Lampu senja sudah mulai menyala dari setiap kendaraan yang berlalu lalang. Lampu-lampu penerang pun berkelip kuning-keputihan. Jalanan sangat padat dan macet.
“Ini karena jumat malam, yank. Banyak orang yang datang dari luar kota untuk liburan week end.” Bu haji menjelaskan.
Setelah menikmati kebersamaan syahdu kami sampai sore, kini kami sedang menikmati indahnya senja di Selasar Cikapundung. Tubuh kami rapat sambil duduk di barisan tempat duduk paling atas, tangan kiriku melingkar di perutnya. Awalnya aku sungkan untuk bermesraan di tempat umum, tapi melihat banyak pasangan yang bergandengan dan berpelukan membuat maluku hilang. Banyak mata yang curi-curi pandang ke arah kami. Mungkin mereka heran melihat pemuda kampung bergandengan dengan seorang wanita cantik. Atau mungkin mereka heran karena secantik apapun wanitaku, tetap saja tak mampu menyembunyikan perbedaan umur di antara kami berdua. Atau, bisa juga karena mereka mengagumi ketampananku. Senjaa.. Peduli amat. Ini kota, dan tak satu orang pun yang bisa mengenal kami.
“Yank, kira-kira aku harus mencari, Teh Hera, ke mana yah?” Mataku menerawang, menatap lampu-lampu yang memancar di tepi sungai. Hanya desahan halus yang kudengar. Kepalanya bersender di pundakku.
“Kalau feelingku sih, Hera sudah tidak di Sumatera lagi. Jadi kemungkinannya di Jawa.” Ucapnya ragu.
“Bagaimana kalau aku merantau ke Jakarta saja? Siapa tahu ada petunjuk di sana."
“Jangan, sayang. Lebih baik kamu pindah ke Bandung.”
“Emang dia ada di Bandung?”
“Ya gak tahu. Itu kan cuma feeling kalau ia ada di Jawa, tapi di kota mana aku juga tidak tahu.”
“Terus kenapa harus di Bandung?” Aku makin heran.
“Uuuuh… dasar gak peka!” Tiba-tiba ia memunggungiku dan wajahnya cemberut.
“Lagi kaaan… gak peka di mananya sih?”
“Tauu.. pikir aja sendiri!”
Hadeuh.
Aku kembali meraih pinggangnya. Ia tidak menolak tapi ekspresi marah masih tergurat di wajahnya. Otakku berpikir keras.
“Iya deh. Aku pindah ke Bandung aja. Biar bisa ketemu kamu, dan kamu harus sering-sering ke Bandung.” Aku meragu.
“Beneran?” Ia menatapku tajam.
“Iyah…”
Cuuuup. Ia mencium bibirku dengan cepat. Manjanya muncul kembali, dan tak malu menggelendot di dalam pelukanku. Berarti bener dugaanku, aku sudah mulai peka. Senjaaa..
“Nanti kamu bilang ke Raka, agar aku bisa bekerja di cafénya ya.”
“Iyah.” Jawabnya riang. “Nanti kamu juga tinggal di rumah aja sekalian biar tidak perlu keluar uang untuk bayar kontrakan.”
“Kalau itu nggak sih kayaknya. Aku lebih memilih cari kosan supaya di luar jam kerja aku bisa lebih bebas untuk mencari kakak.”
“Tuh kan.. gak mau ta..”
“Denger sayang.” Aku memotongnya. “Nanti kalau kamu ke Bandung, kan aku bisa nginap di rumahmu. Dan aku akan selalu menemanimu.”
“Janji?”
“Iyah sayaaang.” Dengan gemas kucium pipinya sambil mengeratkan pelukanku.
Sejenak kami lupa pada lingkungan sekitar, dan bibir kami sudah saling mengecup lembut.
Bayangan pergumulan tadi sore membuatku bergairah, tapi ketika aku mulai melumat bibirnya ia sedikit berontak. Aku segera sadar dan celingukan linglung. Beberapa pasang mata tampak sedang memperhatikan tingkah kami.
“Yank, kita jalan ke Cihampelas yuks.” Mukanya memerah. Aku yang tak mengenal kota hanya mengangguk setuju. Kami pun bergandengan keluar taman. Kami menyusuri trotoar yang dipenuhi pejalan kaki dan pedagang kaki dua.
Tak hentinya aku berdecak kagum melihat gedung-gedung tinggi, yang kata bu haji itu adalah hotel dan apartemen. Mataku juga jelalatan melihat berbagai model celana jeans dan kaos-kaos dengan berbagai tulisan unik. Aku sudah mulai terbiasa dengan budaya gadis dan perempuan kota, sehingga aku tidak lagi jelalatan memandang mereka; wanita di sampingku lebih berharga.
“Loh itu bukannya jembatan Pasupati yang tadi?” Tanyaku sambil menunjuk ke bawah.
“Iyah.. tapi kita tidak ke sana. Udah ah jangan kampungan. Yuuksss…” Ia menarik lenganku memasuki sebuah mall dengan tulisan ‘Ciwalk’. Kami menyusuri area berjalan yang cukup panjang, lalu memasuki kompleks mall.
Dengan cekatan bu haji mengajakku keliling untuk melihat semua lorong dan sudutnya. Nampaknya ia sudah hafal seluruh sudut mall ini. Sebuah pengalaman yang menakjubkan, bisa menyaksikan barisan toko dan resto yang serba mewah dengan harga-harga yang juga ‘wah’. Dan banyak juga aksesoris yang dijajakan di area para pejalan kaki. Orang-orang dari berbagai kalangan dengan pakaian modis berlalu lalang tiada hentinya. Kehidupan yang mengagumkan.
“Kita ke supermarket dulu, yank. Tadi aku lihat isi kulkas kosong.” Ia menuntunku ke sisi lain mall. Aku hanya bisa mengekor, sambil celingukan mengamati pemandangan yang sama sekali baru bagiku. Oh pasar toh yang namanya supermarket itu.. eh toko besar dink… Duh.. kampungan banget ya..
Aku hanya mengikuti bu haji tanpa banyak tanya. Dengan mendorong gerobak, eh troli, kami mengelilingi supermarket mencari barang-barang yang bu haji butuhkan. Beuuh.. banyak juga. Hampir sejam kami berputar-putar di dalam supermarket, sehingga membuatku tidak sabar. Tergopoh aku menjinjing beberapa plastik belanjaan.
“Eh.. yank bentar… Kamu mau ikut?” Aku hanya menggeleng malu.
“Aku tunggu di luar saja.” Lalu ia memasuki sebuah toko yang khusus menjual pakaian dalam wanita. Kok gak malu yah memajang pakaian dalam di atas etalase begitu.
Wow. Aku terpaku pada sebuah kalung yang dipajang di atas display depan toko. Aku mendekatinya.
“Silakan, Mas.” Seorang gadis cantik dengan kaos ketat dan mengenakan rok mini menyapaku.
“Ini terbuat dari emas, Teh?”
“Oh bukan, Mas.. ini mah kw?”
“Naon kw teh?”
“Hihi… Mas baru datang dari kampung ya?” Matanya mengamati penampilanku. Beuuh kalo gak cantik udah kusemprot nih cewek.
“Hehe.. iya, Teh. Keliatan ya?”
“Hihi… nggak kok.” Bohongnya. “Aku juga aslinya dari kampung kok, mas.”
“Oh dari mana, Teh? Kalau aku mah dari *u***g*n.”
“Wah orang Sunda donk, Mas. Saya dari Palembang, Mas. Tapi bukan di kota Palembangnya, masih masuk lagi ke kampung. Makanya aku gak ngerti bahasa Sunda. Hehe… Eh jadi beli gak mas? Silakan dipilih.” Si gadis sadar kalau aku malah mengajaknya ngobrol.
“Bagus sih. Tapi kayaknya mahal.” Sesalku.
“Nggak kok, Mas. Ini bahannya dari stainless.” Ia menjelaskan barang dan harganya, juga menjelaskan apa itu kw.
“Iya deh, Teh. Aku ambil yang ini.” Kuraih kalung berbandul unik itu.
“Buat pacarnya, ya Mas?”
“Kok tahu?”
“Hihi.. keliatan aja.”
“Hehe.. Iya, Teh.”
“Oh iya, nama saya Senja, Teh.” Aku memperkenalkan diri sambil menyodorkan selembar uang seratus ribu.
“Gak nanya kok. Hihi..”
“Gitu.. mentang-mentang aku udah beli, sekarang teteh jadi sombong. Tadi ramah banget looh.”
“Hihi.. mas lucu deh..” Ia menyerahkan bungkusan kalung dan uang kembalian sambil menyebutkan namanya.
“Makasih.” Ucap kami bersamaan, membuat kami tertawa.
Dengan gembira aku berbalik meninggalkannya.
Buuuuk. Gubraaak… krosaaaak…
Anyiiiiing. Aku terhempas ke lantai.
“Heh.. kalau punya mata dipake donk!”
Samar aku mendengar suara seseorang memaki. Aku tidak mendengar baik karena mataku nanar melihat gundukan hitam yang bersembunyi di balik kedua paha putih.
Plak!!! Kampreeet. Aku sadar. Seorang gadis berambut pirang tertatih sambil berusaha berdiri. Rupanya tadi kami tabrakan dan sama-sama terjatuh. Dan yang kulihat tadi adalah celana dalam di balik kedua pahanya.
“Maa…maaf.. Teh. Gak sengaja.” Aku mengusap pipiku yang panas karena tamparannya.
“Awas lu…” Matanya melotot.
“Dasar orang kampung.. bisanya cuma cari-cari kesempatan sambil jelalatan.”
“Ehhh..? Maaf Teh. Beneran gak sengaja tadi.” Aku memelas.
“Anjing lu!” Buset kasar banget nih cewek. Kupandang punggungnya yang segera meninggalkanku begitu saja. Cantik dan seksi sih; dengan pakaian ala kantoran begitu membuatnya nampak sempurna sebagai seorang wanita, tapi sayang sikapnya galak dan kasar.
“Udah mas, lupakan saja. Aku bantu yah.” Gadis penjual kalung menyadarkanku sambil membantu membereskan belanjaan yang berserakkan.
“Makasih ya. Teteh baik banget.” Kataku.
“Ah mas bisa aja.”
Kuraih barang belanjaanku dari tangannya.
“Kenapa, Ja?” Bu haji tiba-tiba muncul sambil membawa kantong bermerk terkenal.
“Nggak kok, ni tadi tabrakan ama orang.” Aku memelas.
“Hihi.. ada-ada aja kamu. Ya udah yuks.. Makasih, ya dek.” Ia mengajakku pergi sambil mengucapkan terima kasih kepada gadis penjual kalung.
Setelah sekali lagi berterima kasih. Aku menjejeri bu haji menuju ke sebuah resto.
“Malam ini kita makan contro bakar aja yah.” Aku hanya mengangguk karena tidak mengerti. Kami memilih tempat duduk yang paling pojok, dengan diantar seorang pelayan.
Bu haji memilih beberapa menu dan memesannya kepada pelayan yang sedang sibuk mencatat. Aku hanya diam memandang wanitaku. Cantik banget. Gak ada bosan-bosannya aku memandangnya. Mengingat kejadian barusan ketika melihat celana dalam cewek secara live membuatku kembali bergairah pada wanita di hadapanku ini.
“Kamu kenapa sih, yank? Kok ngeliatinnya gitu banget.”
“Abis ini kita langsung pulang yah.” Aku nyengir, tak menjawab pertanyaannya.
“Loh.. kamu gak ingin jalan-jalan melihat kota Bandung saat malam hari? Indah looh.” Herannya.
“Kan masih ada besok lagi. Gak enak jalan-jalan sambil bawa belanjaan begini.”
“Halaah.. alasan.” Ia mulai curiga.
“Hehe.. Raka biasanya pulang jam berapa, yank?”
“Hahaha.. sekarang aku tahu maksudmu ngajak pulang. Dasar mesuum…” Ia memeletkan lidahnya. “Biasanya sih sekitar jam satu karena café baru tutup jam dua belasan.”
Aku tersenyum dan mengerling senang.
Drrrttt… drrrrt.. drrrrtttt…
“Bentar yah.” Ia meraih hapenya dari dalam tas.
“Iya sayang?”
…
“Nih mamah lagi di Ciwalk. Baru mau makan.”
….
“Ya udah abis makan mamah langsung ke sana.” Aku melotot sambil menyentuh kakinya.
….
“Eh gak jadi deh, sayang. Mamah kayaknya harus pulang dulu bentar, nih Senja sakit perut katanya. Nanti abis dari rumah kami langsung ke situ.” Aku tersenyum senang mendengarnya.
….
“Iyah. Nanti naik taxi aja. Daaaah.”
“Kamu tuh..” Matanya mendelik dan bibir tipisnya memonyong.
“Tapi suka kan?” Godaku.
“Tauu ah..!!”
Dan makanan pun datang.
Aku makan dengan agak tergesa, dan meminta wanitaku juga untuk makan cepat. Ia hanya bisa ngedumel dengan tetap menurutiku. Selesai. Kami makan sekitar setengah jam. Cuuus.. kami pun beranjak pulang.
“Ke perumahan ‘Metro Kuciah Indah’ Dago, pak.” Kata bu haji ke sopir taxi.
“Mangga, neng.”
Siaaal.. jalanan macet banget. Untuk keluar dari halaman mall sampai mendapat jalur di jalan saja membutuhkan waktu hampir setengah jam. Bu haji nampaknya mengerti kegelisahanku. Ia menggeser duduknya. Kuraih tubuhnya sambil memeluk pinggangnya.
“Aku kangen..” Bisikku. Kusembunyikan tanganku di balik kerudungnya dan kuremas payudaranya.
“Sssh.. sabar dulu. Bahayaaa.” Ia mencubit punggung tanganku. Aku mengalah tanpa melepaskan tanganku.
Setelah melewati padatnya Jalan Cihampelas, akhirnya taxi meluncur di atas jembatan Pasupati lalu turun kembali ke arah kampus ITB. Bu haji meminta untuk tidak lewat Dago karena pasti macet banget. Fiuuh.. akhirnya nyampai juga.
“Tunggu kami, ya pak. Nanti saya kasih uangnya lebih.” Kata bu haji.
“Mangga neng.”
Kami sama-sama keluar. Aku dan bu haji masuk ke dalam rumah, sementara sopir taxi duduk di kap mobil sambil merokok.
“Yank? Kenapa disuruh nunggu sih?” Protesku sambil menutup pintu.
“Udah malam sayang. Udah jam sepuluh nih.”
Kutaruh plastik-plastik belanjaan di balik pintu.
Hmmmmfff… Kupeluk tubuhnya dari belakang sambil meremas kedua payudaranya.
“IIiih… gak sabaran banget sih?” Ia membalikkan badan, dan melumat bibirku.
Kugiring tubuhnya ke arah sofa tanpa melepaskan ciuman kami. Bleeef. Kubaringkan dan langsung kutindih, lidah kami saling membelit dengan liar. Kuremas kedua payudaranya dari balik kain sutranya.
“Ssssh… mmmh… aaahh… langsung aja sayang… sudah keburu malam.”
“Shhh… iyah.”
Kami berdiri. Kupelorotkan semua penutup bawah tubuhku, sementara bu haji menggulung rok panjangnya sampai ke perut. Tak sabar segera kuperosotkan celana dalamnya. Cuuuup… kukecup dan kujilati. Vaginanya sudah basah tanda sudah terangsang gairah.
“Ssssh… udah… ayo masukin.”
Wanitaku membalikkan badan dan menungging dengan menumpukan badannya di sofa.
“Aaaaau….” Ia menahan jeritan ketika kuelus bokongnya dan kucolek bibir kemaluannya yang menyempil.
Tangannya meraih kemaluanku, lalu mengocoknya sambil menuntun ke lubang kemaluannya. Clep. Kepala panas penisku berjumpa dengan bibir lembab vaginanya. Kudorong pelan sambil menahan nafas. Clep.. clep… bleeeeessss… “Aaaaarhhhh…” Erang kami bersamaan.
Plop.. plop.. langsung kegenjot dengan liar. Tubuhku mulai berkeringat.
“Sayaaang… oh ah oh aaah…” Wanitaku meracau.
Plak. Kupukul gemas bokongnya, lalu kuberjongkok sambil tetap mengocok. Kuremas kedua payudaranya.
“Aaaah… uuuh… sayaaang… enaaak aaah… sssh… uuuh….”
Ia makin meracau di antara desahan dan geramanku.
Kupercepat tensi sodokanku.. tubuh kami semakin bergoyang tak karuan. Hanya satu yang tak terpisahkan, penyatuan kemaluan kami.
“Yaaang.. ampuuun… aku.. aaaah…” Wanitaku semakin tak terkontrol.
Mendengarnya aku semakin bersemangat. Penisku panas seakan mau meledak. Kuhentak-hentak semakin kuaaat.
“Oooohhhh… Sampeeee sa..sa..yaaang.” Erangnya.
“Mmmmrrrrgggh…” Erangku.
Seeerrrr… crot.. crot… crroooooot.
Panisku tak mampu lagi bertahan di tengah hisapan, empotan dan jepitan vaginanya. Kami sama-sama meraih puncak, dan ambruk di atas sofa.
Setelah beristirahat sebentar ia berlari ke kamar mandi untuk membersihkan kemaluannya dan merapikan diri, sementara aku hanya mengelap si jalu dengan tissue. Pluk.. kulempar di atas sofa. Lalu kupakai kembali celanaku.
https://t.me/cerita_dewasaa
Waktu sudah beranjak menuju tengah malam, tapi kehidupan kota belum juga lengang. Aku dan bu haji turun dari taxi dan masuk ke dalam café. Mae menyambut kami, sementara Raka dan Irma hanya menyapa karena sedang sibuk meracik kopi.
“Bu, Mai, aku duduk di luar yah. Mau sambil merokok.” Aku permisi.
“Iya sok ajah. Ibu ama Mae ngobrol di sini aja.” Jawab bu haji.
“Woi Ja. Lu mau minum kopi apa?” Irma berteriak.
“Aku gak ngerti, Ir. Kamu bikinin sesuai rekomendasimu aja.”
Irma mengacungkan kedua jempol tangannya. Gaul juga nih anak, dan mudah akrab. Di luar tidak banyak tamu yang nongkrong, hanya ada sepasang muda-mudi yang asik ngobrol di meja sudut. Aku memilih duduk di sudut yang berlawanan.
Kusulut DJ-ku. Terasa sangat nikmat, karena seharian ini aku belum merokok sama sekali. Tak lama kemudian Irma datang membawa secangkir kopi, lalu duduk di hadapanku.
“Gua bagi rokoknya donk, Ja.”
“Ohh? Kamu merokok, Ir?”
“Iyah.. buruan ah. Dari tadi banyak pengunjung, sampe gua gak sempat merokok.”
Kurogoh bungkus DJ dari saku celanaku, lalu kusodorkan.
“Bangke lu mah. Emangnya gua dukun?”
“Heh??”
“Itu rokok lu untuk bakar kemenyan kan? Hahahaha. Gak jadi deh… gua mah ngisep rokok putih.”
“Beuuuh.. enak tau, Ir.”
“Kagak! Enak monyong lu.”
“Hahaha.” Aku tertawa mendengarnya. Entah kenapa aku bisa merasa cepat akrab dengan cewek nyentrik ini. Bahkan aku pun tidak tersinggung dengan omongan dan ledekannya terhadap DJ-ku.
Irma menoleh ke arah pojokan.
“Wooiii.. punya rokok putih gak, tong?” Ia memanggil sepasang muda-mudi di sana.
“Haha.. sini kalau lu mau.” Si pemuda menjawab dengan santai.
Buset dah.. Irma nyantai banget ya.
“Bentar ya.” Ia beranjak menghampiri mereka.
Tak lama kemudian ia sudah kembali sambil menjepit mild mentol.
Kuseruput kopi racikan Irma.
“Enak banget, Ir. Ini kopi dari kampungku ya?”
“Tolol lu. Gak usah kegeeran deh. Enak bukan karena kopinya berasal dari lu, tapi karena gua yang bikin.”
“Anjriiit.” Spontan aku memaki.
“Hahahahaa… bisa juga lu maki. Kayak gini nih gua demen. Hahaha.”
Entah kenapa kami menjadi cepat akrab begini. Kami pun ngobrol sambil bercanda. Aku pun menjadi terbiasa dengan gaya dan ngomongannya yang asal njeplak. Gak lama kemudian Raka bergabung dan duduk bersama kami.
“Pegel banget, gua.” Keluhnya.
“Lah.. tuh punya bini dianggurin. Suruh mijitin lah.”
“Bini monyong lu. Biarin akrab ama camernya.. biar kami cepet dikawinin.”
Kami pun tergelak.
“Lu jangan tutup dulu ya. Temen gua baru bisa jemput jam satu.” Pinta Irma ke Raka.
“Ah.. males banget gua. Lu bawa kunci serep aja. Gua masih harus nganterin Mae.”
“Iya deh.”
“Aku nginep di rumahmu kok, yank.” Tiba-tiba Mae dan bu haji muncul.
“Heh? Kamar udah penuh, yank. Kan ada mamah dan Senja.”
“Udah nanti Mae tidur ama mamah ajah.” Bu haji menyela.
“Terserah kalian deh.” Raka pasrah.
Hadeuh.. malam ini puasa deh. Lagian tuh kamar kan bekas pergumulan kami, apa Mae gak bakalan curiga tuh mencium aromanya.
“Duduk, tante.” Irma mengambil dua kursi kosong dari meja sebelah.
“Makasih, Ir.” Mereka duduk. Sementara Irma mengurungkan niatnya untuk kembali duduk, karena ada pengunjung yang datang.
“Tadinya gua mau ngobrolin bisnis kita, Ja. Tapi udah kemalaman, besok pagi aja ya. Gua capek banget. Kalau weekend gini café banyak pengunjung.” Raka memandangku.
“Iyah ga apa-apa, Ka.” Jawabku.
“Mamah besok mau jalan ke mana?”
“Besok palingan ngajak jalan-jalan Senja ke BEC dan Jalan Riau sekalian mau beli oleh-oleh. Mae bisa ikut sayang?” Hadeuuuh… bu atulah jangan ajak Mae.
“Besok Mae gak bisa, mah. Kalau Sabtu-Minggu café tidak bisa ditinggal, kasian Raka dan Irma.” Makasiiiiih.. Irma!
“Ya udah ga apa-apa kalau gitu. Biar kami berdua aja.”
Irma kembali bergabung bersama kami, dan menyulut kembali rokoknya yang tadi ia matikan.
“Oh iya, nak, Senja mau cari kerja di Bandung tuh. Mamah usul biar dia kerja di sini aja.” Bu haji memulai obrolan kembali.
“Serius, Ja? Kapan? Lalu kopi di kampung gimana?” Raka memberondongku. Kami tertawa mendengarnya.
“Rencananya begitu, Ka. Tapi belum tahu kapan…” Aku menjelaskan semua rencanaku. Aku menyampaikan bahwa baru bisa merantau setelah Ardan dan Bi Iyah menikah. Bu haji dan Raka sempat kaget mendengar tentang perkawinan beda usia antara Ardan dan Bi Iyah, tapi kemudian kujelaskan duduk perkaranya. Aku juga menyampaikan bahwa aku masih membutuhkan waktu untuk menyiapkan semua urusan di kampung sebelum merantau.
“Ya sekitar, empat atau lima bulan lagi lah.” Aku mengakhiri ceritaku.
“Ya baguslah. Gua tunggu di sini. Kalau bisa lebih cepet malah lebih baik.” Raka senang.
“Tadinya mamah menawarkan supaya Senja tinggal di rumah kita. Tapi ia gak mau; katanya mau cari kosan aja.” Bu haji menimpali.
“Gampang kosan mah.. nanti ama gua dan Mae aja di Ciumbuleuit. Kosannya bisa untuk cowok juga kok. Murah lagi.” Irma menawarkan.
“Loh kalian kos bareng?” Heranku.
“Ya iyalah, nyong. Masa Mae tiap hari pulang-pergi ke Garut.” Sewot Irma.
“Hahahaha..” Kami pun tertawa.
“Makanya cepet atuh kalian teh nikah biar bisa tinggal serumah.” Bu haji memeluk punggung Mae.
“Aku sih mau, mah. Mae nya tuh yang gak mau.”
“Iiiih.. kamu apaan sih? Ngelamar aja bel… oops!!” Wajah Mae mendadak merah, disusul gelak tawa kami.
“Sudah jam dua belas lebih nih. Hayu ah beberes.” Raka bangkit dari duduknya, disusul Irma dan Mae.
“Yank, kok ngajak Mae nginep sih?” Aku berbisik dan protes ke bu haji.
“Hihi.. ada yang gak dapat jatah nih.” Ia malah meledekku.
“Nanti suruh Mae tidur di kamarku ajah, aku tidur di sofa. Lagian kamarnya kan belum dibereskan bekas tadi sore.”
“Iyah.. iyah.. nanti aku atur. Dasar pejantan muda.. gak ada capeknya.” Senyumnya nakal.
“Gitu doonnnk..” Senyumku senang.
Tak lama kemudian, pasangan muda-mudi masuk ke dalam café untuk membayar dan pulang. Setelah suasana aman kuraih kedua tangan wanitaku lalu kucium lembut.
“Sayang!!” Matanya melotot.
Aku melongok melalui kaca, nampak masih ada satu meja yang terisi pengunjung. Sementara Raka sibuk di belakang meja kasir, Irma dan Mae sedang membereskan perabotan.
“Aman kok.” Aku nyengir.
Kugeser dudukku lebih mendekat. Muuuuacch. Kucium bibir tipisnya. Ia membalasku sebentar, lalu kembali tegak. Nafas kami tersengal karena merasa tegang.
“Nakal! Mesum!” Geramnya; tapi matanya berbinar senang. “Abis kamu ngangenin terus, sayang.” Gombalku. “Tau ah.. aku kan jadi pengen cepet pulang.” Ia balik menggodaku.
Kucium kembali bibirnya dengan cepat, tanganku masih sempat meremas payudaranya. “Sayang aaah…” Ia melotot.
Kuraih kembali tangannya. Dan kami saling meremas. Kami saling menatap sayang, dan saling berbagi senyum. Cup.
“Makasih, sayang.” Kusampaikan rasa syukur dan sayangku karena telah menemukannya sambil mencium pipinya.
“Sama-sama, sayang.” Jawabnya.
Cup. Cup.
Kali ini kukecupi punggung tangannya. Kulanjutkan dengan menciumi jemarinya.
“Anjing!! Bangsat!! Monyet!!”
Aku terperanjat kaget. Belum juga aku bisa mengendalikan diri, kerah bajuku sudah diraih. Buuuuk. Sebuah pukulan keras mendarat di perutku.
“Hmmmmfff.” Aku terhuyung dan kepalaku terasa limbung.
0 Komentar