XII. MALAM RITUAL: ORIGINAL SIN.
Cahaya bulan terjatuh di atas batu dan tubuh itu. Tepian rambutnya nampak bersinar keunguan. Bagian bawah tubuh langsing itu hanya dibelit kain basah batik. Berwarna coklat tua dengan ornamen keemasan, selaras dengan warna kulit kuning langsatnya. Bagian atas tubuhnya hanya dililit secarik batik bermotif sama yang melingkar menyangga ujung kedua payudara besarnya, melingkar, dan terikat di bagian belakang. Nampak bulir-bulir bening air menjentik-menjernih, berkilau di atas bahu dan punggungnya, rambutnya lurus-basah karena tetesan air dari akar pohon yang memayunginya.
Wajahnya mendongak menatap purnama dengan bibir setengah terbuka. Di sekelilingnya sudah tersebar bunga tujuh rupa yang melingkari panggung batunya, mewangi bersama aroma kemenyan yang semerbak; memberi suasana angker sekaligus sakral. Alam tak lagi gaduh; ia hanya bersenandung melalui gemerisik daun yang dimanja sepoi angin, dan gemercik air yang keluar dari sela-sela bebatuan.
’Ambilah tulang rusukmu’ jantungku berdebam menggemakan perintah. Kekuatanku kakiku kembali pulih untuk menyangga tubuh ini, mataku rasanya menyala, bulu kudukku meremang karena gairah.
Aku melangkah perlahan, tatap mataku lekat dari tubuh basah itu. Ia menyadari kehadiranku tanpa sedikit pun menggerakan tubuhnya. Aku tiba di belakangnya, lalu berjalan melangkah di batas luar hablur bunga. Mataku kian tajam mencumbu binal pemandangan eksotis di hadapanku.
Aku melingkar melalui sisi kanannya, gundukkan payudaranya memanjang mengkal. Ujung rambutnya menumpang di pangkal payudaranya menciptakan gari-garis basah yang mengalir di atas kulit gundukannya, lalu menyusup ke arah sumbu yang tertutup seutas batik itu. Aku terus berjalan dan sedikit mematung di hadapannya. Kedua payudaranya terpampang, menghapit-bersisian di tengah dadanya dan memberi ruang pada aliran basah di belahannya; menyusup lalu mengalir di atas perutnya.
Bola mata kami bertemu pandang, berbagi senyum menggugah rangsang; bibirnya mekar indah bersaing dengan syahdu kemilau purnama. Ada semburat gairah di antara kami. Sebaris gigi putih berbaris di atas gigitan tepi bibirnya. Wajahnya jauh lebih muda dari usianya, ia kembali ke masa gadisnya; gurat tua tak ada lagi, lipatan lemaknya lenyap; ia kini menjadi gadis ranum yang mengundang kumbang.
Tak ada ucapan dari bibir kami, tapi hati kami saling berbicara. Aku melepas pakaianku dan meletakkannya di tepi aliran air. Kini aku polos dengan batang kemaluan menjulang. Ukurannya mendadak lebih besar dan panjang dari biasanya. Aku tahu. Tak perlu kutanya kenapa. Kini tak perlu ada tanya; karena hatiku mengatakan semuanya.
Aku berpaling sejenak meninggalkan sajian tubuhnya; melangkah ke arah mata air. Masuk ke dalam kolam kecil dan membenamkan diri di sana. Di permukaannya sudah penuh dengan bunga, dan di tepi mengepul asap kemenyan di atas sabut kelapa. Aku menenggelamkan seluruh tubuhku sebanyak tujuh kali, lalu mandi dan menggosok kulitku dengan bulir-bulir bunga yang mengapung. Sekali lagi tak perlu sebuah tanya, hatiku mengatakan semuanya.
Lalu aku beranjak dan mengasapi tubuhku dengan kepul kemenyan sebanyak tujuh kali. Badanku seketika hangat, seluruh bulu-buluku meremang. Lalu aku melangkah ke sisi lain hutan. Dan melakukan ritual yang sama pada tujuh mata air di hutan ini.
Selesai. Aku melangkah kembali mendekati sajian betinaku. Kuusap rambutnya, kuelus wajahnya dengan jemariku, turun ke bahu dan lengannya. Ia hanya mendongak diam. Desah resah mulai kudengar. Dengan sangat lambat ujung-ujung jariku menyusuri mengkal payudaranya. Lembut dan kenyal. Tak ada tanda-tanda keriput dan penuaan. Ia kini adalah gadisku.
Kuusap kulit perutnya, melingkar ke pinggang dan punggungnya. Clep. Aku berhasil membuka ikatan secarik kain penutup dadanya, luruh dan hanyut terbawa air. Kubuka jarak. Sempurna. Kini kedua gunung kembarnya mematung, putingnya mengacung; mencuat di pusat lingkaran kecoklatan.
Pucuknya meneteskan buliran basah. Bukan.. bukan air susu.. tapi bening air yang mengalir; yang merambat dari rambut basah dan lehernya. Aku bergetar menahan desah. Belum saatnya… rembulan belum berada di puncak orbitnya.
Kuraih lipatan kain yang terselip di tepi pinggangnya. Kutarik perlahan, dan ia mengangkat tubuh bawahnya, bertumpu pada ujung kaki dan telapak tangannya. Kuputar dua kali sampai sungguh-sungguh terlepas. Pluuuuk… kulempar, tersampir di permukaan yang dangkal. Tak ada pelindung lain setelahnya.
Binar mataku menyala. Ada geram dalam debam di dada. Bulu-bulu hitam nan halus menyeruak basah meranggas seolah mau meraih lubang pusar di perutnya. Apa daya lembaran itu terlalu pendek untuk sampai ke sana.
Aku mendengus resah memandangnya. Nampak ia menggeliat membaringkan tubuhnya setengah telungkup di atas batu. Kaki kirinya diluruskan, sementara kaki kanan menekuk. Satu payudaranya terhimpit di antara batu dan dadanya, satu lagi membaring-menyamping. Pipi kirinya menempel di atas batu, sementara rambutnya menjuntai di tepian. Ujung-ujungnya seakan hendak hanyut di atas riak air. Tangan kiri memeluk tepian batu sementara tangan kanannya berkecipak memainkan air.
Aku menengadah, mendesah, detak jantungku seakan meraung menuntut kepuasan. Purnama membulat tepat di atas kami. Sudah saatnya.
Aku membungkuk dan mencium tengkuknya. Gelinjang halus mengganggu ketenangan tubuhnya, bulu-bulu halus dan pori-porinya meremang. Aku menciumi seluruh tubuh belakangnya, tanpa melakukan pergerakan lain. Hanya bibir dan lidahku yang bersentuhan dengan kulitnya. Sekali-kali ujung hidungku bersapa dengan remang porinya, mendenguskan rasa resah yang bergelora. Biar ini menjadi sengat birahi di antara kami.
Setiap inci kulitnya menjadi kesukaanku. Lidahku menjalar di lekuk tulang punggung dan setiap rusuknya. Melingkar di langsing pinggangnya, dan mendaki bongkahan pinggulnya. Tubuhnya gelisah. Geraknya resah.
Ada sedikit lembah antara pinggul dan pangkal paha belakangnya. Aku tetirah dan terbenam di sana. Lalu kukecup lipatannya. Selanjutnya lidahku berhenti beraksi, bibirku bertugas mengganti. Mengecup kedua paha belakangnya bergantian. Lidahku bekerja sebentar di bagian belakang lututnya, lalu kukecupi kembali jenjang kakinya. Tak ada yang terlewat. Sampai akhirnya aku tiba di telapak kakinya. Kujilati dan kukulum jari-jarinya dengan telaten.
Suara rintih mulai kudengar. Aroma keringat sudah mulai bisa kuhirup. Aku berdiri, ia mengerti. Dibalikan tubuhnya. Kemolekkannya kembali terpampang. Kuciumi seluruh wajahnya. Kening, kedua mata, garis hidung dan pucuknya yang bangir, kedua pipi dan dagunya. Kuabaikan bibir merah jambunya.
Aku asik. Aku bermain. Aku berkelana mengenali setiap jengkal tubuhnya. Meski nafasku kian resah, sejenak aku lupa pada reaksi tubuhku sendiri. Kukecup dan kujilat lehernya, merambat turun ke belahan payudaranya. Aku terbenam, wajahku menari bersama sengal nafas yang nampak dalam gerak naik-turun dadanya.
Lalu kujilat dan kukecupi permukaan payudaranya. Tak ada sisi lembek di sana, seluruhnya mengkal; layaknya gadis perawan yang belum terjamah pejantan. Setelah ujung lidahku menyusuri tepi lingkaran kecoklatan, seketika aku melahap putingnya yang mematung keras. Pekiknya pecah.. melengking membelah sunyi malam. Ia menumpahkan gerah gairahnya yang lama tertahan.
Kukecup dan kuhisap. Kumainkan lidahku di pucuknya, sementara bibirku mengapit. Kulakukan bergantian di antara bongkahan keduanya. Sementara anggota tubuh yang lain masih kutahan untuk bersentuhan. Lama dan lama… aku berada di pucuk payudaranya. Rintihannya semakin perih menuntut kenikmatan yang lebih.
Aku turun gunung. Merambat turun. Menyusuri sisi bawah payudaranya, merangkak menuju perut dan pusarnya. Turun lagi ke selangkangannya yang tiba-tiba membelah karena ia merenggangkan kedua kakinya. Kucecap dan kuhisap bulu-bulu atas kemaluannya, kutarik-tarik dengan apitan bibirku.
Lantas kuberalih menciumi kedua pahanya. Ada pekik marah yang kudengar ketika aku mengabaikan celah kemaluannya. Aku penguasanya. Aku patuh pada kemauanku sendiri, bukan pada kemauannya. Kulanjutkan penjelajahanku.
Penuh hayat dan perasaan aku kembali menyusuri paha dan kaki bagian depannya, dan menuntaskan dengan melumat kembali jari-jari kakinya. Aku berdiri sejenak, merenggangkan badan. Rintih dan desahnya kini berubah menjadi isak tangis. Tak kuasa menahan birahi yang menuntut kepuasan. Aku menyeringai senang.
Kurenggangkan dan kutekuk kedua kakinya. Inilah pertemuan pertama telapak tanganku dengan kulit tubuhnya. Hatiku memberi perintah dan menuntun semua pergerakkanku. Aku membungkuk; kusibak dan kurapikan bulu-bulu kemaluannya. Ada cairan putih yang menggumpal di sela bibir-basah-merah-jambu ini, kuhirup dan kuseruput. Keduanya pahanya mengejang seiring pekiknya yang makin kerap dan kencang.
Tanpa ragu kusisiri kedua sisi dinding vaginanya dengan lidahku, lalu mencecap lembah merahnya. Tanganku menahan kedua lututnya yang hendak berontak menahan nikmat. Setelah sekian lama aku mencecapi kemaluannya, aku meraih kedua payudaranya. Serempak. Serentak. Cepat dan tiba-tiba. Tanganku hinggap di atas kedua payudaranya, dan lidahku mencucuk bulatan kecil klitorisnya. Remasan dan jilatan kulakukan bersamaan.
Jeritnya melengking dan nyaring; dari kemaluannya menderas cairan basah. Segera kutampung dengan mulutku dan kuteguk. Tubuhnya kejang beberapa saat sampai akhirnya terkulai lemas. Kubenamkan tubuhku di atasnya, kemaluan kami lekat menempel, lalu kukecupi wajahnya sambil tanganku mengelus payudaranya lembut. Sejenak ia terkulai tanpa daya. Namun ketika hendak kubelai rambutnya, ia membuka mata. Matanya yang sayu dan teduh berubah menjadi tajam dan marah; ada binar yang menusuk nyali.
Seketika kekuatannya pulih, terasa melalui cengkeramannya di bahuku. Tenaganya menjadi dua kali lipat kekuatanku. Ia membalikan tubuhku dengan paksa; upayaku tak lagi mampu melawannya.
Gadisku menuntut balas. Ada sinar dendam yang terpancar. Tapi aku senang.
Buas ia melumat bibirku. Mencecap, menjilat, menghisap. Lidahnya menerobos paksa dan menari di mulutku. Aku mengimbanginya sehingga kami saling membelit, air liur pun tak lagi terbendung menetes perlahan.
Dihempaskannya kedua tanganku yang hendak meraih tubuhnya; aku mengalah untuk mengikuti permainan balasannya. Lantas ia menjilati mukaku; terlampau liar dan buas. Aku menyeringai puas. Kedua kupingku dihisap bergantian, dan dadaku diremas. Bahuku digigit gemas.
Seluruh dada dan perutku menjadi area berselancar lidah dan bibirnya; aku mendengus dan menggeram. Lama dan lama. Penisku sakit dan ngilu karena tegang maksikmal, namun ia tak kunjung meraihnya. Plak. Lenganku yang hendak menggenggam penisku sendiri ditampar dan disingkirkan. Baiklah. Aku mengalah.
Ia menjilati pahaku sementara ujung jarinya menarik-narik bulu kemaluanku. Eranganku pecah. Aku meracau penuh birahi; membuatnya semakin liar. Bulu-bulu betisku meremang ketika ia jilati, dan sakit di penisku yang meminta sentuhan kian kurasakan. Aku menggelinjang ketika ia menjilati telapak kakiku dan melumat jari-jarinya satu per satu. Aku meledak berteriak; matanya sekelebat memandangku binal.
Hmmmf. Aku sejenak menahan nafas ketika akhirnya telapak tangannya menggegam penisku yang mendongak-dongak. Cup. Ia mengecup ujungnya. Dan memainkan lidahnya di sana. Darahku mendidih dan jantungku berdetak kencang, nafasku tersengal. Kakiku tersentak ketika lidahnya menjalari batang penisku, dan menyusuri urat-uratnya yang mengejang.
Dan aku menggeram kencang, lebih seperti lolongan, ketika ia mencaplok biji penisku. Dimasukkan ke dalam mulutnya dan diemut bergantian. Sementara tangannya mulai mengocok batangnya. Sekuat tenaga aku mencengkeram batu mempertahankan kenikmatan dan harga diri seorang pejantan sejati; tak boleh kalah apalagi mengalah dalam permainan lidahnya.
Kualihkan pikiran dan pandanganku. Sementara gadisku mulai mengoral penisku. Di tepi kolam ada sosok yang mengawasi kami. Matanya berbinar, mulutnya menyeringai. Kami bertemu pandang. Aku melupa sejenak dari rasa nikmatku dan kusyuk pada kehadirannya.
Aku kembali sadar ketika pipiku ditampar halus dan diarahkan oleh gadisku. Wajahnya sudah begitu dekat. Tatapannya lekat. Kami kembali berciuman. Tangannya mengarahkan penisku ke vaginanya, mencucuk bibir basah dan lembabnya… geli ketika menyusuri tepi-tepinya. Sampai pada akhirnya menemukan pintu jalannya. Clep.. clep… penisku perlahan memasuki lubang kenyal itu. Namun tertahan karena ada selaput yang menghalang.
Gadisku melepas ciumannya, tubuhnya ditegakkan dengan bertumpu pada dadaku. Kuraih kedua payudaranya dan kuremas pelan. Tampak ia menarik nafas panjang beberapa kali. Ia tersengal. Jleb. Ia menekan pinggulnya. Preeeeet. Penisku merobek selaput daranya dan amblas. Terbenam seutuhnya. Ada nikmat dan sedikit nyeri kurasakan. Kami berteriak bersamaan, menjerit membelah sunyi. Menyampaikan suara nikmat kepada penduduk kampung yang masih terlelap.
Beberapa detik dunia kami terhenti. Tubuh kami terpaku kaku. Sampai akhirnya ia mulai mengangkat kembali pinggulnya pelan. Aku mendongak dan memandang kelamin kami, ada cairan darah di batang penisku dan sebagian mengalir di sela vaginanya.
Ia mulai menarik turunkan pinggulnya, penisku muncul-tenggelam. Kusangga gerak liarnya dengan memegang pinggangnya. Kami merintih, kami mendesah. Kami berteriak menjemput nikmat. Kami menjadikan sunyi malam menjadi gaduh. Pompaan dan goyangan membuat penisku ngilu. Vagina sempitnya senantiasa mengcengkram dan meremas ketika ia amblas. Dan ada hisapan yang menarik ke dalam ketika ia terpisah. Akhirnya kami segera meraih puncak. Tubuh kami semakin liar.. semesta perlahan menghilang dari kesadaran. Kami berpacu bersama deras keringat. Dan… aku melepaskan desakan penisku. Menyemprot dan menyebur lubang sempitnya. Cairan kami berjumpa rindu di pintu rahimnya.
Tubuhnya ambruk di atas tubuhku dengan kelamin yang masih terbenam. Di sela nikmatku ada sedikit heran karena penisku tetap tegang dan mengacung di dalam. Segera hatiku memberi jawab. Dan aku menikmati saat-saat puncak ini.
Tubuhnya menggelinjang ketika kugerakkan kembali penisku. Kubalikkan tubuhnya yang terkulai lemas. Dan aku berpacu bersama racaunya yang meminta ampun. Aku pejantan, dan birahi harus dipuaskan. Jeritan ampunmu adalah undangan untuk membuatmu terkulai puas lagi dan lagi. Aku bergerak buas, tenagaku tak ada habis, selalu pulih dan pulih lagi. Kurasakan getar nikmat mulai merasuki kembali dirinya, kedua kakinya membelit pinggangku. Kupacu pinggulku makin cepat dan keras.
Lalu kuangkat kedua kakinya dan kusampirkan di bahuku. Lututnya menekuk mencumbu payudaranya sendiri. Aku pacu, pacu dan pacu. Nafasku menderu. Ia menjerit, aku mengerang; ia perpekik aku teriak. Bagai dua harimau kami melolong bersamaan dalam deras nikmat kami. Dua kali aku menyemprotkan spermaku.
Kali ketiga, kami kembali membuat gaduh hutan ini. Aku lepaskan tubuhnya dan kujadikan ia menjadi betinaku. Tubuhnya nungging di dalam air bertumpu pada tepian batu. Lalu aku memasukkan kembali penisku bersama erang kami, aku berpacu dan memompa. Suara kelamin kami berirama dengan tamparan ringan di bokongnya; dengan desahan dan lenguhan; dengan jeritan dan geraman.
Kujambak rambutnya sampai ia mendongak, wajahnya menengok binal. Aku makin kalap dan memompa dengan kuat. Kulepaskan kembali spemaku untuk yang ketiga kalinya bersamaan desakan cairan nikmatnya. Kami ambruk. Kami terjerembab ke dalam air.
Kami telah berkali-kali meraih puncak. Tapi birahiku tak pernah punah. Rasa hausku akan tubuhnya selalu menuntut kenikmatan lebih dan lebih lagi. Aku menggendong tubuhnya, kakinya membelit pinggangku dengan kelamin yang kembali menyatu. Aku mencengkeram erat bokongnya sementara satu tangannya memeluk leherku dan tangan satu lagi memegang akar pohon yang berayun. Kami bergoyang tanpa tumbang; oleng dengan kelamin tak pernah melenceng. Kami mengayuh birahi sambil berdiri. Kami berpacu dan berpacu sampai akhirnya tubuhku luluh dan kami terjungkal ke dalam air seraya menyemprotkan cairan nikmat kami, spermaku menghambur untuk keempat kalinya, menyemprot tubuhnya dan mengalir bersama air. Di hilir sana, ia akan menjadi dewa keseuburan tanah kami.
Malam masih panjang, aku tak punya waktu untuk lelah. Kuangkat tubuhnya, dan kupacu kembali di atas batu, posisi dia kembali di atas namun kini membelakangiku. Tanganku liar menggenggam dan meremas kedua payudaranya dari belakang, dan memelintir kedua putingnya. Mencengkram pinggangnya, mengelus punggungnya, menepuk bokongnya. Dan…kami memekik kembali, lantas terbuai nikmat sesaat. Semprotan kelima ini spermaku sudah mulai berkurang.
Kali keenam kami berburu birahi dengan berbaring kembali di atas batu, kali ini aku menggenjotnya dari belakang. Pinggulku memompa agar kelamin kami terus beradu rindu, sementara tanganku tak henti meremas payudaranya dan bibirku mengisap lehernya hingga memerah. Kuberikan gigitan kecil di pundaknya, ketika penisku menyemprotkan lahar panas yang tak pernah mengering. Kami kembali ambruk.
Tak perlu menunggu, segera kuangkat tubuh polosnya yang terkulai lemas. Tangan dan rambutnya menjuntai. Gagah tubuhku pongah membopongnya ke arah kolam; aku masuk ke dalam kubangan jernih-berbunga dan setengah tubuhku tenggelam. Semerbak bunga menghiasi tubuh telanjang kami. Tubuhnya kembali menggelinjang saat kuturunkan.
Kami bercinta sambil berdiri di dalam air. Sebelum kumasukkan kembali penisku, aku menengok sosok semampai yang sejak tadi tenang mengamati persetubuhan kami. Kutepuk kepalanya sejenak. Lalu aku kembali pada persetubuhan ini. Meraih puncak dengan erangan terakhir. Kali ini kami saling kelejotan dan mengejang. Mengerang, meraung, melolong. Sampai dunia kami hilang. Tubuh kami terkulai di tepi kolam dengan setengah badan tetap terendam. Inilah puncak ketujuh kami. Ia pingsan, dan aku terkulai tanpa daya.
Tenagaku kini benar-benar habis, sendi-sendiku ngilu. Dan tulang-tulangku terasa remuk. Aku tertidur sejenak di tengah alam semesta.
Aku menggeliat ketika kurasakan ada yang menjilat wajahku. Eggan kubuka mataku, dan dengan sedikit lenguhan kuraih leher besarnya. Setelah tenagaku sedikit pulih, aku beranjak ke tepi sungai. Kuangkat tubuh gadisku dan kubaringkan kembali di atas batu. Lalu kembali kepada sahabat jiwaku.
Aku disambut geramannya. Sorot matanya tajam dan berbinar. Menyeringai menunjukkan gigi dan siung tajam. Kurentangkan tanganku; dan kembali kupeluk lehernya. Kurengkuh tubuh gagah ini dalam kebahagiaan perjumpaan. Inilah pertemuan pertama kami. Bagai sahabat lama yang sudah lama tak jumpa, aku memeluknya erat. Ia menggeram dan mendengus, menyeringai sambil menjilati seluruh wajahku. Kumainkan rambut semampai di bawah lehernya. Kuelus dahi dan punggungnya. Ia tampak berkilau karena sinar rembulan yang sudah beranjak di tepi barat.
Aku beranjak sambil menepuk punggungnya. “Lakukan tugasmu,” kataku. Dengan kegagahan dan kemegahan yang ia miliki, dihampirinya tubuh gadisku.
Ia menjilati tubuh polos itu; tubuh yang terbaring lunglai di atas batu. Tak ada yang terlewat dari ujung rambut sampai jemari kaki. Dan kembali ke vaginanya. Tak hentinya ia menggeram dan sekali-kali mengaum memandang rembulan.
Tak lama kemudian kepulan asap putih menutupi tubuh mereka berdua. Lantas terbang dihembus angin subuh. Kulihat tubuh gadisku sudah kembali ke wujud aslinya. Bu Rohmah. Ia kembali dari kegadisan masa lalunya, terkulai lemas; tak sadarkan diri. Rambutnya sangat acak-acakan. Mataku berkaca melihat sosok tubuh wanita setengah baya yang menakjubkan dan menggairahkan.
Aku mendekat.
"Sawaka, ayo kita pulang.” Kataku.
Kuraih tubuh polos Bu Rohmah dan kami melesat tanpa mengenakan pakaian kami. Mataku menyala membelah malam, sementara Sawaka berlari di depan membuka jalan.
0 Komentar