KETIKA SENJA PART 24

 

Bu haji, Sae dan Ratna duduk bersisian, aku dan Ega bersisian di seberang mereka. Mobil pun melaju perlahan menyusuri jalan beraspal yang banyak berlubang; menggoyang tubuh kami. Hari ini aku melihat sisi lain dari sosok bu haji yang menampakkan kebawelannya. Ia banyak bertanya tentang hubungan kami, dan bercerita tentang kedua anaknya, yaitu Raka yang sekarang tinggal di Bandung, dan adiknya yang masih kuliah di kota gudeg.




Aku tak terlalu banyak menyimak. Pemandangan pedesaan lebih memikat hatiku. Sambil menyusuri jalan yang membelah pesawahan, aku memandang ke hutan berbukit di kejauhan. Di balik hijau-pekat belantaranya, tersembunyi kampung indah tempat kami merajut mimpi dengan usaha kopi dan berbagai panenan kesuburannya.




Nampak lereng-lereng yang berbaring memanjang, berbaris di antara lembah-lembahnya. Di sanalah aku tumbuh. Mengenal setiap bukit dan lembahnya, hafal hutan dan ladangnya, tahu persis setiap baris pesawahan dan lingkar sungainya. Di sana aku mengenal cinta dan Saeku. Aku memandang gadisku sesaat dan sedikit terpaku pada lutut dan betisnya. Sadar akan sorot mataku, ia segera menutupi lututnya dengan kain sampingnya sambil memeletkan lidah. Belakangan ia semakin sering menggodaku, dan tidak marah pada mata mesumku.




Setelah melewati dua desa yang dipisahkan sawah-sawah dan perkebunan, kami sampai di kota kecamatan, dan turun di pusat pasar yang memanjang di sebelah kiri dan kanan jalan. Setelah bu haji membayar ongkos untuk kami semua, kami berjalan masuk ke dalam bangunan yang di atasnya tertulis nama sebuah bank. Kami pun disambut seorang petugas yang nampak sudah akrab dengan bu haji. Lalu mereka dengan telaten membantu kami dalam menjelaskan proses pembukaan tabungan, suku bunga, syarat-syarat administrasi, dan juga hak dan kewajiban nasabah. Kami akhirnya memutuskan untuk membuat rekening atas nama kami berdua, “Rahadian Senja Prakasa atau Ega Wibawa” dengan nominal 2,7 juta. Memakai ‘atau’, bukan ‘dan’, supaya kalau mengambil uang biar bisa salah satu dari kami, tidak harus dua-duanya. Aku pun memutuskan untuk membuka rekening pribadi atas namaku dengan nominal 270 ribu rupiah. Toh untuk apa juga aku menyimpan uang pribadi di kampung, pikirku.




Setelah menunggu sekitar empat puluh menit, semua proses beres. Kuserahkan buku tabungan kepada Ega untuk ia simpan. Sementara aku bukan hanya menerima buku tabungan, tetapi juga sebuah kartu. Katanya ATM, entah gunanya untuk apa.




“Ibu mau belanja dulu. Ayo Sae dan Ratna ikut ibu. Kalian ikut?” Bu haji meraih lengan gadis kami dan bertanya kepadaku dan Ega. Serempak kami menggeleng. Kami kompak untuk satu hal: merokok.




Kami pun merokok di depan bank. Sambil memandang kesibukan orang-orang yang menjajakan dagangan dan saling tawar-menawar.




“Ga, cari oleh-oleh yuks.” Setelah hisapan terakhirku.




Kami beranjak dan masuk ke sebuah toko.




Aku memilih milih kain samping untuk ibuku; dan sarung untuk ayah. Setelah mendapat modelnya yang cocok aku memutuskan untuk membelinya masing-masing dua karena teringat kedua orangtua Sae.




"A, selendangnya atuh sekaliam." pelayan sambil menaruh tumpukan selendang batik di atas rak pajangan. Sebetulnya aku tak ada niat, tapi aku tertarik pada motif batiknya. Setelah memilih, akhirnya aku memutuskan untuk membeli selendang bermotif kujang (senjata khas Sunda) dengan gambar maung di salah satu ujungnya.




Ega juga membeli samping dan sarung, serta dua kaos bermotif sama. Aku hanya ketawa dan Ega tidak peduli. Setelah membayarnya kami keluar toko. Kami masih menghabiskan sebatang rokok lagi sampai akhirnya para wanita muncul sambil menenteng beberapa kantong plastik.




Setelah ditraktir makan bakso oleh bu haji, kami pun pulang sambil tetap mendengarkan celotehannya yang bercerita sepanjang jalan. Ia sudah memperlakukan kami layaknya anak sendiri. Aku sih maklum karena kedua anaknya sama-sama di kota, jadi kasih keibuannya ia tumpahkan kepada kami, khususnya kepada Sae dan Ratna.




Sesampainya di desa, dan turun dari mobil, aku membuntuti bu haji untuk membayar ongkos kepada sopir. Tapi ketika aku mengeluarkan uang hendak membayar, bu haji melotot dan menepis tanganku. Ia membayar semuanya.




Sambil nunggu uang kembalian, bu haji menoleh, “Kamu sudah setuju untuk ke Bandung, kan Ja?” Aku hanya mengangguk.




Cuuup.




Sebuah kecupan singkat di pipiku.




Aku yang kaget segera celingukan kalau-kalau ada yang melihat.




Aman. Sopir masih sibuk menghitung uang kembalian, sedangkan Sae dan kedua temanku sedang menyeberangi jalan. Jantungku berdebar kencang.




Setelah beres, aku dan bu haji menyusul mereka yang sedang menunggu di seberang jalan.




“Pipimu, kenapa sayang?” Sae menatapku curiga.




Deg.


Aku kaget.


Untung tadi sempat kuusap, semoga tidak meninggalkan bentuk bibir lagi.




“Cieeee… udah sayang-sayangan aja rupanya.” Bu haji menggoda Sae untuk sekedar menetralkan suasana. Godaan bu haji dan tawa mereka membuatku punya waktu beberapa detik untuk mengendalikan diri dan berpikir cepat.


“Gak tahu tadi megang apa, Sa. Nih…” Aku menunjukkan telapak tanganku yang menyisakan sedikit merah sisa lipstik dari pipiku.


“Kamu jorok banget sih. Makanya kalau ngelap keringat bersihkan dulu tangannya.” Sae ngomel sambil membersihkan pipiku dengan ujung kainnya.




Fiuuuh.




Kami melanjutkan perjalanan untuk mengantar bu haji, lalu mampir ke dalam toko sebentar untuk mengucapkan terima kasih dan pamitan kepada suaminya. Lalu kami beriringan pulang. Kami tidak mau berlama-lama karena sudah hampir jam dua siang dan langit nampak mendung.




Di sasak tempat tadi kami beristirahat, kami berjumpa dengan Mang Oyeh yang menanggung dua karung kapol dengan ramcatan "Kok, siang mang turunnya?” Aku menyapa terlebih dahulu. Aku tahu kalau hari ini ia harus mengantar kapol ke toko Pak Ikin.


“Iya jang, tadi mamang jemur kopi dulu.” Jawabnya sambil menurunkan pikulannya.


“Kan ada bibi, mang.” Kata Ratna.


“Alhamdullilah.. bibi sudah hamil sebulan, neng. Jadi jangan cape-cape dulu.”


"Wah selamat atuh mang.” Ratna dan Sae bersamaan, sambil menyalami Mang Oyeh. Aku dan Ega melakukan hal yang sama. Aku menangkap pancar kebahagiaan di wajah Mang Oyeh, tapi hatiku terasa perih karena sesal dan belas kasihan. Kenapa perasaanku menjadi tidak enak begini.




Aku memberi Mang Oyeh dua bungkus rokok supaya ia tidak harus membeli di toko. Ia kini membutuhkan lebih banyak uang untuk mempersiapkan kelahiran anaknya. Eh.. anak ardan. Setelah ngobrol sepengisapan batang rokok, kami berpisah dan melanjutkan perjalanan masing-masing.




Kami berbincang dan bercanda sepanjang perjalanan. Sae tidak semanja biasanya; dan aku mengerti karena kami sedang berada di kampung orang. Ia hanya bermanja-manja kalau di Sawer saja.




Setelah melewati Ewer, kami menyusuri parit di atas pesawahan warga, di kiri-kanan parit terdapat beberapa kolam ikan dengan saung-saung di pinggirnya tempat pemiliknya berisitirahat sekaligus tempat menyimpan hasil panenan. Lalu kami sedikit mendaki bukit dan kembali membelah pesawahan yang menghijau. Inilah dataran terakhir sebelum kami mendaki ke kampung kami. Warga menyebutnya beureum (tanah merah). Sepanjang jalan aku menjelaskan mimpiku untuk membuat jalan mobil sampai ke tanah merah ini, sambil menunjukkan beberapa kemungkinan jalurnya.




“Kalau Sawer sudah menjadi kampung wisata dan tempat tetirah, mereka bisa naik kendaraan sampai sini, lalu mereka jalan kaki ke atas.” Jelasku. Tak ada jawaban yang kudengar, tetapi aku percaya mereka setuju dengan ideku.




Setelah sampai di tepi pesawahan, kami mulai mendaki bukit, menyusuri jalan yang curam dan berkelok-kelok di bawah rerimbunan hutan. Kulihat Sawaka menjemput kami di ujung sana. Tentu saja cuma aku yang bisa melihatnya. Aku memang memintanya untuk tidak selalu mengikutiku ke mana pun, melainkan menjaga perbatasan dari niat-niat jahat orang luar. Ketidakhadirannya bersamaku, membuatku kesulitan untuk membaca situasi yang membuat perasaanku tidak enak tadi.




Langit makin mendung, dan angin berhembus kencang. Hutan pinus bergemuruh mirip suara hujan. Kami sudah berjalan berpasangan, dan Sae menggandeng tanganku. Baru juga kami keluar hutan pinus dan memasuki perkebunan mahoni, tiba-tiba hujan turun sangat besar. Kami sudah tidak bisa mengelak, karena tidak ada tempat berlindung. Terpaksa kami tergopoh dengan membiarkan pakaian kami basah. Kuikat kantong plastik yang berisi belanjaanku agar isinya terlindung dari air. Lalu ketebas dua batang daun pisang untuk sekedar melindungi kepala Ratna dan Sae. Kuberikan kepada mereka sebagai payung.




Lima belas menit kemudian kami sampai di perkebunan cengkih milik Abah dan Mak Saswi. Kami pun bergegas masuk ke dalam saung milik mereka.




“Kalian di sini aja ya. Hayu, sayang.” Belum juga duduk Sae sudah menarik tanganku.


“Eh.. mau ke mana? Masih hujan.” Aku menahan tangannya.


“Gak mau ganggu yang pacaran. Hihi.. Kita pacaran di Saung Abah Barja saja.” Sae menarik lenganku dan menerobos menebus hujan. Aku hanya menurut dan mengikutinya setengah berlari. Tak kudengar jelas teriakan Ega dan Ratna, yang nampaknya memaki kami.




Kami tiba di saung kebun Abah Barja yang berjarak sekitar 500 meter dari tempat Ega dan Ratna. Saung ini agak besar dengan ada ruang di dalamnya tempat menyimpan hasil panen. Tampak ada gembok yang menggantung di pintunya. Terpaksa kami hanya duduk di emperan depan yang hanya ditutup papan di kedua sisinya.




Kuperhatikan sejenak gadisku yang basah kuyup dan sedang memeras kain yang menjadi selendangnya. Tampak cetakan BH di balik kaos putihnya yang basah.




“Mau?” Bukannya malu, Sae malah menarik kaos bagian belakangnya sehingga gundukan payudaranya makin menyembul dan belahannya meremang.


“Sayang!” Aku memelototinya, dan hanya ditanggapi oleh cekikikan ceriwisnya.




Hmmmmf. Tiba-tiba ia memelukku dan mencium bibirku.




“Mmmh… hash..hash.. sayaaang ah. Kamu kenapa sih?” Aku mendorong lembut bahunya.


“Kangen.”




Kupencet hidungnya. “Kan udah seharian bersama.”




“Iya tapi kan gak bisa meluk dan cium kamu.” Ia kembali mau menciumku manja, tapi kutahan.


“Udah dulu sayang. Kamu ganti baju dulu, masuk angin nanti.”


“Iiiih kamu gimana sih? Aku kan gak bawa ganti.”


“Udah pake sarung aja. Aku beli untuk bapakmu, daripada kamu kedinginan mending pake dulu. Nanti kamu cuci baru kasihkan ke bapak ya. Hehe..” Aku meraih kantong plastik sambil tertawa.


“Iiiih sayaaang. Kamu baik banget siih.” Sae hendak kembali memelukku tapi terhenti begitu melihat pelototanku.


“Galak!!” Ia merengut.


“Nih pake dulu. Gak pake protes.” Aku menyerahkan sarung yang masih terbungkus plastik. Sae menerimanya dengan masih merengut manja. Lalu kubalikkan badanku sambil membuka kaosku dan memerasnya. Kusampirkan di atas dinding papan. Kuperhatikan deras hujan yang menciptakan aliran parit di jalan yang tadi kami lewati sambil menunggu Sae mengganti pakaiannya.


“Yank, udah.” Suaranya memanggilku.




Mataku terbelalak. Sae rupanya melepaskan juga roknya yang sudah tersampir di atas papan. Ia hanya mengenakan sarung dengan diikat di atas belahan dadanya, dan hanya mampu menutupi setengah pahanya. Tak kutemukan sedikit noda pun di tubuh gadisku.




“Cantik gak?” Sae mengerling, melihatku yang hanya melongo.


“Banget.” Tanpa sadar.


“Makasih.” Genitnya.


“Kok dibuka semua sih, yank.” Aku yang kaget oleh kata-kataku sendiri mencoba mencairkan suasana.




Sae tak menjawab dan mendekatiku yang masih terpaku kaku. Tiba-tiba ia memeluk tubuh telanjang dadaku.




“Yank.. jangan ah. Celanaku basah, nanti kamu malah kena. Sama aja 'kan kalau sarungmu basah juga.”


“Ya sudah buka celanamu.”


“Enak aja.”


“Hihi.. Kamu gitu banget sih ke aku teh." 




Aku mengecup bibirnya sambil mengusap rambut basahnya. Lalu aku duduk di pinggir bale-bale, sementara Sae duduk bersila seolah sengaja memamerkan paha putihnya.




“Yank. Aku tadi beliin sesuatu buat kamu. Eh nggak beliin deh, soalnya pas mau kubayar malah dibayarin bu haji. Hehe.”


“Oh ya? Mana coba…”


“Ini dulu.” Sae memonyongkan bibir sambil menunjuknya.


“Muuuuach.” Kukecup bibirnya agak lama.




Lalu Sae mengambil sesuatu dari kantong roknya yang basah.




“Aku pakaikan yah.” Katanya sambil meraih tangan kiriku.




Aku cuma diam terpana.




Ia memasangkan gelang bertuliskan ‘SSS’ pada logam berbahan stainlees, yang melingkar sepanjang punggung pergelanganku, sementara di masing-masing ujungnya terdapat dua tali kulit yang diikatkan melingkar ke bagian dalam pergelangan.




“Suka?”


Diam.


“Iiiih kok diam?”


Tetap diam.


“Sayaaang”.




Hmmmmf. Aku memeluknya.




“Suka banget.. makasih sayang.” Sambil menempelkan bibirku di pundak polosnya.




Kami berpelukan erat sesaat.




“Syukur deh kalau suka.” Sae mendorongku, melepas pelukanku.


“Kenapa suka?” Ia memandangku dengan senyum senang.


“Karena kamu yang memberinya. Akan kupake terus. Makasih sayang.”


“Terus?”


“Suka juga karena tulisannya.”


“Emang apa artinya?”


"Senja-Sae-Selamanya.”


“Iiih kok tahu siiih??” Sae kembali memelukku.


“Kalaupun ada yang lebih bagus dan murah, kamu pasti tetep membeli yang ini kan?” Kurasakan anggukan di bahuku.




Aaaah gadisku, aku semakin sayang kamu.




“Mana?” Sae melepaskan diri kembali dari pelukan eratku sambil menyodorkan tangannya yang terbuka.


“Apa?”


“Udah jangan pura-pura.”


“Apaan sih? Aku gak ngerti.”


“Mana??? Kamu gak bisa bohong.” Matanya mendelik menggemaskan.


“Kok tahu sih, yank?”


“Manaaa iih.”


“Iyah-iyaaah… Ah kamu maaah.. Gak romantis kan jadinya. Aku juga beliin sesuatu untukmu, tapi…” Aku diam memutus ucapanku.




Muuuuach. Ia mengerti maksud isengku.




Aku membuka bungkusan selendang yang kubeli tadi. Setelah membentangkannya sebentar untuk menunjukkan bentuk dan gambarnya, aku pakaikan di belakang bahunya, melingkar sampai menutup dadanya. Aku menarik nafas lega. Lega karena terlihat sangat cocok dan serasi dengan paras cantiknya. Lega juga karena kini bagian atas tubuh gadisku tertutup, sehingga mengurangi gejolak gairah mesumku.




“Sukaaaaaa… Matanya berbinar, lalu sedikit berkaca-kaca.” Aku menciumnya mesra.


“Makasih Senjaku sayang. Hiks. Hiks.”


“Ih kok malah nangis?”




Sae tak menjawab; lalu memegang punggung tanganku yang sedang mengusap air mata di ujung matanya. Kami saling berpandangan sambil saling memberi sentuhan-sentuhan ringan di wajah masing-masing.




“Aku akan pake terus untuk menggantikanmu.” Nafasnya menjadi berat.


“Kok kamu ngomong gitu. Aku kan gak akan kemana-mana, sayang.”


“Nggak sayang.. kamu harus pergi.”


“Maksudnya?”


“Mencari gadis itu.”


“Yank.. aku.. aku mau selalu bersamamu, dan lupakan gadis itu.”


“Tidak sayang. Kamu harus pergi demi aku.” Sae menjatuhkan dirinya di pelukanku sambil terisak. Aku lupa pada cantik parasnya, seksi tubuhnya, indah pahanya yang sering kucuri pandang. Pikiranku seketika menjadi kacau.


“Sayang.. aku mau memberikan bukan hanya hati dan cintaku, tapi juga tubuhku, biar kamu tidak melupakan aku.. hiks hiks… tapi kamu selalu menolak untuk mengambil hal paling berharga dari diriku. Hiks.. hiks… Aku sering menggodamu, sayang, hiks… hiks… tapi kamu sangat tegar. Aku kan jadi malu sendiri.. Hiks hiks...”




Aku diam.




“Aku telah memiliki cintamu, dan aku ingin memberi seluruh hidup dan diriku.”


Diam.


“Aku tahu, kamu terlalu menyayangiku sehingga kamu tidak mau mengambilnya sekarang.”


Diam.


“Yank. Ambillah.. ambil… hiks hiks… sehingga kalau takdir mengatakan lain, aku tetap tidak menyesal karena telah memberikan seluruh diriku untukmu.”


“Sae!!! Kamu!!! Aaarghh…” Untuk pertama kalinya seumur hidupku aku membentaknya. Dadaku sesak antara marah dan sesal. Namun aku tak bisa melepaskan diri karena pelukannya yang dieratkan. Tubuhnya sedikit bergetar


“Maaf, yank. Maafkan aku.. tidak seharusnya aku membentakmu.” Tubuhku ikut bergetar.


“Hiks… hiks… Kamu jahat. Tapi akan lebih jahat lagi kalau kamu tidak pergi gara-gara aku."


“Maaf, Sa. Aku gak bisa mengontrol diri tadi. Kamu jangan ngomong gitu lagi. Aku mohon, sayang.”


“Sayang… Aku mau kamu tetap pergi untuk menunaikan tugasmu, dan aku akan selalu menunggu sampai kamu mengambilnya dan kita menjadi satu selamanya seperti tulisan di gelangmu.”




Diam. Dadaku sesak. Aku sangat marah. Tetapi aku lebih memilih diam, daripada tidak bisa mengontrol emosi lagi. Kami berpelukan dalam diam.




“Aku nggak akan pergi, Sa. Tidak bisa. Kecuali kita pergi bersama.” Aku sudah bisa mengendalikan diri.


“Kalau aku ikut, aku tidak bisa mewakili dirimu untuk ngurus usaha kita, sayang. Kalau aku di sini, kamu bisa menyelesaikan tugas dari kakekmu, dan aku tetap bisa melanjutkan mimpimu untuk mendatangkan kesejahteraan warga kita. Jadi dua-duanya bisa berjalan bersama, sampai akhirnya kita bersama kembali.”


“Tidak, Sa. Aku tidak bisa.”


“Aaaarghhh… Senjaaa!! Kamu memang keras kepala. Aku kecewa sama kamu.” Sae melepaskan pelukannya dan melotot marah.


“Maaf.” Aku menunduk.


“Cape ngomong sama kamu. Mendingan pulang aja.” Sae beranjak dan berlari menembus hujan. Ia pergi hanya dengan mengenakan sarung dan selendang pemberianku yang membungkus tubuhnya.


“Sayaaang. Masih hujan. Ini pakaianmu….”




Hadeuh.. segera kuraih pakaian basah Sae dan semua bawaanku. Aku menerobos hujan menyusulnya.

Posting Komentar

0 Komentar