PERJALANAN, CINTA, DAN LUKA
POV Ega
Hadeuh.. kalau sedang kasmaran beginilah jadinya. Rasanya aku yang sedang jatuh cinta pun tidak sebegitunya. Bukannya ngobrol bersama, mereka malah berlari meninggalkan aku dan Ratna di saung ini. Pasti mereka bermesraan di Saung Abah Barja. Aku dan Ratna jadi kikuk gini kan jadinya. Ya sudahlah, nanti kami menyusul mereka.
Aku percaya ke Senja. Ia tidak akan menodai Sae; aku tahu karakternya. Meski ia selalu luluh pada kemanjaan Sae dan selalu menuruti kemauannya, yang satu itu ia pasti akan menjaganya.
Oh iya, aku Ega, lengkapnya Ega Wibawa. Di antara sahabat-sahabatku, usiaku adalah yang paling tua, kelahiran bulan Januari, 20 tahun yang lalu. Jaka juga lahir di tahun yang sama denganku, tetapi ia lahir di bulan Desember, jadi boleh dibilang usia kami beda setahun. Yang paling muda adalah Senja dan Ardan, mereka berusia 18 tahun; Senja lebih dahulu lahir beberapa bulan sebelum Ardan.
Di antara kami berempat, di mataku Senja adalah orang yang paling unik dan menarik, bukan hanya karena tampangnya, tetapi terutama karena kepribadiannya. Entahlah.. aku selalu sulit menggambarkan dirinya. Meski orangnya sederhana dan apa adanya, ia adalah sosok kharismatis. Orangnya sangat terbuka dan tak sungkan untuk curhat, tetapi aku menangkap adanya kekuatan tersembunyi yang sepertinya ia tutupi.
Ia adalah seorang ‘pemimpi’ yang memiliki cita-cita tinggi untuk membangun kampung kami. Wawasannya luas, kemauannya keras. Kadang ia juga keras kepala untuk mewujudkan kehendaknya. Ia tidak tunduk pada rasa takut, dan tidak takluk pada segala rintangan yang menghalangi tujuan hidupnya. Ada satu orang sih yang bisa membuatnya tunduk. Dan itu adalah Sae.
Di balik wajah ayu dan sikap manjanya, Sae juga adalah pribadi yang keras. Senja dan Sae adalah sebelas-dua belas dalam urusan keras kepalanya, untungnya Senja bisa mengalah. Mereka bukan hanya kompak dalam urusan asmara, tapi juga dalam mewujudkan cita-cita kami bersama. Senja adalah pemimpi, Sae pemikir, aku boleh dibilang pengkoordinir, sedangkan Jaka dan Ardan adalah pelaksana. Lengkap sudah.
Aku kaget mendengar cerita Senja di jalan tadi tentang wasiat kakeknya untuk mengelana mencari gadis misterius, yang entah siapa. Rasanya aku tak rela jika Senja harus pergi, meninggalkan usaha yang sudah kami rintis. Tapi juga takut kalau Senja tetap keras kepala, dan lebih memilih untuk bertahan di kampung ini. Mengabaikan wasiat orang tua adalah pamali (pemali), dan akibatnya bisa buruk - bukan hanya untuk dia tapi juga untuk usaha kami. Aku percaya itu karena perjalanan waktu di masa lalu sudah membuktikannya.
Lagi-lagi karena Sae. Baginya, Sae adalah segala-galanya, hidupnya. Aku setuju, cinta harus dipertahankan. Aku juga mungkin tidak akan sanggup jika harus berpisah dengan gadisku, Ratna Tanta Purnama. Aku harus membuat rencana agar Senja mau pergi; demi kebaikan dan keselamatan kami semua. Aku rela menjaga Sae untuknya.
“A, koq malah ngelamun sih?” Aku kaget mendengar suaranya, suara kekasihku.
“Ma.. maaf Nana.” Nana adalah panggilan sayangku untuknya. Aku menengok ke arahnya. Ia sedang duduk sambil memeluk kakinya yang ditekuk karena kedinginan, kepalanya diletakkan di atas lututnya sambil memandang ke arahku. Tubuhnya terbalut kaos biru bertuliskan “salawasna" (selamanya) yang kubeli tadi pagi di pasar kecamatan. Kini kami sudah memakai kaos yang sama, menggantikan baju kami yang basah.
Kugeser dudukku dan kuusap pipinya.
“Dingin ya?” Dijawab anggukkannya.
“Aa tidak bisa bikin api nih, Na. Gak ada kayu bakar. Aa peluk aja ya.” Aku selalu kikuk untuk memeluknya, dan selalu saja harus minta ijin terlebih dahulu.
Muka Nanaku merah, lalu ia sembunyikan di antara lututnya.
“Boleh?”
“Ah.. Nana kan jadi malu.. Kenapa sih harus pake nanya dulu segala?”
Aku bergeser, duduk bersandar di dinding saung dan melebarkan kakiku.
“Sini…” Kataku dengan dada berdebar. Nana beringsut dan menyandarkan punggungnya di dadaku. Wajahnya masih bersemu malu.
“Celanamu basah, peras dulu aja. Aa gak akan ngintip kok. Janji.”
Nana hanya menggeleng, tangannya menggenggam punggung tanganku yang melingkar di perutnya.
“Na…”
“Hmmm…”
“Aa boleh cium kamu, gak?”
“Iiih… Aa mah.. Nana kan jadi malu.”
“Kok malu?” Dadaku kian berdebar.
“Abisnya Aa pake tanya-tanya dulu.” Ia menutup wajahnya dengan rambut basahnya.
“Boleh gak?”
“….”
“Ya udah berarti gak boleh.” Aku menggodanya.
“Aaaah.. Aa maaah…”
Kusibak rambut yang menutupi wajahnya.
Cuuup.
Aku mengecup dahinya dengan segenap perasaan. Lalu Nana membenamkan wajahnya di dadaku. Nafasnya sedikit tersengal.
Sebetulnya aku ingin sekali mencium bibirnya, tapi aku tidak pernah punya keberanian. Ciumanku selama ini hanya sebatas di dahi dan pipinya.
Hujan masih sangat deras, dan angin bertiup kencang. Aku mengeratkan pelukanku di pinggangnya dengan tetap saling membisu. Hatiku bahagia memiliki Nanaku dan bangga karena menjadi satu-satunya pemuda yang bisa mendekapnya seperti ini, tapi pikiranku terus memikirkan Senja.
“Na..”
“Iya Aa?”
“Nana mau bantu Aa gak?”
“Apah?”
“Senja…”
Nana mendongak dan menatap wajahku, aku pun menundukkan kepalaku. Kami saling bertatapan sejenak.
“Apa A?”
“Tapi Nana jangan marah.”
“Iyah..”
Kukecup kembali keningnya.
Aku menceritakan tentang Senja yang harus mengelana untuk menjalankan wasiat kakeknya. Tapi Senja bertekad mengabaikannya karena tidak mau jauh dari Sae.
“Kita harus membuatnya pergi,” kataku mengakhiri cerita singkatku sambil menghembuskan nafas berat.
“Ya sudah kita suruh mereka nikah dulu, lalu mereka bisa pergi berdua.” Nana menyampaikan usulnya.
“Gak bisa, Na. Untuk saat ini kita belum bisa kehilangan keduanya, kita membutuhkan Sae dalam menjalankan usaha kita memajukan warga.”
Diam.
“Terus rencana Aa apa?” Nana memandangku.
“Kita pisahkan mereka untuk sementara. Kita buat Sae cemburu dan memutuskan Senja; karena kalau membuat Senja yang cemburu rasanya tidak mungkin.”
“Maksudnya?”
“Na.. ba…bagaimana… kalau Nana mendekati dan menggoda Senja… lalu pura-pura ketahuan Sae sehingga membuat Sae marah.”
Seketika Nana bangkit; wajahnya berubah marah. Bibirnya merapat erat, menahan emosi dan desak tangis.
“A Ega jahaaaat.. A Ega gak sayang aku.” Buk.. dia mendorong dadaku. “Hiks…hiks…” Tangisnya pecah. “Dengar Aa dulu, Na.” Aku berusaha meraih pundaknya tapi ditepisnya.
“Hiks.. hiks…A Ega jahat. A Ega membohongi aku. A Ega gak sayang aku. Hiks.. hiks…”
Perasaanku teriris mendengar kesedihannya. Aku membiarkannya sejenak sampai Nana sedikit tenang.
“Na, dengarkan Aa dulu… Ini ‘kan cuma usul, kalau Nana tidak setuju, ya sudah Aa tidak akan memaksa. Kita pikirkan rencana yang lain.” Aku menenangkannya.
“Nana jangan bicara gitu. Aa sayang banget sama Nana. Aa juga tidak mau melihat Nana jatuh dalam pelukan laki-laki lain. Tapi terpaksa, Na. Aa janji akan melindungi Nana dari Senja. Aa tidak akan pernah meninggalkan Nana.”
“Hiks.. hiks..” Nana sesegukan sambil mengusap air matanya. Kali ini ia tidak menolak ketika kuraih tubuhnya ke dalam pelukanku. Kupeluk erat dan kukecup bagian atas kepalanya.
“Bener Aa sayang Nana?”
“Bener, Na. Aa sayang banget.”
“Terus rela melihat Nana dekat dengan A Senja. Aa gak cemburu?”
“Dengar Nanaku… Aa tidak rela. Aa cemburu.” Aku menarik nafas; membayangkan Nana mesra dengan Senja saja sudah membuat dadaku sesak, apalagi melihatnya betulan. Tapi aku tidak punya pilihan lain. “Tapi yang terpenting adalah Aa tahu bahwa Nana juga sayang Aa. Aa percaya pada Senja, apapun yang terjadi, hatinya tidak akan berpaling dari Sae; dan ia tidak akan pernah menyakiti perempuan, termasuk Nana. Aa yakin Nana akan aman.”
“Aku sayang Aa. Aku gak mau kita putus. Hiks…”
“Kita tidak putus, Nana. Nana hanya bersandiwara saja di depan Senja dan Sae. Selebihnya kita akan selalu bersama.” Aku meyakinkan Nanaku.
Tik tok tik tok.
Nana bangkit dan memandangku lekat. Diusapnya sisa air matanya, lalu menarik nafas berat. “Baik A. Nana mau… tapi bukan demi A Senja dan Teh Sae aku melakukannya. Tapi Nana melakukannya demi Aa.”
Hanya pelukan yang bisa mengungkapkan segala rasaku. Dan kami berpelukan erat. Kukabarkan kepada Nana rasa sayangku dengan pelukan dan sentuhan tubuh kami ini.
“Terima kasih, Nanaku sayang. Aa sayang Nana. Salawasna seperti tulisan di kaos kita.”
“Nana juga sayang Aa. Aku mau melakukannya asal Aa janji tidak akan pernah ninggalin Nana.”
“Iya Na. Aa janji. Bagi Aa, Nana adalah segalanya.”
Maafkan aku Senja, sahabatku. Demi masa depanmu dan masa depan kita bersama aku harus nekad melakukan ini semua. Aku janji akan menjaga Saemu, dan akan menjelaskan kebohongan ini kepada Sae setelah kamu pergi. Aku percaya isi hatimu, kamu tidak akan menyakiti dan mengasari Nanaku, karena itu aku berani melakukannya.
“A, pulang aja yuks.” Nana mengurai sepi.
“Masih hujan, Na.”
“Kalau seperti ini mah gak akan reda, kita pulang aja.”
“Nana yakin?”
“Kan ada Aa.” Sambil melepaskan pelukannya dan mengangguk.
Aaah… Nanaku. Kukecup pipi kirinya lalu kuelus mesra.
Kami pun beranjak, menembus derasnya hujan. Tubuh dan kaos couple kami kembali basah. Setibanya di saung Abah Barja kami tidak menemukan Senja dan Sae. Pasti mereka sudah pulang. Tumben mereka tidak berlama-lama, biasanya kalau sudah berdua mereka bisa lupa waktu.
Kugenggam tangan Nana dan kami melanjutkan perjalanan sambil bergandengan.
0 Komentar