KETIKA SENJA PART 16

 

“Kamu kok diem terus sih, yank? Cerita donk.” Ia merajuk.


“Aku menikmati kebersamaan kita, sayang. Rasa ini tak bisa semuanya bisa terbungkus kata.”


“Ya udah cerita tentang kakek.”


Diam.


“Hayooo…”


Menarik nafas panjang.


“Iiih.. sayang…”




Aku menyentuh ujung hidungnya sebelum memulai ceritaku. Kubuka segala ingatanku tentang kakek dan juga cerita Bu Rohmah tentangnya.




Aku mengenal kakek hanya sampai umur tujuh tahun, ia meninggal karena usia. Ia adalah sosok yang sangat dihormati dan memiliki pengaruh yang besar, bukan hanya di Sawer tapi juga di kampung sekitar, bahkan di desa. Ia dikenal sebagai sosok yang bijaksana dan punya wawasan tentang kearifan lokal yang luas. Ia juga dianggap memiliki kesaktian -walau tak ada yang pernah bisa membuktikan- karena ia berhasil mengamankan warga kampung dari ancaman gerombolan (istilah yang dipakai warga untuk pasukan DI/TII). Hanya itulah pribadi kakek yang kukenal.




Dari Bu Rohmah aku tahu kalau kakek sendirilah yang memberi nama ‘Sawer’ pada kampung ini. Sawer berarti menyawer (bayangkan saweran dalam upacara perkawinan ketika sinden menabur beras, permen dan uang logam ke atas pengantin). Ini artinya, kakek mau supaya kampung ini bisa menyawerkan kebaikan bagi warganya dan warga sekitar. Kampung ini harus menjadi berkah bagi umat yang hidup di sini dan bagi siapapun yang datang berkunjung.




Di balik penampilannya yang sederhana, kakek memiliki kemampuan untuk membaca pikiran orang yang berniat jahat di kampung ini. Ia juga mempunyai pengawal yang tak kelihatan berupa maung bodas (harimau putih).




Untuk mewariskan ilmunya, ia pernah meniduri tiga orang wanita selain nenek, salah satunya adalah ibu kandung Bu Rohmah yang kini sudah almarhum. Kakek tidak mau menurunkan ilmunya langsung kepada anak-cucunya karena hanya bisa diturunkan dengan cara tidur bersama. Tidak mungkin ia meniduri anak perempuan atau menantu perempuannya.




Tetapi ilmu ini juga tidak bisa serta-merta menjadi milik ketiga wanita yang ia tiduri ini. Ibaratnya ia hanya menanam benih kesaktiannya tapi tidak bisa digunakan. Benih ini secara otomatis akan turun-temurun kepada anak dan cucu dari ketiga wanita ini, sampai yang punya hak mengambilnya. Jika pewaris ilmu itu adalah keturunan perempuan dari kakek, maka benih kesaktian akan menempel pada keturunan lelaki si tiga perempuan. Sebaliknya, kalau pewaris ilmunya adalah keturunan kakek yang lelaki, maka benih kesaktian akan menempel pada keturunan perempuan si tiga wanita.




Aku menarik nafas sejenak. Mencoba menyimak kata-kataku sendiri yang terasa ruwet. Susah juga menjelaskannya ke Sae. Sae hanya memandangku; tak ada tanda kebingungan di wajahnya. Syukurlah kalau ia mengerti.




“Iiih sereeem…” Katanya. “Berarti nanti kamu bisa membaca pikiran aku, ya?”


“Nggaklah, yank. Kan hanya bisa membaca pikiran orang yang berniat jahat saja, atau orang-orang yang memang aku menghendaki untuk membacanya. Sekeras usaha apapun, ilmu ini tidak bisa dipakai untuk membaca pikiran orang-orang terdekat seperti anggota keluara, pacar (sambil menoel dagunya), dan sahabat-sahabat dekat.”


“Ya udah. Lanjut..” Ia menyuruhku.




Aku diam dan hanya memandang mesra wajahnya.




“Lanjut iiih.”


Diam.


“Muuuuach’. Sae menciumku.




Dan aku pun melanjutkan ceritaku.




Jadi, intinya ilmu ini akan terwaris kepada keturunan resmi kakek dari nenek, bukan keturunan dari ketiga wanita tersebut. Siapa? Tidak tahu. Tapi menurut versi Bu Rohmah, orang yang dimaksud adalah aku. Tandanya apa? Ada aura yang sulit dijelaskan, dan akan mengundang rangsangan seksual satu sama lain. Di samping itu, orang yang bersangkutan akan bisa membaca pikiranku. Itulah kenapa waktu itu Bu Rohmah bisa membaca pikiranku.




Untuk memuluskan jalan agar bisa dekat denganku ia menggunakan ramuan supaya bisa tidur denganku. Tentu saja ini tidak serta merta ilmu kakek terwaris, karena itu harus dilakukan dalam ritual di girang (hutan yang terletak di hulu kampung), di mana mata air mengalir ke kampung ini.




Karena aku yang mewarisi ilmu kakek, maka aku harus bersetubuh dengan tiga wanita yang dimaksud dalam sebuah ritual di sana. Tidak bisa hanya dilakukan dalam persetubuhan biasa. Jadi walaupun aku sudah tidur dengan Bu Rohmah, bukan berarti ilmunya langsung turun karena tidak dilakukan dalam ritual.




“Gitu ceritanya.” Aku mengakhiri ceritaku.


“Cemburuuuu.” Sae merajuk manja.


“Maaf.”


“Hehe.. Aku ikhlas kok. Beneran. Demi kebaikanmu aku rela. Percaya ama aku, sayang.” Nada tulus itu terdengar merdu.




Aku tersedak haru. Kukecup keningnya dengan air mata berlinang. Sae yang melihatku, langsung menampar pipiku halus. “Cengeng.” Katanya.




“Nanti malam ngintip aaaah…” Sae mengerling.


“Hush..” Aku memencet hidungnya.


“Iiiih.. akiiit.” Jeritnya.


“Satu lagi, yank.”


“Apa?”


“Eh dua ding..”


“Apa?”


“Kata Bu Rohmah, kalau aku ketemu perempuan yang memiliki tanda lahir di pundaknya aku harus menjaganya dan tidak boleh menyentuhnya.”


“Emang gak boleh. Kamu kan punya aku. Yang kedua?”


“Bu Rohmah bilang kalau…”


“Iiih.. apa?”


“Dia bilang… atas nama kakek ia merestui hubungan kita.”




Mukanya memerah. Cuuup. Dia mencium bibirku. Kami berciuman agak lama dan lidah kami saling membelit. “Mmmmh…” Desah kami bersamaan.




“Yank…”


“Hmmm…”


“Pengen..” Seketika mukanya merah padam.


“Husssh… Nanti aja kalau udah sah.” Aku mengerti maksudnya.


“Kapan?”


“Kamu udah siap?”


“Masa nikah muda?” Dia balik tanya.


“Makanya… kita selesaikan dulu urusan kita dengan warga. Abis itu aku melamar kamu.”




Dia kembali melumat bibirku. Ah.. gadisku. Ia sudah tak ada batas lagi kalau sedang berdua begini. Kubalas ciumannya sambil mengelus paha di balik roknya. Ia melenguh dan bibirnya sedikit bergetar. Tanganku merangkak naik ke arah pangkalnya. Kurasakan pori-pori yang meremang di sana. Aku melupa sesaat. Namun saat aku hendak menyentuh gundukan di balik celana dalamnya, ia menangkap tanganku dan melepas ciumannya.




“Shhh… hah…haaah… Katanya nunggu sah dulu?” Nafasnya tersengal.


“Maaf.. aku kebawa suasana. Kamu sangat menggairahkan, sayang.”


“Iiiih.. aku kan jadi malu.” Ia memelukku


“Pulang yuks.”


“Masih betah.”


“Nanti ibumu nyari loh. Ntar nyangkanya aku ngapa-ngapain kamu.”


“Biarin. Biar disuruh nikah.”


“Hadeuh… katanya gak mau nikah muda. Hayu pulang.”


“Cium dulu.”




Cuuuuup. Muuuach. Mmmhhhh.




Kami pun beranjak. Kubantu merapikan bajunya yang kusut sambil menyenggol payudaranya yang mengkal. Belahan atasnya nambak menerawang di balik kebayanya.




“Iiih.. cari kesempatan.” Ditepisnya tanganku tanpa marah.




Aku cuma cengengesan.




Kami berjalan melingkar menaiki jalan setapak menuju si jalu. Aku harus memindahkannya, karena rumput di sektar sudah habis. Aku biasa menggembalakan si jalu dengan tali tambang supaya bisa ditinggal dan ia tidak masuk ke dalam sawah atau perkebunan palawija. Dengan tali sekitar 5 meter, aku biasa mengikatnya sekitar rumput hijau yang jauh dari tanaman, lalu kalau sudah habis memindahkannya ke area rumput yang lain. Sorenya baru dimasukkan ke dalam kandang dengan memberi tambahan sedikit rumput yang sudah disabit.




Si jalu mendengus memandang kami, menghentikan kegiatan makannya. Kutepuk punggungnya, dan Sae melakukan hal yang sama. Posisi kamu lebih atas dari pada si jalu.




“Sayang, naik.”


“Aku pake rok.”


“Udah gak apa-apa.”




Kubantu Sae untuk naik dan mendudukannya di punggung si jalu yang sudah asik kembali makan rumput. Posisi Sae miring menghadapku.




“Kamu kayak aku waktu kecil.” Aku terkekeh.


“Yeee… kamu sendiri yang menaikan aku. Takut jatuh niih.”




Sae mengangkat rok batiknya dan susah payah merubah posisi mengangkangi punggung si jalu. Satu tangan berpegangan pada punggung si jalu, satu tangan lagi dipakai untuk memegang rok bagian depannya agar menutupi selangkangannya. Lebih dari setengah paha putihnya tak tertutup rok dan sejenak membuatku terpesona. Sae hanya memeletkan lidah menyadari pikiran mesumku.




Kulepas ikatan si jalu dan kutuntun menyusuri area yang agak datar agar Sae tidak terjatuh. Setelah menemukan tempat yang berumput hijau, kuikatkan kembali tambangnya pada akar pohon mahoni. Kuraih tubuh Sae dan membantu menurunkannya. Kami berpelukan sambil cekikikan. Indahnya…




Kami pun pulang sambil bergandengan tangan. Jauh di seberang sanah, dari sudut mataku aku bisa melihat Ardan dan Bi Iyah beriringan di pematang sawah, dan aku hanya menggeleng paham. Ardan memikul kayu bakar dan Bi Iyah membawa karung kopi di atas kepalanya. Kamuplase yang cerdik, pikirku.




Aku antar Sae sampai rumahnya, sekalian mau mengucapkan terima kasih ke Bu Euis. Sae membuatkan dulu kopi dan tak membolehkanku langsung pulang. Setelah kemarahannya di saung tadi, kini Sae menjelma menjadi gadis yang sangat manja. Bahkan di depan ibunya, ia tak malu menggelendot di lenganku. Omelan-omelan Bu Euis yang menegurnya tak ia hiraukan, malah makin membuat ibunya marah dengan memeluk pinggangku. Aku hanya bisa tersenyum salah tingkah.




“Udah kalian ibu panggilin penghulu saja kalau udah kayak gini mah.” Sambil mengucek-ngucek rambut Sae.


“Mauuuu.” Sae makin menjadi.


“Asiiik dapat restu.” Aku sudah tak malu.


“Dasar anak jaman sekarang. Awas kalau kalian macem-macem.” Bu Euis ngomel sambil beranjak ke dapur. Segurat senyum terlintas di bibirnya, kemudian melirik ke arahku sambil menggigit bibir bawahnya.




Cup. Kukecup bibir Sae. Lalu berdiri hendak pamitan. Sae ikut berdiri sambil memegang pergelangan tanganku.




“Cemburuuu.” Rengutnya.




Kukecup lagi bibirnya. Aku tahu kalau Sae jujur dengan perasaannya, tapi ia juga tak melarangku. Aaah… mulianya hatimu, Sa. Kupeluk tubuhnya.








Telegram : @cerita_dewasaa








Aku mengurungkan niatku untuk langsung pulang; langkahku membelok menuju ke markas empat sekawan. Tampak Ega sedang menggiling kopi, sedangkan Jaka sedang asik menghisap sebatang DJ. Aku sedikit terkejut menyadari kehadiran seseorang yang sedang berdiri sambil mengamati Ega. Bu Inah.




“Eh ada bu RT. Apa kabar, bu?” Aku menyapa dan menyalaminya.


“Baik, Ja.”


“Hei nyet..,” Aku menepuk bahu Ega.


"Woi.. njing,” Ke Jaka.




Aku dan Jaka sedikit riuh saling memaki. Itulah bahasa sapaan kami. Hanya Ega tiba-tiba menjadi lebih kalem hari ini. Pasti karena faktor Bu Inah.




“Wah tumben kemari. Gak ke sawah, bu?” Aku berbasa-basi. Jaka berlaga cuek, tapi aku melihat seringai-tengilnya.


"Ngga, ja. Langsung pulang untuk lihat-lihat ke sini.” Jawabnya. Mukanya sedikit memerah.




Aku langsung mengerti, pasti sesuatu telah terjadi. Aku pun tersenyum senang.




“Kamu sendiri gak kemana-mana?” Tanya Bu Inah.


“Halaaah… palingan baru pulang ocon (pacaran) dia mah, bu.” Jaka langsung menyela.


“Biasa aja, nyet.” Sewotku.


“Emang bener, kan?”


“Iiih kalian ini, kayak kucing dan anjing aja.” Lerai Bu Inah.




Kami berdua cuma cengengesan.




“Ga?”


“Woi.. naon"


“Asik donk dikunjungi calon mertua.” Godaku.




Bruuuk. Sekepal biji kopi menghujani tubuhku.


Jaka tergelak. Bu Inah tertawa bingung.




“Maksudnya apa, Ja?” Bu Inah penasaran.


“Itu bu.. Ratna. Ega suka ama…”


“Bohong bu… jangan dengarkan, Senja. Ngelantur dia mah.” Ega memotong sambil mendekat hendak membekapku. Aku segera menghindar.


“Ohhh.. ibu ngerti.. ibu ngerti…”




Bu Inah mengangguk-anggukan kepalanya sambil melihat ke arah Ega dan aku. Sontak wajah Ega memerah.




“Ibu setuju kok, Ga. Ratna sering nyeritain kamu tuh. Kapan atuh? Udah lama tuh dia nungguin kepastian.” Entah benar atau sekedar meledek, Bu Inah bercerita. Ega semakin salah tingkah dan mukanya makin terbakar.


“Cieeeee…” Aku dan Jaka serempak.


“Udah mendapat restu nih.. tinggal punya nyali aja untuk nembak anaknya.” Jaka menambah panas suasana.


“Udah Ga. Nunggu apa lagi.” Tambahku.




Ega siap menimpuk kami dengan sendalnya tapi keburu dicegah Bu Inah.




“Udah-udah.. kalian teh gak ada diemnya. Kasian kan Ega.” Katanya.


“Cieee… cuit…cuit. Dibela camer nih.” Jaka belum mau diam.


“Jaka!” Bu Inah melotot.


“Wah udah langsung mesra aja nih Bu Inah dan Jaka.” Kataku. Tapi cuma dalam hati.




Akhirnya kami pun ngobrol santai. Dari bu Inah aku tahu kalau Pak RT dan Ratna belum pulang. “Mungkin mereka ke desa dulu untuk ketemu uwa nya.” Katanya.




Aku pun menyampaikan ideku untuk mengadakan rembugan warga di bawah koordinasi pak RT; dan kami akan hadir untuk menyampaikan langkah-langkah pengolahan kopi dan mencari jalan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Bu Inah menyimak dan menyanggupi untuk melakukan pendekatan pada suaminya. Kulirik Jaka, dan ada senyum bangga di sana. Ia sedikit membusungkan dadanya.




Bu Inah pun pamit. Setelah ia menghilang, aku dan Jaka jadi bulan-bulanan cacian Ega; yang hanya kami tanggapi dengan cengiran kami berdua.




"Dah ah.. aing balik. Satu masalah udah bisa diselesaikan. Bu RT siap membantu. Nuhun, Ka.” Kataku seraya menghabiskan rokokku.


“Apa hubungannya dengan Jaka?” Ega heran.


“Eh.. nggak… makasih aja udah membantu ngebuka jalan maneh dan Ratna.” Gugupku.




Ega meninjuku, Jaka cuma ngakak untuk menutupi kekagetannya. Fiuuh.. hampir keceplosan.




Aku pun melangkah pulang, sambil mengacungkan kedua jempolku ke arah Jaka tanpa sepengetahuan Ega. Jaka cuma mengerling. Abis menang banyak dia kayaknya.








Telegram : @cerita_dewasaa








Aku masuk melewati pintu yang terbuka tanpa permisi. Bu Rohmah yang sedang selonjor sambil membereskan bunga tujuh rupa hanya menatapku tanpa suara. Aku duduk di depannya sambil menyeruput cangkir kopi miliknya.




“Tumben.” Katanya singkat.




Aku cuma nyengir. Aku tahu maksudnya. Biasanya kalau ketemu dengannya, aku akan langsung memeluk atau mencium bibirnya. Tapi kali ini langsung duduk.




“Sae?”


Aku mengerling.


“Aku udah jujur, bu.”


“Maksudnya?”


“Ya jujur tentang hubungan kita.”


“Hah? Lalu?” Kagetnya.




Aku pun menceritakan pengalaman pagi tadi ketika aku jujur ke Sae. Bu Rohmah menyimak, senyumnya mengembang. “Itu baru namanya lelaki.” Katanya, di akhir ceritaku.




“Ibu, gak malu ama Sae kan?”


“Ngapain malu. Ibu akan lebih malu lagi kalau tidak menjalankan wasiat kakekmu.”




Aku beringsut untuk memeluknya, tapi urung karena ia matanya melotot.




"Boga dipuji sebentar udah berubah lagi. Jadi lalaki kudu boga pamadegan (Jadi lelaki harus punya pendirian),” sungutnya.


“Gimana persiapannya, bu?” Aku mengalihkan obrolan.


“Udah beres semuanya. Ingat kamu jangan telat. Tengah malam harus sudah di sana.”


“Siap. Kirain bareng ke sananya.”


Bu Rohmah hanya menggeleng.








Telegram : @cerita_dewasaa








Aku gelisah di atas tempat tidurku. Pikiranku tidak tenang memikirkan ritualku yang tinggal sebentar lagi. Aku berusaha mengingat wajah kakek dan mengenang semua pengalamanku dengannya. Di balik tubuh kurus dan wajah cekungnya, tersembunyi aura sunyi yang membuat siapapun berpikir dua kali untuk membantah, apalagi melawannya.




“Sebagai anak lelaki, hatimu terlalu peka dan perasa, Ja.” Suatu saat ketika aku sedang duduk di atas punggung kerbau miliknya, sementara ia mengendalikan bajak di belakang. “Ini bisa menjadi kekuatanmu, sekaligus kelemahanmu.” Lanjutnya. Saat itu aku tidak mengerti, umurku baru enam tahun. “Nanti akan ada sawaka yang akan menemanimu, karena kamu bisa sangat lemah.” Kakek tidak menjelaskan lebih lanjut, ketika aku bertanya siapa orang yang dimaksud.




Lalu bayangan Bu Rohmah menggantikan sosok kakek. Sial… aku malah membayangkan tubuh sintalnya. Terbayang segala kebersamaanku selama ini, dan persetubuhan syahdu-sunyi yang kami lakukan kembali membayang, membuat penisku menegang.




Aku sadar ketika sosok Sae segera menggantikan bayangannya. Aku tak akan pernah lupa segala detil penampilan tubuhnya. Apalagi senyum manis dan jailnya, galak dan judesnya, manjanya. Semuanya. Jangan ditanya soal ketulusan hatinya. Ia selalu ada dalam diriku. Ada sedikit nyeri di dadaku, mengingat semua keluasan hatinya.




Muncul juga sosok ketiga sahabatku, dan semua ide nakalku. Aku geli ketika Jaka mengatakan kepadaku, diakhir rencana liarku. ‘Ini yang namanya politik ekonomi dengan menggunakan the power of ibu-ibu, Ja.’




Sosok mereka muncul silih berganti. Ada rasa takut menyeruak, aku takut kehilangan mereka. Takut aku tak mampu bersama dan melindungi mereka. Takut ada luka karena kedekatan ini.




Aku menghela nafas. Lolongan anjing di kejauhan menyadarkanku bahwa waktunya telah tiba. Aku segera berganti pakaian dengan baju kampret (pakaian khas sunda, seperti baju pencak silat), kukenakan ikat kepala hanjuang nangtuang, dan kupasang kalung berbandul siung maung pemberian kakekku.




Sesuai pesan Bu Rohmah, aku keluar rumah tanpa alas kaki dan penerangan senter. Aku hanya mengandalkan obor kecil yang terbuat dari sabut kelapa. Bulan purnama yang persis berada di titik vertikal dengan bumi membantu penglihatanku.




Malam ini terasa begitu sepi dari biasanya, bisa dibilang mencekam. Tak terdengar suara kehidupan manusia atau binatang malam. Hanya suara anjing yang sekali-kali melolong panjang, merindingkan bulu kudukku.




Aku menyusuri jalan setapak menuju ke sebelah utara kampung. Keluar perbatasan, melewati sisi atas pesawahan lalu melewati perkebunan kapol dan menerebas barisan pohon kopi. Berbelok menurun menyebrangi sungai kecil (lebak), lalu kembali menanjak di tepian persawahan abah Karni.




Akhirnya aku sampai bibir leuweung girang. Aku berhenti sejenak dan menarik nafas panjang beberapa kali. Inilah hutan kecil di ujung utara kampung. Di dalamnya terdapat beberapa mata air yang keluar dari balik batu, lalu mengalir ke satu-satunya sungai di kampung Sawer. Sebagian dialirkan warga melalui parit ke area pesawahan.




Meski kecil, leuweung girang ditumbuhi pohon-pohon tinggi besar yang sudah berusia ratusan tahun. Batang-batangnya yang besar-menjulang membawa suasa angker di hutan ini. Hanya orang-orang tertentu yang berani masuk ke dalamnya.




Aku melipir di samping batu besar, lalu menuruni jalan setapak yang becek. Langkahku terasa begitu pelan masuk ke dalam tengah hutan. Jalan yang pendek ini terasa begitu jauh kutempuh; rasanya aku tak kunjung sampai. Dadaku berdegup kencang, lalu berdehem tiga kali sebagai tanda permisi; sebagaimana warga percayai.




Akhirnya aku tiba di belokan terakhir sebelum turun ke mata air. Aku terkejut dan mataku membelalak melihat penampakkan di bawah sana. Kekuatanku seakan runtuh, kalah oleh gairah yang tiba-tiba menyengatku. Lututku bergetar, dan jantungku berdebar. Aku bersimpuh di atas tanah becek, karena kaki ini rasanya tak mampu lagi menahan beban tubuhku. Aku tersengal dan pandangan mataku nanar.




Tubuhku menjadi panas dan gairahku bergejolak, namun tak punya daya untuk segera melangkah.




Di bawah sanah…

Posting Komentar

0 Komentar