KETIKA SENJA PART 11

 

Hari-hari pun berjalan begitu cepat. Sudah seminggu ini kami memiliki aktivitas baru. Pagi sampai siang kami pergi ke kebun untuk memetik kopi, mencari kayu bakar atau menyabit rumput untuk hewan peliharaan masing-masing; siangnya sibuk mengolah kopi. Karena masih musim hujan, kami mengalami kesulitan pengeringan sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama. Suatu kali kopi yang sedang kami jemur terguyur hujan karena kami semua sedang ada di ladang masing-masing.




Minggu kedua kami sudah menyulap gudang penggilingan menjadi lebih besar dengan dinding bilik setengah tiang. Dan ada ruangan kecil tempat menyimpan kopi basah. Biki kopi yang siap jual kami tempatkan di atas para, di atas tungku dapur keluarga Ega.




Minggu ketiga kami sudah mengirim kabar ke Pak Haji tentang apa yang sudah kami lakukan melalui ayahnya Sae yang belanja keperluan warung. Dan mendapat respon baik, kami bisa datang kapan pun membawa kopi.




Minggu keempat kami sudah mulai memiliki hasil. Kini aku dan Sae masing-masing sudah menghasilkan 10 kg kopi, Jaka yang paling tengil hanya menghasilkan 4 kg, Ardan 12 kg dan yang paling besar adalah Ega dengan 17 kg kopi. Ada juga dua karung kopi basah milik bu Rohmah yang belum kami olah. Biaya giling masih kami anggap gratis karena mengolah kopi milik sendiri.




Masih belum ada warga yang tertarik melakukan hal yang sama seperti kami. Mereka masih menjual kopi kepada Pak Ikin. Kalaupun mengolah, mereka hanya menutu (menumbuk) seperlunya untuk konsumsi sehari-hari. Aku dengar Pak Ikin pun, dengan dibantu Pak RT dan Mang Oyeh, kian gencar mendekati warga. Kopi yang masih belum dipetik pun sudah ditawar dan diberi uang panjar. Tak jarang ia datang dan menginap di rumah pak RT, saudaranya. Kami tahu dari Ratna. Saat ini aku tidak terlalu memikirkannya.




Sejauh ini hubunganku dengan Bu Rohmah berjalan normal dan wajar. Sekali-kali aku menginap di rumahnya sambil membicarakan banyak hal tanpa melakukan perbuatan mesum. Hanya sekedar ngobrol di peraduan sampai tertidur. Sudah satu Selasa Pon kami lewati, namun Bu Rohmah cukup memahami fokusku saat ini; ia setuju menunda rencana kami. Ia pun sudah membuatkan ramuan untukku, dan aku sudah menyerahkannya kepada salah seorang sahabatku tanpa sepengetahuan yang lain. Kami tinggal menunggu waktu.




Dengan Sae? Selalu ada hal baru yang kami lakukan untuk semakin mengeratkan hubungan kami. Selalu ada perhatian-perhatian kecil di antara kami, tapi tak jarang juga kami berselisih paham yang mengundang kemarahan. Bagiku itu hanyalah bumbu wajar dalam sebuah relasi. Intinya kami makin dekat, dan aku menjaganya sebagai hartaku yang paling berharga. Hubungan kami sudah menjadi rahasia umum warga. Sementara Ega masih malu-malu untuk nembak Ratna mengingat adanya pertentangan kepentingan antara kami dan keluarganya. Meski begitu aku tahu mereka semakin sering bertemu, meski sembunyi-sembunyi.




Minggu kelima kami mulai menyusun rencana lanjutan. Senja ini aku, Ega, Jaka dan Ardan sudah berkumpul di ‘markas.’ Termasuk Sae yang kini bersandar nyaman di dadaku. Kami sudah tak lagi malu, dan sahabat-sahabatku sudah saling tahu. Sebetulnya apa yang aku dan Sae lakukan sangatlah tidak wajar untuk ukuran pemuda dan gadis kampung, tapi entahlah kami sudah merasa nyaman jika berada di antara ketiga sahabatku.




Kami duduk melingkar di atas bale-bale, kopi masih mengepul dari gelasnya, kukus singkong dan pisang kepok sudah siap saji. Ega, Jaka dan Ardan asik menghisap rokok masing-masing, sementara aku asik memainkan rambut Sae; aku sudah tak berani merokok ketika kami bersama. Bukan karena dilarang, tapi aku mencoba menghargainya.




“Jadi kapan kita berangkat ke desa?” Aku membuka suara.


“Minggu lusa gimana?” Aku menambahkan.


“Setuju.” Jaka sigap. Ega dan Ardan hanya mengangguk.


“Ikuuut.” Sae mendongak memandangku.


“Cieeee..” Mereka serempak meledek.


“Takut kecantol yang lain, ya Sa?” Jaka mengerling ke arah Sae.




Sae hanya merengut.




“Kamu di rumah aja, Sa, jaga kopi takut kehujanan.” Aku menyampaikan usulku. Kami tak pernah memakai kata ‘sayang’ di depan orang lain. Hanya ketika kami berdua saja. Matanya memandangku protes, kucolek hidungnya.




Akhirnya kami pun sepakat pergi berempat. Bukan karena perlu tenaga banyak untuk mengangkut kopi, melainkan sekedar mau bersilaturahmi dengan pak haji.




“Sekarang masalah harga. Kumaha?” Aku mengganti topik.


“Lah.. bukannya 17.500, njing?” Ardan gagal paham.


“Bukan harga dari pak haji, nyet. Tapi kita mau ambil untung berapa untuk kas?” Nadaku agak meninggi.


“Ini mah bagian Sae. Gimana Sa?” Ega selalu menjadi yang paling bijaksana di antara kami, setelah Sae tentunya.




Tik tok tik tok.




“Gimana kalau kita ambil untung 2.500?” Kata Sae akhirnya. “Jadi kita hargai sebesar 15.000 per kilo.”


“Itu udah bersih ya?” Ardan menyahut.


“Kotor atuh iiih… kan belum termasuk biaya kuli angkut. Untuk yang pertama memang gratis karena kalian yang bawa, tapi ke depannya kalau sudah banyak kan perlu bayar kuli angkut juga. Nanti mah siapapun yang ngangkut ke desa kita bayar 15.000. Termasuk kalau salah satu di antara kalian yang nganterin ya tetep kudu dibayar." Sae menjelaskan.


“Dikit banget atuh untungnya.” Ardan agak protes.


“Inget Ar. Tujuan utama kita kan membantu warga, bukan meraup keuntungan untuk diri sendiri.” Aku membela Sae.




Setelah sedikit perdebatan yang gak penting, kami akhirnya setuju. Kami pun melanjutkan kebersamaan dengan senda gurau. Sae mengambil ubi dan menyodorkannya kepadaku. Aku cuma bilang ‘suapin’ tanpa suara, dibalas dengan pipinya yang menggelembung. Senja ini kami asik ngobrol santai saling berbagi keceriaan.




Ketika hari mulai meremang kami pun beranjak. Ega dan Sae membereskan gelas kotor dan membawanya ke dalam rumah. Satu orang menutup alat giling dengan terpal yang sudah rombeng. Aku dan satu sahabatku tetap duduk.




“Gimana ada perkembangan.” Tanyaku.


"Belumlah... susah, nyet.” Katanya. “Minggu depanlah setelah pulang dari pak haji.” Ia menambahkan. Akupun hanya mengangguk.








Telegram : @cerita_dewasaa








Jam tujuh pagi kami sudah tiba di rumah pak haji. Total kami membawa 53 kg kopi. Kami duduk di ruang tamu sambil menikmati secangkir kopi dan goreng pisang tanduk.




“Kali ini bapak membayar penuh sesuai kesepakatan,” Haji Sosmed membuka suara. “Tapi ke depan kalian harus menyortirnya terlebih dahulu dan membaginya menjadi dua kelas. Kopi kelas satu dan kelas dua.” Kami berempat saling pandang bingung.




Pak haji tersenyum mengerti. "Begini, jang, kopi yang baik adalah kopi yang utuh dan padat, tidak bolong atau pompong. Caranya kalian bisa memasukkannya ke dalam ember berisi air. Nah, kalau terendam berarti kualitasnya baik, tapi kalau mengapung berarti isinya kosong. Kalian harus memisahkannya. Nanti yang kelas dua tetap bisa kalian bawa ke mari tapi harganya lebih murah.” Pak haji menjelaskan panjang lebar. Kami pun mengangguk mengerti. Ilmu baru, pikirku.


“Silakan di minum.. jangan dianggurin aja.” Pak haji mempersilakan kami minum.


“Saya ijin sebentar, pak. Mau merokok dulu di luar.” Pamitku, mulutku sudah terasa asam karena belum merokok sejak berangkat tadi.


“Udah di sini ajah.. gak apa-apa… bapak juga merokok kok.” Balasnya.


Aku tersenyum malu. “Sebentar atuh saya ambil dulu rokoknya ke bu haji.”




Aku pun berjalan ke dalam warung yang dipisahkan oleh pintu tertutup. Tampak toko sedang kosong… kulihat bu haji sedang… anjriiit… Bu haji terperanjat namun ia segera bisa menguasai diri.




“Punten bu, Djarum Coklatnya sebungkus ya. Bayarnya nanti sebelum pulang.” Pintaku.




Tanpa berkata, bu haji pun memberikan sebungkus DJ.




“Kamu tadi melihat, ya Ja.” Aku urung beranjak mendengar pertanyaannya.




Aku hanya mengangguk.




“Kamu jangan bocor ke siapa-siapa.” Kembali aku mengangguk.


“Awas kamu!” Omongannya berisi ancaman tapi nadanya sangat lembut. Tampak ia menggigit bibir bawahnya.


“Permisi bu.” Aku pun pamit dengan sungkan.




Aku pun bergabung kembali ke ruang tamu. Sambil menutup pintu aku menyempatkan menatap gundukkan sekal yang sembunyi di balik jubah hitamnya.




Sebelum jam sembilan kami sudah pamit pulang dengan membawa total uang 927.500.




Ini adalah uang terbesar yang pernah kupegang, rasanya tak percaya aku menerima uang sebesar ini. Memang bukan uangku semua, tapi tetap saja membuat aku sedikit terkesima. Kalau dihitung-hitung: Keluarga Ega mendapat 255 ribu, keluarga Ardan 180 ribu, keluargaku dan Sae masing-masing 150 ribu, dan keluarga Jaka mendapat 60 ribu. Kami pun riang membicarakan uang sebesar itu. Ini tak terpikirkan sebelumnya. Alam kami telah memberi rejeki yang luar biasa.




Kami makin gembira ketika setelah dihitung ulang, kami memperoleh keuntungan dan dana kas sebesar 132.500 ribu. Ardan yang dulu protes kepada Sae nampak gembira. Karena kalau dipotong untuk bayar buruh angkut (sekali jalan 15.000) pun kami masih memiliki untung. Hati kami secerah matahari siang ini. Tak ada lelah meski harus menapaki jalan menanjak, tak ada keluh yang terucap, kami semua memulai dunia yang baru. Inilah sebuah awal.








Telegram : @cerita_dewasaa








Sampai seminggu sejak penjualan kopi pertama kehidupan kami tetap normal. Ke sawah dan ladang, memetik kopi, dan beraktivitas di markas empat sekawan. Tidak ada yang spesial. Kecuali Sae, ia selalu spesial di setiap hari-hariku.




Namanya di kampung, sukses kami membawa uang langsung tersebar. Betapa tidak, kami punya uang 20 ribu saja sudah spesial dan bisa membeli gula, garam dan ikan asin. Mendapat uang ratusan ribu ibaratnya sesuatu yang muskil, kecuali kalau bisa menjual seluruh kopi basah satu lereng bukit ke Pak Ikin; atau kalau punya anak di kota dan mendapat kiriman.




Cara pandang yang menyatu dengan alam memang menyenangkan; hidup tidak perlu susah karena alam sudah menyediakannya. Sandang, pangan, papan adalah alam. Sejauh ia bisa memberi makanan harian, itu sudah cukup. Tetapi kalau alam bisa mendatangkan kesejahteraan lebih, kenapa tidak dimanfaatkan; asalkan jangan merusak dan menggasak ekosistemnya.




Itulah yang aku dan para sahabat pikirkan. Beberapa warga sudah berbisik mau menjual kopinya ke kami, namun apa daya kopi sudah kadung dijual meski masih melekat pada tangkal (pohon). Hanya bisa menunggu panen berikutnya, katanya. Aku merasa gagal.




Aku duduk seorang diri di saung kopi milik keluarga kami. Saung yang sama ketika aku dan Sae menjalin cinta tiga bulan yang lalu. Terasa begitu cepat dalam hubungan kami yang indah, namun terasa begitu lambat ketika mengingat aku belum bisa berbuat banyak bagi warga kampung kesayanganku ini.




Kusandarkan kepalaku pada karung kopi yang kupetik hari ini. Pikiranku menerawang. Tiba-tiba bayangannya muncul dalam ingatan. Seorang wanita matang berjubah panjang. Ingatanku kembali ke peristiwa seminggu yang lalu.




Aku membuka pintu ke arah warung hendak mengambil rokok. Kulihat bu haji sedang berdiri memegang bon dagangan. Tetapi tangan satunya sedang berada di balik kerudung lebarnya. Sepintas tidak ada yang aneh, tetapi kalau diperhatikan ia sedang meremas buah dadanya sendiri. Selangkangannya ia tekan-tekan ke ujung meja kasir. Sangat jelas ia menggigit bibir menahan desah, sampai akhirnya ia sadar karena kedatanganku.




Aaah.. apakah ini sebuah pertanda? Entahlah. Aku pusing memikirkannya. Segera aku bangkit dan memikul karung untuk kuantarkan ke penggilingan.




Tak kudapati sahabatku di sana. Ega menurut ibunya belum pulang dari mencari kayu bakar. Jaka dan Ardan juga tidak muncul hari ini. Aku memilih mandi ke tampian dan segera pulang. Badanku sudah terasa sangat penat dan pegal. Sesampainya di rumah, aku mengurungkan niatku untuk tiduran karena ibuku menyampaikan pesan Bu Rohmah untuk ke rumahnya. Aku pun segera bergegas.




Aku memasuki pintu yang terbuka dan menutupnya dari dalam.




“Bu…” Aku mencarinya. Kulihat Bu Rohmah muncul dari dapur. Ia hanya mengenakan kain yang menutupi atas payudara sampai setengah pahanya. Dadanya mengembung besar dan lengging pinggulnya mengundang syahwat kelelakian. Aku terkesima melihatnya.


“Ingat Sae.” Katanya.




Ahh… kubuang pikiran nakalku. Ia hanya tersenyum dan masuk ke dalam kamar untuk berganti pakaian.




Ia muncul kembali. Kali ini sudah mengenakan daster. Kukecup bibirnya, lalu kami duduk berhadapan.




“Minggu depan ibu mau ke kampung Rujit karena Mirnah, anak ibu yang pertama sudah waktunya melahirkan.” Ia memulai obrolan. “Mungkin ibu akan cukup lama di sana. Bisa sebulan dan bahkan lebih. Ibu nitip rumah dan memberi makan ayam.”


“Cieee… yang udah mau jadi nenek.” Godaku. Matanya mendelik.


“Biarin… nenek-nenek juga masih ada yang suka.” Ketusnya.




Kucolek dagunya.




Aku menangkap ada maksud lain dari sorot matanya, dan aku sudah cukup paham. “Kalau begitu kita lakukan sebelum ibu pergi ya?” Tanyaku, yang dijawab oleh anggukan.


“Lusa”. Gumamku.


Posting Komentar

0 Komentar