KETIKA SENJA PART 12


(PER)JAKA


Inilah Peran Jaka.

POV Jaka:

Teman temanku menyebutku orang yang paling tengil, tak punya greget, pragmatis, dan bertindak dulu baru berpikir. Ah.. entah apa lagi. Sabodo teuing. Aing ya aing, maneh kumaha karep (betawi : gw ya gw, lu terserah lu sendiri). Bahkan Senja pernah ngomel-ngomel ketika aku hanya menghasilkan 4 kg kopi. “Kebunmu luas, kopimu berbuah, tapi kamu malas.” Semprotnya suatu saat ketika kami sedang duduk berdua. Aku sempat marah balik. Anjriit.. teu ngeunah euy (gak enak) dimarahin teman sendiri. Tapi kalau mau jujur sih aku marah karena ego dan harga diri aja, Senja sepenuhnya bener. Aku marah karena ia benar.




Ega. Ia adalah orang paling pendiam di antara kami. Hidupnya lurus. Tidak aneh-aneh. Otaknya pun tidak mesum. Ia memang selalu tertawa mendengar cerita saru kami, tapi tidak pernah menanggapi. Ia memang tertawa mendengar cerita Ardan yang selingkuh dengan Bi Iyah, tapi aku tahu ia tidak pernah setuju. Aing horni, ia malah malu sendiri. Dasar manusia aneh. Karena itu, ia adalah orang yang paling sering kami dengarkan dan jarang menjadi korban ejekan. Usaha kopi pun tidak akan lancar terlaksana tanpa dia. Semua ide usaha dan langkah-langkahnya memang berasal dari Senja, tapi tanpa Ega semua itu sulit diwujudkan. Ia adalah seorang organisatoris di lapangan.




Ardan. Manusia yang satu ini adalah sosok yang ulet. Meski keluarganya cukup sederhana, dalam artian sawah dan kebunnya tidak luas, tapi ia adalah seorang pekerja keras. Ia bukan seorang pemimpin, tapi seorang pelaksana yang bisa diandalkan. Ia juga adalah pemuda yang polos dan apa adanya; mesumnya sebelas dua belas denganku, ketiga baru Senja. Bedanya aing mah masih perjaka. Eh ega juga. Si ega mungkin baru akan merasakan enaknya muncrat pas kawin di ranjang pengantin. Aing yakin pasti peltu, da gak pernah latihan. Hehe. Si Ardan, meski kadang terlihat menjadi orang yang paling lemot, ia adalah orang yang paling pandai bergaul. Ia sangat dikenal di kampung ini sebagai pemuda yang bisa akrab dengan siapapun. Pribadinya ramah dan menghibur.




Senja. Ini lain lagi. Ia manusia yang spesial. Di antara ketiga sahabatku, ia adalah pemuda yang memiliki pesona yang sulit kujelaskan. Seorang pemimpi yang memiliki ide-ide liar. Kampret memang anak satu ini, bisa-bisanya kepikiran untuk membawa perubahan ekonomi dan cara pandang warga kampung Sawer. Entah kenapa, bagiku Senja memiliki kharisma tersembunyi yang mampu memberi energi yang menggetarkan nyali. Meski tampak terlalu mengandalkan perasaan, sehingga membuatnya sering bimbang dan kebanyakan mikir, ia tetap memiliki aura yang mampu menggerakkan. Ya. Dia adalah seorang penggerak.




Intinya, kalau genk kami diibaratkan dengan pasukan tempur, senja adalah penggerak seksligus bagian ting teng yang menyusun rencana, strategi, dan taktik dalam penyerangan sekaligus taktik bertahan. Ia menjadi sosok di belakang layar, jadi moal paeh si eta mah (gak akan mati) da di balik layar terus. Ega adalah Jendral pasukan di medan perang. Ardan adalah prajurit tempur yang mengandalkan semangat dan tenaganya. Aku? Ya. Aku juga adalah prajurit tempur, tapi aku bukan hanya mengandalkan tenaga, sumpah capek, melainkan pake akal dan taktik mempermainkan emosi lawan sehingga mereka lengah pada pertahanannya sendiri; karek ki aing hajar.




Kembali ke senja. Bagiku. Si kampret satu ini adalah sahabat yang diam-diam kukagumi. Ia merupakan seorang pemuda berkharisma yang memiliki banyak kelebihan. Kekurangannya hanya satu: memacari SAE. Ia telah menjadikan Sae jatuh ke dalam pelukkannya. Gadis yang sudah lama kuidamkan, malah menjadi miliknya. Nyeri. Jero pisan.




Aku sempat marah pada diriku sendiri. Emosi. Kesal. Kecewa. Tersakiti. Justru ketika suatu sore aku bertandang ke rumah Sae untuk nembak dia, eh.. malah mendengar kabar bahwa siangnya mereka telah jadian. Sumpah pahit banget. Sore itu akhirnya aku hanya pura-pura ngutang sebatang rokok dan bergegas pulang. Malamnya, ketika Senja cerita sudah jadian dengan Sae, aku hanya bisa cengengesan seolah baru tahu. Kututupi kemarahanku dengan sok menggoda dan memakinya. Selesai main gaple aku menyusul Ardan dan pura-pura tidur duluan. Sebel lihat mukanya. Mereka tidak tahu tak lama setelah Senja pulang, aku keluar rumah dan meratapi nasib di emper rumahku. Semalaman aku tidak tidur.




Ketika kami janjian di bubulak, ieu hate nyeri pisan (hatiku sangat sakit). Sore itu Sae nampak cantik sekali dan senyumnya selalu mengembang. Pasti karena si kampret Senja. ‘Tak adakah sedikit rasa untukku, Sa?’ aing membatin sambil ngelus dada. Aku tetap bahagia walau tidak bisa memilikinya, asal aku tahu ia punya rasa kepadaku, secuil juga gak apa-apalah. Aku semakin kagum pada nih anak ketika ia menjelaskan cara-cara mengolah kopi. Ia begitu menguasai. Udah cantik, pinter lagi. Saking semangatnya, ia tak menyadari aku sering mencuri pandang. Sumpah nyeri pisan. Untunglah waktu itu ega segera ngajak pulang. Sehingga aku punya alasan untuk meninggalkan mereka. Pasti bobogohan (pacaran) tuh setelahnya.




Bahkan ketika kami janjian di saung sawah milik Ega, aku datang terlambat bukan karena hujan besar. Asli bukan. Aku sudah ada di sana sejak siang. Tapi ketika aku melihat Senja dan Sae sudah ada di dalam, aku lebih memilih nangkap ikan di empang Mang Ujang dan membakarnya di saung empang. Maleslah kalau cuma lihat orang pacaran. Waktu itu aku melihat Ardan datang duluan, lalu pas melihat bayangan Ega aku segera menyusulnya; dan bersikap seolah baru datang. Di sana aku kembali harus bersandiwara. Hadeuh.




Inilah luka dan rahasiaku. Malu juga kalau cerita ke Ega atau Ardan. Gak cerita pun buktinya aku masih bisa hidup. Lelaki harus kuat kalau kata bapakku mah. 'Demi sae dan sahabatku, aing mah mengalah saja’, kataku pada akhirnya, sekedar untuk menghibur diri. Ya sudahlah.. toh sekarang aku sudah bisa sedikit berlapang dada. Sakitku sudah tak lagi seperti awal-awal mereka pacaran. Sudah kebal lah kalau hanya sekedar lihat mereka bermesraan mah.




'Aku janji, ja. Aku tak akan merusak hubungan kalian. Maneh yang terbaik pokona mah. Untukmu dan Sae, aku akan menjadi orang paling depan yang membela kalian. Aing Jaka dan ini janjiku.’




Setelah kami pulang dari saung, malamnya Senja datang ke rumahku. Sepertinya ia membawa hal penting untukku, karena waktu di saung ia tidak ngomong apa-apa.




Ia pun menceritakan rahasia pribadinya. Mulai dari ngocoknya sambil mengintip Bi Iyah, lalu ngintip ehem-ehem Bu Inah (Bu RT) dengan Mang Oyeh, sampai hubungan asmaranya dengan Bu Rohmah. Anjing. Kampret. Monyet. Tai bangetlah si Senja. Aku memaki saat itu. Ngomongnya sok puitis dan romantis, tapi kelakuannya ibarat iblis. Sah. Sejak saat itu aku menjulukinya pujangga kelamin.




Mendengarnya, ada gejolak liar petualangan. Masa aing gak bisa kayak Senja. Si Jago harus diajari juga menggali lobang. Tapi di sisi lain, aku juga merasa kasian pada Sae. Halah.. Biarlah gimana ngalirnya aja nanti. Mendingan menjadi tengil aja, seperti ia men-cap-ku selama ini.




Senja juga menyampaikan rencananya untuk memanfaatkan kelemahan Bu RT sebagai senjata agar ia bisa mempengaruhi suaminya. Ya. Sebagai pejabat dan sesepuh kampung, suaminya adalah kunci dalam melancarkan usaha kopi kami. Masalahnya ada dua. Pertama, Pak RT dan bu Inah adalah orang tua Ratna, gadis yang menjadi incaran Ega. Kami harus menjaga perasaannya, dan juga perasaan Ratna. Kedua, kami tidak memiliki bukti perselingkuhan. Sempat muncul ide untuk menjebak mereka berdua, tapi terlalu beresiko mengundang kehebohan warga. Biar bagaimana pun kampung kami ini kecil dan keributan sekecil apapun bisa terdengar ke rumah tetangga. Maka munculah ide Senja untuk menjebak secara halus, yaitu melalui ramuan obat perangsang buatan bu Rohmah. Belum apa-apa aing sudah terangsang. Hadeuh




Ini adalah rencana yang paling masuk akal, tetapi juga sulit karena susah menemukan cara untuk memberikan minumannya pada Bu Inah. Dan mungkin kami salah dengan rencana ini; terserah orang mau bilang apa. Aku setuju dengan Senja, warga harus dibela. Tapi yang tak kalah penting, si jago harus disekolahkan.


Posting Komentar

0 Komentar