Silent Rose part 16

 

Bab 16






Ketiga pemuda itu menatap Cathy sambil berbicara, bibir Cathy tampak bergerak membalas ucapan mereka. seorang dari mereka bergerak ke belakang Cathy dan memeluknya dari belakang, beberapa detik kemudian badan Cathy tampak sedikit terlonjak saat pemuda di belakangnya mulai meremas kedua payudaranya. Tubuh Cathy kini tampak tersandar di dada pemuda itu, matanya terpejam dengan bibir setengah terbuka. Sebuah kilatan cahaya mendadak menarik perhatian beberapa mata di atap itu, kilatan lampu flash dari kamera ponsel salah seorang dari ketiga pemuda itu. Cathy tidak menunjukkan perlawanan sama sekali, bahkan saat lampu flash itu kembali berpendar hingga lima enam kali lagi.






Dua pemuda yang lain tampak mulai ikut bermain dengan tubuh Cathy, mereka melepas ikatan sabuk celana Cathy dan tampak berusaha melucuti celana jeans ketat yang dikenakan gadis itu. Mereka tampak kesulitan sebelum akhirnya berhasil menarik turun celana jeans tersebut hingga di bawah lutut Cathy. Ian dapat melihat celana dalam Cathy menyusul turun beberapa detik kemudian.






Ahhh!!..., kali ini Cathy terdengar memekik nyaring, Ian melihat sekitar, kini banyak pria yang memandangi aksi tiga orang pemuda itu dari kejauhan. Ian kembali memandang ke Cathy, pemuda di belakang Cathy masih memainkan payudaranya, sedang pemuda di depannya terlihat sedang melakukan sesuatu pada kemaluan gadis cantik itu. Gadis cantik itu kini tidak lagi diam terpejam, desahannya mulai terdengar samar bersamaan dengan deru nafasnya.




Mendadak pemuda dibelakang Cathy mengangkat sedikit tubuh sang gadis, teman-temannya bereaksi dengan sangat rapi, meloloskan celana jeans berikut celana dalam gadis itu. Dengan asal pemuda itu melempar celana Cathy, kini gadis cantik itu benar-benar telanjang bulat. Cahaya remang disana tidak mampu menutupi putih-mulusnya kulit gadis cantik itu. Pemuda di depannya mendekat dan mengucapkan sesuatu, Cathy lantas menggeleng, namun pemuda itu terus bicara, sepertinya sedang terjadi ketidak-setujuan diantara mereka. Cathy tampak berontak saat pemuda di depannya mulai menurunkan resleting celana dan mengeluarkan batang kejantanannya. Rontaan gadis itu sia-sia karena tubuhnya ditahan oleh pria di belakangnya, Cathy masih saja menggeleng-geleng saat pemuda di depannya bergerak maju, merapatkan tubuh sambil memegangi penisnya yang sudah keras menegang. Cathy tampak sedikit panik sambil menggeleng saat tubuh kedua pemuda itu menjepit tubuh indahnya.




Seketika ekspresi wajah Cathy berubah, matanya terpejam rapat seolah menahan sesuatu, pemuda di depan Cathy memegang pinggul gadis cantik itu lalu tampak seolah menghantamkan tubuh bagian bawahnya ke arah gadis itu.




Akh!, Cathy memekik sekali lagi, mulutnya terbuka lebar. Pemuda di depannya bergerak seolah memompa, dapat disimpulkan, pemuda itu sukses menyetubuhi gadis cantik itu dan kini tengah memompa liang kenikmatan gadis itu. Pemuda itu terus bergerak, membuat tubuh gadis itu terlonjak-lonjak tertahan oleh pemuda di belakangnya. Payudaranya tampak samar berayun seiring pompaan penis di vaginanya.




Laki-laki yang menyetubuhinya mengangkat kedua kaki Cathy. Reflek, gadis itu merangkulkan tangannya ke leher sang pria agar tak terjatuh. Pria di belakang Cathy kini bergerak menyingkir, tampak jelas kini gadis cantik itu tengah disetubuhi dalam posisi memanjat pada tubuh laki-laki itu.




Stamina jelas menjadi kunci dalam posisi seperti itu, dan dengan postur tubuh sekurus pemuda yang tengah menyetubuhi Cathy, Ian yakin dia tidak akan kuat lama dalam posisi itu. Dan benar saja, tidak lama kemudian dia menurunkan tubuh Cathy, membuat penisnya otomatis terlepas dari vagina gadis itu. Pria itu memberi aba-aba pada temannya, seorang dari mereka maju mendekat. Tubuh gadis itu didorong hingga menungging, tangannya bertumpu pada paha pria lain di depannya, Cathy memekik lagi tidak lama kemudian, saat pria di belakangnya kembali mengisi vaginanya dengan penis.




Ian memalingkan pandangannya sejenak ke arah botol Jim Beam yang ditinggalkannya, dia bergegas mengambil botol itu. Dan saat ia kembali ke posisi duduknya, Cathy tengah dipompa dari belakang dengan kencang, hanya gumaman dikeluarkan gadis cantik itu lewat mulutnya yang kini dipenuhi oleh batang kejantanan laki-laki di depannya. Pria yang menyetubuhinya tampak menggempur makin kencang, Kini orang-orang lain tampak menonton makin dekat. Genjotan pria itu tampak makin kasar, seolah mengejar sebuah kenikmatan.






"angan!!" Cathy kini berteriak, mulutnya sudah bebas dari penis, tangan kanannya berusaha melepaskan cengkeraman di pinggul seksinya. Kepalanya menoleh ke belakang.


"Mas! Jangann!!" ujarnya saat tubuh telanjangnya berguncang makin cepat akibat sodokan sang pemuda. Laki-laki itu tampak tidak peduli dan terus memompa penisnya makin kencang sebelum membenamkan penisnya dalam-dalam dan melenguh


"Mass!! Akh!!," Cathy memekik saat laki-laki itu tampak bergetar, tubuh gadis itu ikut bergetar matanya terpejam, tampaknya cairan yang menyembur di dalam tubuhnya membuatnya mencapai orgasme. Cathy merasa badannya sangat lemas, gadis itu terkulai lemah saat laki-laki yang baru menyetubuhinya mencabut penis dari vaginanya.






Tubuh telanjang Cathy dibaringkan ke lantai beton atap, laki-laki yang tadi menikmati mulutnya membuka kedua kaki gadis cantik itu. Cathy sempat menggeleng pelan, lalu melenguh saat penis laki-laki itu mulai memasuki tubuhnya. Laki-laki itu menyetubuhinya dengan posisi konvensional. Sambil menindihkan tubuhnya pada gadis cantik itu, pria itu bergerak teratur sambil menciumi leher dan wajah cantik Cathy. Gadis itu mendesah, pertanda dia menikmati persetubuhan ini.




Bersetubuh dengan tempo lambat dan dalam seperti itu memerlukan konsentrasi yang tinggi, dan pria itu melakukannya dengan baik, dia dapat menjaga tempo irama permainannya dengan konstan dan mantap. Kali ini, Cinthya tampak terbuai, gadis itu memejamkan matanya dan mendesah setiap batang kejantanan menggesek dinding-dinding bagian dalam vaginanya.




Laki-laki itu menaikkan temponya dengan rapi, tidak terburu-buru dan tidak terkesan kasar, semakin cepat tempo pompaan sang pria, semakin keras desahan dan erangan Cathy, bahkan kini Cathy tampak ikut menggerakkan pinggulnya mengejar kenikmatan. Cathy memeluk tubuh laki-laki yang tengah menikmati tubuh indahnya, matanya terpejam, sesekali tubuhnya menggeliat dan mengerang, hingga akhirnya tubuh Cathy menggelinjang dan menegang, gadis cantik itu telah mencapai kenikmatan duniawi untuk yang kedua kalinya.




Setelah orgasme selama beberapa detik, badan gadis cantik itu melemas, laki-laki yang menyetubuhinya melumat bibir indah gadis itu. Cathy membalas lumatan dan ciuman sang pria dengan ganas. Laki-laki itu melepas ciumannya, menatap Cathy dan mengucapkan sesuatu yang dijawab dengan anggukan oleh gadis cantik itu. Setelah mendapat jawaban, laki-laki itu kembali memompa, menikmati jepitan vagina gadis cantik itu.




Pria itu memompa tubuh telanjang Cathy dengan kencang, membuat kedua payudara gadis cantik itu berayun mengikuti sodokannya. Cathy sudah cukup lemas untuk bersuara hanya sesekali erangan lepas dari mulutnya. Tidak lama kemudian, pria itu mengatakan sesuatu pada Cathy. Kali ini Cathy menggeleng.




Nafas laki-laki itu terdengar makin berat, pertanda dia akan mencapai ejakulasinya. Cathy berusaha bangkit, namun laki-laki itu mendorongnya kembali berbaring.






"Nggak mas!! Jangan didalam!!" kali ini Cathy terlihat panik, rupanya tadi laki-laki itu memberitahu Cathy bahwa dia akan melepaskan benihnya di dalam rahim gadis cantik itu dan Cathy keberatan. Laki-laki itu menyodok gadis itu makin kencang.


"Mas! Aku subur!!", pinta gadis cantik itu memelas.






Sia-sia, beberapa sodokan berikutnya dan laki-laki itu membenamkan seluruh batang kejantanannya sambil menggeram dan mengejang, memuntahkan isi penisnya ke rahim sang gadis.




Pria itu lalu mencabut penisnya, membenahi lagi celananya dan memanggil rekannya yang belum menikmati tubuh Cinthya. Di luar dugaan, rekannya enggan ikut menikmati tubuh Cathy. Ketiga pria itu lantas meninggalkan Cathy begitu saja.




di sampingnya dan bergegas mendekati Cathy, sebelum orang lain mendekati gadis cantik itu. Ian membantu gadis itu untuk bangun dan lalu bergegas memungut pakaian Cathy.






"Bagaimana aksiku?" ujar gadis itu setengah mabuk.


"Kau gila" jawab Ian. Sekarang beri tahu aku nomor kamarmu, biar kuantar kau kesana.






Pintu kamar bernomor 1304 terbuka, Ian memapah Cathy masuk ke dalam kamar tempat gadis cantik itu menginap.




Aku tidak menyangka kau menginap tepat di seberang kamarku menginap, Ian menunjuk ke pintu kamar seberang dengan angka 1303 berbahan logam yang dicat warna emas menempel di daun pintunya.




Kau tidak akan mendapatkan pemandangan jendela di kamar itu, Cathy berbaring di tempat tidur sambil menunjuk ke arah jendela. Ian mendekat ke arah jendela kamar tempat Cathy menginap. Dari jendela itu, Ian dapat dengan sangat jelas melihat gedung tempat dimana salah satu sasaran Silent Rose palsu akan mengadakan pertemuan besok siang. Ian memandang sejenak ke arah bangunan, otaknya bekerja, mencoba mereka apa yang akan terjadi dalam bangunan itu besok. Ahmadi Faasa, salah satu tersangka yang kini diincar oleh pembunuh maniak yang memalsukan codename Silent Rose. Ian membayangkan posisi para petugas kepolisian, detektif dan intel yang akan bertugas untuk mengamankan berlangsungnya pertemuan.




Ian membuka jendela, sedikit mengintip ke luar jendela. Kamar ini sulit untuk dilihat dari pos-pos penjagaan yang diperkirakan. Sebaliknya, kamar ini memiliki jangkauan pandangan yang sangat jelas. 1304, Ian menghapal nomor kamar yang merupakan titik terbaik jika suatu saat ada Case dengan target berada di gedung sebelah hotel ini. Pikiran itu mendadak menyadarkan Ian, jika dia adalah Silent Rose, dan dia harus membunuh target di gedung sebelah, sudah pasti inilah kamar yang akan dipilihnya!!. Dan itu artinya besar kemungkinan Sang copycat akan muncul di kamar ini.






KRIIING.KRIIING




Ian terbangun dari tidur saat merasa lehernya tertusuk sesuatu yg kecil dan tajam. Pandangannya segera mengabur, dan kesadarannya sirna seketika setelah mendengar suara seorang pria di telepon yang di-loudspeaker ; Kerja bagus Cathy.






*_*_*​








Terpaan angin serasa membelai kulit wajah Ian yang mulai kembali mendapat kesadarannya. Cahaya mulai tertangkap retina matanya, merefleksikan apa yang ada di hadapannya. Ian terbaring di ranjang, dia masih dapat mengenali interior kamar di tempatnya berada saat ini. Itu artinya, dia masih ada di hotel yang sama. Ian melayangkan pandangan matanya ke sekelilingnya, mencoba mencari sosok lain di dalam kamar itu. Namun hasilnya nihil, tidak ada seorangpun disana, satu-satunya yang bergerak selain dirinya hanyalah tirai jendela berbahan kain yang melambai-lambai tertiup angin. Jendela itu terbuka, dengan sebuah senapan laras panjang Blaser R93 Tactical bertengger tak bergeming di atas tripod.




Dengan sedikit berat Ian berusaha bangkit dari tempat tidur itu, tubuhnya masih cukup lemas, sepertinya Cathy, gadis cantik itu telah menyuntiknya dengan semacam obat bius. Ian melayangkan pandangan ke jam dinding digital di ruangan itu, menunjukkan angka 13.30 yang berkedip-kedip. Tiba-tiba terdengar beberapa derap langkah dari luar kamar, Ian baru saja pulih dari pengaruh obat saat pintu kamar terbuka paksa. Menghasilkan suara keras akibat benturan pintu dengan dinding kamar. Dua orang bersenjata merangsek masuk ke dalam ruangan.






"JANGAN BERGERAK!!" seorang diantaranya menghardik seraya menodongkan sepucuk pistol Smith & Weston 45ACP ke arah Ian. Tidak perlu lama bagi Silent Rose untuk mengenali dua orang yang ada dihadapannya kini. Tentu saja, tidak mungkin dia tidak mengenali para pengejar utamanya ; Detektif Dean dan Rio.






Sejenak Dean melepaskan pandangannya ke senapan laras panjang di jendela yang terbuka, saat itulah Ian dengan cepat merangsek maju, memutuskan untuk membela diri. Rio menangkap gerakan Ian dan dengan sama tangkasnya, detektif muda itu mendaratkan satu tendangan sepatu larasnya ke perut Ian, membuat Ian kembali terjengkang dan mengaduh saat punggungnya menghantam tepi ranjang hotel. Tanpa memberi kesempatan, Rio bergerak menangkap tangan Ian, menelikungnya ke belakang sehingga Ian tidak dapat menggunakan kedua tangannya. Ian meronta, perlawanannya belum selesai, namun satu sengatan stun-gun pada tengkuknya kembali mengantarkan Silent Rose pada ketidak sadaran.






"Kita bawa ke kantor," dean menatap Ian yang kini tersungkur, sedari tadi mereka tidak sempat menyadari bahwa Ian hanya menggunakan boxer saja sebagai penutup tubuhnya.


*Kita pindahkan sebelum tim forensik datang", bantu aku Dean, Rio mulai mengangkat tubuh Ian.


"Hah?, kau gila?" alis Dean berkerut mendengar ucapan detektif bawahannya itu.


"Dengan segala hormat, Dean. Kita sudah mencoba mengikuti langkah demi langkah Silent Rose selama bertahun-tahun. Dan kita tidak pernah sedekat ini!. Aku juga tidak pernah berpikir Silent Rose, akan melakukan penembakan dalam keadaan nyaris telanjang seperti pria ini.Tapi kita tidak bisa melepaskan kemungkinan sekecil apapun!!."


"Ya, dan oleh karena itu kita akan membawanya ke kantor untuk diinterogasi."


"Berapa kali Silent Rose bisa lolos dari kita?, terlalu beresiko untuk membawanya ke kantor sekarang. Percaya padaku, Komandan!" )ali ini Rio memanggil Dean dengan sebutan komandan, sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya.




Dean memandang Rio sejenak. "Terserah kaulah."








*_*_*








Dean menyimak dengan seksama apa yang baru saja diceritakan oleh Ian. Seorang gadis bernama Cathy yang terdengar sangat binal. Selama ini mereka belum pernah memiliki pikiran bahwa Silent Rose adalah seorang wanita. Keadaan hening sejenak, Rio menatap tajam ke arah Ian, memperhatikan dengan seksama dari ujung kaki hingga ujung rambut.




"percuma kau berusaha untuk menutupinya, Silent Rose. Aku tahu itu adalah dirimu" nada suara Rio terdengar datar. Ian membalas tatapan mata Rio dengan tatapan yang seolah berkata


"Kau akan tetap disini bersama kami sampai penyelidikan selesai, Dean menutup notes kecilnya. Gadis bernama Cathy itu kami akan menemukannya."


"Ada hal lain yang ingin kau sampaikan?, Silent Rose?" Rio bertanya. Ian mengalihkan perhatian dari pandangan mata detektif muda itu. Tangannya masih terbogol rapat. Ian harus mengakui, ada satu sisi yang menarik dari Detektif muda bernama Rio ini. Sesuatu yang sangat menarik.






Dering telepon memecah keheningan di ruangan tersebut. Dean beranjak menjauh untuk menerima panggilan. Rio masih menatap dalam-dalam ke arah Ian.






"Itu kau, kan?"tanya Rio setengah berbisik.


"Apanya yang itu kau?" Ian menunjukkan ekspresi tidak mengerti.






Rio yang membunuh Kepala polisi Komang Mahendra, tiga tahun yang lalu, mimik serius tampak kental pada raut wajah Rio. Tatapannya terasa makin tajam, seolah hendak membaca setiap gerakan tak terlihat pada kulit wajah Ian.






Ian menggeleng, "aku tidak tahu apa yang kau katakan"ujarnya kemudian.






Dean kembali diantara mereka, mendekat ke Rio dan membisikkan sesuatu. Sejenak raut wajah Rio berubah, dengan kemampuan pengamatannya yang tajam, Ian dapat merasakan bahwa apapun yang baru saja dibisikkan oleh Dean, bukanlah kabar baik baginya.






"Cerdik sekali" Rio menggumam samar, matanya kembali menatap ke arah Ian, senyum samar tersungging di bibirnya. Kau hampir menipuku lagi, Silent Rose, kali ini suaranya terdengar jelas. Dengan sengaja hanya menggunakan






saat melakukan eksekusi, untuk mengecoh pihak kepolisian, sehingga kau akan lolos dengan memanfaatkan status saksi kunci. Rio beranjak dari kursinya dan berjalan mendekat ke arah Ian. Sayang trik murahan itu tidak akan berhasil melawan kami.






"Apa maksudnya?" nada suara Ian meninggi. Sudah kubilang aku bukanlah Silent.






Ian tidak dapat menyelesaikan kalimatnya, sebuah bogem mentah membungkamnya. Rio melepaskan tinju tepat ke rahang kanannya, membuat kepalanya berpaling ke kiri dengan seketika. Anyir Ian dapat merasakan bibirnya berdarah akibat hantaman tiba-tiba itu. Dean berdiri dari kursinya, tampak terkejut dengan tindakan detektif muda itu.






"Kau masih berusaha untuk mengelak! setelah kami menemukan bukti sidik jarimu pada senjata itu!,


" Rio mencengkeram kedua bahu Ian, membuat kursinya berputar hingga kini mereka berhadapan sangat dekat. "Aku tidak akan memaafkan, tidak akan pernah!, Silent Rose akan kukirim ke tiang gantungan, seperti yang dilakukannya pada Kepala Polisi Komang Mahendra!" Usai bicara, tanpa ampun Rio melayangkan lagi dua tinjunya ke rahang Ian.


"CUKUP!! RIO!!" Dean membentak, sambil bergegas menahan kedua bahu detektif muda itu. Rio masih menatap Ian dengan tatapan marah, seolah menyimpan sebuah dendam kesumat yang telah menunggu lama untuk dilampiaskan. Rio mengibaskan pundaknya, dan tanpa menghiraukan Dean, dia melayangkan satu tinju lagi.




BUKK!!.




Rio tersungkur jatuh, Dean meninjunya lebih dulu. Sepertinya Dean sudah kehabisan akal untuk menghentikan aksi main hakim yang dilakukan oleh detektif muda itu. Rio memandang ke arah Dean, bibirnya berdarah.






"IKUT AKU!!" Dean menghardik, belum pernah sebelumnya Rio melihat Dean berkata dengan penuh emosi seperti yang dilakukannya saat ini. Rio bangkit dengan setengah terhuyung, tinju Dean cukup keras, detektif muda itu mengikuti langkah Dean keluar kamar.




Setibanya mereka di luar kamar. Dean mendorong tubuh Rio hingga punggungnya menghantam dinding.






"Kau sudah gila apa?!, kendalikan dirimu!!" Dean berkata penuh tekanan, matanya menatap tajam pada detektif muda di depannya.


"Dia Silent Rose!" Rio membantah.


"Itu belum pasti!!, kita punya asas praduga tak bersalah!. Penyidik memang menemukan sidik jarinya di senapan laras panjang itu, namun apa kau tidak berpikir bisa Silent Rose membuat pemuda itu memegang senapan saat dia tidak sadarkan diri?!."


"Itu trik-nya!!, dia sengaja melakukan itu!, agar kita tidak mengira bahwa dialah Silent Rose!Semuanya adalah trik!, penampilannya yang setengah telanjang, dan cerita palsunya. Dia bahkan sengaja menyewa kamar di depan TKP hanya untuk mengelabui kita!" Rio membantah argumen yang disampaikan Dean.


"Kau boleh beropini apa saja!!, tapi bicaralah dengan bukti!!", Dean menghardik Rio. "Dengan tertangkapnya Silent Rose, berakhir juga pencarian kita", Dean berhenti sejenak, mencoba mengatur nafasnya. Tapi itu jika dia BENAR-BENAR Silent Rose!.






Rio menatap Dean dalam-dalam. "Seharusnya ini tidak berakhir disini, seharusnya ada sebuah fakta mengejutkan yang lebih besar setelah kita menangkap Silent Rose".


"Itu jika dia benar-benar Silent Rose!!" Dean memberi tekanan lebih pada kata benar-benar.






Rio kembali diam, tampak emosinya sudah mulai kembali tenang. aku terbawa emosi, maaf, hanya itu kalimat yang keluar dari lidah Rio. Kita sudah sedekat ini aku aku.






"Aku mengerti perasaanmu, kau sangat mengagumi almarhum mantan kepala polisi kita Komang Mahendra yang dibunuh oleh Silent Rose. Kendalikan dirimu, jika pemuda itu memang Silent Rose, kita akan menemukan bukti untuk mengirimnya ke tiang gantungan, seperti yang kau katakan sebelumnya" Dean mencoba menenangkan Rio.


"Dia sudah seperti Ayah bagiku" Rio berhenti, memejamkan mata dan menarik nafasnya dalam-dalam. "Sekarang? Bagaimana cara kita mencari bukti?."


"Kita harus menyelidiki apakah yang diceritakannya benar.Aku akan mengambil sample darah dan urine pemuda itu untuk diperiksa, apakah ada kandungan obat bius di dalamnya."


"Tentu saja, Rio menepuk dahinya sendiri. Kenapa aku tidak memikirkan hal itu."


"Dan satu lagi, seperti yang kita ketahui, tembakan Silent Rose kali ini meleset, belum pernah terjadi sebelumnya. Silent Rose pasti akan berusaha menghabisi Ahmadi Fahsa lagi. Namun, jika pemuda itu adalah Silent Rose, maka tidak akan ada aksi berikutnya."


"Jika terjadi pembunuhan lagi, maka dia bukan Silent Rose" Rio menegaskan analisa yang dilakukan Dean.






Kedua detektif itu kembali larut dalam hipotesa-hipotesa mereka, memanfaatkan data dan pengalaman mereka selama mengejar Silent Rose. Sementara itu, ketika dua detektif itu sedang beragumen di koridor hotel, Ian sedang memikirkan hal lain. Bukan keadaannya yang terikat tak berdaya yang tengah dia pikirkan. Dalam diamnya, Ian mencoba mengingat pesan terakhir yang dikatakan Noisy Cannary. Bank Emerald Bandung. Tidak ada Bank Emerald di Bandung!, bank asing itu hanya ada di kota Jakarta!. di dalam keputus asaan-nya itu sekilas terbayang wajah Wise Crow. Mungkin Wise Crow dapat memecahkan pesan itu, bukankah sandi-sandi dan pesan rahasia adalah keahlian para agen tipe B, bermain dengan teka-teki yang sangat rumit.




Ian meringis sedikit saat merasakan sakit di rahangnya akibat pukulan dari Rio. Tentu rasa sakit seperti itu tidak seberapa baginya, dia pernah merasakan yang lebih buruk ketika di pelatihan dulu. Keadaan telah berjalan seperti yang dia inginkan, dia kini telah berhasil masuk ke dalam jaringan kepolisian, meski ada beberapa hal yang terjadi di luar rencana dan prediksinya. Kini Ian harus mencari cara untuk merubah keadaan menjadi keuntungan baginya. Tanpa bantuan pasokan alat ataupun senjata, tanpa bantuan Wise Crow, tanpa bantuan siapapun, dengan segudang probabilitas dan rencana yang bermain di dalam pikirannya.




Silent Rose yang sesungguhnya, sedang bergerak dalam diam. Dimana setiap gerakan jarum terkecil dari jam analog sangat menentukan dan dapat merubah keadaan.






~as always, hes prefer to keep silent until the rose bleeding ~​








BERSAMBUNG 







Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar