POV Ardan
Beberapa bulan terakhir ini Senja kelihatan sangat berbeda. Meski masih sering bimbang dan kebanyakan mikir, juga tetap jail dan iseng, tapi pribadinya menghadirkan aura kepemimpinan yang besar. Aku semakin yakin ketika ia berbicara waktu rembugan warga. Ia lebih banyak diam, tetapi sekalinya berbicara sangat berwibawa; bahkan sesepuh kampung pun tak ada yang membantah. Ia seperti sang penguasa; tak ada yang berani menundukkannya, kecuali di hadapan Sae. Di hadapan Sae ia selalu luluh dan lebih banyak mengalah.
Hari ini memang ada yang aneh dalam dirinya, ia lebih murung dan tampak menyembunyikan sesuatu. Kami sudah saling kenal sejak kecil, jadi perubahan apapun aku bisa merasakannya; walaupun tak tahu apa. Kangen karena Sae karena mereka tidak bertemu selama seminggu? Itu pasti. Tapi aku menangkap hal lain, ia nampak banyak pikiran. Duh kenapa nih anak? Mau senang-senang malah bikin khawatir. Kami sempat panik karena ia malah pingsan dan susah dibangunkan. Belum lagi sikap Sae yang malah membuat kami semakin panik. Ya.. namanya juga sedang saling kasmaran, mau diapakan lagi.
Aku ingat makiannya sebelum ia pingsan.
“Kami berempat sudah sama-sama tahu, Ja.” Kataku mencoba untuk jujur. “Hah?”
“Kami cerita di sini pas gak ada siapa-siapa.”
“Silaing (kamu, kalian) memang asu kabeh.”
“Kami juga sudah merencanakan untuk ehem-ehem berempat.” Senyumku jail. “Bajingan! Terus tukeran gitu?”
“Iyalah, Ja, biar seru dan punya keasikan baru.” Aku semakin menjailinya.
“Anjing!!”
“Ja, Bi Iyah lagi hamil anak aing. Sudah sebulan.” Aku mengungkapkan rahasia yang selama ini kupendam.
“....” Senja hanya diam.
"Aing bohong soal maen berempat mah. Aing sayang dia, Ja. Kudu kumaha yeuh (harus gimana nih)?” Aku mencoba meminta pendapat Senja. Aku terus bercerita, tapi ia sama sekali tidak menanggapi. Hadeuh.. malah molor nih anak, padahal aku sangat mengharapkan pendapat dan masukkannya.
Kali ini aku merasakan kalau makian Senja keluar dari emosinya, bukan sebagai candaan seperti biasanya. Ia sangat bergetar ketika mengucapan ketiga kalimat itu. Ada kemarahan dan kekecewaan yang ia redam-bersembunyi di dalam dadanya. Ia betul-betul marah dan kecewa; mungkin juga rasa bersalah. Maafkan aku, Ja. Aku juga sudah punya rencana, semoga sesuai dengan keinginanmu juga.
Aku menyusuri malam untuk menepati janji bertandang ke rumah kekasihku. Melihat kemesraan Senja dan Sae membuatku tak sabar berjumpa kekasihku. Pujaan hatiku. Sumber segala khayalku. Bi Iyahku sayang. Sudah dua hari ini kami tak bisa mengumbar kemesraan karena suaminya selalu ada di rumah. Tapi jauh di dalam lubuk hatiku, tersembunyi sebuah rasa yang menyesakkan; dan aku harus menyelesaikannya malam ini.
Setelah mengamati suasana, aku masuk ke dalam rumah. Pintunya sengaja tidak ia kunci. Aku mengendap masuk, lalu kusibak perlahan tirai pintu kamarnya. Deg. Jantungku langsung berdebar.
Ia nampak tertidur dengan pulas. Mungkin karena terlalu lama menungguku. Tubuhnya terbaring dengan tangan di atas perut. Satu kakinya terangkat membuat dasternya tersibak sampai pangkal pahanya. Ada warna celana dalam yang meremang hitam. Aku berjingkat dan duduk dengan sangat perlahan, menikmati kecantikan wanita dewasa yang sedang tidur. Ia nampak semakin ayu dan anggun. Dan aku menarik nafas panjang. Sumpah aku bukan hanya bernafsu, tapi aku menyayanginya. Apalagi begitu tahu bulan ini dia tidak menstruasi. Hampir pasti ia mengandung anakku. Kalau tidak sadar ia istri orang, aku tak peduli pada gunjingan warga, aku ingin memilikinya selamanya. Persetan dengan jurang usia.
Tak terasa, mataku berkaca, menatap orang yang kukasihi tanpa bisa kumiliki seutuhnya.
Aku membelai pipinya. “Bi.. Sayang…” Aku memanggilnya pelan.
Matanya terbuka perlahan, setelah kesadarannya pulih kulihat bibirnya merengut-merajuk, tapi sinar matanya berbinar senang.
“Maaf sayang. Membuat bibi menunggu.” Kukecup keningnya, dan kutuangkan segala rasaku.
“Kalau udah ngumpul, lupa ama bibi.” Ia masih merajuk.
Kukecup bibirnya tipis. Tanganku mengelus perutnya.
“Aku ingin mengunjungi anak kita.” Bisikku.
Tiba-tiba ia melumat bibirku, mungkin ia langsung terangsang mendengar ucapanku. Dan kami pun saling menerima dan memberi rasa sayang dalam ciuman ini. Di sela ciuman, kuingatkan untuk tidak mendesah terlalu keras agar tidak terdengar ke rumah mertuanya.
Kali ini kami bercumbu dengan penuh perasaan; tak teburu-buru, meski nafas kami saling memburu. Kami beranjak sejenak dan melepas pakaian kami seluruhnya. Kami sudah telanjang dan aku sudah sangat hafal semua lekuk tubuhnya, termasuk titik-titik rangsang yang ia miliki. Tapi aku tetap tak pernah bosan untuk menjelajahinya lagi dan lagi.
“Mmmmh… ssshhh…,” wanitaku melenguh ketika kukecupi leher dan dadanya. Tangannya mendorong kepalaku supaya segera turun dan menyentuh kedua payudaranya. Aku merangkak dan kuhisap dengan penuh kasih sayang. Kali ini aku menjelajahi setiap inci tubuhnya dengan perasaan. Kumanjakan payudaranya dengan sentuhan dan kecupan lembut. Sementara setengah tubuhku menumpang di antara kedua kakinya yang mengangkang. Perutku geli karena vagina dan bulu kemaluannya.
“Uh.. sayang… ayo sayang… gak kuat… kangen banget…” Bi Iyah meminta di sela desahannya. Dadaku bukan hanya berdesir, tetapi berdetak kencang.
Aku bukan hanya kangen, bibiku sayang, tapi aku ingin menjadikanmu menjadi bagian di seluruh hidupku.
“Sabar sayang..” Mulutku mengucapkan kata yang berbeda dengan isi hatiku.
Tidak seperti biasa, kini aku betah berlama-lama mencumbu perutnya. Kucium dan kebelai, kuusap dan kujilat. Aku bukan hanya memberi rasa sayang pada pemilik perut ini, tetapi juga kepada benih anakku di dalamnya. Tanpa sepengetahuan wanitaku, mataku berkaca. Bahagia, haru, sakit, luka. Semuanya mendesak sesak.
Aku tak ingin wanitaku tersiksa karena gairah, kubelai-belai kedua pahanya, lalu aku merangkak turun dan merapikan bulu lebat kemaluannya dengan bibir dan lidahku. Lalu tanganku berpindah mengelus betisnya yang berbulu halus.
“Sayaaaaang…. Uuuuh….” Bi Iyah melenguh dengan suara tertahan ketika lidahnya mencucuk kemaluannya. Kujelajahi dengan lidahku. Di sini nanti anakku akan lahir dan melihat dunianya, tanpa mengenal siapa bapak yang sesungguhnya. Ada perih di balik dada ini; dan air mataku tak dapat kutahan ketika ia menetes.
Birahi dan cinta, gairah dan gejolak marah pada diri sendiri, luka dan sayang, semua berpadu dalam diriku. Kuusap ujung mataku, dan kucoba tepis semua gejolak di dadaku. Saat ini aku ingin membahagiakan wanitaku dan memberinya puncak kenikmatan. Aku melupa tentang diriku, dan fokus pada wanitaku.
Kucucuk klitorisnya dengan lidahku, lalu kuemut lembut. Desah dan gelisah tubuhnya mengundangku untuk memuaskannya. Sementara lidahku bekerja, jariku kucucukkan ke dalam lubang kemaluannya. “Aaaaaah….” Bi Iyah memekik sambil menjabak rambutku.
Aku kaget sejenak dan mendongak. “Bibi sayang… jangan keras-keras…” Aku mengingatkan sambil mengatur nafas.
“Hah.. hah… iyah.. huh… sayang… abisnya.. bibi sssh… enak banget serasa mau bucat…” Diraihnya ujung selimut lalu digigitnya. Kulanjutkan aksi jari dan lidahku sampai akhirnya tubuhnya mengejang. Cairan putih mengalir membasahi jari tengahku. Segera kuhisap kemaluannya, tak mau ada yang terbuang.
Lalu aku beranjak menghimpit tubuhnya dengan lengan sebagai tumpuan. Kukulum lembut bibirnya, dan ia hanya membalas lemah. Setelah beberapa saat ia membuka mata dan mendorong tubuhku. “Gantian sayang… giliran bibi yang memuaskanmu.”
Aku menggeleng dan kutahan tubuhnya. “Aku gak butuh, Bi. Kepuasan bibi adalah kepuasanku.” Kukecup bibirnya sebelum ia protes, dan kami saling melumat. Lidah kami beradu dan memburu nafsu. Satu tanganku mengelus bagian-bagian tubuhnya yang bisa kuraih; pangkal paha, kemaluan, tepi pinggang, payudara… tanganku terus mencari dan menjelajahi bagian tubuh yang bisa kuraih, sementara bibir kami tetap menyatu. Tubuh kami kini mulai licin karena bintik keringat.
Perlahan kuarahkan si jago ke arah kemaluannya. Sangat ngilu ketika ujungnya menyisiri kemaluan wanitaku yang sudah kembali basah. Kulepaskan ciumanku dan kutatap matanya. Ia memandangku sayu di sela setiap kedipnya. Perlahan aku memasukkan si jago tanpa melepaskan tatapan kami. Hhhhhmmmmf… bles… bless… bleeeesss… jagoanku terbenam disambut remasan dan hisapan kemaluannya. Aku ambruk di pundaknya, penisku sudah masuk semuanya. Kami saling mengatur nafas sejenak, dan berusaha tidak mengeluarkan desah supaya jangan terlalu keras.
Kucium ujung bibir wanitaku, lalu mulai mengeluar-masukkan jagoanku dengan penuh perasaan. Syahdu tak mau terburu, meski nafas memburu. Mulut beradu, kemaluan berpacu. Wanitaku meminta berganti, ia ingin memberi dan meminta kepuasan dengan memompa dari atas (WOT); tapi aku hanya menggeleng tanpa menghentikan ayuhanku. Aku tak ingin ia banyak bergerak terbuai nikmat, demi janin di dalam perutnya.
Aku pun tak mau mengayuh nikmat terlalu liar, aku ingin memberinya kenikmatan dengan segenap pemberian ini. Desah dan rintihnya menjadi kabar kenikmatan, erang dan geramku adalah jawaban. Kami menyatu dalam tubuh dan rasaku, sampai akhirnya kemaluan kami semakin bersambut liar. Tubuhnya mulai mengejang, dan seluruh darahku terasa semakin menyasar ke bawah pusar; menegang urat dan syarafku. Dalam satu erangan, kemaluanku menyembur bersama semprotan dan empotan cair nikmat wanitaku. Aku mengejang nikmat melepas setiap butiran di dalam sana; kata tak mampu teruntai untuk menggambarkan nikmat penuh makna ini. Kami sama-sama terkulai. Air mata mengembang di kedua mataku. Terisak.
Satu menit kami menikmati saat-saat sakral kepuasan. Lalu sama-sama menggelinjang ketika kemaluan kami terpisah; si jago keluar kandang, basah.
Bi Iyah mengangkat wajahku dan memandang lekat.
“Kenapa sayang?” Sambil mengusap lelehan air mata di ujung mataku.
“Aku sayang bibi,” aku mendekapnya dan menyembunyikan wajahku di pundaknya.
Kami sama-sama terisak.
“Mengapa kamu jadi seperti ini?” Isaknya.
“Maafkan aku bi. Maafkan aku yang mencintamu.”
“Malam ini kamu beda sekali, Ar, pake perasaan. Bibi bisa merasakannya, sayang. Bibi suka.. tapi.. hiks hiks…”
Aku bangkit lalu membaringkan tubuhku di sebelahnya. Kuraih tubuh berpeluh wanitaku dan kutuntun ke dadaku.
Kami meresapi kebersamaan dalam isak masing-masing sampai mengering.
“Bi… sayang…”
“Iya Ar?”
“Aku ingin bibi jujur. Bibi sayang aku?”
“Kenapa kamu bertanya begitu, Ar? Hiks..hiks…” Isaknya kembali.
“Nggak kenapa-napa, Bi, aku hanya ingin mendengar. Percayalah aku tidak akan merusak rumah tangga bibi.”
“….”
“Aku hanya ingin mendengar kejujuran perasaan bibi. Kalau bibi tidak sayang, aku tidak akan sakit hati.”
“Hiks… hiks… sayang Ar. Bibi sayang kamu… sayang banget… Maafkan bibi… hiks… hiks…”
Kueratkan pelukanku.
“Bi…”
“Aku sayang bibi. Sayang banget. Kalau aku kemudian mundur dan mengakhiri semuanya ini, bukan karena jarak usia kita, Bi. Aku tidak peduli dengan rentang 17 tahun usia kita. Aku mundur karena bibi sudah bersuami. Aku menghormati mamang, dan merasa bersalah. Maafkan aku karena telah menyayangimu.”
Bibirku bergetar.
Kami saling berdiam dalam gejolak perasaan masing-masing. Isak tangisnya terdengar perih.
“Bibi gak mau ini berakhir, Ar.”
“Aku juga, bi. Aku juga tidak ingin berakhir. Tapi semakin kita dekat, hatiku semakin sakit. Sakit karena tidak bisa memiliki bibi. Sakit karena rasa bersalah.”
“Jaga anak kita, bi Iyahku sayang.” Aku menarik nafas. Sesak.
“Biarkan mamang bahagia karena akhirnya bibi mengandung. Biarkan dia bangga menjadi seorang ayah. Aku akan ikut menyayanginya dengan caraku sendiri. Aku akan mendidik dan membiayai sekolahnya. Anak kita harus jadi 'orang'. Aku akan selalu mencintainya.”
Kuusap-usap lembut perutnya. Kusampaikan rasa sayang kepada janin kami berdua. Ada luka di hati. Air mataku terhenti, tapi pedihnya tetap membekas. Aku akan menyayangi kalian berdua dengan caraku. Ini janjiku.
“Hiks… hiks…. Sayang, beri bibi perpisahan yang akan selalu kita kenang.” Ia melumat bibirku dengan air mata berderai. Kami pun berciuman panas. Kami saling mencecap, mengisap; dengan lidah saling membelit, melilit.
Kami terpisah untuk menghirup nafas, lalu bersatu lagi… lagi dan lagi… Desah nikmat dan pedih bersahutan di antara kami.
Tubuh kadang tak mengenal luka di hati. Meski hati pedih, ia tetap meremang karena gairah. Kupisahkan bibir dan mulut kami. Sejenak kukecupi kedua matanya, juga air mata yang meleleh di pipinya sambil membelai perutnya. “Aku sayang bibi.” Sekali lagi kuungkapkan perasaanku dengan rasa sesak.
Lalu kuciumi leher basahnya karena bintik keringat dan akhirnya tiba di kedua payudaranya. Aku menjaga supaya tidak meremasnya terlampau keras, sebagaimana biasa kulakukan ketika mengayuh-memberi-dan-menjemput nikmat. Aku menciumi daging kenyal dan cuatan putingnya bergantian, sambil meremas payudara satunya. Sejenak kami lupa akan rasa perih ini, dan mulai saling meremas, saling desah dan lenguh, saring rangsang, saling memberi kepuasan.
Kuberikan kecupan perpisahan di setiap inci tubuhnya, tanpa memberi kesempatan kepada Bi Iyah untuk membalasku. “Cukup sayang… sssh…shhh… aku saja. Bibi.. aah… diam saja…” Kataku. Terakhir aku kembali mengoral kemaluannya yang sembunyi di balik rimbun-basah bulu-bulunya, dan putih-lembab kedua pahanya. Aku terbenam dan mencecap setiap aliran basah yang mengalir, menyusuri dinding kenikmatannya yang merah merekah; menjilat serta menghisap klitorisnya. Aku sudah tak menegurnya ketika ia memekik menahan orgasmenya. Tubuhnya kembali mengejang dan kedua kakinya menendang-nendang. Tangannya meraih apapun yang bisa kupegang dan meremasnya kuat-kuat; tak terkecuali rambutku. Lalu dalam sekali hempasan nafas, tubuhnya terkulai lemas.
Aku menahan gairahku yang sudah sangat tinggi, tubuhku memanas, dan si jago berkedut-kedut meminta. Wanitaku lebih utama, biarlah ia beristirahat dalam kepuasan nikmatnya. Kubaringkan tubuhku di sampingnya. Kubelai wajah ayu keibuannya, kuusap setiap bintik keringatnnya.
Wanitaku, kekasihku, cintaku, lukaku, membuka matanya. “Maaf sayang… tanggung ya?” Senyumnya memelas. Aku cuma menggeleng lalu kukecup kedua pipinya bergantian. Tangan kami saling menggenggam dan meremas.
“Bibi sudah siap lagi sayang.” Katanya, menghentikan kedua bibirku yang terus mengecupi bagian-bagian wajahnya. Mendengarnya, aku langsung mengulum lembut bibirnya. Kami kembali berciuman dengan penuh perasaan. Lidah kami saling menggelitik seolah memberi salam perpisahan.
Lalu kuposisikan tubuhku di atasnya, kedua lututnya ditekuk dan aku kembali memasuki lubang nikmatnya. Terasa lebih licin, namun tetap nikmat karena kedutan dan isapan dinding-dinding vaginanya. Aku mulai memompa dengan nikmat. Kedua kakinya dibelitkan di pinggangku. Kami pun saling meraup nikmat dengan deras nafas yang terengah dan air mata yang entah kenapa kembali terurai. Nikmat dan pedih menjadi pasangan kehidupan; ada memberi, ada menerima; ada cinta, ada luka; ada lenguh nikmat, ada derai air mata. Ada aku, ada dia. Menjadi satu dalam perpisahan yang syahdu.
Dalam sekali hentakan, kami melepas segala nikmat dan gundah di dada dengan erangan terakhir bersamaan. Terengah. Lantas kami terkulai basah. Malam sudah hampir berlalu, namun penisku masih teramat ngilu bersama pilu hatiku.
“Maafkan aku, karena cintaku telah meninggalkan jejak luka di hatimu,” desahku. Lalu kami sama-sama terlelap. Menjelang fajar, kami berpisah dalam ikatan janji untuk saling menjaga tanpa harus memiliki.
Telegram : @cerita_dewasaa
Aku terbangun karena kokok ayam di belakang rumah. Terasa ada yang menghimpit dadaku. Kubuka mataku dan gadisku masih terlelap tanpa berubah posisi sejak semalam. Kuangkat sedikit kepalaku untuk memandang wajahnya. Keningnya sedikit berkerut dan bibir bawahnya tergigit. Kuusap-usap keningnya lalu kubelai pipinya. Mungkin dia sedang mimpi buruk. Lama aku membiarkannya tetap terlelap, dan aku menikmati keindahan pagi dalam kebersamaan ini.
Gadisku melenguh dan tubuhnya menggeliat. “Sudah bangun, sayang?” Kuusap-usap kulit lengan atasnya. Kurasakan sebuah anggukan. Ia mengangkat wajahnya dan memandangku. Dadaku berdegup memandang wajah ayunya. Gadisku kian memancarkan kecantikannya di saat baru bangun tidur. Aku memberinya senyum sambil membelai dan merapikan rambutnya. Kuabaikan belahan putih di atas dadanya.
Kutarik kepalanya dan kuberikan kecupan di dahinya. Tiada kata di awal hari ini, kami saling bermanja-manja menjemput pagi.
“Yank, udahan ah manjanya. Yuk bangun, bentar lagi ibu pulang.” Bisikku sambil mengecup tipis bibirnya.
“Aku masih betah, sayang. Kangen terus ama kamu.” Ia merajuk.
Kukecup lagi bibirnya.
“Yank. Apakah kita akan seperti ini terus?”
“Pasti.” Jawabku yakin.
Muuuuach. Ia melumat bibirku beberapa saat.
“Suatu saat. Aku akan merasa kehilanganmu.” Ia bangkit dan beranjak keluar kamar.
“Heh???”
0 Komentar