ANAK ANGKAT KU PART 2



Siang keesokan harinya, Anis sedang merancang sebu4h ruang pameran di kantornya. Ada festival Islam yang akan digelar, mungkin karena tidak banyak designer interior berjilbab rapi seperti Anis, ia dipercaya merancangnya. Ketika sedang mencorat-coret gambar, Fitri mengejutkannya, “Mbak Anis, ada tamu yang mau bertemu.”


“Dari mana, Fit?” tanya Anis.


“Katanya dari Yayasan Amanah, mbak, tanya soal aplikasi mbak Anis bulan kemarin.”




“Oh itu. Iya deh, saya ke depan sepuluh menit lagi.” jawab Anis.




Setelah berbincang-bincang dengan tamunya, akhirnya Anis menyepakati mengangkat salah satu anak yatim yang diasuh yayasan tersebut sebagai putra asuhnya. Namanya Safiq. Anis memang selalu menyisihkan rezekinya untuk mereka yang membutuhkan.




Dan kali ini, ia berniat untuk menyantuni dan mengasuh Safiq seperti anaknya sendiri, itupun setelah dimusyawarahkan dengan su4m!nya. Anis berharap, dengan begitu ia bisa cepat hamil. Ibu-ibu banyak yang mengatakan, mungkin Anis perlu ’pancingan’ agar bisa lekas dapat momongan.




Begitulah, mulai saat itu, Safiq yang berusia 12 tahun, tinggal bersama Anis dan Iqbal.




Mempunyai ’anak’, membawa banyak hikmah bagi Anis. Ia jadi semakin teliti dan perhatian. Apapun kebutuhan Safiq berusaha ia penuhi. Mulai dari baju hingga mainan, juga kebutuhan sekolah bocah itu yang tahun depan mau masuk SMP. Anis juga mencurahkan seluruh kasih sayangnya pada Safiq, hingga mas Iqbal yang merasa tersisih, sempat melayangkan protes sambil bercanda, ”Hmm, gimana kalau punya anak beneran ya, bisa-bisa aku nggak boleh tidur di kamar.”




Anis cuma tertawa menanggapinya. ”Ah, mas bisa aja.” dia mencubit pinggang laki-laki itu. Dan selanjutnya merekapun bergumul di r4nj4n9 untuk memuaskan satu sama lain, sambil berharap p3r$etvbvhan kali ini akan membu4hkan hasil.




Esok paginya, seperti biasa, Anis menyiapkan sarapan bagi Safiq. Tidak terasa, sudah hampir tiga bulan bocah itu tinggal bersamanya. Dan Anis merasa senang sekaligus bersyukur, karena pilihannya ternyata tidak salah, Safiq sangat pintar dan baik. Anak itu tidak nakal, sangat menurut meski agak sedikit pendiam. Hanya kepada Anis lah ia mau berbincang, sedangkan dengan mas Iqbal, Safiq seperti menjaga jarak.




”Kenapa, Fiq?” tanya Anis menanyakan sebabnya saat mereka sarapan bersama. Saat itu mas Iqbal sudah berangkat ke kantor, sedangkan Safiq masuk siang.




Bocah itu terdiam, hanya jari-jari tangannya yang bergerak memainkan bulatan bakso di atas nasi gorengnya.




”Tidak apa-apa, ngomong saja sama Umi.” kata Anis. Dia memang menyuruh Safiq untuk memanggilnya dengan panggilan ’Umi’ sedangkan untuk mas Iqbal ’Abi’.




”Ah, nggak, Mi.” Safiq masih tampak takut.




Anis menatapnya. Di usianya yang baru beranjak remaja, bocah itu terlihat tampan. Kalau besar nanti, pasti banyak gadis yang akan terpikat kepadanya. ”Umi nggak akan marah.” kata Anis lagi, penuh dengan sabar.




Safiq menggeleng, dia menundukkan kepalanya semakin d4l4m.




Kasihan, Anis pun mendekatinya. ”Tidak apa-apa kalau kamu nggak mau bilang, umi nggak akan maksa.” DiP3luknya bocah kecil itu, diletakkannya kepala Safiq di atas gundukan bu4h d4d4nya. Ia biarkan Safiq menangis di situ.




”Maaf kalau Umi sudah membuatmu takut.” ucap Anis penuh nada penyesalan, ia memang tidak berharap perbincangan ini akan berakhir seperti itu.




– Lama mereka berp3lukan, hingga Anis merasa tangis Safiq perlahan mereda dan akhirnya benar-benar berhenti. Ia sudah akan melonggarkan dekapannya saat merasakan sesuatu yang lembut mengendus dan menyundul-nyundul pelan bu4h d4d4nya.




Ah, Safiq! Apa yang kamu lakukan? Anis memang cuma mengen4kan daster longgar saat itu, hanya saat keluar rumah atau ada tamu pria, ia mengen4kan jilbab. Dengan p4k4ian seperti ini, b!b!r Safiq yang bermain di b3l4h4n p4yud4r4nya sungguh sangat-sangat terasa.




Cepat Anis melirik ke bawah, dilihatnya si bocah yang kini berusaha m3nc!um dan menyu$u ke arah bu4h d4d4nya. ”Safiq!” Anis menegur, tapi dengan suara dibuat selembut mungkin, takut membuat bocah itu kembali mengkerut. Padahal d4l4m hati, Anis benar-benar mengutuk aksinya yang sudah kurang ajar.




Safiq mendongakkan kepala, ”M-maaf, Mi.” suaranya parau, sementara tvbvhnya gemetar pelan.




Tak tega, Anis segera memeluknya kembali. ”Tidak apa-apa, tapi jangan diulang lagi ya. Itu tidak boleh.” ia membelai rambut Safiq penuh rasa sayang.




Safiq mengangguk. ”Maaf, Mi. Safiq cuman pengen tahu gimana rasanya nenen.”




Anis terkejut, ”Emang kamu belum pernah?” tanyanya tak percaya.




”Safiq kan yatim piatu dari kecil, Mi. Jangankan nenen, siapa ibu Safiq aja nggak ada yang tahu. Safiq ditinggal di depan pintu yayasan.” jawab bocah itu dengan getir.




Anis meneteskan air mata mendengarnya, ia mendekap dan meng3lu$ kepala Safiq lebih erat lagi. Setelah terdiam cukup lama, Anis akhirnya membvk4 suara, ”Bener kamu pengen nenen?” tanyanya dengan suara berat. Keputusan sudah ia ambil, meski itu awalnya begitu berat.




Safiq menganggukkan kepala.




”Janji ya, cuma nenen?” tanya Anis sambil memandang matanya.




”I-iya, Mi.” angguk Safiq cepat.




”Dan jangan ceritakan ini sama orang lain, termasuk pada Abi. Karena anak sebesar kamu sudah tidak seharusnya nenen pada Umi, ini tidak boleh. Tapi karena kasihan, Umi terpaksa mengabulkannya.” terang Anis, terbersit nada getir d4l4m suaranya.




”Iya, Mi. Safiq janji.” kata bocah kecil itu.




Begitulah, dengan perlahan Anis pun menurunkan dasternya hingga bu4h d4d4nya yang besar terlihat jelas. Meski masih tertutup BH, benda itu tampak begitu indah. Ukurannya yang di atas rata-rata membuatnya jadi tampak sesak. Anis segera membvk4 cup BH-nya, tanpa ada yang menyangga, bulatan kembar itupun terlontar dengan k3r4$nya hingga sanggup membuat mata bulat Safiq makin melotot lebar.


”M-mi…” Safiq memanggil, tapi pandangannya sepenuhnya tertuju pada area d4d4 sang ibu angkat yang kini sudah terbvk4 lebar, siap untuk ia j4m4h.


”Ayo, katanya mau nenen?” kata Anis sambil menarik salah satu bulatan p4yud4r4nya ke depan, memberikan pu+!ngnya yang merona merah pada Safiq.


Tahu ada benda mulus menggiurkan yang mendekat ke arah mu|u+nya, Safiq pun membvk4 b!b!r, dan mencaplok pu+!ng Anis dengan perlahan, ”Ahm…” lenguh mereka berdua hampir bersamaan. Anis kegelian karena ada l!d4h basah yang melingkupi ujung p4yud4r4nya, sedangkan Safiq merasa nikmat mendapat benda yang selama ini ia idamkan-idamkan. L


idahnya terus menari membelai pu+!ng p4yud4r4 Umi-nya, sedangkan b!b!rnya terus mengecap untuk mencucup dan mengh!$4p-h!$4pnya.


”Ah, jangan k3r4$-k3r4$, Fiq. Sakit!” d3s!s Anis di sela-sela j!l4+an sang anak angkat. Ia mulai merasa merinding, j!l4+an Safiq mengingatkannya pada mas Iqbal, yang biasa melakukannya sebelum mereka tidur. Meski aksi Safiq terasa agak sedikit kaku, tapi sensasi dan rasanya tetaplah sama.


Sementara itu, Safiq dengan tak sabar dan penasaran terus menyu$u. Mu|u+nya dengan l!4r bermain di gundukan p4yud4r4 Anis. Tidak cuma yang kiri, yang kanan juga ia perlakukan sama. Kadang Safiq malah membenamkan wajahnya di b3l4h4n p4yud4r4 Anis yang curam, dan membiarkan mukanya dikempit oleh bulatan kenyal itu, sambil tangannya mulai m3r3m4$-r3m4$ ringan.


”Ah, Fiq.” r!nt!h Anis mulai tak sadar. Ia men3k4n kepala bocah itu, berharap Safiq mempermainkan p4yud4r4nya lebih k3r4$ lagi.


Safiq yang gelagapan berusaha mencari udara, dig!g!tnya salah satu pu+!ng Anis hingga umi-nya itu menj3r!t kesakitan.


”Auw, Fiq! Apaan sih, sakit tahu!” Anis mendelik marah, tapi melihat muka Safiq yang memerah dan nafasnya yang ngos-ngosan, iapun akhirnya mengerti. ”Eh, maaf. Umi nggak tahu.”


”Gak apa-apa, Mi.” Safiq tersenyum, kedua tangannya masih hinggap di d4d4 Anis dan terus m3r3m4$-r3m4$ ringan disana.


”Gimana, kamu suka?” tanya Anis sambil membelai kepala Safiq penuh rasa sayang.


Si bocah mengangguk, ”Iya, Mi.”


”Mau lagi?” tanya Anis.


Safiq mengangguk, senyumnya terlihat semakin lebar.


”Kalau begitu, ayo sini.” Anis pun menarik kepala bocah itu dan ditaruhnya kembali ke atas gundukan p4yud4r4nya.

Posting Komentar

0 Komentar