ADIK IPARKU PART 33

 


perempuan lain. Dia gak akan mau bertanggung jawab dengan anak ini,” jawabku menjelaskan situasi yang sedang aku alami saat ini.


Ibuku seketika mendekatiku, dan dia menampar wajahku dengan sangat keras. “KENAPA KAMU SAMPAI BISA HAMIL?! KITA INI LAGI SUSAH, DANILLA! KAMU MAU KASIH ANAK KAMU ITU




MAKAN APA?! GAK MIKIR KAMU! OTAK KAMU INI GAK DIPAKAI!”


“A-Aku akan coba untuk cari kerja setelah lulus sekolah, Bu. Aku akan menyembunyikan kehamilanku ini, sampai ujian nasional selesai dan aku lulus. Aku akan menghidupi anak ini sendiri,” timpalku mencoba menjelaskan bahwa aku akan bertanggung jawab.




Namun, ibuku saat itu sama sekali menolak saran dariku. “Cari kerja itu gak gampang! Ibu aja cari kerja sampai sekarang masih jadi pembantu! Udahlah, besok kita cari bidan untuk gugurin kandungan kamu! Ibu gak bisa bantu ngasih makan anak itu!”


Aku saat itu hanya terdiam, tidak bisa melawan keinginan




ibuku yang memintaku untuk menggugurkan kandungan ini. Keesokan harinya, tepatnya pada hari minggu. Ibuku membawa aku pergi ke bidan yang dikenal oleh teman ibuku. Sepertinya bidan ini sudah professional.


Sudah sering menangani kasus seperti aku ini, gadis yang hamil di luar nikah semasa masih sekolah. Aku




saat itu masuk ke tempat praktek bidan itu, yang merupakan sebuah rumah biasa. Saat itu, ternyata rumah bidan tersebut cukup ramai.


Banyak gadis-gadis seusiaku atau bahkan lebih muda, yang juga datang ke sana bersama dengan orang tuanya. Mereka semua terlihat menunggu dengan




wajah termenung. Menunggu giliran untuk pendaftaran, karena harus bertemu dengan bidannya dulu.


Baru setelahnya dijadwalkan kapan pengguguran bisa dilakukan. Setelah menunggu giliran, sekitar dua jam menunggu. Akhirnya giliran aku yang masuk ke dalam ruang praktek bersama ibuku. Dengan wajah penuh rasa




malu, aku melangkah masuk ke ruangan itu.


“Ada yang bisa saya bantu?” tanya sang bidan dengan assitennya yang berada di sebelahnya. Assitennya terlihat sedang mencatat beberapa dokumen praktek. Sementara sang bidan menatap mataku dan ibuku secara bergantian.




Tatapannya terasa begitu tajam.


“Ini, saya mau gugurin janin yang ada di dalam kandungan anak saya. Usia anak saya masih 18 tahun, masih kelas 3 SMA dan baru mau lulus. Khawatir jika kehamilannya tetap berlangsung akan diketahui oleh orang-orang,” jelas ibuku kepada bidan itu.




Bidan itu mengangguk dan bertanya lagi, “Sudah pernah diperiksa sebelumnya, berapa usia kandungan kamu? Atau kalo kamu gak pernah periksa, atau memang gak mau diperiksa. Dikira-kira saja kamu hamil sudah berapa bulan? Kapan terakhir menstruasi?”


“Saya sudah memeriksanya sekitar 1,5 bulan yang lalu.




Kurang lebih segitu usia kehamilan saya. Soalnya dua bulan yang lalu saya masih menstruasi,” jawabku kepada sang bidan. Sang bidan langsung menuliskan informasi yang aku katakan di sebuah kertas dokumen.


Kemudian dia bertanya lagi, “Kamu mau menggugurkan mandiri atau dibantu dengan saya? Jika menggugurkan




sendiri, saya kasih obatnya nanti. Yaa memang lebih beresiko, tapi harganya lebih murah. Rasanya samalah kaya mulas seperti mau buang air besar.”


Ibuku yang mendengar penjelasan sang bidan, dia pun bertanya balik kepada sang bidan. “Kalo pengguguran pakai obat harganya berapa ya? Dan jika




dibantu bidan harganya berapa? Kalo bedanya gak terlalu jauh, iyaa lebih baik dibantu oleh bidan saja.”


“Kalo dengan bantuan bidan harganya sekitar 2 juta rupiah, sudah sama obat dan kontrol penuh selama 1 bulan. Tapi kalo mau menggugurkan mandiri, harganya obatnya hanya sekitar 200 ribu. Nah sekarang Ibu mau pilih yang




mana? Yang murah atau yang mahal?”


Meskipun ibuku baru saja mendapatkan uang bonus dari majikannya. Namun ibuku tetap tidak ingin uangnya langsung habis begitu saja. Masih ada dua adikku yang berada di kampung, yang harus dibiayai




uang sekolah dan makan sehari-harinya.


“Saya pilih beli paket obatnya saja. Nanti biar anak saya yang menggugurkan kandungannya secara mandiri. Dia yang berbuat, dia juga yang harus bertanggung jawab. Saya pilih yang paket obat,” jawab ibu yang langsung memilih untuk membeli obat saja.




Saat itu aku diberikan 4 jenis obat, yang salah satu obat utamanya adalah obat jenis Cytotec. Dan obat lainnya yaitu pembersih kandungan, yang berjenis misoprostol. Sementara dua obat lainnya hanyalah vitamin dan penguat kandungan.


Di mana dua obat yang lainnya, baru boleh diminum setelah janin keluar. Ini adalah




pengalaman yang cukup traumatis bagiku. Luar biasa, benar-benar sangat traumatis. Namun bodohnya, aku malah melakukannya lagi ketika bekerja sebagai model.


Ibuku meminta cuti kepada majikannya selama dua hari, yaitu hari senin dan hari selasa. Dan pada minggu malam, aku pun mulai meminum obat Cytotec yang




diberikan bidan. Tidak terjadi apa-apa kepadaku selama 1-2 jam pertama, aku pikir obatnya tidak bereaksi.


Namun, ternyata obatnya benar-benar bereaksi 5 jam setelah aku minum obat itu. Aku minum obat pada jam 7 malam, dan baru terasa mulas pada jam 12 malam. Aku segera berlari ke kamar mandi, saat aku berlari darah




mengalir dari kemaluanku menuju ke paha.


Aku segera duduk di closet duduk yang tersedia di kontrakanku. Dan di sanalah, aku mulai mengalami keguguran karena efek obat itu. Perutku terasa sangat nyeri dan perih, ditambah aku juga saat itu mual dan hampir muntah-muntah karena efek obat ini.




Darah terus mengalir dari kemaluanku, namun aku tidak mengerti apakah janin yang ada di perutku sudah keluar atau belum. Tubuhku mulai terasa lemas, karena banyak darah keluar dari kemaluanku. Sampai akhirnya aku merasakan ada gumpalan darah.


Gumpalan darah itu mengganjal dan keluar dari




kemaluanku dengan cepatnya. Bersamaan dengan darah yang terus menerus keluar dari kemaluanku. Perutku rasanya seperti dipelintir dan dililit, kemaluanku rasanya sangat perih dan nyeri.


Dan kata bidan, jika gumpalan darah sudah keluar dari kemaluanku. Itu tandanya janin di dalam rahimku sudah berhasil


Posting Komentar

0 Komentar