Cincin dari masa lalu part 8

 

BAB 8








Sisa perjalanan kami lalui dengan saling diam, meski tangan tetap terpaut. Tangan ini terlepas ketika ia membelokkan mobil mendaki sebuah bukit. Jalanan cukup curam dan berlubang, tapi alamnya mengagumkan. Indahnya pemandangan membuatku teringat akan kampung halaman, sejenak aku bernostalgia, sehingga mau tak mau ingatanku kembali dibawa kepada almarhumah. Anehnya, ada perasaan hangat saat aku mengenang semua yang sudah kami jalani bersama. Rindu ini masih ada, tapi tidak dibumbui rasa sedih dan sakit yang menyesakkan.




“Wa.. udah nyampe.” Maya mencolek lenganku.




Aku sedikit terkejut sambil celingukan. Rupanya terlalu dalam aku melamun. “Mikirin apa sih?” tanya Maya.




“Nggak kok, May.”




Aku segera turun dari mobil, dan kami memasuki barisan warung dan pos penjagaan. Maya membeli dua botol air mineral, lalu memasuki area wisata, setelah sebelumnya membeli tiket tentu saja. Rasa ini kembali hangat ketika ia menggandeng tanganku sambil berjalan menyusuri parit. Tak lama kemudian kami menuruni jalan setapak menuju tepi sungai di bawah lembah.




“Kita gak usah ke hulu, ya Wa. Kayaknya mau hujan.” ucapnya. Lalu ia menjelaskan bahwa area ini disebut Curug Tilu karena di bagian hulu ada tiga air mancur.




Aku yang tidak tahu apa-apa hanya mengikuti kemauannya. Lagi pula aku lebih menikmati sentuhan lembut kulitnya daripada bermain di air terjun. Meski begitu, ingatan-ingatanku akan kampung halaman semakin memenuhi benakku.




Kami duduk di atas batu lebar dengan kaki dibenamkan ke dalam air. Semesta seakan mendukung kebersamaan kami karena tidak terlalu banyak wisatawan yang berkunjung.




Kedekatan ini terjadi begitu saja ketika Maya meletakkan kepalanya pada bahuku. Ingin aku memeluk pinggangnya, tapi aku masih bingung dengan apa yang sedang terjadi. Semuanya terasa terlalu cepat.




“May..” aku mulai berani untuk mengungkapkan uneg-unegku.


“Hmmm..”


“Apa maksud semuanya ini? Kita baru bertemu dua kali, tapi kita sudah dekat seperti ini. Bagiku agak ganjil aja.”


“Sirnaaa!!!” Maya mengangkat kepalanya sambil mendesis kesal. Ia mentapku dengan wajah cemberut.


“Aku salah ya? Maaf.. tapi aneh aja kalau kita langsung kayak gini. Apa memang pergaulan di kota sudah biasa seperti ini?”




Kalau aku bertanya begitu bukan karena aku tidak suka dekat dengannya, aku sangat bahagia dan nyaman, tapi tetap saja tak masuk akal bagiku.




“Aaah.. kamu tuh yaaa!! Kirain udah inget!!” gerutu Maya. Ia nampak makin kesal.


“Maksudnya, May? Inget apaan?” aku makin bingung.


“Aaah… lalu kenapa kamu mau nyentuh aku? Kenapa kamu diam saja ketika aku menggandengmu? Kirain karena kamu inget…!!” ia sama sekali tak menjawab kebingunganku.


“May?” aku membalikkan badan, duduk kami jadi berhadapan.




“Kamu lihat aku baik-baik. Masa kamu gak inget?” ujar Maya.




Kami pun saling bertatapan. Yang kulihat adalah seorang gadis cantik yang memesona dan membuat desiran-desiran halus semakin kerap kurasakan. Meski Maya anak orang berada, namun ia tidak berdandan berlebihan. Alisnya dibiarkan alami meski ada sedikit pulasan di sana. Pun pula bulu matanya yang lentik, nampak tidak pernah tersentuh oleh bulu mata palsu.




Make up tipis memulas wajahnya, membuatnya pipinya seakan selalu merona. Sementara bibirnya hanya dipulas lipstik alakadarnya, nampak basah dan memberi aura seksi. Rambutnya memang dicat pirang, tapi tidak norak dan malah membuat mata ini enggan berpaling.




“Ingat?” pertanyaan Maya menyadarkan kekagumanku.




Aku hanya bisa menggeleng, disambut desah nafas kecewanya.




“Emang kita pernah ketemu, yah?”


“Pernah.”


“Kapan? Di mana?”


“Bodo ah!”


“May, jangan ngambek donk. Aku bingung, dan gak ingat sama sekali.”


“Bodo!! Pikir sendiri!!”




Maya menarik nafas panjang lagi. Ia mendelik, sambil mengembungkan kedua pipinya. Apapun ekspresinya, ia selalu kelihatan cantik.




Cuuup!!!




Aku sedikit terperanjat ketika Maya tiba-tiba mencium pipiku. Ciuman kedua yang pernah ia berikan. Bedanya, kali ini ia mencium pipi kiriku.




“May? Kok cium-cium aku, sih?”


“Emang kenapa? Gak boleh yah?”


“Kata ibuku ciuman itu pemali.”


“Masa?”


“Iyah.”




Maya nampak tersenyum senang, sementara aku mengkerut saat menyadari percakapan aneh ini.




“Nanti kalau udah besar aku akan menciummu.” ucapnya lagi.




Tiba-tiba pikiranku menerawang. Aku seakan pernah mendengar ucapan ini sebelumnya. Ingatanku melayang pada masa-masa kelas enam SD dulu.








Setelah pamit pada teman-temanku, aku pun berlari meninggalkan halaman sekolah. Hatiku sangat gembira karena aku dinyatakan lulus dengan predikat siswa terbaik. Aku ingin segera pulang dan menyampaikan kabar ini pada ayah dan ibuku. Mereka pasti bangga.




Aku berlari-lari kecil menyusuri jalan desa, lalu memasuki sebuah gang yang menjadi jalan potong menuju jembatan yang menghubungkan desa dengan kampungku. Aku berlari riang menyusuri perumahan warga dan akhirnya tiba di ujung gang. Tanpa memperhatikan jalanan aku terus berlari.




Tiiiiiitttt!!!




Tiba-tiba bunyi klakson mobil memekakan telinga. Aku hanya melongo saat sebuah mobil sedang menurun ke arahku. Aku hanya mematung. Bukannya menghindar, aku hanya terpaku. Seketika aku hanya menutup muka ketika mobil itu semakin dekat.




Bukan hanya klakson yang kudengar tetapi juga bunyi rem. Aku sudah tak bisa menghindar. Nafasku tersengal, duniaku seakan hening. Aku menunggu.. dan menunggu… air mataku mulai menetes. Tapi benturan itu tak kunjung tiba…




Yang kudengar hanyalah sahutan istighfar. Ada sebuah tubuh yang memelukku.




“Ya ampuuun, nak. Kamu tidak apa-apa, nak?” suara itu terdengar panik penuh keibuan.




Perlahan kuturunkan tanganku dan kubuka mata. Jarak tubuhku hanya tinggal beberapa senti saja dari moncong mobil. Tubuhku dipeluk seorang wanita, sementara dari dalam mobil bermunculan dua orang lelaki dan seorang gadis kecil.




Aku masih terpaku saat wanita ini melepaskan pelukannya lalu mengusapi rambut dan pipiku.




“Alhamdullilah!” ada koor syukur dari orang-orang di sekitarku.


“Kamu ‘nggak kenapa-napa, kan nak?” tanya wanita cantik yang berjongkok di hadapanku.




Aku hanya mengangguk sambil mengamati mereka satu per satu. Dengan tangan bergetar kuterima botol air mineral dari seorang pria, dan langsung meneguknya karena tutupnya sudah dibukakan.




“Maafkan saya, pak, bu. Saya tidak hati-hati.” ucapku.


“Kami yang minta maaf karena terlalu ngebut.” jawab si ibu. “Kamu tuh, Pur, saya kan sudah bilang untuk hati-hati,” gerutunya kepada seorang pria berbaju batik.


“Maaf, bu.” jawab si pria dengan wajah yang masih nampak pucat.


“Namamu siapa, nak?” tanya si wanita lagi.


“Sirna, bu.” jawabku sambil menunduk.


“Nama ibu Alya, ini Pak Pras, suami ibu. Kalau yang ini, anak ibu, namanya Aya. Kalau yang ini Pak Pur, sopir kami.” wanita yang bernama Alya itu mengenalkan orang-orang yang ada di sekitarku.




Aku menyalami mereka satu per satu, juga seorang gadis cantik yang bernama Alya. Tangan kami saling menyambut, sementara ia tersenyum aku hanya menunduk malu.




“Kamu baru pulang sekolah, ya? Pulang ke mana?” kali ini Pak Pras yang bertanya.


“Ke Ewer.” jawabku malu.


“Oh kalau gitu ikut kami saja, kebetulan kami mau melayat ke Sawer.” bu Aliya langsung menyahut.


“Ohh.. mau ngelayat ke Om Senja dan Tante Sae, ya?” tanyaku polos.




Seluruh warga memang dibuat gempar dengan berita meninggalnya mereka kemarin sore.




“Nah, kamu tahu mereka, ya? Iya, kami mau melayat ke sana. Udah yuks kamu naik mobil. Aya, ajak Sirna duduk di belakang.”


“Ayo, Silna.” ucap si gadis riang.




Aku masih celingukan menatap mereka, sampai akhirnya Aya menarikku. Aku duduk di tengah diapit oleh Bu Aliya dan Aya. Sedangkan Pak Pras duduk di depan, di samping Pak Pur.




Mobil pun bergerak menyeberangi jembatan. Sementara aku harus sibuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Bu Aliya dan juga si centil Aya. Mereka jadi tahu kalau aku baru pelulusan, dan mendapat predikat siswa terbaik.




Namun keasikan kami tidak berlangsung lama karena mobil sudah tiba di Ewer, sementara mereka harus melanjutkan perjalanan sampai Tanah Merah. Aku langsung merasakan kebaikan mereka, saat mereka mau mampir dan berkenalan dengan orangtuaku. Katanya, mereka mau meminta maaf pada ayah dan ibuku karena hampir membuatku celaka. Aku sudah menolak, tapi justru malah Aya yang memaksa dan membujuk ayah dan ibunya.




Akhirnya aku pun mengajak mereka ke rumah. Sayangnya, rumah dalam keadaan kosong. Kata tetangga, ayah dan ibuku belum pulang dari Sawer. Aku pun hanya menyuguhi mereka air putih. Tiba-tiba Aya heboh ketika melihat ada pohon dukuh di samping rumahku. Kebetulan sedang berbuah.




Tanpa memedulikan ayah dan ibunya yang menegur, Aya menarik tanganku dan memintaku untuk memetiknya. Sebagai orang kampung, tentu saja tak sulit bagiku untuk memanjat. Aku memanjat dengan gesit dan menjatuhkan buah-buah yang kupetik. Aya heboh memungut di bawah.




Aku hanya tertawa ketika kulihat gadis kecil itu makan dengan sangat lucu. Kuambil keranjang bambu lalu memasukkan buah duku yang sudah dikumpulkan Aya, dan menyuguhkannya kepada orangtua dan sopirnya.




Mereka pun makan dengan senang. Sementara aku hanya mengamati mereka dengan malu-malu. Tak lama kemudian mereka pun pamit, dan aku mengantar mereka sampai ke mobil.




Aku menolak ketika Bu Aliya memberiku uang. Saling dorong pun kami lakukan, adalah Aya yang membuatku tidak berkutik. Ia mengambil uang dari tangan ibunya, lalu memasukkannya ke dalam kantong celanaku.




Kusalami Pak Pras dan Pak Pur. Ketika kusalami Bu Aliya, ia bukan hanya menerima uluran tanganku tetapi juga memeluk dan mencium kedua pipiku. Kusalami juga Aya dan…




Cuuup!!!




Ia menciumku, mengikuti yang dilakukan oleh ibunya. Aku bengong sesaat. Sementara Bu Aliya tertawa, dan Pak Pras tersenyum sambil mendahului masuk ke dalam mobil.




“Aya? Kok cium-cium aku, sih?”


“Emang kenapa? Gak boleh yah?”


“Kata ibuku ciuman itu pemali.”


“Masa?”


“Iyah.”


“Udah.. udah.. ayo naik sayang.” Bu Aliya mengingatkan anaknya.


“Iya, mam.” jawabnya.




Tapi bukannya masuk, ia malah berbisik kepadaku: “Nanti kalau udah besar aku akan menciummu.”




Aku hanya bengong mendengarnya. Bahkan aku hanya melambaikan tangan dengan kaku saat kaca jendela terbuka, dan aku cuma mematung sampai mobil itu menghilang di belokkan.








“Aya?? Kamu Aya??” aku terperanjat setelah mengingat semuanya.


“Hebaaat!! Kamu udah ingat.” Maya berpekik senang dan bersikap mau memelukku tapi kutahan.


“Tapi nama gadis itu Aya. Kamu.. kamu…”


“Aya itu nama kecilku. Nama kecil dari Maya.” ia menjelaskan dengan mata berbinar.




Aku cukup mengerti penjelasannya, tapi masih ada yang mengganjal dalam pikiranku. “Tapi bagaimana kamu tahu bahwa aku adalah anak itu?”




“Dasar bodoh! Iiih.. kamu tuuuh yaaa…” Maya nampak gemas. “Jelas namamu Sirna dan berasal dari Ewer. Emang ada nama Sirna yang lain dan Ewer yang lain?”


“Tapi kaan…”


“Aku sudah mendengar tentang kamu dari Lia dan Rad sebelum kamu datang ke Bandung.”




Kini semuanya sudah jelas. Gadis cantik yang sempat membuat hatiku gelisah ini ternyata memang adalah Aya centil yang pernah berjumpa hari itu. Aku memang pangling pada sosoknya yang sekarang, ia sangat berbeda dengan masa kecilnya.




“Aku juga masih ingat ini.” ujar Maya sambil menyentuh tahi lalat di daun kupingku sehingga kalau dilihat dari jauh akan nampak seperti anting.




Refleks tanganku menyentuh tangannya dan menggenggamnya erat. Mata kami beradu pandang cukup lama, senyum pun sama-sama kami bagikan.




“Gak nyangka yah..” ucapku.




Maya mengangguk, ia menggenggam tanganku semakin erat.




“Aku malu tahu, Wa?” mukanya bersemu merah.


“Malu kenapa?” tanyaku sambil mengerutkan dahi.


“Itu.. a.. aku.. men…ciummu waktu di mobil.” Maya menunduk, lanjutnya, “Aku pikir kamu akan ingat dengan cara itu tapi ternyata nggak.”


“Udah dua kali loh, May. Tadi juga.” ucapku sambil tersenyum.


“Nyebelin!”




Bahagiaaaa!!! Maya memelukku dengan erat. Tubuhku kami lekat disaksikan oleh gemuruh aliran air sungai, juga cicit burung di atas pepohonan. Mungkin juga ada orang-orang yang melihat kami, tapi apa peduliku. Kini semua getar rasaku terhadap Maya terjawab sudah, dan aku begitu damai memeluknya.




Kini aku tidak kaku lagi. Kuusap rambutnya yang harum dan halus, sementara Maya semakin membenamkan wajahnya di bahuku. Lama.. dan lama kami saling merapatkan diri sambil membagikan desir rasa… entah rasa apa yang kami punya… karena aku tidak bisa merumuskannya.




“Aku sering mengingatmu Wa, dan memimpikan perjumpaan ini. Sekarang ternyata harapanku bukan sekedar mimpi.” ucapnya terdengar merdu.


“Kok bisa sih, May?”


“Nggak tahu.” jawabnya pendek.




Dari dalam dekapanku, Maya juga bercerita kalau dulu mereka bertemu dengan orangtuaku di jalan, dan sempat berkenalan. Ayah dan ibuku memang sempat bercerita tentang hal ini, tapi setelahnya kami tak pernah mengingat lagi.




“Ayah udah gak ada, May.” lirihku.




Serentak Maya melepaskan diri dan memandangku sendu. “Maaf. Udah lama, Wa?” Maya bertanya penuh empati. “Udah lima tahun.” jawabku.




“Ibu sendiri gimana?”


“Ibu baik. Sekarang ia sendiri di rumah.”




Kuceritakan tentang almarhum ayah, dan juga ibu yang begitu tegar menjalani hidup tanpa ayah. Ia mengalihkan rasa kehilangan dan rindunya dengan cara mendampingiku dan juga menyibukkan diri di kebun kopi dan sawah. Aku memang sudah melarangnya untuk jangan terlalu capek, tapi ia bersikeras.




“Kasihan ibumu seorang diri.” gumam Maya.




Rasanya aku ingin menceritakan alasan lain kenapa aku datang ke Cimahi ini, tapi kuurungkan niatku karena waktunya kurasa belum pas.




Merasa cukup saling bercerita, aku dan maya sempat foto-foto melalu smartphone-nya, lalu memutuskan untuk kembali karena ia merasa lapar. Bagaikan sepasang kekasih, kami kembali ke parkiran sambil bergandengan tangan; sekali-kali saling pandang dan berbagi senyuman. Aku belum mau berpikir tentang arti semuanya ini, aku masih ingin menikmati momen indah perjumpaan, tanpa memikirkan apa dan bagaimana ke depannya. Jauh di dalam lubukku hatiku, masih ada seseorang di masa lalu, dan juga kesadaran akan status di antara kami yang jauh berbeda.




“Wa..” Maya menatapku lekat sesaat setelah kami duduk di dalam mobil.


“Iya, May.” aku balik menatapnya tak kalah lekat


“Aku.. aku.. cemburu.” ia langsung menunduk.


“Heh?”


“Mala.”


“…”




Ucapannya seakan menghantam perasaanku, sekaligus juga bingung. Bisakah cintanya datang secepat ini? Tidak sadarkah dia akan statusku yang hanyalah orang kampung?




“Tapi May…”


“Aku tahu.. Ini mungkin terdengar bodoh. Walaupun kita pernah berjumpa, tapi kita ini baru saling kenal. Tapi perjumpaan ini adalah mimpiku, aku malah sempat berpikir untuk mencarimu ke Ewer. Dan.. kalau.. kalau aku tak menemuimu selama dua minggu ini, itu karena aku cemburu. Aku sudah mendengar kedekatanmu dengan Mala dari Lia.”




Maya rupanya tipe gadis yang jujur dan terbuka, tapi kejujurannya malah membuatku semakin bingung. Aku senang.. aku bahagia… aku tidak bisa membohongi perasaan hangatku berada di dekatnya. Tapi sekali lagi.. ini masih aneh bagiku. Lagipula, aku tidak ingin rasa sayangku pada Maya akhirnya hanya pelarianku saja. Aku lelaki, dan aku tidak munafik. Tapi ketulusan ucapan Maya barusan, malah membuatku takut. Takut menyakitinya di kemudian hari.




“Aku dan Nur gak ada hubungan apa-apa, kok May. Kami hanya berteman.”




Sebuah ungkapan bodoh. Aku menyesal telah memberi peluang pada Maya dengan ucapanku barusan. Tapi aku hanya bisa mengutuki diri, karena ucapan tak pernah bisa ditarik kembali. Benar kata Rad, sejak meninggalnya kekasihku, aku telah menjelma menjadi pria yang labil.




Sementara aku menyesali diri, sebaliknya Maya malah tersenyum riang. Raut bahagianya membuat kecantikannya semakin memancar. Sialnya, aku kembali jatuh pada daya pesonanya, aku benar-benar labil. Akal sehat dan perasaan tidak sinkron, dan ini diperburuk dengan sikap yang tak terkontrol…




Kurengkuh bahu Maya saat ia membaringkan kepalanya pada bahuku. Kucium ubun-ubunnya dengan lembut. Sikapku membuat ia mendongak, dan wajah indah ini begitu dekat. Nafas kami sama-sama pendek. Dengan sedikit tersengal, kujelajahi wajahnya dengan sorot mataku. Indah.. terlalu indah untuk disia-siakan; terlalu berharga untuk disakiti dan dicampakkan.




Tatapan sayu dan rona merah wajahnya membuat aura kecantikannya semakin terpancar. Tak lepasnya kami saling pandang, dan ada medan magnet yang saling menarik dan menggetarkan. Sesaat kutatap bibirnya yang terbuka, sangat seksi dan menggiurkan.




Gerakan ini terasa begitu lambat, meski detak jantung kian kerap. Deru nafas kami beradu.. terasa hangat.




Cuuuuup!!!




Bibir kami beradu. Tubuhnya sedikit menggelinjang, dan tubuhku bergetar. Detik-detik awal, gerak alam seakan melambat, gemuruh air dan cicit burung di kejauhan seakan hilang. Yang ada seolah hanya kami berdua saja. Inderaku hanya dipenuhi gadis dalam pelukan ini. Sentuhan ini berubah menjadi gerakan halus. Manis kurasakan. Kami saling berbagi kecupan halus. Kepala kami sama-sama memiring untuk membagi ruang, sementara tangannya meremas rambutku.




Kecupan berubah menjadi kuluman.. mulut kami saling membuka perlahan. Dengan seirama kami mulai saling melumat. Bibir bawahnya terasa teramat lembut, sementara ia melumat bibir atasku. Nafas kami kian panas tersengal, tubuh kami mulai menggelinjang perlahan. Nikmat… indah… resah…




“Mmmmh…” erangan halus sama-sama kami kabarkan saat ujung lidah kami saling beradu. Aku tercekat, pun pula Maya. Kami kembali memisahkan diri. Mata kami beradu sendu, nafas kami kerap menghembus, tanpa aba-aba… kami kembali saling melumat. Bibir kami seakan memiliki medan magnet yang saling menarik. Saling mengecup, saling melumat, berirama dengan lenguhan-lenguhan halusnya.




Tangannya mendekapku erat ketika lidah kami saling menyentuh, menggelidik, melilit. Aku merenggang, ia mengejar; ia berusaha melepas aku menahan. Tidak ada kesepakatan untuk mengakhiri, tiada persetujuan untuk saling memisahkan diri. Kami menyatu dalam indahnya kasih sayang; kami bersenandung tentang indahnya debar rasa dalam setiap kecupan dan desahan. Aku.. Sirna… merasakan kembali indahnya cinta setelah sekian lama dirundung luka dan kesedihan.




Adalah sesak di dada karena kekurangan oksigen yang membuat ciuman kami berkurang, pelan, perlahan. Akhirnya bibir kami terpisah walau hati menentang. Mata kami berpandangan sebentar, sebelum akhirnya Maya menyembunyikan wajahnya di dadaku dengan nafas sama-sama tersengal.




Aku tak ingin melewatkan momen ini. Aku enggan ini semua segera berlalu. Kupeluk tubuhnya erat dalam keheningan dan semua debar rasa yang kami miliki.




Lama dan lama… kami syahdu dalam pelukan. Sentuhan-sentuhan lembut kami berikan, rasa sayang kami bagikan, satu yang terucap dalam lubuk hati, aku akan selalu menjaganya, dan tak akan pernah menodainya.




“Wa..” teramat merdu suaranya kudengar, dan hanya kujawab dengan belaian halus pada rambutnya.


“Kutitipkan cintaku. Jangan kecewakan aku.” lanjutnya.




Ucapan itu begitu tulus, terlalu ikhlas kudengar. Aku sangat terenyuh. Aku laki-laki, tapi mataku berkaca-kaca karena rasa haru. Bibirku kelu, kata-kataku hilang. Yang bisa kulakukan hanyalah mengecup kepalanya. Ia mendongak, kukecup keningnya dengan penuh perasaan. Matanya terpejam, sementara aku berlama menciumnya. Indah.. teramat indah…




Maya masih mengecup bibirku sekali lagi, sebelum akhirnya menegakkan kembali duduknya. Ditariknya tanganku supaya selalu menyentuhnya, dan ia pun menyalakan mesin meninggalkan tempat yang akan selalu kukenang.




Tak banyak kata yang kami ucapkan, tapi aku tahu, rasa ini membuncah sedemikian rupa sehingga tak ada satu bahasa pun yang bisa merumuskannya. Saling menyentuh sudahlah cukup, saling mengabarkan rasa sayang melalui setiap senyuman dan tatapan adalah cara terindah untuk saling mengabarkan setiap rasa yang ada.




Maya membawaku ke sebuah restoran yang bernuansa alam, dengan tempat makan yang tersebar berupa saung-saung. Kami memilih saung yang paling atas di samping sungai buatan. Kini kami berdua menjadi pendiam, tapi kami sama-sama tahu, hati kami berkidung tentang indahnya rasa sayang yang selalu berdebam-debam.




Pelukan dan ciuman lembut menjadi warna saat menunggu hidangan yang kami pesan, saling menyentuh dan menyuapi adalah keindahan saat kami makan. Aku sendiri melupa tentang hidupku, tentang masa laluku, tentang orang-orang di sekitarku, juga tentang bedanya status sosial-ekonomi di antara kami. Yang kupunya hanyalah rasa sayang, sebuah rasa yang telah cukup lama hilang.








https://t.me/cerita_dewasaa








“Makasih.” ucapku saat Maya menepikan mobil di ujung gang.




Gadis itu hanya menatapku sambil menggelembungkan kedua pipi. Aku mengerti. Segera kuraih bahunya agar mendekat. Kukecup keningnya.




“Kalau udah nyampe rumah, kabari aku.” bisikku.




Ia pun mengangguk. Kedua tangannya meraih pipiku, ada linangan air mata di kedua bola beningnya.




“Aku bahagia.” ucapnya tersedu.




Kuberikan senyumku sambil menyentuh butiran bening yang hampir meleleh. Kudekatkan kembali wajahku dan kukecupi kedua kelopak matanya.




“Nggak mau pulang.” ia merajuk. Sikapnya berubah manja.


“Nanti orangtuamu nyari loh.”




Maya menggelengkan kepala, cemberutnya yang dibuat-buat membuatku kian merasa gemas. “Nanti malam aku telpon sebelum bobo.” aku berusaha merayunya.




“Bener?”


“Iyah, sayang.”


“Eh.. apa?”


“Sayaaaang!!”




Muaaaach!!!




Maya mencium bibirku dengan gemas. “Yaudah.. aku pulang, ya sayang.”




Kukecup bibirnya sekali lagi, lalu keluar dari mobil. Ada ruang kosong di dalam hatiku saat mobil yang Maya kendarai menjauh. Ada yang hilang… dan aku tahu, aku sedang jatuh cinta.




Setelah mobilnya menghilang, aku melangkah memasuki gang. Rasanya aku ingin segera masuk kamar sambil menunggu Maya tiba di rumahnya, dan bisa mendengar kembali suaranya meski hanya melalui telpon. Ada yang baru dalam hidupku, bahagia ini kembali ada.




Kubuka pintu halaman dan memasuki pekarangan. Aku tersentak saat ada sosok yang berdiri di dalam keremangan. Wajah yang biasanya ramah dan riang kini ditekuk datar. Ada kemarahan pada sorot matanya, ada kejengkelan pada raut wajahnya. Sinar indahnya hilang, terganti kemarahan dan kekecewaan.




“Dari mana kamu?” ketus. Teramat ketus suara itu.


“Aku.. aku habis… jalan ama…”


“Maya???” ia memotong.




Aku mengangguk sebagai jawaban. Aku tak punya alasan untuk berbohong; dan tak sedikitpun niat untuk menyembunyikan hubunganku dengan Maya.




“Aku benci kamu, Wa. Sangat benci!!!”




Nada suaranya meninggi, membuatku tercekat.




“Nur, tunggu!!” aku memanggilnya setengah berteriak.




Sia-sia.. ia sudah masuk ke dalam rumah tanpa menengokku lagi.




“Apa gua bilang.” sebuah suara menyadarkanku.


“Ahh… kamu lagi.. kamu lagi…” gerutuku.


“Jangan begitu, suatu saat lu akan mencari gua.”


“Karepmu, lah Tung.” ucapku.




Kulangkahkan kakiku menuju kamar. Kebahagiaanku langsung ternoda karena sikap Nur barusan, belum lagi kehadiran Cintung yang ada dan tiadanya selalu aneh dan membingungkan.










BERSAMBUNG



Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar