BAB 4
Aku membuka mata saat Rad membangunkanku. Aku menggeliat sambil melirik jam dinding. Sudah jam 6.30.
“Kamu mau ke mana, Rad?” tanyaku.
“Aku mau ke kampus, ada rapat panitia OSPEK.” jawabnya.
“Aku ikut.” aku langsung bangkit dari balik selimut
“Lah.. ngapain? Daftar ulangnya baru besok lusa.” herannya.
Aku memang tidak harus mengikuti Ujian Saringan Masuk, karena diterima melalui jalur prestasi, meski aku hanya sekolah di SMA desa. Semuanya sudah dibantu Rad, sehingga aku tinggal daftar ulang saja.
“Kan biar tahu jalan ke sana.” jawabku.
“Lusa saja. Hari ini kamu beres-beres kamar. Hehe…” Rad menyahut sambil terkekeh.
“Kamu kan udah numpang di kamarku, jadi harus beres-beres, soalnya ni kamar udah dua minggu gak disapu.” selorohnya.
“Kampret!”
“Rad.” aku memandang sahabatku yang sedang menyeduh kopi sachetan.
“Hmm…?”
“Kamu tahu kan.. kalau.. kalau uangku hanya cukup untuk biaya kuliah dan kostan. Untuk makan aku harus cari sendiri. Kamu udah dapat kerjaan untukku?” tanyaku.
“Hallo, say.” bukannya menjawab, Rad malah menelpon seseorang.
Aku hanya mendengus gondok sambil bangkit dan melipat selimut. Lalu kuseruput kopinya yang belum ia teguk, kuraih juga bungkus rokok miliknya dan menyatut isinya. Sudah kebiasaan dan menjadi ritus pagi; rokok dan kopi adalah ritual pertamaku sebelum mandi dan sarapan.
“Eh.. apa tadi?” tanya Rad sambil menutup telponnya.
“Kerjaan!”
“Oh.. nyantai aja. Kamu bisa membantu temanku jualan martabak di alun-alun Cimahi. Duitnya gak gede sih, tapi lumayan untuk nambah-nambah uang makan. Kamu mau?”
“Oke deh kalo gitu. Mulai kapan?” tanyaku senang.
“Mulai minggu depan aja.”
“Nuhun ya.”
“Hmmm..”
“Eh semalam Lia nginep di rumah Maya. Siangan dia pulang.. kamu tungguin dia.”
“Ngapain?”
“Aku nitip beliin hape untukmu.”
“Widiih… nuhun lagi deh kalo gitu.”
“Enak aja, kamu ganti duitnya.”
“Kampret!!! Uangku kan terbatas.”
“Halaah.. gak mahal kok. Cuma hape second.”
Setelah sama-sama menghabiskan sebatang rokok, Rad pun pergi. Aku memutuskan untuk mandi. Seperti biasa.. ritus pertama setelah bertelanjang dada adalah menggenggam dan mencium bandul kalungku.
Selesai mandi aku kembali ke dalam kamar dengan tubuh segar. Kulihat di atas meja ada semangkok bubur yang masih mengepul, juga secangkir kopi hitam. Aku kembali keluar kamar sambil celingukan. Tak seorangpun yang kulihat.
Aku hanya mengerutkan dahi, sambil memasuki kamar. Lia belum pulang, penghuni kost belum banyak yang kukenal, Bu Ratih gak mungkin. Berarti…
“Nur?” aku bertanya dalam hati.
Sabodo! Segera kulahap bubur ayam yang terhidang, lumayan sudah mengurangi pengeluaran sarapan di hari keduaku. Aku menyantapnya dengan lahap, kuseruput kopi tubruk dengan nikmat. Takarannya begitu pas, persis seperti kopi yang diseduh oleh… ah yasudahlah.
Seusai makan, kusulut kembali sebatang rokok putih peninggalan Rad sambil menikmati sisa kopi yang ada. Setelahnya, kuputuskan untuk mencuci mangkok dan cangkir, lalu mengembalikannya ke rumah induk.
Kulihat Nur sedang menggendong keponakannya di halaman. Aku yakin ia melihat kehadiranku, tapi ia bersikap seolah-olah tidak melihat.
“Pagi, Nur. Makasih ya atas sarapannya.” sapaku.
Bukannya menjawab, ia menengok ke arahku dengan dahi berkerut. Sikapnya masih tidak ramah.
“Masih ngambek ya?” tanyaku lagi sambil mendekatinya.
“Siapa yang marah? Rugi marah ke kamu mah.” ketusnya.
Aku tersenyum mendengarnya, setidaknya ia sudah mau berbicara lagi padaku.
“Makasih, ya.” ucapku lagi sambil menatap wajahnya yang nampak segar pertanda sudah mandi. “Gadis yang manis,” kataku lagi tapi hanya dalam hati.
Karena Nur tidak menjawab, kualihkan perhatianku pada si kecil yang sedang dalam gendongannya.
“Hai, Reta yang manis.” aku menyapanya sambil menyentuh pipinya.
“Heh? Sembarangan!!! Ganti nama anak orang sembarangan.” protes Nur.
“Namanya Lintang.” lanjutnya lagi.
“Iya. Kan Reta Lumintang.” jawabku acuh.
“Dasar!!” ada seulas senyum yang Nur sembunyikan.
“Cantik.” ucapku.
“Ya iyalah.. keponakan siapa dulu.”
“Maksudku tantenya.”
Ada semburat semu merah di wajah itu. Ia sudah tidak cemberut dan ketus lagi.
Kucium Lintang dengan gemas. Namun sikapku membuat pipiku sedikit menyentuh gundukan payudara Nur, membuat ia sedikit terkejut dan mundur. Aku juga sebetulnya kaget karena tidak punya niat modus apapun, tapi kusembunyikan dan seolah tidak terjadi apa-apa.
“Makasih ya atas bubur dan kopinya.” ucapku sekali lagi.
“Iya.” jawabnya dengan wajah masih sedikit memerah.
“Nah berarti bener, kan? Kamu yang beliin aku sarapan. Makasiih..” Aku sedikit tengil.
“Iya.. iya sama-sama.” akhirnya ia mengaku.
Sikapnya sudah tidak jutek lagi. Ia kembali seperti seorang Nur yang kukenal kemarin.
“Tolong kamu taro mangkoknya di dalam.” ucapnya dengan suara yang sudah ramah.
“Siap.” jawabku.
Aku segera masuk ke dalam rumah, menuju ruang makan. Kuletakkan mangkok dan cangkir di atas meja, lalu berbalik hendak kembali keluar.
Deeegh!!!
Aku tercekat saat sosok Bu Ratih muncul dari arah belakang. Bukan kehadirannya yang membuatku kaget, tapi tubuhnya yang hanya dililit handuk. Rambutnya basah tergerai dengan helaian-helaian yang menumpang pada leher dan bahunya yang kuning langsat. Dadanya menyembul. Kedua payudara besarnya memang tertutup semuanya oleh handuk, tapi itu membuat pahanya tidak tertutup karena posisi handuk yang tertarik ke atas.
Aku hanya melongo sambil menelan ludah. Dadaku tiba-tiba berdebar dan pandangan mataku seakan nanar. Paha itu begitu putih dan indah.
Sementara aku melongo, sebaliknya, Bu Ratih nampak biasa saja.
“Kenapa, Wa? Lihatnya kok gitu banget?” ujarnya sambil mengulum senyum.
Pertanyaanya tentu saja membuatku sadar.
“Eh itu, Bu. Anu… nggak… itu…” gugupku.
Sikapku tentu saja membuat Bu Ratih tertawa.
“Oh kamu balikin mangkok, ya?” lanjutnya.
Aku hanya mengangguk karena masih grogi, apalagi saat ia mendekat melewatiku. Aroma shampo dan sabun langsung hinggap di penciumanku. Menyadari bahwa ada yang menggeliat di balik celanaku, aku langsung melangkah menuju pintu depan, tanpa pamit, apalagi mengucapkan terima kasih.
“Kamu kenapa, Wa?” sambut Nur. Mungkin ia melihat muka begoku.
“Ngg… nggak kenapa-napa.” jawabku.
Nur mengamati sikapku dengan heran, untunglah ia tidak bertanya lagi. Aku segera pamit padanya, “Aku ke kamar dulu, ya. Makasih atas sarapannya.”
“Wa..!”
“Iya?”
“Nanti sore temani aku ke alun-alun, ya.”
“Eh.. iyah boleh.. jam berapa?”
“Kita berangkat jam empat aja.”
“Siap.”
Aku pun melangkah dengan pikiran yang masih dipenuhi bayangan sosok tubuh Bu Ratih. Syukurlah semuanya perlahan hilang saat ada beberapa anak kost yang menyapaku dan mengajak berkenalan. Kebanyakan dari mereka sepertinya buruh pabrik.
“Eh…?” aku kaget saat berpapasan dengan seseorang di ujung tangga.
“Maaf, mas.” ucapku pada sosok di hadapanku.
“Hai. Lu anak baru ya?” sapanya, yang dijawab anggukanku.
“Gue Cintung. Nama lu siapa?”
“Sirna, mas.”
“Hahahaha…!!” pemuda bernama Cintung itu malah tertawa.
“Kok tertawa, Mas?”
“Nama lu aneh.”
“Hehehe.. begitulah orangtuaku memberiku nama, mas.”
“Panggil gue Cintung, aja. Gue bukan pengusaha emas.”
“Iya, Cin, eh Ntung.”
“Hahahaha.” kami pun tertawa ersama.
“Kamu kost di sini juga?” tanyaku.
“Kagak! Gue ke sini hanya nemuin temen, sekalian ketemu Bu Ratih. Ooops…”
“Kenapa, Tung?”
“Ngg.. nggak…! Semalam gue nginep ama Bu Ratih. Eh.. bukan.. itu.. anu… apa itu.. Maksud gue, gue semalam ijin nginep di kamar temen gue pada Bu Ratih.” jelasnya dengan gugup.
“Ooh..” ucapku. Aku sangat heran melihat sikapnya, ia seakan menyembunyikan sesuatu.
“Yaudah.. gue berangkat kerja dulu. Lain kali kita nongkrong bareng ya.”
“Siap, Tung.” jawabku sambil melihat punggungnya yang melangkah dengan tergesa.
Aku pun masuk kamar dan beres-beres. Sekitar jam sepuluh Lia datang sambil membawa bungkusan.
“Hape, ya Li?” tanyaku.
“Iya. Sekalian aku bawain kue dari Maya.” jawabnya.
“Makasih. Kok Maya jadi repot sih?”
“Heh!! Bukan Maya yang repot, tapi aku, kan aku yang harus bawain.” celetuknya.
“Hehehe..”
“Malah ketawa lagi.” gerutu Lia sambil duduk di atas kasur.
Sesaat kami berdua sibuk dengan hape yang ia bawa. Ia mengajariku beberapa cara penggunaannya. Tak lupa, ia memasukkan nomornya sendiri, nomor Rad, dan tentu saja nomor Maya.
“Makasih, Li. Berapa aku harus ganti?” tanyaku.
“Maksudnya?”
“Iya.. harga hapenya berapa? Tadi Rad bilang kalau aku harus mengganti uangmu.”
“Hahaha… udah pake aja. Ini dari Maya kok. Gratis!!! Dia udah gak sabar kamu telpon tuh.”
Deeegh!!!
“Eh..?”
“Ah eh.. ah eh mulu. Udah telpon sana.”
“Iii.. iya aku telpon Maya.”
“Yaudah.. aku balik ke kamar dulu. Nanti jam empat kita jalan ya. Bareng Rad juga.”
“Ke mana?”
“Nengok Maya lah.”
“Oke deh.”
Aku menatap punggung Lia yang meninggalkan kamar.
“Whaaaat??? Aku kan udah janji nganter Nur jalan-jalan ke alun-alun.”
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar