BAB 7
MAYA
Waktu pun berlalu. Tak terasa sudah dua minggu aku berada di Cimahi ini. Hubunganku dengan Nur semakin dekat, meskipun tidak pernah ada kata cinta yang saling terucap. Aku tidak ingin terlalu cepat, tak ingin jatuh pada keputusan sesaat. Betapa tidak akrab, semasa OSPEK yang baru kemarin kami akhiri, kami selalu berangkat dan pulang kampus bersama. Segala persiapan dan peralatan pun kami buat bersama-sama; juga tugas-tugas harian yang harus kami kerjakan.
Sering mengerjakan banyak tugas bersama Nur, membuatku sering bertandang ke rumah induk. Aku dan Bu Ratih pun semakin akrab, juga dengan si mungil Lintang, yang minggu lalu genap berusia satu tahun. Cara berpakaian Bu Ratih masih sama, seksi dan seakan gemar memamerkan aurat. Sikapnya juga begitu, penuh perhatian tapi terkesan genit, tak sedikit juga seolah manja ketika luput dari perhatian Nur. Sedangkan dengan suaminya, aku hanya bertemu sekali, di hari ketiga kedatanganku ke Cimahi.
Maya? Hanya sesekali saja kami saling berbagi kabar. Pertemuan terakhir kami adalah di rumah sakit kala itu. Ia tidak pernah datang lagi ke kostan. Ia juga mulai sibuk dengan kuliahnya yang sudah lebih dulu dimulai. Aku cukup tahu diri untuk tidak berusaha dekat, dia baik-baik saja dan sudah sehat, itu sudah cukup bagiku. Meski sejujurnya, aku tidak bisa mengubur rasa rinduku untuk berjumpa. Entah makhluk apa dia ini… bayangannya selalu hadir di saat sebelum tidurku. Tapi ya itu.. aku cukup tahu diri tentang keadaanku.
Kini aku sudah punya kamar sendiri, semenjak penghuni lama pergi dan pindah kota karena mendapat pekerjaan baru. Penghuni kost semuanya ada sembilan belas orang, dan kami cukup akrab satu sama lain. Pembawaanku yang apa adanya rupanya bisa menjadi pintu masuk untuk saling mengenal dan saling dekat satu sama lain. Tak jarang mereka mengundangku untuk kumpul di Ruang TV ketika ada cemilan. Disediakannya ruang TV bersama oleh pemilik kost, membuat kami punya ruang untuk saling berkumpul dan bergembira bersama sekedar wahana melepas penat.
Hari ini aku bangun agak siang setelah tiga hari kurang tidur karena kegiatan OSPEK. Betapa bahagianya aku ketika membuka mata, ada sosok cantik di ambang pintu sambil membawa secangkir kopi yang masih mengepul.
“Bangun, Wa. Aku bawain kopi.”
Aku mengulat dan menggeliat di bawah selimut. Pandangan pertama saat terjaga adalah sosoknya, suara pertama yang kudengar adalah suaranya. Rasanya sesuatu banget, dan ada rasa tenteram yang menyelubungi perasaanku.
“Makasih, Nur.” kataku sambil mengucek mata dan merapikan rambutku.
Kuraih cangkir dari tangannya, sementara ia tersenyum. Ia mendorong halus tubuhku agar jangan duduk di atas kasur. Harum sabun mandi pun tercium, pertanda ia baru saja membersihkan diri. Aku pindah duduk ke atas tikar, sementara Nur membereskan tempat tidurku dan melipat selimut.
“Satu.. dua.. tiga..” aku berhitung dalam hati.
Bleeeef!!
Tebakanku benar. Nur malah berbaring di atas kasurku yang sudah ia bereskan. Sebagian pahanya masih sempat kulihat sebelum ia menurunkan roknya.
“Capeeek!” serunya sambil merenggangkan tangan.
Aku hanya terkekeh sambil menyulut rokok. Kopi dan rokok adalah ritual pertama sebelum mandi.
“Acaramu apa hari ini?” tanyaku sambil membalas tatapan matanya yang tertuju kepadaku.
“Aku mau di rumah aja. Badanku rasanya pegel-pegel.” jawabnya.
“Halaaah.. palingan juga gak bisa istirahat karena harus mengasuh Lintang.” ucapku.
“Huuum.” gumamnya.
Nur segera bangkit dari atas kasur ketika mendengar suara langkah kaki di selasar, karena pintu kamar yang tetap terbuka. Yang pasti bukan Rad atau Lia karena mereka ada acara evaluasi panitia OSPEK di kampus.
Kami sama-sama menengok ke ambang pintu. Sosok Bu Ratih muncul sambil menggendong Lintang. Ia hanya mengenakan daster selutut dengan belahan dada rendah.
“Pagi, bu.” sapaku.
“Siang, Wa.” jawabnya sambil tertawa. Katanya kepada Nur, “La, bibi minta tolong beliin kangkung ke pasar. Sekalian beli gula ke Alfa.”
“Iya, bi.”
Nur berdiri, lalu menjembel pipi Lintang. Tingkah si kecil yang meronta karena ulah Nur nampak begitu lucu. Tapi perhatianku bukan padanya, melainkan pada gundukan payudara Bu Ratih yang semakin terbuka karena tepian dasternya ditarik Lintang.
“Kamu mau dibeliin sarapan sekalian gak, Wa?” tanya Nur.
“Eh.. ng.. nggak. Makasih.” aku menjawab sedikit gugup.
“Oh yaudah. Aku ke pasar dulu, ya.” ujarnya. “Uangnya di mana, bi?” tanyanya kepada Bu Ratih.
“Ada di atas kulkas.”
Tubuh Nur pun menghilang, tapi Bu Ratih masih berdiri di ambang pintu. Tatapan matanya menyapu seluruh isi kamar.
“Gimana kamu betah di kamar ini?” tanyanya.
“Be.. betah, bi.” jawabku.
Bu Ratih langsung menatapku yang menjawab pertanyaannya dengan sedikit terbata. Kuseruput kopiku untuk menyembunyikan kegugupan.
“Kalian pacaran ya? Ehh.. itu mataaa!” pertanyaan Bu Ratih beralih, saat sorot mataku ternyata masih terpaku pada payudaranya.
“Eh.. ma.. maaf, bu.”
“Pagi-pagi udah mesum!”
"Atuh da gimana, bu.” aku mencoba bersikap wajar meski jantungku berdebar.
“Gimana apanya?”
“Itu.. anu.. pagi-pagi udah.. eh.. nggak, bu.”
“Kamu suka payudara ibu, ya?”
“Eh.. maksudnya, bu?”
"Hihii.. kamu itu. Ngga boleh.. ini hanya milik lintang dan bapaknya. Eh... tapi bapaknya mah bungkusnya aja. Isinya baru buat Lintang.”
Aku hanya bengong mendengar ocehannya. “Sepertinya ada peluang,” otakku tiba-tiba menjadi mesum.
“Kalau aku sih cukup memandang saja, bu.” Sial!! Nih mulut seakan tidak disekolahkan.
“Hihi.. kamu gak pernah minta lebih sih.” bukannya marah, ia malah cekikikan.
“Jadi..? Maksudnya, bu?”
“Udah ah… kalau kelamaan di sini, kamu malah makin mesum.”
Bu Ratih berkata lagi, “Saya balik ke rumah dulu ya. Itunya ditidurin…!”
Belum juga aku menjawab, ia sudah meninggalkan kamarku. Setelah berpikir sejenak untuk menyimak ucapannya, aku langsung menunduk. Kupret!! Si jalu rupanya setengah tegang di balik celana pendekku.
“Coli ah.” aku ngomong sendiri sambil berdiri dan meraih handuk yang menggantung di atas paku.
“Mau donk dijadiin bahan.”
Deg!!!
Aku segera berlari ke arah pintu. Bu Ratih ternyata masih berdiri di depan kamar.
“Bbb.. bu? Maaf! Tadi.. tadi…” aku gugup.”
“Udah sanah.. atau mau ibu bantu?” matanya mengerling nakal, sementara satu bibir digigitnya.
Tanpa menjawab, aku langsung berlari ke kamar mandi. Bukan apa-apa.. aku takut kalau Bu Ratih bukan sekedar bercanda. Kan akunya jadi enak…!!
Selesai mandi, dan “nganu” tentu saja, aku kembali ke dalam kamar. Nampak ada sepiring nasi kuning di atas meja. Aku mendesah kecil antara senang dan tidak enak hati.
“Kamu baik banget sih, Nur.” gumamku.
Segera kuberganti pakaian, lalu meraih piring dan menyantapnya. Pikiranku melayang mengingat kedekatan kami selama ini. Meski kadang jutek, Nur adalah seorang gadis idaman yang sangat lembut dan perhatian. Tapi aku masih bimbang.. aku belum yakin kalau sungguh-sungguh menaruh hati padanya. Aku malah takut menjadikan Nur sebagai pelarianku dari masa lalu saja.
Seusai makan, aku kembali ke kamar mandi untuk mencuci piring dan gelas bekas kopi. Isi kepalaku masih penuh, menimbang-nimbang sikap yang harus kulakukan padanya. Soal rasa, aku cukup yakin kalau Nur punya hati padaku, tapi justru pihakkulah yang tetap ragu. Sambil kembali ke kamar, kutetapkan hati untuk mengajak Nur jalan-jalan sambil menceritakan masa laluku. Siapa tahu dengan begini, aku bisa semakin bisa menilai perasaan Nur padaku, sekaligus memastikan apa yang kurasakan.
“Kamu suka nasi kuningnya, Wa?” tanya sosok yang sedang berdiri di ambang pintu kamarku.
“Maya??” aku melongo melihatnya.
“Jadi.. jadi kamu yang bawain aku sarapan?” tanyaku lagi tanpa mampu melangkahkan kaki lagi untuk mendekatinya.
Kuamati gadis yang ada di hadapanku, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bukan modus untuk melihat kecantikannya, tapi untuk memastikan bahwa sudah tidak ada bekas luka di sana.
“Iyah. Kamu suka?” jawabnya dengan senyum yang mengembang.
Aku hanya mengangguk sambil menatapnya semakin lekat.
“Kamu kenapa sih? Kok ngeliatinnya gitu banget?”
“Eh.. ehemm.. kamu apa kabar, May? Gimana lukanya?”
“Seperti yang kamu liat.” jawabnya.
“Oh syukur atuh kalau sudah baik mah. Maaf ya, aku sama sekali gak menengokmu.”
“Iiih apaan sih? Ada juga aku yang minta maaf karena waktu itu sempat memaksamu untuk nengok aku, padahal kita bukan siapa-siapa.”
Maya mendahului masuk kamar seakan ia adalah pemiliknya dan aku adalah tamu. “Tadi aku ke sini, tapi kudengar kamu lagi mandi. Jadi aku ke bawah dulu, ngambil flaskdisk di kamar Lia.” tanpa kuminta, ia bercerita.
Sementara ia berbicara, aku hanya bersikap kaku. Senang dan bingung bercampur menjadi satu. Rasa ini datang lagi. Rasa yang sama seperti yang pernah kumiliki di masa lalu. Rasa ini sebetulnya juga ada saat aku bersama Nur, tapi kadarnya berbeda.
“Wa.. woiii…! Kok malah bengong sih?”
“Eh.. iyah.. maaf.” aku mencoba menguasai diri.
“Tuh kaan.. kamu aneh iiih.” suaranya itu looh. Haduuuh gusti.
Ucapnya lagi, “Maaf, ya Wa, aku gak pernah ke sini selama dua minggu ini. Aku gak mau ganggu OSPEK dan persiapan kuliahmu.”
“Sekarang.. karena kamu sudah selesai OSPEK, aku mau ngajakmu jalan-jalan. Sekaligus sebagai ucapan terima kasihku, karena kamu sudah menolongku waktu itu.” ia terus nyerocos. Tapi bagiku ini bukan cerewet, tapi.. aaah… entahlah.
"Aku menolongnya? Ada juga aku sudah membuatnya celaka dengan terjatuh di atas tangga." tapi aku seakan kelu untuk mengucapkannya secara langsung.
“Tapi.. tapi May…” aku gagal melanjutkan ucapanku karena keburu dipotong oleh Maya.
“Ini bukan ajakan, tapi perintah.”
“Kalau aku gak mau?” aku mencoba menjadi seorang lelaki yang tegas.
“Kamu pasti mau. Yaudah kamu ganti baju dulu. Aku tunggu di luar.”
Maya meninggalkan kamarku, lalu menutup pintu dari luar. Sesaat aku mematung, tanpa sadar tanganku mengusap pipiku yang pernah ia cium. Bagai tersirep, aku segera memilih dan memakai kaos terbaik yang kupunya, sedangkan bagian bawah aku tetap mengenakan jeans yang sudah agak belel. Tapi dadaku… duh… kenapa jadi berdebar kayak gini ya.
Kukirim SMS pada Rad kalau aku pergi bareng Maya, lalu menyusul gadis itu yang sedang menunggu di luar. Senyuman indah menyambutku. Ia begitu memesona, sampai-sampai aku lalai mengunci pintu kamarku.
Kami pun melangkah bersisian. Begitu menuruni tangga, ia malah memegang tanganku, seakan takut kalau kejadian itu terulang lagi. Jadilah kami menuruni anak tangga sambil bergandengan tangan, meski kami tak bisa berjalan sejajar.
Aku hanya diam.. sentuhan ini sangat berbeda, seakan ada energi lembut yang menghangatkan perasaanku. Tangan kami terlepas ketika ada sosok muncul.
“Hai, Wa.”
“Hai, Tung.”
Kami pun bersalaman. “Kenalin, ini Maya, temanku.” aku memperkenalkan Maya pada Cintung. Mereka pun berjabatan tangan sambil menyebut nama masing-masing. Sementara Maya mendahului berjalan, Cintung berbisik kepadaku: “Seorang lelaki bisa sukses karena perempuan, tapi ia juga bisa hancur karena perempuan.”
Belum juga aku menanyakan maksudnya, ia sudah mendorong pundakku untuk menyusul Maya, sementara ia berlari menaiki tangga. Kehadirannya memang boleh dibilang selalu aneh. Sejak perkenalan pertama, kami belum pernah ngobrol bareng, hanya saling sapa alakadarnya. Tapi setiap perjumpaan seakan bukan kebetulan, kami sering berpapasan saat aku sedang bersama dengan seorang perempuan, entah itu Nur, teman kostan, dan sekarang saat aku berjalan dengan Maya.
“Wa, hayoo.. kok bengong.” Maya memanggilku.
Aku hanya nyengir sambil melangkah panjang menyusulnya. Sepintas ada bayangan dari balik jendela rumah induk yang mengintip kami, tapi Maya telah menjadi magnet tersendiri yang membuat fokusku hanya pada dia. Aku dan Maya berjalan dalam diam, setibanya di jalan, kami menyusuri pasar sampai tiba pada mobilnya yang di parkir di depan gerbang sebuah sekolah.
“Kamu yang nyetir ya.” godanya sambil menyodorkan kunci.
“Boleh, kita mau masuk rumah sakit mana?” jawabku.
Maya tertawa mendengar jawabanku, lalu kami pun masuk ke dalam. Tentu saja Maya yang berada di balik kemudi, bagaimana mungkin aku bisa nyetir.
“Kita mau ke mana sih, May?” tanyaku penasaran.
“Kita makan siang yah.” jawabnya.
“Aku kan baru sarapan.”
“Terus kalau kamu sudah makan, aku gak boleh?”
“Eh.. iyah.”
“Kalau lagi salah tingkah, kamu lucu banget, Wa.” gumam Maya sambil melajukan mobil memasuki jalan yang cukup padat.
Karena maya bertanya, ku ceritakan ruwet dan rudetnya OSPEK yang baru kulewati. Kuceritakan pulan teman-teman baruku yang ternyata banyak yang berasal dari Indonesia Timur dan Sumatera Utara. Pengalaman dan keseruan-keseruan baru kurasakan saat berjumpa dengan teman-teman dari kultur yang berbeda. Belum lagi karena banyak juga yang menjadi anak tentara, dinamika dan gaya pergaulannya pun sedikit berbeda.
Maya begitu antusias menyimak ceritaku, sekali-kali tertawa saat aku menyampaikan pengalaman-pengalaman lucu bersama mereka. Tanpa kuminta, ia pun bercerita tentang kuliahnya. Ia mulai mengeluh karena banyaknya tugas sejak minggu pertama masuk kelas. Jadilah… kami bagaikan teman lama yang baru kembali bersua. Saling bercerita, saling mengeluh, saling berbagi keseruan, dan sekali-kali saling berkisah kekonyolan.
Sepanjang jalan aku sering melirik ke arahnya, pun pula Maya, sehingga kami sering beradu pandang. Saling berpaling.. tapi terus terulang… Harus kuakui bahwa Maya memiliki pesona yang membuatku merasa begitu nyaman, dan membuatku betah saat bersamanya. Kini aku tak perlu membayangkan wajahnya, karena ia ada di sampingku.
“May..”
“Wa..”
Panggil kami bersamaan. “Kamu dulu,” lagi berbarengan.
Kami pun tertawa. Bahkan Maya sambil menepuk tanganku yang menumpang di atas paha. Sentuhan kedua hari ini, dan perasaanku kembali berdesir. Rasanya ingin menahannya ketika tangan itu menjauh kembali, tapi kumenahan diri untuk tidak menggapainya.
“Kita mau ke mana?” tanyaku.
“Kita ke Curug Tilu biar kamu gak kuper di Cimahi terus.” lalu lanjutnya, “Eh.. tadi kamu belum jawab. Mau ngomong apa?”
“Ya itu.. aku mau nanya, kita mau ke mana. Kamu mau ngomong apa?”
“Oooh… Ya itu.. aku mau nanya, kamu mau diajak ke mana.”
“Maaay!!” kali ini aku menatapnya secara terang-terangan. Aku yakin ia hanya mau membalas ucapanku, tanpa menyampaikan maksud yang sebenarnya.
“Nggak kok. Gak ada apa-apa.” jawab Maya.
Aku yakin dia bohong, tapi aku urung mendesak ketika tangannya kembali meraih punggung tanganku. Kali ini bukan menepuk, tapi menggenggam. Nafasku seakan sesak sesaat, tubuhku bagai kaku. Bahkan telapak tanganku terasa berkeringat.
Maya seakan tidak peduli pada reaksiku meski kuyakin ia tahu. Remasan-remasan halus kurasakan. Kuberanikan diri untuk membalikkan telapak tanganku dan membalas gengggamannya. Tapi apa daya.. tangan itu keburu terlepas saat ia memindahkan kopling. Kecewa!! Eh… nanti dulu.. ia menyentuhku lagi. Jantungku berdebar lagi… memindahkan kopling lagi… Pada sentuhan kesekian kalinya, kuberanikan diri untuk menyambutnya. Telapak halus tangannya berjumpa dengan telapak tanganku yang dingin. Ada senyum yang ia sembunyikan saat aku menyambut genggamannya.
Kini tangan kami yang bekerja, saling menyentuh dan meremas halus. Tiada kata yang terucap, satu-satunya suara adalah deru halus mesin kendaraannya. Maya juga mulai berani menarik tanganku saat ia hendak memindahkan kopling, kalau sudah begitu, tangankulah yang berpindah memegang punggung tangannya.
Sekali-kali kami saling menghela nafas panjang seakan membuang perasaan yang berkecamuk. Aku tidak tahu apa yang Maya rasakan dan pikirkan, tapi dari pihakku aku merasa sangat nyaman sekaligus mendebarkan.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar