KEBERUNTUNGANKU PART 8

 


“Vinn.. udah kenalan belum sama adikku.. ini Angga namanya”




“Ohh.. iya, namaku Vina ya Nggaa.. kamu tau kan?”




“Iya mbakk.. aku tau kok.. cuma belum kenalan langsung” balasku melihatnya.




“Iya sekarang kan udah kenalan.. eh, tapi kamu panggil aku mbak emang umur kamu berapa sih Ngga?”




“Aku 20 tahun jalan mbak.. tahun ini tepatnya”




“Ohh.. iya bener kalo gitu..”




“Memangnya kenapa sih mbak?”




“Gakk.. cuma wajah kamu itu masih keliatan imut-imut gitu, hihihi..”




“Ahh.. mbak Vina ini bisa aja..”




“Cieee.. yang lagi imut-imut...hahaha..” seloroh mbak Tika menggodaku.




“Apa sih mbak? Iseng aja mbak ini...”




Selesai makan pagi, mbak Tika lalu masuk ke dalam kamarnya. Mbak Vina juga sama, mungkin dia masih capek sehabis menempuh perjalanan naik kereta tadi malam. Tinggallah aku sendiri yang mulai menggunakan waktu luangku membersihkan halaman rumah.




Kebetulan belakang rumah kakakku masih berupa tanah kosong yang ditumbuhi ilalang dan rumput liar. Ada beberapa pohon yang tumbuh juga di situ tapi letaknya agak ke tengah. Begitu aku keluar ke halaman belakang, aku langsung sigap membersihkan rumput dan ilalang yang tumbuh di batas rumah mbak Tika dengan tanah kosong itu. Lebetulan belum ada pagar pembatas, jadi orang bisa lalu-lalang di situ dengan leluasa.




Saat waktu sudah agak siang, matahari bersinar tepat di ubun-ubun. Untungnya aku sudah selesai membersihkan halaman belakang rumah. Hasilnya memang membuatku lega. Rasanya halaman belakang rumah itu jadi terkesan luas dan bersih. Setelah menyimpan sabit dan cangkul di belakang dapur, aku kemudian masuk ke dalam rumah dan membersihkan tubuhku di kamar mandi.




“Eh, ada siapa ini ya?” teriakku dari luar kamar mandi yang tertutup rapat.




“Aku Nggaa..”




“Oohh.. mbak Vina.. yaudah lanjutin mbakk.. kirain ga ada orang” balasku.




Akupun berlalu meninggalkan depan kamar mandi. langsung saja kulepas kaos yang tadi kupakai dan menuju luar rumah untuk membersihkan tubuhku di depan kran yang ada di samping rumah. Daripada nunggu mbak Vina keluar dari kamar mandi pikirku. Enaknya di kota ya gini, bisa menikmati kucuran air tanpa repot menimba dari sumur.




“Gak jadi ke kamar mandinya?”




“gak mbakk.. udah bersih kok..” balasku melihat ke arah mbak Vina yang berdiri di depan pintu dapur arah luar.




“Ya sudahh.. maaf ya Ngga.. perutku gak enak rasanya”




“Ohh.. udah minum obat mbak?”




“Belum sihh.. tapi..”




“Apa? Gak bawa ya?”




“Emm.. bawa kok.. yaudah aku ke kamar duluan yah”




“Iya mbakk..”




Mbak Vina itu ternyata enak kalau diajak ngobrol. Ada saja bahan yang membuat kami terus bicara. Memang sekilas kalau dilihat wajah mbak Vina itu tipe gadis pendiam, tapi kalau sudah dekat pasti tahu yang sebenarnya. Bisa dibilang kalau mbak Vina itu rame anaknya. Persis seperti mbak Dina, bahkan umurnya pun tak jauh beda, hanya beda bulan kalu gak salah.




Aku dan mbak Vina semakin dekat. Bahkan dia sempat tidur berdua denganku di kamar. Memang tidak tidur beneran, kami cuma berbaring berdua sambil cerita berbagai macam hal. Tentu saja mbak Vina cerita tentang kehidupannya dan aku cerita tentang kehidupanku di desa. Ternyata mbak Vina banyak mengagumi kehidupan desa, dia malah ingin sekali bisa hidup di sana. Aku hanya tertawa saja pada komentarnya.




Keberuntunganku kembali datang. Saat malam hari aku, mas Aryo dan mbak Vina ngobrol bertiga di dapur. Bahasan yang kami bicarakan terbilang seru dan membuat jantungku berdetak kencang. Disitulah aku pertama kali bisa melihat dengan jelas kedua payudara mbak Vina tanpa penutup apa-apa. Intinya saat itu aku dan mbak Vina taruhan. Jadilah dia akhirnya kalah dan harus membuka pakaiannya untuk kami lihat bentuk payudaranya.




Seperti yang sudah aku perkirakan, memang kulit dada mbak Vina itu putih bersih. Hanya saja ukuran payudaranya tergolong tidak besar, ya standar lah. Lagi-lagi keberuntungan bagiku setelah mas Aryo memancing mbak Vina untuk menggantikan posisi mbak Tika memberiku nenen saat mau tidur. Aku tak menolaknya karena didesak terus oleh mas Aryo. Entah apa maksud kakak iparku itu, tapi aku iyakan saja kemauannya.




“Mbak Vina.. mulai besok kalo di rumah gak usah pake Bh aja.. biar sering menggantung susunya” ucapku memberi saran.




“Emm.. iya deh Ngga..”




“Eh, udah malam ini.. tidur aja yukk...” ajak mas Aryo kemudian.




“Mbak Vina tidur dimana? Apa mau tidur sama aku?” tawarku untung-untungan.




“Hihihi... ngarep banget sih kamu.. ntar bukannya tidur Ngga.. malah kamu kerjain aku” mabak Vina terkikik geli membalas ucapanku tadi.




“Kerjain gimana sih mbak?” balasku bingung.




“Gapapa... gapapa.. jangan dipikirin.. udah yukk.. istirahat.. ayo Ngga katanya mau tidur bareng aku” ucap mbak Vina setuju.




“Aseekkk.. aku ada temennya tidur” aku gembira bukan main, seakan aku jadi anak kecil yang diberi mainan.




“Yaudah sono.. biar aku beresin cangkirnya dulu” mas Aryo kemudian mengangkat gelas kopi bekas kami minum.




Aku dan mbak Vina kemudian jalan menuju kamarku. Dari bukan siapa-siapa kini aku dan mbak Vina seperti saling kenal dekat. Bahkan dia tak malu lagi mempertontonkan tubuhnya di depanku. Saat kami masuk ke dalam kamarpun dia masih saja cuma memakai celana dalam saja. Pakaian yang lainnya dia tinggalkan di kursi dapur.




“Ayo mbak sini.. jangan sungkan”




“Sungkan apaan? Sama kamu apa yang mau dibikin sungkan siih.. hiihi..”




Karena aku mau tidur tentu saja kebiasaanku adalah melepas semua pakaianku. Tanpa sadar aku melakukannya di depan mbak Vina yang ternyata malah melihat ke arahku yang sedang melepas celana dalamku. Awalnya aku kaget tapi aku tetap berusaha santai dan melakukan apa yang biasa aku lakukan tiap malam sebelum tidur.




“Ohh.. jadi kamu kalo tidur biasa ga pake apa-apa ya Ngga?”




“Eh, iya sih mbak.. tapi kalo mbak Vina gak nyaman biar aku pake baju lagi”




“Umm.. gak usah deh Ngga.. gapapa kok, lagian ini kan kamarnya kamu.. bebas dong kamu mau apa”




“Iya sih mbak... makasih pengertiannya” balasku kemudian berbaring di atas tempat tidur.




Aku masih melihat ke arah mbak Vina yang tetap berdiri di depan pintu kamarku. Entah kenapa kuperhatikan dia seperti sedang berpikir panjang tentang sesuatu yang ada di dalam dirinya. Sejenak kemudian dia melangkah maju lalu tanpa aba-aba langsung melepas celana dalamnya.




“Lhoh kok di lepas sih mbak? Gapapa emang?” tanyaku keheranan. Kenapa dia begitu berani sekali melakukannya? Pasti ada apa-apanya ini.




“Hihihi.. aku pikir gapapa sih Ngga.. kayaknya aku aman sama kamu deh” balasnya sambil terkikik manja.




Aman bersamaku? Suatu kepercayaan yang sangat berat. Memang kami baru saja bertemu belum lama tapi kami sudah seperti teman yang bisa saling percaya. Entahlah, sepertinya mbak Vina ini menyembunyikan sisi lain dari kehidupannya yang tak semua orang tahu. Ada sisi centil dan binal dalam dirinya yang dia pendam dalam-dalam. Meski tiap harinya dia memakai kerudung dan berpakaian tertutup, tapi saat di rumah dan merasa aman dia pasti akan menunjukkan kelakuan aslinya.




“Beneran? Hemm.. emangnya mbak Vina biasa tidur ga pake apa-apa juga yah?”




“Iya Ngga.. udah biasa sih dari dulu.. rasanya bisa bebas gitu.. kalo kamu?”




“Aku sih memang sama ibuku dibiasakan tidur ga pake apa-apa mbak..”




“Masak sih? enak dong kamunya?”




“Enak apanya? Ya biasa saja lah mbak.. namanya juga hidup di desa..”




“Ssstt.. jangan bilang ke mas Aryo atau mbak Tika yah!”




“Lahh.. ngapan aku cerita.. yaudah sini.. jadi dipijitin gak nih?”




“Ya mau dong Ngga..”




“yaudah sini..”




Mbak Vina duduk di pinggir tempat tidur menghadap ke pintu kamarku. Sedangkan aku duduk bersila di belakangnya dengan jarak tepat sejangkauan tanganku. Sesaat kemudian mbak Vina menyibakkan rambutnya dan mengikatnya sehingga lehernya yang putih bersih itu terlihat jelas olehku. Rambut tipis yang tumbuh di tengkuknya membuatku ingin membelainya.




“Tenang aja mbakk.. gak sakit kok”




“Eh, iya Ngga.. jangan keras-keras yah”




Kedua tanganku menelusup di bawah ketiak mbak Vina. Telapak tanganku kemudian dengan perlahan berhasil menangkap bulatan payudara mbak Vina yang sudah tak tertutupi apa-apa itu. Rasanya memang pas di genggaman tanganku. Memang ukurannya tidak terlalu besar sih.




“Emmhh.. enak Nggaa..”




“Iya mbakk.. tenang aja ya mbak.. rileks”




“Okee..”




Melihat tubuh putih mulus yang telanjang bulat di depanku tentu saja membuat nafsuku mulai naik. Apalagi setelah aku berhasil meremas-remas payudaranya semakin membuat kemaluanku ngaceng tak tertahan lagi. Untungnya aku masih duduk bersila sehingga ujung kemaluanku tak menyentuh tubuh mbak Vina. Aku masih terus menahan diriku untuk tidak mencabulinya, mengingat dia itu saudaranya mas Aryo. Bisa jadi masalah besar kalau sampai dia lapor mas Aryo aku sudah berani macam-macam dengannya.




“Uuhhh.. enak banget Ngga..”




“Iya mbakk.. gini aja pijatannya.. besok-besok lakuin sendiri sambil mandi”




“Aahh.. kalo ada kamu sih ngapain aku pijit sendiri Ngga”




“Ohh.. ii.. iya.. iya mbak” balasku gugup, aku tak mengira dia akan berkata seperti itu tadi.




“Kamu udah pernah ngentot Ngga?”




“Ud... eeh.. apa mbak? Ngentot? ya belum mbak..”




“Hihihi.. cupu banget sih jadi anak.. padahal muka kamu itu ganteng lho Ngga.. rugi dong kalo ga pernah ngentot” balasnya tanpa ditahan-tahan.




“yahh.. namanya juga anak desa mbak, ga bisa dapetin apa-apa seperti orang-orang kaya itu.. emm.. lah emangnya mbak Vina pernah ngentot?”




“Iihh.. kok jadi aku yang ditanyain? Ya.. emm.. rahasia, hihihi..”




Meski mbak Vina tak mau cerita tapi dari gelagatnya aku tahu kalau dia tak asing degan hubungan lawan jenis. Mungkin karena kecantikannya itu dia pasti punya pacar yang banyak. Dalam hatiku berkata kalau dia sudah tidak perawan lagi pastinya. Masak ada gadis perawan dengan beraninya tidur sekamar sama pemuda sambil telanjang bulat. Gak mungkin dong.. gila apa!




“Ngga.. boleh gak aku nyender di badan kamu.. capek duduk nih”




“Eh, jaa.. jangan deh mbak.. gini aja”




Tak percaya dengan ucapanku dia lalu menoleh ke belakang. tatapan matanya ke bawah, tepat di selangkanganku. Tentunya dia bisa melihat penisku yang sedang ngaceng maksimal ini.




“Hihihi.. ohh..kamu ngaceng yah? bilang dong Ngga...”




“Ii.. ii.. iya mbakk..”




“Yaudah kamu baring aja Ngga.. biar aku di atas kamu aja”




“Maksudnya gimana sih mbak?”




“Sudah kamu tiduran aja”




Akupun mengikuti apa yang diminta oleh mbak Vina. Aku kemudian tidur membaringkan tubuhku dengan posisi telentang. Tanpa aba-aba lagi mbak Vina lalu naik ke atas tubuhku tapi dengan posisi membelakangiku. Jadilah punggungnya menekan dadaku dan pantatnya tepat berada di atas perutku. Pintar juga mbak Vina ini, dalam posisi begitu tentu saja batang penisku yang tengah tegak mengeras itu berada di bawah permukaan vaginanya.




“Sudahh.. jangan gerak-gerak.. kamu lanjutin aja pijitnya”




“yaa oke mbak.. tapi mbak juga jangan gerak, sakit dong perutku”




“Hihih.. iya deh..”




Akupun kembali memijit bulatan payudara mbak Vina. Dengan posisi tubuhnya berada di atas tubuhku membuat kepalanya tepat bersebelahan dengan wajahku. Lehernya yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu kini berada di depan hidungku. Rasanya keajaiban itu memang ada. Tadi aku hanya ingin membelai lehernya, tapi sekarang malah aku diberi cara supaya aku bisa menciumnya.




“Mbak..”




“Apa sih Ngga?”




“Kok mbak Vina percaya banget sama aku sih? kan kita baru ketemu mbak.. kok bisa sampe sejauh ini kita berdua ya mbak?”




“Oohh.. itu.. aku percaya sama kamu Ngga.. kamu itu anaknya bisa menahan diri, trus kalo deket sama kamu ntah kenapa aku jadi nyaman banget.. seperti sama saudara kandung aja.. bahkan lebih dari itu.. pokoknya sama kamu tuh aku nyaman banget Ngga”




“Waduhh.. nyaman sama aku? Hehehe...”




“Iyalah.. kalo ga nyaman ngapain aku sampe kek gini sama kamu?”




“Iya sih mbakk..”




“Tapi semua ada batasnya Ngga.. jangan sampai kita melewatinya”




“Bener.. aku setuju sama mbak Vina”




“Janji yah!?”




“Iya mbak, bukan janji lagi.. sumpah”




“Hihihi.. bener kan apa aku bilang, kamu tuh bisa menahan diri dan bisa dipercaya Ngga.. gak banyak loh cowo kek kamu ini”




“Hehehe.. makasih mbak, tapi ngomong-ngomong mbak Vina turun dong.. lama-lama jadi berat nih “




“Eh, iya Ngga.. maaf..”




Mbak Vina lalu turun dari atas tubuhku. Dia kemudian duduk sambil membenarkan ikatan rambutnya. Dengan kedua tangan terangkat seperti itu membuat bulatan buah dadanya semakin membusung. Kulihat kulit payudaranya sudah kemerahan sehabis aku remas-remas tadi.




“Katanya mau nenen ya Ngga?”




“Eh, ga usah mbak.. itu cuma aku lakuin sama keluargaku saja.. mbak ga usah”




“Ohh.. sama keluarga.. berarti sama mbak Tika juga dong?”




“Iya mbak.. ehh... aduhh.. jangan cerita sama siapa-siapa ya mbak”




“Hihihi... dasar.. enak dong disusuin sama mbak Tika?”




“ya jelas enak.. susunya aja segede itu.. puas dong jadinya, hahaha...”




“berarti hari ini biar gantian aku yang kasih susu ke kamu ya...”




“Ii.. ya terserah mbak aja deh..”




Aku masih dalam posisi telentang, sedangkan mbak Vika mulai merangkak di atas tubuhku. Dia terus memajukan tubuhnya sampai kedua puting susunya tepat berada di atas mulutku. Tanpa ragu aku langsung menyambar puting mungil itu dengan mulutku. Slurrrpp.. sedaaapppp!




“Auwww.. pelan dong Nggaa.. aahh... sssshhhh”




“Hhemmhh.. sluurrpp... ahh... sluuurrrppphhh.. ahh..”




Mbak Vina mengerang kegelian, tapi dia tak menjauhkan dadanya dari mulutku. Tentu saja selain merasa geli pasti ada rasa yang lain. Semua perempuan yang aku sedot putingnya selain merasa geli juga merasa keenakan. Entah kenapa seperti itu mungkin juga karena bawaan bagian tubuh yang sensitif milik perempuan.




Apa yang kami lakukan berdua hanya sejauh itu saja. Tak ada keinginan dariku untuk mendapatkan kenikmatan dari tubuh mbak Vina. Aku tahu dia percaya padaku dan aku pun harus memberinya rasa aman. Memang beberapa kali lipatan memeknya menggesek penisku tapi aku malah menjauhkannya. Kalau sudah begitu dia hanya tersenyum melihatku dan semakin berani menggoyangkan pinggulnya. Untungnya apa yang aku lakukan itu mampu mencegah agar penisku tak terselip masuk ke dalam lobang memeknya tanpa sengaja.




Karena capek akhirnya aku dan mbak Vina tertidur. Dia tidur di sampingku dengan menjadikan tubuhku seperti guling baginya. Keberuntungan itu memang ada dan sedang terjadi padaku

Posting Komentar

0 Komentar