KISAHKU PART 5



Sejak pak karim memintakku untuk kekota, aku mulai sedikit-sedikit packing pakaian, barang-barang kenangan dari ibuku, dan peralatan- peralatan lainnya yang dianggap menunjang untuk hidup di kota. Aku dulu pernah hidup di kota sampai umurku 10 tahun jadi aku tidak sedikit kuper mengenai kehidupan di kota, tempat-tempat bermain atau tempat menjual makanan pun aku masih ingat betul di mana letaknya. Untuk sekolah, aku juga gak tahu akan di sekolahkan di mana.




Tepat sehari setelah meninggalnya Ibu, ada orang datang ke rumah Kakek. Orang tersebut mengatakan bahwa dia suruhan Pak Karim ijin untuk meminta fotokopian berkas-berkas ijazah dan Lembar nilai di SMP-ku yang telah dilegalisir untuk dibuat persyaratan masuk sekolah di kota.




Waktu aku tanya sekolah di SMA atau STM, orang suruhan Pak Karim tidak mengetahui detailnya, dia hanya diminta untuk meminta fotokopian berkas itu. Selain itu orang itu disuruh Pak Karim meminta nomor HP-ku untuk bisa berkomunikasi denganku untuk memastikan kapan aku siap pergi ke kota. Selain packing, kesibukanku sebelum pergi ke kota adalah menghabiskan waktu ber-quality time bersama Kakek. Karena pastinya setelah aku ke kota, aku akan jarang bertemu dan tidak sedekat dengan Kakek seperti ini.




Akhirnya tepat hari ini adalah hari keberangkatanku ke kota, kemarin sore Pak Karim telepon HP-ku bahwa besok pagi beliau akan menjemputku. Packing sudah, berkas-berkas asli juga sudah aku bawa, peralatan-peralatan lainpun sudah aku bawa, kemudian aku mandi dan berdandan simpel sebelum Pak Karim menjemputku. Setelah mandi, aku bercengkerama dengan Kakek sambil menunggu Pak Karim datang.




“Le, inget yo ucapan-ucapan kakek! Dimasukan ke hati dan pikiran dituangkan dalam tindakan ya Le!” ucap Kakekku sambil mngelus-elus punggungku.


“iya, Kek. Doakan Untung betah di kota, berguna bagi keluarga Pak Karim, dan menjadi awal kesuksesan Untung ya Kek,” kataku menjawab nasehat Kakek.


“iya, Le, iya. Kakek pasti doakan kamu!” ucap Kakek sembari mengeluarkan air mata.




Akupun akhirnya ikut mengeluarkan air mata, merasakan nasib Kakek setelah aku tinggal, di mana beliau hidup sendiri di desa. Meskipun masih ada tetangga yang siap membantu Kakek tapi tetangga tetaplah tetangga, berbeda cara menolong atau menyayangi antara keluarga maupun tetangga. Sesak dada ini menyelimutiku tapi Kakek meyakinkan aku untuk tetap berangkat, “raihlah cita-citamu dengan berdiri di atas kakimu sendiri, anggaplah tidak ada Kakek di dunia ini!” itulah kata-kata kakek ketika aku ragu untuk pergi ke kota.




Terlihat mobil Pak karim sudah dekat dengan rumah. Akupun segera memeluk Kakek dengan erat sambil menangis karena hanya Kakek yang aku punyai di dunia ini. Kakek pun menangis melepas kepergianku tapi Beliau berjanji sebulan sekali berjanji akan menjengukku di kota. Setelah berbincang-bincang sebentar, akhirnya Pak Karim pamit untuk ke kota karena dia juga ada kesibukan jadi tak bisa mampir lama ke rumah. Setelah berpelukan, akhirnya aku menaiki mobil dan menuju ke kota.




Tibalah aku di kota pendidikan, setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam. Dulu saat aku masih kecil, kota pendidikan terlihat asri, udaranya sejuk, dingin dan nyaman. Tetapi sekarang, kota ini berubah menjadi ramai dan macet belum lagi ditambah banyaknya gedung-gedung yang menjulang ke langit membuat udaranya jadi terasa panas.




“Semoga aku betah, hidup bersama dengan keluarga Pak Karim,” ucapku dalam hati.




Akhirnya sampai juga aku, di rumah yang luas dan besar itu. Rumah yang berlantai satu milik Pak Karim. Setelah memasuki halaman rumah, nampak di teras sudah berdiri Ibu Juleha menyambut kedatangan kami. Setelah mobil terparkir, aku pun turun sambil membawa tas besar yang berisi pakaian sehari-hari.




"Assalamualaikum, Mah!” Salam pak Karim.


"Walaikumsalam, Pah! Gimana perjalanan dari desanya Untung, Pah?” tanya Bu Juleha sambil meraih tangan Pak Karim, suaminya dan menciumnya.


“Lancar, Mah. Tapi begitu memasuki kota, sempet macet tapi gak lama kok. Papa ke dalam dulu ya, Mah. Oh iya, Mah! Nanti Untung dikasih tau, job desk sehari apa aja yang dikerjakan dan kamarnya juga disebelah mana. Kemudian jelasin sekolah dimana.pokonya hal yang menyangkut keseharian untung nnti mama yang jelasin.. papa mau istirahat sebentar kemudian mau controling meubel di gudang." Ujar pak karim sambil masuk ke dalam rumah.


“Oke, Pah!” jawab Bu Juleha.




"Assalamualaikum, Bu!” sapaku sambil bersalaman dan menunduk.


"Walaikumsalam, sini masuk Untung! Masih ada barang di dalam mobil?” tanya Bu Juleha kemudian setelah menjawab salam dan menyambut salaman tanganku.


“Nggak ada, Bu. Ini sudah saya bawa semua!”ujarku yakin.


“Yaudah yuk kita masuk, sambil aku jelasin semua di dalam rumah!” Ujar Bu Juleha sambil berjalan ke dalam rumah. Aku pun mengikuti di belakang Beliau.




Sekilas tentang sosok Bu Juleha. Beliau wanita cantik dengan kulit bersih terawat, dadanya begitu menonjol. Aku taksir kira-kira, 36D ukurannya itu, pantatnya besar. Sekarang Beliau memakai jilbab menambah kecantikannya.




“Iya, Tante. Hehe.” Ujarku sambil tertawa kecil.




Bu Juleha memberitahu di mana letak kamar yang akan aku tempati. Kamarku berada di belakang. Rumah depan diisi Pak Karim dengan keluarganya sedangkan di belakang ada dapur, kamar mandi dan dua kamar yakni kamar yang aku tempati dan kamar bagi pembantu pengganti almarhumah Ibuku. Bu Juleha menjelaskan, kalau pembantunya menggunakan kamar di siang hari, karena pembantu pengganti almarhumah Ibuku pagi datang dan pulang sore hari.




“Untuk keseharianmu. Setiap pagi, menyapu halaman dan menyiram tanaman. Kemudian sore hari, membersihkan sampah, menyiram tanaman lagi dan membantu Pak Man mencuci mobil ya, Ntung!“ Bu juleha menjelaskan pekerjaan rumah untukku.


“Baik, Bu. Pak Man sendiri, siapa Bu? Kemudian pembantu rumah tangganya juga siapa namanya, Bu?” Tanyaku penasaran karena belum mengenal yang bekerja di rumah Pak Karim ini.


“Oh iya, lupa. Belum memperkenalkan mereka, Pak Mann... Mbok Ti..“ Bu Juleha berteriak memanggil mereka berdua.




Terlihat ada wanita separuh baya dan seorang Bapak berambut putih datang dari arah dapur.




“Iya, Nyah. Ada apa ya, Nyah?” sahut wanita itu cepat menghadap.


“Iya, Nyonya. Ada apa?” imbuh Bapak berambut putih.


“Kenalin, ini anaknya almarhumah Mbak Wati! Ini yang aku ceritakan kemarin, mau membantu pekerjaan di rumah sekaligus tinggal di rumah ini!” Bu Juleha memperkenalkanku pada keduanya.


“Yati. Panggil aja Mbok Ti, Mas,” ucap Mbok Ti sambil mengulurkan tangannya.


“Untung, Mbok.” Aku menyalaminya.


“Hopman. Panggil aja, Mbah Man,” ujar Mbah Man mengulurkan tangannya juga padaku.


“Untung, Mbah Man.” sahutku menyalaminya.


“Sangar namanya Hopman, pasti dia pecinta janda ini!” ujarku dalam hati sambil tersenyum.


“Oke, silahkan lanjutkan pekerjaan kalian! Oh iya, Mbok. Tolong bikinkan air minum untuk Untung ya, Mbok!” Perintah Bu Juleha kepada mereka berdua.




Bu Juleha menjelaskan, kalau Mbah Man ini sopir pribadinya Pak Karim. Bu Juleha juga menjelaskan kalau Beliau sibuk dengan usaha mini market di kota ini. Kalau ke tempat usahanya, Bu Juleha menyetir mobil sendiri karena masih di dalam kota sedangkan Bapak sering keluar kota untuk urusan meubel dengan Mbah Man sebagai sopirnya. Bu Juleha juga menjelaskan bahwa atas beberapa pertimbangan, aku nggak jadi sekolah di SMA tetapi aku disekolahkan di STM negeri kota ini. Aku pun tidak bertanya alasannya apa? Aku hanya bersyukur bisa sekolah, STM atau SMA tidak jadi masalah.




“Nggak apa-apa ‘kan Mas, kalau sekolah di STM. Pertimbangan Bapak kamu disekolahin STM karena ketika lulus nanti kalau kamu memilih bekerja kamu sudah siap dan jika kamu memilih kuliah juga masih bisa. Sedangkan kalau SMA ‘kan umum, takutnya kalau kamu memilih bekerja kesulitan dalam melamar dengan ijazah SMA.” terang Bu Juleha menjelaskan.


“Iya, Bu. Nggak apa-apa, yang penting saya sekolah aja, sudah bersyukur.” Jawabku sekenanya.




Setelah memberikan penjelasan, Bu Juleha menyuruh saya istirahat dan pamit untuk mandi karena mau kontrol ke toko, Beliau menghandel usaha minimarket yang berada di kota ini.




Tiba-tiba anaknya, Bu Juleha bernama Ine keluar dari kamar dengan memakai pakaian kasual. Ine persis seperti ibunya, anaknya cantik, putih bersih, tingginya kisaran 165 cm dengan rambut lurus sebahu hitam mengkilau dengan ukuran payudara kira-kira 32 D dan bodynya juga nggak kalah jauh dengan Ibunya, satu kata sexy. Aku lihat, Ine sedang bersiap-siap mau pergi. Mungkin dia akan jalan-jalan, maklum masih masa liburan dan dua hari lagi mulai memasuki sekolah.




“Mah, Ine berangkat dulu ya Mah. Tuh udah dijemput!” Ine berpamitan kepada Bu Juleha.


“Eh, ini ada mas Untung, salim dulu Nak!” Ujar Bu Juleha sambil menahan Ine sebentar.


“Iya, udah tahu kok.” Jawab Ine cuek.


“Saya Untung, Mbak.” sahutku sambil menjulurkan tangan.


“Ya.” jawabnya sambil memasang muka datar, tanpa menyambut tanganku.




Aku hanya tersenyum, melihat wajahnya yang jutek.




“Pergi ke mana, Nak?” tanya Bu Juleha kepada Ine.


“Ke mall. Nonton bioskop, Mah.” jawab Ine cepat.


“Kok nggak ke sini temennya? Temen apa temen itu Nak?” kata Bu Juleha menggoda Ine


“Temen, Mah. Buru-buru Mah, mau di mulai filmnya. Dadah Mamah!” Jawab Ine sambil berjalan terburu-buru keluar rumah.




Bu Juleha sejenak menghelas nafas, melihat kelakuan anak gadisnya.




“Maaf ya, Mas! Bukan karena Ine nggak ramah, tapi memang dari oroknya dia itu gitu!” ucap Bu Juleha memberitahu.




Beliau bercerita kalau Ine kelas tiga SMA negeri favorit di kota ini. Aku diminta memaklumi dengan kejadian barusan karena Ine itu orangnya memang acuh, judes, dan cuek terhadap orang bahkan ke lingkungannya. Bu juleha bercerita juga, anak muda sekarang kurang sopan-sopan. Dia tahu tadi, yang jemput Ine adalah pacarnya. Tapi nggak pernah dikenalkan ke Beliau, kata Ine belum waktunya. Memang etikanya ketika menjemput pacarnya ke rumah, pamit sama orang tuanya. Tetapi kata Bu Juleha, pacarnya Ine nggak penah pamit padanya.




“Pusing aku menghadapi Ine. Itu dilarang, malah marah-marah dan ngambek beberapa hari!” keluh Bu Juleha.




Aku yang tidak tahu apa-apa mengenai itu, cuma bisa tersenyum dan mengangguk saja.




Akhirnya Bu Juleha menutup obrolan itu dan menyuruhku menurunkan barang bawaanku ke kamar dan beristirahat karena sore hari sudah mulai melakukan aktivitas. Bu Juleha juga pamit, mau pergi ke mini marketnya karena mau ada kedatangan barang kiriman dari distributor untuk dijual di mini marketnya itu. Aku pun pamit ke belakang ke kamar yang aku tempati itu.




Aku pun mulai menurunkan barang bawaan sekaligus membersihkan sedikit debu dari almari maupun lantai. Setengah jam, aku bersih-bersih dan menurunkan bawang bawaan, akhirnya aku mandi dan beristirahat siang.

Posting Komentar

0 Komentar