PERJALANAN, CINTA, DAN LUKA
Dua gadis berjalan riang, bergandengan tangan menyusuri jalan berbatu. Kaki polos mereka lincah melangkah, sementara di tangan satunya menenteng sandal masing-masing. Mereka berjalan agak jauh di depan, tidak mau gosip mereka terdengar oleh kami. Sekali-kali mereka menengok memberi senyum kepadaku dan Ega yang tergopoh dengan rancatan di pundak (rancatan: alat pikul dari bahan bambu haur, bentuknya liat dan dibuat sedemikian rupa supaya elastis). Ega memikul kopi, masing-masing setengah karung di kedua ujungnya. Sementara aku memikul saturuy(setandan) pisang tanduk dan beberapa hasil panen untuk oleh-oleh.
Kami baru saja melewati Ewer, menuju ke desa, ke rumah pak haji. Minggu lalu ia mengundang kami untuk datang melalui surat yang dititipkan melalui Pak Sarda, ayahnya Sae, sewaktu belanja ke sana. Di suratnya ia mendesak supaya kami tidak menyimpan uang tunai terlalu banyak, dan sebaiknya ditabung di bank. Kami tidak mengerti apa-apa tentang tabungan, tapi kami percaya pada niat baik pak haji. Melalui surat itu dituliskan bahwa bu haji akan membantu dan mengantar kami ke bank yang terletak di kota kecamatan. Bagiku, pak haji sudah ibarat ayah sendiri yang bukan hanya membantu usaha kopi, tapi juga mengajari kami tentang makna hidup dan selalu memberi wawasan-wawasan baru.
Sambil jalan aku bercerita ke Ega tentang kakek dan wasiatnya untuk mencari gadis bertanda lahir di bahu. Aku harus mencarinya karena dialah yang akan membantu untuk membuat perubahan bagi kampung Sawer. Kepada Ega aku menceritakan semua kegelisahan yang selama ini kusembunyikan. Ya. Hanya kepada Egalah aku bisa curhat karena dialah yang paling dewasa di antara kami; ia adalah pendengar yang baik.
“Usaha kopi kita makin maju, Ga, tapi di saat seperti ini kini bukan hanya Bu Rohmah yang mendesakku untuk pergi, tetapi juga kedua orangtuaku. Ya.. walaupun kedua orangtuaku tidak menceritakan motifnya, mereka selalu mendesak aku untuk merantau dengan alasan harus mencari pengalaman baru. Mereka sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku.” Kataku sambil memindahkan rancatan ke pundak kiri.
Ega hanya diam menyimak. Ia satu-satunya sahabat yang kuberi tahu tentang Bu Rohmah dan ritual malam itu; selain Sae tentunya. Ega hanya diam tapi aku yakin ia sedang memikirkan sesuatu. Sudahlah… kadang-kadang ketika kita sedang memiliki persoalan kita hanya butuh didengarkan, bukan mendengarkan nasihat-nasihat yang malah bisa makin bikin pusing.
“Karena Sae?” Ia bertanya pelan.
"Enya (iya). Ia sudah menjadi hidupku, Ga. Pasti ngertilah…”
“Kita sangat membutuhkan Sae, Ja. Tanpa dia yang mengatur, kita tidak bisa mewujudkan mimpi kita sampai saat ini.” Ega berhenti sebentar, menungguku untuk menjejerinya.
"Tah eta (itu dia). Aku tak bisa mengajaknya pergi. Sementara kalau pisah juga aing gak sanggup.”
Kami kembali berjalan dalam diam.
Setibanya di sungai besar, kami berhenti di ujung sasak untuk rehat. Sae mengelap keringatku dengan ujung kain samping-nya yang ia selempangkan. Sikap gadisku membuat hidupku terasa sudah lebih dari cukup; nyaris sempurna, aku tidak perlu apa-apa lagi. Sekaligus membuatku juga sesak ketika mengingat adanya desakan untuk merantau, mencari seorang gadis yang masih sangat misteri. Haruskah aku melepas kenyamanan diri, demi sesuatu yang tidak pasti.
“Kamu mikiran apa, yank?”
Aku hanya menggeleng.
“Kamu gak bisa bohong dari aku.”
Aku hanya tersenyum untuk coba bersembunyi dari kegelisahanku. Gadisku, di balik segala tingkahnya yang menggemaskan, ia sangat peka terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan diriku. Kalau tidak ingat kami sedang berada di tempat orang, aku pasti sudah memeluknya erat.
"Teh, ke sungai yuks.” Ratna memanggil Sae. Fiuuuh.. aku selamat dari sorot mata Sae yang sedang menyelidik.
“Hati-hati Rat, airnya deras.” Teriak Ega dan dijawab anggukan dan senyuman Ratna. Mereka berlari kecil menuruni jalan setapak menuju ke tepi sungai.
Mata kami mengawasi mereka berdua. Aku sangat mengagumi gadisku; aku yakin Ega juga sedang mengagumi gadisnya.
"Pemuda lain seusia kita sudah pada nikah, ja. Kita mah gini aja terus. Tapi aing gak mau nikah muda juga sih.” Gumamnya. Aku hanya mengangguk mengamini. Kami pun ngobrol tentang apa yang sudah kami lakukan selama ini. Ega sebetulnya mau bicara tentang kemungkinan jika aku pergi dari kampung, tapi aku selalu mengalihkannya. “ Aing moal ka mana-mana, Ga (aku gak akan ke mana-mana).” Ucapku lesu.
“Hayu ah, keburu siang.” Ega bangkit dan membersihkan celananya.
“Yank.. Ratna.. hayu naik.” Teriakku mengajak mereka untuk melanjutkan perjalanan. Mereka beranjak, meski Sae tampak merengut karena keasikkannya terganggu. Aku hanya mengusap kepalanya ketika ia sampai, dan kami pun melanjutkan perjalanan.
Bu haji menyambut kami di depan toko. Ia sedikit heboh menyambut kehadiran Sae dan Ratna dengan memberi pelukan. Tentu saja mereka saling kenal karena Sae dulu sekolah juga di desa, apalagi ia adalah anaknya pak Sarda. Ratna sering ke desa, karena uwa-nya warga sini. Aku dan tiga orang sahabat pun sudah mulai akrab dengan bu haji.
“Ja, Ga..” Katanya sambil bersalaman dengan kami.
“Selamat pagi, bu.” Aku menyalaminya. Aku selalu menangkap pesona berbeda dalam dirinya, dan sorot matanya selalu berbinar ketika menatapku. Kadang aku masih merasa salah tingkah ketika mengingat kejadian saat itu, meskipun bu haji tidak pernah menyinggungnya dan bersikap seperti biasa.
Kami melewati bagian dalam toko dan masuk ke dalam rumah. Aku menenteng pisang dan oleh-oleh dari kampung dan langsung membawanya ke dapur dengan diantar bu haji. Yang lain langsung duduk di ruang tengah.
“Ditaruh di mana, bu?”
“Kamu letakkan aja dulu di sana (sambil menunjuk ke arah pojokkan). Lain kali kalau ke sini ya ke sini aja gak usah ngerepotin.” Katanya sambil meraih cangkir untuk membuat teh dan kopi.
“Tidak repot kok, bu. Kebetulan aja baru panen.” Jawabku.
“Ja..” Aku menghentikan langkahku yang hendak kembali ke ruang tengah.
“Iya, bu?”
“nanti kalau pak haji meminta sesuatu dari kamu, jangan menolak yah.”
“Apa bu?”
“Udah nanti aja. Pak haji pasti ngomong ke kamu.”
“Baik bu.”
Aku melangkah bimbang memikirkan ucapannya.
Belum juga aku duduk, kami mendengar suara mobil yang menderung memasuki pekarangan. Pak haji datang dengan mobil bak terbukanya.
“Ja, Ga, tolong bantuin pak haji nurunin belanjaan.” Teriak bu haji dari dapur.
"Mangga bu.” Serempak.
Kami pun bergegas ke depan toko. Pak haji turun dari balik kemudi, dan langsung kami salami sambil mengucapkan salam.
"Tos lami, Jang (sudah lama)?” Tanya teduhnya.
"Nembe (baru saja), pak haji.” Jawabku.
"Sok atuh bantuin bapak dulu, ngopinya nanti saja.”
Pak haji naik atas bak mobil, aku berdiri di bawah dan Ega berdiri di ambang toko. Lalu pak haji melemparkan dus-dus mie instan kepadaku, kutangkap dan langsung kulempar kembali kepada Ega untuk dimasukkan ke dalam toko. Setelah barang-barang ringan beres, kemudian kami mengangkut karung-karung gula, telur dan jerigen minyak goreng. Selesai.
Pak haji memarkir mobil di samping toko dan kami berdua menata belanjaan di dalam. Setelahnya kami sama-sama masuk ke ruang tengah untuk ngopi bersama; bersamaan dengan bu haji yang keluar untuk menjaga toko. Sebuah sentuhan terasa di lenganku seolah tak sengaja; aku hanya diam. Kok aku tidak bisa masuk ke dalam pikirannya ya.
Kami ngobrol ringan di ruang tengah, pak haji menjelaskan kembali tentang pentingnya menabung dan menasihati kami supaya hemat dan bijaksana dalam menggunakan uang. Tentu saja, saat ini kami adalah anak-anak kampung yang polos tapi memiliki banyak uang, jauh melampaui para orang tua di kampung kami, bahkan warga di desa ini.
“Ada satu lagi yang mau bapak sampaikan.” Katanya.
Kami diam sambil memandang wajah kebapakannya.
“Tiga minggu lagi, tepatnya hari Jumat terakhir bulan ini, ibu haji akan ke Bandung untuk mengunjungi Raka. Kalian tahu kan dia adalah anak bapak yang selama ini menampung kopi yang kalian hasilkan.”
Menyimak.
“Bapak usul supaya Senja ikut.”
Deg deg deg.
“Selain menemani bu haji, kamu bisa berbicara dengan Raka tentang usaha kita. Raka ingin sekali bertemu denganmu untuk membicarakan beberapa rencana tambahan karena café-nya di Bandung semakin maju.”
Aku menatap Sae. Tapi ia hanya diam tenang.
“Maaf pak haji. Apakah hanya saya saja? Boleh membawa teman?”
"Hahaha.... udah kali ini mah kamu aja dulu untuk ngirit ongkos. Nanti kalau kalian sudah semakin sukses baru kita sama-sama ke Bandung. Kita liburan dan lihat-lihat kota.”
“Berapa lama di sana, pak haji?”
"Tilu poe(tiga hari). Berangkat Jumat dan hari Minggu sudah balik lagi.”
Telapak tanganku terasa dingin. Aku kembali menatap Sae.
Dia masih anteng tenang. Ada kulum senyum di sana. Pasti ia tahu kegelisahanku dan jailnya sedang kumat.
“Udah Ja. Kamu pergi aja.” Ega meneguhkanku yang sedang ragu. Aku menatap Sae, minta persetujuan. Ah seandainya Sae juga bisa ikut, pikirku. Gadisku akhirnya menatapku sambil tersenyum. Ia menganggukkan kepala tanda setuju. “Baik pak haji kalau begitu.” Aku menyanggupi.
“Bu, hayo siap-siap biar tidak keburu siang.” Pak haji memanggil istrinya. Setelah agak lama, mungkin karena sedang ada yang belanja, bu haji akhirnya masuk.
“Sebentar ibu ambil tas dulu.” Katanya bergegas. Sementara kami menghabiskan minuman kami.
“Mari anak-anak.” Bu haji muncul dari dalam kamarnya sambil menenteng tas tangan. Mukanya makin cerah dan bibirnya merah. Sepertinya tadi ia sekalian dandan terlebih dahulu. Dengan mengenakan jubah panjang warna cerah-berbunga dan kerudung lebar warna merah jambu, membuatnya tampak anggun dan cantik.
Kami pun beranjak dan pamitan kepada pak haji, lalu berjalan kaki menyusuri jalan desa. Sesampainya di jalan besar, bu haji, Sae dan Ratna duduk di dalam pos kamling, sementara aku dan Ega berdiri di tepi jalan; menunggu angkutan pedesaan yang menuju kota kecamatan.
“Kalian pada pacaran ya?” Bu haji bertanya kepada kami.
“Iya, bu.” Jawabku tak ragu. Sementara kedua pipi Sae dan Ratna memerah malu.
“Sebentar… sebentar…” Bu haji melirik Sae dan Ratna di sampingnya. Lalu melirik ke arahku dan Ega bergantian.
“Kalau ibu tebak siiih…Hmmm… Senja dan Sae, Ega dan Ratna.” Tebaknya. Dan tepat. Mereka bertiga tersipu. Aku tidak. Aku tidak ragu untuk mengakuinya, bila perlu biar semua orang tahu kalau Sae adalah duniaku, dan aku dunianya. Cinta kami satu.
“Duuuh… gemesnya.” Bu haji menjadi ceriwis sambil memeluk bahu Sae dan Ratna dan meletakkan kepala mereka berdua di bahunya. Pemandangan yang mengundang senang di hatiku. Aku dan Ega tersenyum bahagia.
Setelah menunggu sekitar setengah jam akhirnya kendaraan yang kami tunggu datang. Kami masuk melalui pintu belakang kotak besi berwarna kuning ini; lalu duduk di dekat pintu karena sudah ada beberapa penumpang lain di dalam terhimpit di antara tumpukkan karung dan dus-dus bekas mie instant tempat bawaan mereka. Diikat tali rafia.
0 Komentar