama kembali.”
“Tidak, Sa. Aku tidak bisa.” “Aaaarghhh… Senjaaa!! Kamu memang keras kepala. Aku kecewa sama kamu.” Sae melepaskan pelukannya dan melotot marah.
“Maaf.”
Aku menunduk.
“Cape ngomong sama kamu. Mendingan pulang aja.” Sae beranjak dan berlari menembus hujan. Ia pergi hanya dengan mengenakan sarung dan selendang pemberianku yang membungkus tubuhnya.
“Sayaaang. Masih hujan. Ini pakaianmu….” Hadeuh.. segera kuraih pakaian basah Sae dan semua bawaanku. Aku menerobos hujan menyusulnya.
“Sayang, tunggu!” Aku tergopoh menyusulnya. Tapi Sae tetap berlari sambil terisak.
“Sayang, dengarkan aku dulu.”
Aku mendahului Sae dan menghalangi jalannya. Tubuh kami sudah kembali basah kuyup.
“Minggir gak?” Galaknya.
“Nggak!”
“Minggir!!”
“Tidak!!” Aku tak kalah tegas. “Dengarkan aku dulu. Kita kan bisa bicarakan baik-baik, jangan asal pergi aja kayak gini.”
“Apa? Gak suka??” Sae tetap galak.
Hadeuh. Aku memeluk tubuh Sae, tapi ia hanya mematung tanpa membalas.
“Sayang, aku menyayangimu. Aku takut kalau harus berpisah. Kamu mungkin sanggup, tapi aku tidak, Sa. Aku tak bisa. Aku tahu resikonya kalau aku mengabaikan amanah ini, tapi aku gak mau jauh dari kamu, Sa. Gak bisa.” “Tapi aku lebih memilih berpisah sementara daripada kehilangan kamu selamanya. Hiks.. hiks…” Sae mulai membalas pelukanku.
“Gini aja. Gimana kalau kita menikah dulu, lalu kita pergi bersama?” Usulku, mencoba melawan mimpi untuk tidak nikah muda.
“Tidak, Ja. Tidak. Kamu harus menyelesaikan tugasmu, sementara usaha kopi kita juga harus tetap jalan. Kedua-duanya harus sukses bersamaan. Mereka butuh kamu, Ja. Kalau kamu pergi, biarlah aku yang menggantikan peranmu di sini. Hiks… hiks…”
Aku hanya bisa menarik nafas panjang sambil mengeratkan pelukanku. Kamu terlalu keras kepala, Sa. Kamu tidak tahu betapa sayangnya aku ke kamu.
“Gimana kalau kita tetap nikah dulu? Setelahnya aku pergi, dan kamu tetap tinggal di sini.” Aku masih mencoba mencari alasan.
“Kamu gak percaya ke aku, ya sayang?” Katanya sambil melepaskan diri dari pelukanku.
“Aku akan selalu menunggumu. Dan aku akan membantu cita-citamu untuk menikah setelah kamu sukses. Umur kita baru akan genap 18 tahun, Ja. Raih dulu cita-citamu, dan aku akan membantumu mewujudkannya.”
“Sa..”
“Aku hanya mau menikah setelah kamu menyelesaikan tugasmu.” Sae memotongku dengan tegas. Aku hanya bisa menarik nafas panjang. Aku tak tahu lagi apakah air hujan atau air mata yang meleleh di pipiku.
“Oke sayang. Aku pikir-pikir dulu beberapa minggu ini. Pulang dari Bandung aku kasih keputusan.” Aku memberi janji yang aku sendiri tidak yakin apakah bisa menepatinya.
“Janji?” Aku hanya bisa mengangguk gamang. Aku sendiri tidak yakin, sayang, aku cuma ingin membuatmu tenang sekarang.
“Aku sayang kamu. Muaaaaach.”
Sae mencium bibirku, dan kami berciuman lama. Nafas kami menderas bersama curah hujan. Kupeluk tubuhnya lekat. Aku sudah rindu kamu bahkan sebelum aku meninggalkanmu, sayang.
“Bahkan sebelum kamu pergi, aku sudah terlebih dahulu merindukanmu, Senjaku sayang.” Desahnya sambil melepas bibirnya. Heeeh? Ajaib nih gadisku.
“Ya udah sekarang pake dulu pakaianmu, jangan hanya mengenakan samping begitu.” Aku menyodorkan kaos dan roknya yang basah.
“Gak mau. Gini aja!” Merengut.
“Sayang, nanti kalau dilihat orang tidak enak, disangkanya kita habis ngapa-ngapain. Ini di kampung, sayang. Tabu.”
“Kalau aku bilang gak mau, ya gak mau.” Makin merengut. Fiuuuuh. “Dengar sayang. Aku tidak mau ada orang lain melihat tubuhmu kayak gini. Gak boleh. Hanya aku yang boleh memandang keindahan tubuhmu dan memilikinya.”
“Hihi.. oke sayang.” Fiuuuh.. Akhirnya… “Nih..” Aku menyodorkan pakaiannya. “Aku gak akan ngintip.”
Dan aku pun terlelap.
Entah sudah berapa lama aku tertidur, ketika terbangun karena ada suara tangisan dari arah dapur. Kukucek mataku dan kupulangkan kesadaranku. Tergopoh aku keluar kamar, kulihat jam di dinding sudah menunjukkan hampir jam enam sore. Aku hanya tidur sejam rupanya.
Aku melongok melalui pintu dapur. Mataku yang masih terkantuk seketika terbelalak. Dalam keremangan senja, seorang gadis sedang duduk di atas jojodog. Ratna. Tubuh basahnya sedang memeluk lutut sambil segukan menangis. Setengah kulit punggungnya tampak halus. Paha kirinya terbuka utuh, tak ada tanda-tanda celana dalam yang melekat. Aku terpana, poriku meremang. Sejenak lupa pada kondisi tangisannya. Setelah melihat tubuh polos Bi Iyah, Bu Rohmah, dan Bu RT Inah, Ratna nyaris menjadi wanita keempat yang bisa kunikmati keindahannya, meski tidak polos sutuhnya. Gadis berusia 16 tahun ini nampak ranum menggemaskan.
Aku benar-benar terpana. Menyaksikan tubuh setengah telanjang memang jauh menggugah rangsang, daripada melihat wanita telanjang. Setelah sekuat tenaga menahan diri dari godaan Sae sepanjang sore, kini di depan mataku terpampang godaan yang lebih besar. Sawaka, kamu di mana?
Setelah menyebut nama Sawaka, aku kembali sadar. Kualihkan pandanganku dari tubuhnya. “Ratna?” Panggilku. Tubuhnya makin terguncang dan tangisnya makin keras. Aku hanya bisa menarik nafas panjang; kubiarkan sejenak menunggu ia tenang. Kunyalakan lampu dapur, lalu kuraih handukku yang menggantung dan memberikannya kepada Ratna. Ia menepisnya.
Kututupkan ke atas punggungnya, tapi Ratna malah menghempaskannya. Aku benar-benar bingung. Sambil berusaha menghindar menatap tubuhnya, kuraih jojodog satunya dan duduk di sebelahnya. Ia menyandarkan kepalanya di pundakku; membuat jantungku berdebar.
Aku hanya bisa mendiam, mendengar tangis pilu itu. Sebisa mungkin, tanpa melepas senderan kepalanya, aku mengatur kayu bakar di dalam tungku dan menyalakannya. Aku tidak bisa berpikir apapun, dan Sawaka tampaknya lebih memilih tinggal di perbatasan daripada memberi penjelasan.
Hampir satu jam aku hanya berdiam mendengarkan dendang pilu gadis di pundakku; sampai akhirnya ia mulai tenang dan isaknya mereda. Tubuhnya terlepas. Aku bangkit menuang air panas dari ceret di atas tungku dan mencampurnya dengan air dingin dari teko. Ratna meraih dan meneguknya, sementara aku kembali duduk sambil mengintip dari sudut mataku.
"Kenapa, Rat? Ega menyakitimu?" Lirihku. Dari sudut mataku, tampak ia merapikan sampingnya untuk sekedar menutupi payudara dan kedua paha itu.
“Ibu, A. Hiks hiks.”
Diam sebentar.
“Ibu selingkuh dengan SI-JA-KA.”
Tubuhku serasa kaku. Lalu aku mendengarkan semua ceritanya dengan pikiran yang berkecamuk. Marah. Kesal. Sesal. Sedih. Kalut. Takut. Semua berkecamuk di setiap sela tarikan nafas dalamku.
“Ya sudah.. sekarang kamu tenang dulu dan keringkan badanmu.” Aku berdiri dan meraih handuk yang tadi ia lempar dan Ratna pun ikut berdiri untuk mengeringkan tubuhnya. Ia tampak sangat kacau. Ega, seandainya kamu ada di sini, bebanku tidak akan seberat ini.
Aku mengamati setiap gerakan Ratna.
"Ahhhh..." tiba-tiba ratna menjerit. Samping-nya melorot, dan aku terkesiap melihat tubuh polosnya. Pandanganku menjadi nanar. Satu detik penampakkan yang mendebarkan, sebelum ia memeluk tubuhku yang membeku. Sejenak kami saling berdiam kaku.
“Ra… Ratna… tutup tubuhmu.” Kataku sambil memejamkan mata.
“Ma.. maaf A.” Ratna tergagap dengan masih terpaku di pelukanku.
“Senja!!! Ratna!!!”
Aku terkejur dan menengok ke arah datangnya suara. Sae tampak sangat shock. Piring nasi dan lauk pauk di tangannya terjatuh berantakan. Matanya melotot. Sementara aku terpaku kaget, demikian juga Ratna. Rasa kagetnya malah membuat tubuhnya tetap menempel di tubuhku.
“Ratna, jadi ini yang kamu lakukan. Hah?? Nyesel aku mempercayaimu, kamu malah menikamku.” Sae menghardik Ratna. Matanya melotot dan bibirnya bergetar.
“Senja!!!” Ia membentakku, namun kemudian Sae sudah tidak bisa melanjutkan ucapannya karena amarah yang memuncak. Sorot matanya tajam mengumbar kemarahan dan kebencian. Sebelum aku bisa menguasai diri, ia sudah berlari menembus hujan, tanpa membawa kembali payungnya.
Aku sangat shock. Tak kuhiraukan tubuh Ratna yang merenggang-menjauh dan menutupi tubuhnya dengan handuk. “Kejar Aa. Hiks… hiks…” Ratna menyadarkanku. Tapi aku hanya mematung. Semua sudah terlanjur.
Dengan sebuah helaan nafas, aku melangkah ke kamar orangtuaku. Kuambil daster ibuku dari dalam lemari dan kuberikan kepada Ratna. Semua kulakukan tanpa kata. “Maafkan aku, A. A Senja susul Teh Sae saja, aku tunggu di sini gak apa-apa.” Ratna memecah kesunyian. Aku hanya menggeleng.
Jaka, Ratna dan Bu Inah jauh lebih penting saat ini.
Semoga Sae bisa mengerti suatu saat nanti.
“Kamu tunggu di sini dan jangan kemana-mana sampai aku kembali. Aku akan menemui Jaka dan ibumu.” Kataku seraya beranjak. Tapi belum juga aku melangkah, dua sosok menerobos masuk. Jaka dan Bu Inah. Tak dapat kujelaskan sengal nafas dan wajah panik mereka. Aku hanya memberi kode kepada mereka supaya diam.
Ratna yang menyadari kehadiran mereka kembali marah di sela tangisnya yang kembali pecah. Drama pun terjadi. Aku menahan Bu Inah, dan menyuruhnya untuk membiarkan Ratna meluapkan semua marah dan kekecewaanya, sementara Jaka hanya mematung linglung.
“Rat, kamu tenang dulu. Kita bicarakan baik-baik.” Aku meraih tangannya dan kutuntun ke ruang tengah; aku memberi kode kepada Bu Inah dan Jaka supaya mengikuti. Ini semua salahku, dan aku harus menyelesaikannya. Tidak boleh ada kebencian di antara mereka bertiga.
Setelah kemarahan Ratna mulai reda, aku tak memberi kesempatan kepada Bu Inah dan Jaka untuk berbicara. Sambil duduk melingkar dengan Ratna bersandar di pundakku, aku menceritakan semua rencana di balik semua ini. Aku adalah dalang semuanya, berawal dari menyampaikan rencanaku kepada Jaka, menjebak Bu Inah dengan ramuan, sampai mereka keterusan dalam cinta terlarang. Tentu saja aku tidak menyampaikan dari mana asal ramuannya, juga tidak menceritakan perselingkuhan Bu Inah dan Mang Oyeh. Aku harus menjaganya. Cukup aku dan mereka berdua yang tahu.
“Bu Inah, Ratna, maafkan aku. Semoga kalian juga mau memaafkan Jaka. Ia tidak salah. Semua penyebabnya adalah aku. Jadi kalau mau membenci, bencilah aku.” Kuakhiri cerita-jujurku dengan suara sedikit bergetar. Semua diam. Ratna yang sejak semula bersandar di bahuku langsung tegak dan menghentak tubuhku.
Kali ini aku yang menjadi objek kemarahan Ratna. Aku sudah tak bisa lagi mendengar semua ungkapan kekecewaan dan marahnya, aku terlalu sibuk memikirkan rasa bersalah dan benakku dipenuhi bayangan kemarahan Sae setelah apa yang dilihatnya tadi. Apakah gadisku baik baik saja? Akhirnya tak kudengar lagi kemarahan Ratna; kubiarkan mengalir sampai ia lega tanpa kumampu menyimaknya. Sementara kami bertiga hanya bisa saling berdiam dalam gejolak perasaan masing-masing. Kulihat jam dinding, sudah hampir jam sembilan malam.
0 Komentar