Di kantorku ada seorang wanita berjilbab rekan kerja yang sangat cantik dan anggun.
Tingginya sekitar 165 cm dengan tubuh yang langsing dan sintal.
Kulitnya putih dengan lengsung pipit di pipi menambah kecantikannya, suaranya halus dan lembut.
Meski setiap hari dia mengenakan baju gamis yang panjang dan longgar, untuk menyembunyikan lekuk tubuh sintalnya, namun aku yakin bahwa tubuhnya pasti indah.
Namanya Fatma. Dia sudah bersuami dan beranak 2, usianya sekitar 30 tahun.
Dia selalu menjaga pandangan matanya terhadap lawan jenis yang bukan muhrimnya, Dan bahkan jika bersalaman pun dia tidak ingin bersentuhan tangan.
Namun kesemua itu tidak menurunkan rasa ketertarikanku padanya.
Bahkan aku semakin penasaran, untuk bisa mendekatinya, Apalagi sampai bisa menikmati tubuhnya.
Ya, Benar..!! Aku memang terobsesi dengan rekan kerjaku ini.
Dia betul-betul membuatku penasaran dan menjadi objek khayalanku siang dan malam, Apalagi di saat kesendirianku di kamar kostku yang sepi.
Aku sebenarnya sudah berkeluarga dan memiliki 2 orang anak yang masih kecil- kecil, namun anak dan istriku berada di luar kota dengan mertuaku, Sedangkan aku di sini kost, dan pulang ke istriku seminggu sekali.
Kesempatan untuk bisa mendekatinya akhirnya datang juga, ketika aku dan dia ditugaskan, oleh atasan kami untuk mengikuti workshop di sebuah hotel di kota Bandung selama seminggu.
Hari-hari pertama workshop aku berusaha mendekatinya agar bisa berlama-lama ngobrol dengannya.
Namun dia benar-benar tetap menjaga jarak denganku, Hingga pada hari ketiga, kami mendapat tugas yang harus diselesaikan secara bersama- sama dalam satu unit kerja.
Dan hasil pekerjaan harus diserahkan pada hari kelima.
Untuk itu, kami bersepakat untuk mengerjakan tugas tersebut di kamar hotelnya, karena kamar hotel yang ditempatinya terdiri dari dua ruangan, yaitu ruang tamu dan kamar tidur.
Sore harinya, pada saat tidak ada kegiatan workshop, aku sengaja jalan-jalan, Sekedar untuk mencari obat perangsang, Kemudian kembali lagi sambil membawa makanan dan minuman ringan.
Sekitar jam tujuh malam aku mendatangi kamarnya, Selanjutnya kami mulai berdiskusi tentang tugas yang diberikan.
Selama berdiskusi, kadang- kadang Fatma bolak-balik masuk ke kamarnya, untuk mengambil bahan-bahan yang dia simpan di kamarnya, Nah, pada saat dia masuk ke kamarnya untuk kembali mengambil bahan yang diperlukan, maka dengan cepat aku membubuhkan obat perangsang yang telah aku persiapkan.
Lalu aku melanjutkan pekerjaanku seolah-olah tidak terjadi apa-apa ketika dia kembali dari kamar.
Hatiku mulai berbunga-bunga, karena obat perangsang yang kububuhkan pada minumannya mulai bereaksi.
Hal ini tampak dari deru napasnya yang mulai memburu dan duduknya gelisah, serta butiran-butiran keringat yang mulai muncul di keningnya.
Selain itu pikirannya pun nampaknya sudah susah untuk
fokus, terhadap tugas yang sedang kami kerjakan.
Namun dengan sekuat tenaga dia tetap menampilkan kesan sebagai seorang wanita yang solehah, walau pun seringkali ucapannya secara tidak disadarinya, disertai dengan desahan napas yang memburu dan mata yang semakin sayu.
Aku masih bersabar untuk tidak langsung mendekap dan mencumbunya.
Kutunggu hingga reaksi obat perangsang itu benar-benar
menguasainya, sehingga dia tidak mampu berpikir jernih.
Setelah sekitar 30 menit-an, nampaknya reaksi obat perangsang itu sudah menguasainya.
Hal ini nampak dari matanya yang semakin sayu dan nafas yang semakin menderu, serta gerakan tubuh yang semakin gelisah.
Dia sudah tidak mampu lagi fokus pada materi yang sedang didiskusikan, Hanya helaan nafas yang tersengal disertai tatapan yang semakin sayu padaku.
Aku mulai menggeser dudukku untuk duduk berhimpitan di samping kanannya, Dia tersentak seperti terkejut, Namun tak mampu mengeluarkan kata-kata protes atau penolakan, Hanya tampak sekilas dari tatapan
matanya yang curiga padaku, menggeser menjauhiku.
memandang dan ingin duduknya
Tetapi nampaknya pengaruh obat itu membuat seolah-olah badannya kaku, dan bahkan malah seolah-olah menyambut kedatangan tubuhku.
Setelah yakin dia tidak menjauh dariku, tangan kiriku mulai memegang tangan kanannya, yang ia letakkan di atas pahanya yang tertutup oleh baju gamisnya.
Ahhh..!! Tangan itu demikian halus dan lembut, yang selama ini tidak pernah disentuh oleh pria selain oleh muhrimnya.
Tangannya tersentak lemah dan seperti ada usaha untuk melepaskan dari genggamanku, namun sangat lemah, Bahkan bulu-bulu halus yang ada di lengannya berdiri seperti dialiri listrik ribuan volt.
Matanya terpejam dan tanpa sadar mulutnya melenguh, ”Ouhh..!!”
Tangannya semakin basah oleh keringat, Dan tanpa dia sadari tangannya meremas tanganku dengan gemas.
Aku semakin yakin akan reaksi obat yang kuberikan, kemudian sambil mengutak-atik laptop, tanpa sepengetahuannya, aku aktifkan aplikasi webcam, yang dapat merekam kegiatan kami di kursi panjang yang sedang kami duduki.
Kusetel dengan mode tampilan gambar yang dihidden, sehingga kegiatan kami tak terlihat di layar monitor.
Lalu tangan kananku menggenggam tangan kanannya yang telah ada dalam genggamanku, tangan kiriku melepaskan tangan kanannya yang dipegang dan diremas mesra oleh tangan kananku, sehingga tubuhku menghadap tubuhnya dan tangan kiriku merengkuh pundaknya dari belakang.
Matanya mendelik marah dan dengan terbata-bata dan nafas
yang memburu dia berkata, “Aaa, aapa, apaan, nih, Pak..?”
Dengan lemah tangan kirinya berusaha melepaskan tangan kiriku dari pundaknya.
Namun gairahku semakin meninggi, tanganku bertahan untuk tidak lepas dari pundaknya, Bahkan dengan gairah yang menyala-nyala, wajahku langsung mendekati wajahnya, Lalu secara cepat bibirku melumat gemas bibir tipisnya yang selama ini selalu menggoda nafsuku.
0 Komentar