Silent Rose part 15

 

Bab 15








Ian terdiam memandangi tempat dimana dia berada saat ini, terduduk di sebuah kursi single seat sofa yang cukup nyaman berwarna senada dengan sebuah coffee table di depannya. Dinding-dinding ruangan itu dilapisi wallpaper bermotif daun maple berwarna krem lembut. Beberapa perabot disekitarnya cukup mewah. Sebuah lemari es kecil di bawah televisi plasma tiga puluh dua inci berwarna hitam. Dia berada di sebuah kamar hotel, suasananya cukup nyaman. Satu hal yang tidak membuatnya nyaman adalah kedua tangannya yang terbogol di kedua pegangan kursi.




Di kamar yang berada selisih tiga kamar dari tempat Ian berada, beberapa petugas kepolisian tampak sibuk. Beberapa diantaranya berseragam, beberapa mengenakan sarung tangan karet di tangannya. Garis kuning kepolisian tampak membentang di pintu masuk kamar tersebut. Dean mengamati tim forensik yang tengah memeriksa isi ruangan tersebut, tidak jauh dari tempatnya berdiri Rio tampak asyik memeriksa sisi kamar dekat jendela, sesekali Rio melongokkan kepalanya ke luar jendela.




Sebuah senapan laras panjang Blaser R93 Tactical buatan Jerman yang sering digunakan oleh kepolisian Prancis dan tentara Bulgaria bertengger anggun di tripod penopangnya. Moncong senapan itu sedikit keluar dari jendela, mengarah tepat ke sebuah jendela di gedung seberang kamar itu. Jejak mesiu masih hangat di ujung senjata itu, pertanda bahwa senjata itu baru digunakan. Rio mengamati senjata itu dari jauh, senjata itu nyaris saja merenggut nyawa seorang politikus ternama di Indonesia, Ahmadi Fahsa, salah satu tersangka utama kasus mega korupsi suap impor daging sapi. Fahsa beruntung Rio dan Dean berhasil membaca dan menggagalkan aksi pembunuhan tersebut.




Detektif muda berbakat itu tersenyum saat melihat isi sebuah kantong plastik diantara beberapa barang yang diamankan oleh tim forensik. Sebuah puntung rokok bercap mawar merah di gabus penghisapnya. Dari sekilas mengamati saja, Rio yakin puntung roko itu asli, sama dengan yang biasa ditemukan di TKP yang berkaitan dengan Silent Rose. Rio tidak lama-lama mengamati puntung rokok itu, dia bergegas ke arah Dean.




"Apa rencanamu berikutnya, Rio?", Dean bertanya setengah berbisik. Rio menjawab dengan isyarat agar Dean mengikutinya, kedua detektif itu keluar dari kamar tersebut.


"Kita akan mengorek keterangan tentang Silent Rose dan siapa yang berada di belakangny", Rio berbisik pada Dean.


"Kalau begitu kenapa tidak kita bawa ke kantor?, disana kita bisa menginterogasinya lebih lanjut", raut wajah Dean terlihat cemas.


"Yang kita hadapi itu Silent Rose Dean!, selama ini kita tidak tahu apa yang akan dia lakukan, apa kau akan mengambil resiko kehilangan Silent Rose di perjalanan menuju ke kantor polisi?!," Rio mengemukakan pendapatnya, mencoba meyakinkan atasannya bahwa menahan Silent Rose di hotel adalah keputusan terbaik.


"Aku tetap merasa lebih baik kita membawanya ke kantor."


"Cara berpikir yang kuno untuk seorang detektif, Dean. Maaf kalau terdengar kasar, tapi itulah yang biasa dilakukan oleh seorang polisi saat berhasil menangkap tersangka kan?, membawa mereka ke kantor polisi untuk diinterogasi, apa kau pikir Silent Rose tidak memikirkan kemungkinan itu?."






Dean terdiam sejenak, dia sadar betul yang dihadapinya sekarang bukan penjahat biasa. Silent Rose begitu licin, begitu sukar untuk ditebak. Bukan tidak mungkin Silent Rose sudah menyiapkan rencana untuk kabur.






"Kita harus berpikir berbeda, melakukan hal di luar rutinitas. Itu yang kita perlukan saat menghadapi penjahat penuh taktik semacam Silent Rose" Rio kembali menegaskan argumennya, kali ini dia yakin Dean tidak akan dapat membantah.


"Mungkin kau benar, Rio" Dean menyetujui pendapat Rio. "Tapi itu artinya kita perlu melakukan strategi khusus juga untuk mengurai kasus itu. Jika Kepala Polisi sampai tahu."


"Disitulah strategi pertama kita, komandan Dean," Rio tersenyum sambil menepuk bahu Dean. "Jaga supaya hanya kita berdua yang tahu" lanjutnya enteng.






Ian masih merasakan pening di kepalanya akibat serangan stun-gun yang diluncurkan oleh Dean. Dia mencoba menggerakkan kedua tangannya yang terborgol. Namun bagaimanapun, dia bukan man of steel yang bisa dengan mudah mematahkan besi-besi borgol. Ian menghentikan usahanya saat mendengar pintu kamar terbuka. Rio dan Dean terlihat mendekatinya. Rio mengambil kursi dan duduk tepat di seberang Ian, memandang tajam dengan sebuah senyum samar di raut wajahnya.






"Bagaimana keadaanmu, Silent Rose" Rio membuka pembicaraan, ini adalah pertama kalinya mereka berhadapan face to face.


"Sudah kubilang kalian salah tangkap!" Ian mencoba berontak. "Namaku Ian!, kalian salah tangkap!"


"Setiap aku menangkap seorang penjahat, aku tidak pernah berharap penjahat itu akan langsung mengaku" nada Rio terdengar begitu datar, dengan penekanan samar di setiap kata yang diucapkannya. "Kau tertangkap di dalam sebuah ruangan, bersama sebuah senjata laras panjang beberapa menit setelah terjadi penembakan."


"Aku tidak tahu! Aku tidak menyewa kamar itu! Aku menyewa kamar di seberang kamar itu!. Entah bagaimana aku bisa ada di sana."


"Dan itu alasanmu menyerang kami berdua?", pandangan detektif muda itu semakin menajam.


"Kalian datang mendobrak pintu beberapa menit setelah aku terbangun, aku terkejut! Kalian menodongkan senjata padaku! Apa aku harus diam dan menerima tembakan kalian?"


"Kami tidak menemba", Dean berkomentar.


"Belum tepatnya" Rio menimpali. Dalam sebuah interogasi, keberadaan sebuah tekanan sangat diperlukan. Dalam hal ini Rio berusaha memberi tekanan pada Ian dengan meyakinkannya bahwa mereka tidak akan segan menembak.


"Mana aku tahu kalian polisi?, kalian tidak berseragam"Ian mencoba membela diri.






Dean dan Rio terdiam, saat mendobrak mereka memang lupa menyebutkan identitas kepolisian mereka.






"Ceritakan bagaimana kau bisa sampai di ruangan itu" Rio memberikan kesempatan Ian untuk menjelaskan alibinya, dengan harapan ada kecacatan dalam ceritanya nanti.


"Aku datang untuk meliput pertemuan para pembuat Game lokal Indonesia yang diadakan di ballroom hotel ini kemarin malam, agar bisa lebih santai, aku menyewa kamar di hotel ini. Kamar 1303 atas nama Christian D Ambaraksa"




Dean mengeluarkan notes kecil dan mulai mencatat poin-poin penting yang diceritakan oleh Ian.




"Di hotel, acara dimulai pukul tujuh malam, aku baru datang saat acara sambutan selesai, acara selesai sekitar pukul sebelas malam. Setelah menyimpan peralatanku di kamar, aku memutuskan untuk bermain ke diskotik di lantai atas hotel, sedikit ramai. Di sana aku minum beberapa gelas, lalu, Ian terdiam sejenak, mencoba mengingat. Aku bertemu seorang gadis, gadis yang cukup cantik, kami berkenalan, mengobrol banyak hal. Ah! Dia juga salah satu pembuat game lokal. Akhirnya gadis itu mengundangku ke kamarnya itu kamar gadis itu!", Ian setengah bersorak, seolah dia berhasil mengingat sesuatu.


"Kau punya nama gadis itu?" Dean bertanya.




Ian menggeleng "Cathy aku tidak tahu nama lengkapnya, tapi nama panggilannya Cathy."


"Apa yang kalian lakukan di kamar itu?" pertanyaan selanjutnya meluncur dari mulut Dean.


"Bukankah aku berhak didampingi seorang pengacara? Aku kan warga pembayar pajak juga?" Ian mencoba mempertanyakan hak-nya sebagai warga negara.


"Tidak dalam kasus kali ini!" Rio menggebrak meja, mencabut pistolnya dan menodongkan tepat ke kepala Ian. Ian terkejut tanpa bisa bereaksi.


"Tahan Rio!!" Dean membentak bawahannya. Sesaat suasana menegang.


"Kau lanjutkan ceritamu tanpa banyak berbelit-belit, satu saja kebohongan maka kepalamu akan kuledakkan", ancam Rio tanpa menurunkan senjatanya.


"Turunkan senjata itu, Detektif!!" Dean membentak makin kencang, Rio terdiam dan menurunkan senjatanya.


"Lanjutkan ceritamu" perintah Dean pada Ian.


"Kami melakukannya, bercumbu, dan diakhiri dengan sebuah persetubuhan yang hebat bagiku, dia gadis terseksi yang pernah aku nikmati. Kami mencoba banyak posisi, dan desahannya sangat luar biasa."


"Kami tidak perlu cerita panas dari seorang jurnalis amatir sepertimu" Rio memotong cerita Ian.


"Setelah itu aku tertidur, ketika bangun hari sudah siang, aku masih cukup bingung melihat senjata ada di dekat jendela Tidak lama kemudian kalian masuk dengan beringas, aku ketakutan dan mencoba lari."


"dan sebuah stun gun mencium tengkukmu" Rio menyempurnakan cerita dari Ian.






*_*_*​








Green File Café, 1 Bulan yang lalu






tergantung di depan kafe yang biasanya sepi pengunjung. Ian membiarkan segelas Cappucino dinginnya tak tersentuh, dia menatap dingin ke layar televisi di sudut kafe. Seorang gadis cantik; Evangeline Irene duduk tepat di sampingnya.




Berita mengenai surat ancaman yang dilakukan oleh pembunuh bayaran bernama Silence Rose membuat gempar pihak kepolisian, surat itu sampai ke meja Komisi Pemberantasan Korupsi satu minggu yang lalu, Frida Lidwina, presenter cantik tampak sedang membacakan berita yang sedang hangat akhir-akhir ini.




Berita mengenai surat ancaman ini terkuak setelah tragedi pembunuhan terhadap salah satu tersangka dari kasus suap impor daging sapi yang terjadi dua hari yang lalu. Juru bicara KPK menyalahkan pihak kepolisian yang dinilai telah mengabaikan laporan KPK perihal keberadaan surat ancaman dari Silence Rose, Frida meneruskan beritanya.




Layar televisi kini menayangkan Ipus Irjan, Wakil kepala polisi yang memberi pernyataan resmi mengenai tudingan KPK tersebut. Kami tidak mengabaikan surat ancaman tersebut, kami sudah melakukan banyak upaya untuk memecahkan dan upaya perlindungan. Namun itu adalah insiden yang tidak dapat dihindari. Kepada pihak korban, kami mengucapkan belasungkawa yang besar, ujar Ipus Irjan tenang.




Gambar di layar kembali menunjukkan studio dimana Frida Lidwina tampil anggun dalam balutan gaun panjang press-body berwarna biru muda. Tubuhnya tampak ramping dan seksi. Di samping Frida telah hadir dua orang, satu diantaranya adalah Ipus Irjan yang mengenakan seragam kepolisian. Dan di sebelah Ipus, Budi Jonan, juru bicara KPK mengenakan setelan jas abu-abu.




Bapak Ipus, Fidya membuka pembicaraan. "Anda mengatakan kepolisian telah menanggapi surat ancaman itu sebagai sesuatu yang serius. Sejauh apa anda akan mengambil langkah antisipasi?."


"Nona pasti tahu kalau mengemukakan strategi saat siaran langsung seperti ini, sama saja dengan membantu sang pelaku. Silence Rose bukanlah hal baru bagi kami, selama lebih dari lima belas tahun kami memburu kriminal ini" Ipus Irjan memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Fidya mengenai strategi antisipasi.




CLAPP!!




Televisi di sudut ruangan kafe itu mendadak mati. Wise Crow meletakkan remote dari tangannya. Ian dan Eva mengalihkan perhatiannya pada Wise Crow yang kini meneguk segelas vodka di tangannya.






"Kau tidak melakukan hal bodoh seperti itu kan, Rose?" nada suara Wise Crow terdengar begitu dingin, mata pak tua itu tidak lepas dari wajah Ian.


"Siapapun itu, jelas bukan aku", Ian menjawab sambil meneguk Cappucino-nya. Tidak ada untungnya juga bagiku.


"Kupikir juga begitu" Wise Crow menjawab ringan sambil mengambil sebuah gelas kaca dan membersihkannya. Tapi hal seperti ini sangat merepotkan, seorang


"Selalu merepotkan" lanjutnya, ada tekanan saat ia mengucapkan kata


"Apa aku bergerak terlalu mencolok", Ian bertanya.


"Kebocoran" Wise berkata pelan. "Hanya itu yang bisa aku katakan. Puntung rokok itu adalah ciri khas-mu dan siapapun itu, dia memiliki barang asli!. Ada kebocoran disini, dan itu harus diselidiki."


"Kau tidak menuduhku kan, Pak Tua?" Ian berusaha menahan agar nada bicaranya tidak terkesan emosi.


"Tentu tidak Rose, dulu Ayahmu sempat bekerja sama dengan Noisy Cannary, ada kemungkinan Noisy Cannary adalah pusat dari semua ini."


"Kalau begitu mari kita temui Noisy Cannary" Ian mengusulkan sebuah solusi.


"Noisy Cannary sudah mati, Rose" Wise Crow berhenti bicara untuk sesaat. Setidaknya itu yang dilaporkan oleh Lazy Franginpani.


"Setidaknya?, apa tidak ada bukti nyata soal kematian Noisy Cannary?" Ian mencoba mengejar penjelasan. Sebenarnya dia sudah tahu perihal kematian Noisy Cannary, karena Silent Rose-lah yang menghabisi Noisy Cannary.




Wise Crow menggeleng, "hanya ada sepuluh ruas jari yang memang milik Noisy Cannary". Saat ini, Lazy Franginpani sedang dalam pengawasan ketat Association.






Keadaan hening sesaat. Eva tidak berani berkomentar sedikitpun. Jika bisa memilih, Eva pasti akan lebih memilih untuk tidak mendengar apapun saat ini.




"sebelum dia meninggal, Wise Crow kembali membuat perhitungan probabilitas. Pengalaman membuat Wise Crow menjadi lebih tajam dari agen tipe B lainnya."


"Aku yang akan mengurus penyelidikan soal kebocoran itu, Wise Crow berkata sambil meletakkan gelas yang telah dibersihkannya, Dan kau juga terkena dampak hal ini Silent Rose. Association memberikanmu DO untuk menghabisi itu. Kau mendapatkan hak khusus untuk itu."


"Apakah itu artinya Silent Rose dikeluarkan dari Association?." Ian menjelaskan secara singkat. Itu adalah tugas yang diberikan secara langsung dan tak dapat ditolak atas alasan apapun. Dan untuk menjalankan DO maka aku diberi hak khusus untuk melakukan apa saja.


"Jadi apa yang bisa kubantu?"tanya Wise Crow kemudian






Ian tidak segera menjawab, memandang kosong pada segelas Cappucino yang tinggal separuh. Seolah menangkap keresahan di dalam diri Ian, Eva menepuk paha sang Silent Rose. Ian menatapnya, menatap gadis yang kini tersenyum padanya.






"Bagaimana caranya membunuh target yang tidak diketahui?" tanyanya pada Wise Crow.


"Aku sama tidak tahunya denganmu" jawab Wise Crow sambil mengangkat kedua bahunya.


"hmm ya ya" Ian mengangguk-ngangguk. Sepertinya Association juga tidak tahu banyak tentang Silent Rose palsu ini.


"Karena itulah DO diturunkan" Wise Crow menimpali, raut wajahnya masih tampak tenang. Selama DO belum diselesaikan, Association akan menganggapmu sebagai ancaman. Kau tahu akibatnya bukan?, kali ini kau tidak bisa berharap banyak padaku atau Association.


"Aku mengerti" Ian beranjak dari kursinya, sebentar dia menatap ke arah Eva. Lakukan sesuatu untukku Pak Tua, tolong jaga Eva. Aku akan menitipkannya di sini selama aku mengejar Silent Rose palsu itu.


"Aku ikut"Eva menyela.


"Kau lebih aman disini, Eva," jawab Ian dingin. Eva memandang Ian dengan pandangan kecewa.


"Kau harus menjamin keselamatan Eva, Pak Tua. Jika tidak aku takkan segan memburumu" Ian memberi sedikit tekanan pada Wise Crow, untuk memastikan keselamatan Eva. Entah untuk apa dia melakukannya.


"Kau bisa pegang janjiku, Silent Rose," Wise menjawab kalem." Apa rencanamu?."


"Mencari informasi, aku harus menemukan siapa Silent Rose palsu itu dulu. Aku tidak punya informasi, kau juga, Association juga" Ian berhenti sejenak, memandang ke arah televisi yang tidak menyala. Tapi sepertinya, para polisi punya informasi lebih dari yang kita miliki.


"Ide bagus" timpal Wise Crow masih dengan nada yang tenang. Dan setelah kau dapat informasi itu?.


"I prefer to keep silent until the rose bleeding" jawab Ian penuh misteri.






*_*_*​






Christian D Ambaraksa, oke silakan masuk, gadis muda berpakaian blazer merah mempersilahkan Ian untuk masuk setelah memastikan nama Ian terdaftar dalam daftar undangan dalam acara bertajuk Gathering Akbar Game Master Indonesia. Ian duduk di tempat yang sudah disediakan untuk pers, beberapa jurnalis lain tampak siap dengan kameranya masing-masing, siap meliput even yang jarang ada di Indonesia. Ian mengeluarkan kamera miliknya, sesuatu menyenggol bahunya saat hendak memasang lensa tambahan pada kameranya.




Ups, maaf, seorang gadis manis meminta maaf pada Ian saat secara tidak sengaja sang gadis menyenggol pundak Ian. Ian sempat memperhatikan gadis itu selama beberapa menit sebelum tersenyum untuk menandakan dia tidak mempermasalahkan hal itu. Gadis itu lantas mencari nomor kursi yang sudah disiapkan untuknya. Sekilas Ian melihat tag-name yang tergantung di leher gadis manis tersebut.




Sesungguhnya tidak ada yang menarik dari even tersebut. Satu-satunya alasan Ian menghadiri acara ini adalah karena even ini diadakan di hotel yang paling dekat dengan tempat yang diperkirakan sebagai tempat eksekusi nama berikutnya dalam surat ancaman dari Silent Rose palsu. Dua dari empat nama telah di eksekusi menggunakan sebuah senjata laras panjang jarak jauh. Sang eksekutor rupanya cukup handal dalam menggunakan senjata. Ian telah menghabiskan banyak waktu di ruang kerjanya, menyusun perhitungan dan analisa mengenai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Besok siang, Ahmadi Faasa yang menjadi tersangka utama akan melakukan konferensi pers terbuka di bangunan yang berada tidak jauh dari hotel tempat diadakan even ini. Besar kemungkinan Silent Rose palsu akan memanfaatkan situasi tersebut.




Ian melirik ke gantungan kunci yang ada di atas mejanya. Kamar 1303 yang terletak di lantai 13 adalah kamar yang disewa olehnya. Ian tidak sembarangan memilih kamar. Lantai 13 adalah lantai yang paling tepat untuk melakukan penembakan. Pemandangan disana cukup jelas, dan ketinggian serta tekanan angin pada lantai tersebut cukup mendukung. Silent Rose bukan penembak jitu amatir, Lokasi penembakan adalah hal krusial yang harus diperhitungkan dengan seksama. Penentuan lokasi adalah pelajaran dasar yang didapat oleh semua agen Association.




Jarum jam pada arloji Ian menunjukkan pukul sebelas malam saat acara tersebut usai. Ian bergegas menuju kamarnya, mencuci wajahnya di wastafel dan menghela nafas. Tanpa banyak bicara Ian berganti pakaian dan menuju ke cafe di lantai atas hotel.




Hingar bingar musik yang dimainkan oleh seorang DJ berbaur cantik dengan warna-warni lampu disco yang berpendar memenuhi ruangan. Beberapa orang tampak asyik menggoyangkan tubuhnya, beberapa terlihat duduk santai sambil mengobrol. Di beberapa tempat terlihat sepasang laki-laki dan perempuan yang sedang asyik bercumbu. Ian memasuki café itu dengan santai, mendekat ke meja bartender yang tengah meracik minuman.




 Ian bertanya pada seorang gadis berusia sekitar dua puluh enam tahun yang menjadi bartender malam itu. Gadis itu mengangguk lalu berpaling ke lemari kaca penuh minuman di belakangnya. Ian mengalihkan pandangannya pada keadaan sekitar, di sebuah meja tampak seorang pria tua dengan dandanan yang perlente. Pria itu tampak asyik berbicara dengan tiga orang gadis muda yang tengah mengitarinya, sesekali gadis-gadis muda itu tertawa.




Suara gelas yang beradu dengan meja kaca mengalihkan perhatian Ian, gadis bartender telah menyiapkan minuman pesanannya.




Ian bukan peminum, namun bertahan dari kerasnya sebuah minuman, merupakan salah satu mata pelajaran di Association.






membuat gadis bartender sedikit menahan tawa karena raut wajah Ian yang seperti kera tercekik.


"Mau aku perhalus sedikit?* tanya gadis bartender itu.




Ian menggeleng, "Nggak apa-apa kok" jawabnya sambil melemparkan kembali pandangan ke sekitar.






Sesuatu menangkap perhatian Ian, seorang gadis dengan tank-top biru muda dan celana jeans ketat memasuki kafe. Gadis itu lantas berjalan melewati sebuah pintu tepat di sudut jauh ruangan.




"Itu pintu kemana?" Ian bertanya pada gadis bartender sambil menunjuk ke pintu yang baru saja dilewati gadis bertank-top biru.


"Keluarla"jawab gadis bartender itu sambil terkikik geli. Ian mengangguk paham, beberapa menit kemudian Ian meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu di bawah gelasnya dan bergegas menyusul gadis bertank-top biru.






Suasana di atap lebih tenang dibandingkan di dalam, namun pencahayaannya tidak lebih terang dari di dalam kafe, hanya saja di sana tidak ada lampu warna-warni yang berpendar. Ian melayangkan pandangan, mencoba membaca situasi disana, perhatiannya sempat teralih pada suara desahan di sebuah tempat gelap di bawah tandon air raksasa. Dari asal suara, Ian dapat melihat siluet seorang gadis dan seorang pria. Kepala sang gadis naik-turun diantara kaki sang pria, tampaknya dia sedang memberi blowjob pada sang pria yang sesekali mengerang keenakan.




Ian melangkahkan kakinya ke tepi bangunan, mengabaikan pasangan mesum tersebut. Atap itu dilindungi dengan pagar kawat BRC setinggi dua meter untuk memastikan tidak ada yang bisa berakrobatik dengan terjun dari ketinggian. Dari tepi pagar Ian dapat melihat dengan jelas gedung yang besok akan menjadi tempat pertemuan Ahmadi Faasa. Tempat ini cukup bagus untuk jadi lokasi penembakan, namun bukan tempat terbaik karena orang dapat dengan mudah melihat sang penembak. Air Conditioner sambil menghisap rokoknya. Angin di atas sini cukup tinggi, namun gadis itu tidak terlihat kedinginan. Gadis itu sempat menoleh saat Ian berjalan ke arahnya.






"Menghabiskan waktumu sendirian?", Ian menyapa gadis itu. setelah seminar yang cukup membosankan.


"Kau...?" gadis itu bertanya balik.


"Yang kau senggol saat kau mencari tempat dudukmu" jawab Ian sambil melempar senyum. Ya, gadis itu adalah gadis yang sama yang telah menyenggol bahunya saat Ian hendak memasang lensa tambahan pada kamera Canon EOS 6D miliknya.




Gadis itu tertawa renyah, dan diam saja saat Ian mengambil tempat tepat di sebelahnya.




"Kenapa tidak menikmati malam di bawah?" Ian membuka pembicaraan.


"Bukankah tidak sopan bicara tanpa memperkenalkan diri terlebih dahulu?" gadis itu menjawab dengan nada sedikit menggoda.


Ian menepuk keningnya, "Maaf aku Ian", ujarnya sambil menyodorkan tangan.


"Cathy" jawab gadis itu seraya menjabat tangan Ian. "Sering kesini?."


"Tidak, baru kali ini."


"Oh, aku sering, tapi aku kesini bukan untuk musik berantakan seperti yang disodorkan di bawah."


"Mencari ketenangan di tempat tinggi sambil berharap penat akan terjun dari sini?", Ian menegaskan. Cathy tertawa mendengarnya.


"Apa yang dilakukan gadis manis sepertimu sendirian di tempat dimana penuh aura mesum begini?" Ian memandang ke beberapa tempat gelap dimana beberapa pasangan telah memulai aksinya.


"ini" Cathy mengangkat sebotol minuman di tangannya. Ian memperhatikan label pada botoi minuman itu dengan seksama.




Minuman yang dibuat di Clermont, Kentucky.






"Waw, kau punya pengetahuan cukup dalam soal minuman" sahut Cathy. "Jika senggang aku membawa minuman ini kemari, kau tahu efek dari minuman ini?", Gadis itu tampak bersemangat.


"Itu memabukka", jawab Ian singkat. Beberapa tingkat diatasJacks Daniels Dan membuatku horny, nada suara Cathy kini terdengar sangat menggoda. Kau tahu?, sangat seru saat berhasil membuktikan bahwa lelaki adalah makhluk rendah yang bisa dengan mudah tergoda. Itu sebabnya aku memilih tempat ini.


"Maksudmu?."




Cathy menggeser duduknya mendekat, kini Ian dapat melihat belahan dada yang mengintip dari kerah tank-top Cathy. *Aku minum disini, sambil menyaksikan samar-samar mereka yang bercinta disini*, Cathy berkata, mengarah ke pasangan-pasangan yang berbuat mesum di tempat gelap sekitar mereka.


"Dan itu membuatku horny" lalu aku mulai membuka pakaianku, mendekat ke pasangan-pasangan dan memuaskan sang lelaki. Terakhir aku kemari aku berhasil membuat lima lelaki meninggalkan pasangan mereka. Mereka menyetubuhiku ramai-ramai disini.




yang sangat kuat di dalam gadis di dekatnya. Ian belum sempat bereaksi saat Cathy menyodorkan botol Jim Beam padanya.




"Minumlah, dan kita nikmati malam ini", tawar Cathy.






Ian menenggak cairan dalam botol Jim Beam yang ditawarkan oleh Cathy, dia menghela nafas panjang sambil menunduk, seolah kepalanya berat akibat pengaruh minuman keras. Gadis disampingnya, Cathy juga tidak kalah mabuknya. Bedanya, jika Ian mabuk dalam diam, Cathy tidak, sudah hampir tiga puluh menit gadis cantik itu meracau tentang banyak hal. Tentang kekasihnya yang meninggalkannya, bagaimana ia lalu terlibat dalam cinta sejenis yang berkembang menjadi cinta segitiga. Bagaimana ia sempat menjadi simpanan seorang pejabat. Ian menyimak semua itu dengan diam, tanpa ekspresi, seolah larut dalam pikirannya sendiri.




"Ah.. mulai membosankan disini", ujar gadis cantik itu. Ian menatap wajah cantik Cathy. Gadis itu tiba-tiba berdiri dan meregangkan badannya dengan mengangkat kedua tangannya, membuat buah dada gadis itu makin membusung.


"Mau pergi ke kamarku?" suara Ian terdengar berat dan lemah.


"Oh tida", jawab Cathy. kau yang akan ke kamarku tapi setelah yang satu ini.


"Yang satu ini?", Ian mendongakkan kepalanya, memandang wajah Cathy yang sedang asyik memandang tiga orang pemuda yang tengah mengobrol beberapa meter dari tempat mereka berada sekarang. Sebersit senyum tipis muncul di wajah Cathy kemudian.






 gadis itu bergerak melangkah ke arah tiga pemuda yang masih asyik dengan obrolan mereka. Ian memutuskan untuk tidak bereaksi.




Cathy mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai indah, beberapa langkah kemudian dia mengejutkan Ian dan beberapa mata disana saat sehelai tanktop biru terlempar ke lantai beton. Cathy melepasnya dengan sengaja, tanpa perasaan risih ataupun ragu, gadis itu terus melangkah ke arah tiga pemuda yang kini mulai mengalihkan perhatian padanya. Cathy bergerak dengan sensual, layaknya seorang peragawati yang berjalan di atas catwalk, mengabaikan angin malam yang kini menerpa payudara telanjangnya. Ian dapat melihat dari kejauhan mata tiga pemuda yang tak lepas memandang bukit kembar gadis cantik itu.




Ian terus memandang gerak-gerik gadis yang baru dikenalnya itu, Cathy tidak terlihat canggung saat bersalaman dengan ketiga pemuda itu, mereka tampak berbincang-bincang sebentar entah apa yang mereka bicarakan, tidak lama kemudian Cathy tampak tertawa kecil, begitu juga ketiga pemuda yang kini jelas-jelas melahap bukit kembar gadis itu dengan mata mereka.




Seseorang dari mereka tampak berbisik pada Cathy, Cathy tertawa kecil untuk sesaat, sebelum kemudian matanya terpejam seolah sedang merasakan sesuatu, Ian berpindah duduk ke tempat dimana dia bisa melihat apa yang mereka lakukan lebih jelas. Dari posisi Ian yang sekarang terlihat satu dari tiga pemuda itu tengah memainkan putting kanan payudara gadis cantik itu.








BERSAMBUNG 







Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar