DALAM CENGKRAMAN PRIA TUA
Lidya mencoba membuka matanya yang sembab karena menangis terus menerus, ia meminum teh hangat di meja samping sofa dan memperhatikan lalu-lalang orang melalui jendela. Wanita cantik itu kemudian berbalik lagi ke gawai yang ia pegang dan menggeser layar smartphone-nya dengan bosan. Walaupun sudah berusaha memperhatikan, tapi rasanya susah sekali memahami apa yang terlintas di lini waktu media sosial yang ia lihat karena Lidya tidak bisa fokus.
Benaknya masih dibebani perkosaan yang dilakukan Pak Hasan. Dia sangat trauma dan ketakutan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa, dia tidak bisa menceritakan petaka yang menimpanya baik pada suaminya sendiri ataupun pada pihak yang berwajib, dia takut kalau dia membeberkan semuanya, situasinya akan lebih buruk lagi. Semalam suntuk Lidya berusaha tidur tapi tak kunjung bisa memejamkan mata, dia takut sewaktu-waktu Pak Hasan akan datang ke kamar dan menyetubuhinya lagi. Selangkangannya masih terasa sakit setelah mendapatkan perlakuan kasar kemarin
Dasar panjang umur, pria tua busuk itu malah tiba-tiba saja muncul dan berdiri di samping Lidya.
“Aku pengen jalan-jalan ke mall, Nduk.”
Lidya meneguk ludah, dia diam saja dan pura-pura tidak mendengar, menyibukkan diri dengan smartphone-nya. Ngapain sih orang ini di rumah aja, ga pergi-pergi? Biasanya tua bangka ini ga betah di rumah lama-lama dan akan ngeloyor pergi berjam-jam tanpa pamit. Di saat-saat itulah Lidya biasanya bisa terbebas darinya. Tumben-tumbenan pamit sama dia hari ini.
Karena perasaannya masih kacau balau, Lidya diam membisu.
Merasa dicuekin sang menantu, Pak Hasan jadi emosi, wajahnya memerah karena jengkelnya. Dengan geram laki-laki tua itu mendekati Lidya, menarik paksa ponselnya dan melemparkannya ke ujung sofa yang jauh dari Lidya.
“KAMU DENGAR TIDAK? AKU MAU AJAK KAMU JALAN KE MALL!!”
Tentu saja ajakan Pak Hasan pada Lidya itu bak petir yang menyambar di siang bolong. Ke mall? Demi apaaa? Halah, mau ngapain lagi si tua bangka ini sekarang? Aneh-aneh aja.
“Ke mall?” tanya Lidya sambil merapikan rambutnya yang jatuh ke kening. “Ngapain kita jalan-jalan ke mall? Kebutuhan dapur dan yang lain masih ada. Kalau Bapak bosen di rumah, kita bisa nungguin Mas Andi, kan? Besok lusa Mas Andi juga sudah pulang. Kita tidak perlu…”
Pak Hasan geleng-geleng kepala, menantunya ini sepertinya tidak paham dengan situasinya. Ia terkekeh dan menarik tubuh Lidya supaya mendekat. Pak Hasan pun memeluk Lidya dengan kencang dari belakang. Ia mengendus sisi belakang telinga Lidya. Si cantik itu pun langsung memiringkan kepalanya untuk menghindar dar
“Justru karena besok anakku itu sudah pulang, jadi aku mau menikmati saat-saat bebas bersamamu, nduk cah ayu. Ayolah, aku tidak mau setiap kali kompromi denganmu aku harus menyakitimu dulu. Lebih baik kamu turuti saja semua permintaanku tanpa mengeluh, ya kan? Daripada kamu bikin berang, aku jadi emosi, nanti badanmu biru lebam, Andi kebanyakan nanya. Turutin saja lah, aku cuma pengen ngajak menantuku yang cantik ini jalan-jalan ke mall. Menantu secantik kamu seharusnya sering-sering dipamerin daripada cuma disimpan di rumah sampai berdebu.”
Pria tua itu lantas menarik kepala Lidya ke belakang dan memiringkannya. Dengan kasar Pak Hasan lantas mencium bibir menggemaskan Lidya, begitu kasarnya ciuman itu sampai-sampai Lidya kesakitan karena beberapa kali bibirnya digigit. Meronta-ronta dengan perlakuan Pak Hasan, Lidya akhirnya dilepaskan.
“Lain kali nanya ke aku juga pake sopan santun, jangan pakai sinis lagi. Ngerti?”
Lidya yang terlepas dari pelukan sang bandot kemudian meringkuk di sofa dan menundukkan kepala. Begitu ketakutannya sampai-sampai tubuhnya bergetar.
“Ma... maaf...”
Kenapa justru Lidya yang minta maaf? Bukankah dia yang sedang dilecehkan?
“Sudah seharusnya kamu minta maaf! Di mana-mana yang muda itu harus hormat sama orang tua! Dasar tidak sopan!” Pak Hasan memalingkan wajahnya dan duduk di sofa dengan arogan. “Sekarang sana kamu ganti pakaian dan dandan yang cakepan. Aku tunggu di sini ga pake lama.”
Lidya pun berdiri dan melangkah dengan lemas menuju kamarnya. Apa lagi sih maksud pria tua busuk ini? Ia tidak percaya dia akan bebas begitu saja saat menemani mertuanya. belum sampai beberapa langkah berjalan, Pak Hasan kembali memanggil wanita cantik itu.
“Oh iya, Nduk. Jangan lupa bawa uang yang banyak. Bawa kartu kreditmu lah. Siapa tahu aku mau belanja-belanja yang banyak. Paham ya.”
Kampret!
Telegram : @cerita_dewasaa
Paidi Sutrisno bukanlah orang yang beruntung. Di usianya yang sudah mencapai berkepala lima, pria tua itu masih hidup berkekurangan. Masa mudanya yang suram membuatnya sering keluar masuk penjara, dia bahkan dulunya sangat terkenal sebagai preman pasar dengan sebutan Paidi Tatto, karena memiliki tatto bergambar wanita bugil yang menghias sebagian besar punggungnya.
Kehidupannya keras, tanpa ampun, tanpa penghargaan dan tidak semua orang sanggup bertahan hidup dengannya. Paidi diceraikan oleh sang istri dan bekerja sebagai penjaga pintu sarang PSK. Hanya sebentar bekerja di sana, Paidi terlibat perkelahian dengan seorang pelanggan – karena sang pelanggan menganiaya pekerja yang menolak melakukan anal. Lagi-lagi hal itu menggiring Paidi balik ke jeruji besi karena orang tersebut patah tulang di beberapa bagian dan menuntutnya di meja hijau.
Terakhir kalinya di penjara, Paidi berkenalan dengan seorang mantan dosen yang berasal dari keluarga baik-baik dan dipenjara entah karena masalah apa. Pria itu memberikan ilmu pengetahuan dan mengajarkan banyak hal pada Paidi. Berkat orang ini pulalah Paidi berani menghapus semua tatto di tubuhnya walaupun akhirnya meninggalkan bekas luka permanen di kulit punggungnya. Punggung Paidi yang tadinya bergambar seorang wanita cantik berubah menjadi kulit carut marut. Kemahiran Paidi berlipat ganda berkat pengetahuan yang diberikan oleh pria itu.
Setelah keluar bui untuk yang terakhir kalinya di usia 45, Paidi ternyata tak kunjung bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Entah karena sejarahnya yang buruk atau karena pengaruh krisis ekonomi. Di jaman seperti sekarang ini, sangat susah mencari pekerjaan yang halal dengan mudah. Apalagi Paidi tidak memiliki modal besar dan wajahpun tidak menunjang, codet besar bekas luka menghias wajahnya sehingga banyak perusahaan menolak memperkerjakannya.
Akhirnya, Paidi mengerjakan apa yang bisa dia kerjakan. Paidi memperoleh modal kecil dari temannya sang dosen yang juga sudah bebas dan berjualan bakso keliling. Paidi Tatto kini berubah menjadi Paidi tukang bakso, tidak pernah lagi melanggar hukum.
Tubuh Paidi yang dulu gagah dan tegap kini kurus kering dan hitam legam terbakar matahari. Wajahnya yang dulu bersih kini menjadi kurus dan kasar, kulitnya tipis dan tulangnya terlihat menonjol di seluruh badan.
Paidi sadar masa-masa keemasannya sebagai preman sudah sirna dan kini dia berniat melakukan yang terbaik yang dia bisa untuk membalas kebaikan sahabat yang telah memberinya pengetahuan dan modal berjualan bakso. Demi mencari nasi untuk sekedar mengisi perut, Paidi menjalankan pekerjaannya tanpa mengeluh. Tapi, sesungguhnya tidak semudah itu Paidi berubah menjadi orang baik, dia masih seorang pria oportunis yang menghalalkan segala cara, dalam hatinya dia masih Paidi Tatto.
Bagi Paidi, angin perubahan akan segera tiba.
Beberapa malam yang lalu, Paidi baru saja pulang dari nongkrong di warung kopi yang buka sampai jam dua pagi. Paidi sengaja lewat jalan komplek yang sepi karena ada jalan tikus yang bisa lebih cepat sampai ke pasar di seberang komplek. Paidi memang biasa begadang, jam dua minum kopi, lalu pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk bakso, diolahnya dan paginya keliling lagi. Pasar di seberang komplek memang sudah buka sejak jam empat pagi dan biasanya pembeli yang datang jam segitu akan mendapatkan potongan harga yang lumayan langsung dari distributor, apalagi barangnya masih segar dan fresh.
Malam itu, entah kenapa Paidi memilih untuk beristirahat sebentar di pojok pengkolan jalan di dekat pos kamling. Kebetulan tempat Paidi beristirahat agak pojok dan terlindung oleh bayangan. Jadi siapapun yang melintas jalan akan terlihat oleh Paidi, namun sebaliknya, orang itu tidak akan melihat si tukang bakso.
Paidi tidak akan pernah melupakan pemandangan indah yang lewat di depannya.
Malam itu, Paidi melihat seorang bidadari berjalan terburu-buru menuju ke pos kamling. Bidadari dalam balutan daster tembus pandang. Rambutnya sebahu, kulitnya putih mulus, hidungnya mancung, dadanya membusung dan pantatnya bulat menggemaskan. Entah kenapa bidadari itu seperti ketakutan dan kebingungan.
Malam itu, Paidi memergoki Alya sedang menemui Pak Bejo.
Telegram : @cerita_dewasaa
Mall yang dituju taksi online yang ditumpangi oleh Lidya dan Pak Hasan berada di tengah kota. Sejak berangkat dari rumah sampai ke lokasi, Pak Hasan lebih banyak diam. Untunglah Pak Hasan tidak turut campur mendikte pakaian yang akan dipakai Lidya sehingga dia bisa pergi menggunakan baju yang lumayan sopan. Lidya mengenakan rok mini selutut dan baju yang tidak terlalu ketat. Walaupun berpenampilan seadanya, Lidya masih tetap terlihat cantik mempesona.
Walaupun mulutnya terdiam, tapi tangan Pak Hasan masih tetap beraksi. Duduk berdampingan dengan Lidya di kursi belakang, Pak Hasan dengan nakal mengelus-elus kaki menantunya itu dengan santai. Berulang kali Lidya merasa tidak enak karena melihat mata sang sopir melirik ke belakang menggunakan kaca.
Bahkan Pak Hasan kadang nekat membelai paha Lidya yang mulus atau sesekali meremas payudaranya. Wanita cantik itu sudah memperingatkan mertuanya agar tidak nekat karena sang sopir bisa melihat mereka. Tapi Pak Hasan hanya tersenyum. Beberapa kali suara sang sopir meneguk ludah bisa terdengar dari belakang.
Akhirnya setelah menempuh jarak cukup jauh, Pak Hasan dan Lidya sampai di pusat pertokoan yang dituju. Ketika Lidya hendak membuka dompet untuk membayar kendaraan online tersebut, Pak Hasan menggeleng. Dia melirik ke arah aplikasi di ponsel Lidya dan menarik uang dari kantong celananya untuk diberikan pada sang sopir.
Sang sopir melongo melihat uang pemberian Pak Hasan. “Maaf, kurang Pak. Sesuai aplikasi biayanya.”
“Saya bawanya cuma segitu.” Kata Pak Hasan dengan suara kering.
“Wah, gak salah nih, Pak? Duitnya kurang dong! Di aplikasi kan sudah tertera harganya, masa bayarnya cuma segini? Yang bener aja!” Wajah sang sopir memerah karena merasa dipermainkan.
“Ini, ada kok…” Lidya kembali hendak membuka dompet. Tapi tangannya diremas Pak Hasan yang langsung menggeleng dan melotot galak, Lidyapun mengurungkan niatnya. Kenapa lagi Pak Hasan ini? Mau cari perkara dengan sopir taksi online ini? Keringat mulai menetes di dahi istri Andi itu.
“Sabar, Mas. Pasti saya bayar. Mau nanya pendapat dulu, menurut mas sopir, menantu saya ini cantik tidak?” tanya Pak Hasan tiba-tiba. Lidya langsung mengernyitkan dahi, perasaannya tidak enak.
Sang sopir meneguk ludah. Pandangannya beralih ke arah Lidya. Bagaikan seekor macan yang siap menerkam mangsa, dia memperhatikan Lidya dari atas ke bawah. “Gila, kirain tadi ini istrinya, soalnya mesra banget, ternyata menantunya ya?”
“Menantu saya ini orangnya sangat pengertian dan baik. Dia senang kalau bisa menghibur orang lain yang kesusahan, contohnya saya ini, saya sudah lama jadi duda. Jadi bagaimana menurut mas, menantu saya cantik tidak?” Pak Hasan mengulang pertanyaannya.
Lidya merasa jengah mendengar percakapan dua orang ini, apalagi sang sopir kemudian memandang ke arahnya dengan remeh dan tersenyum menjijikkan.
“Wah, Pak! Bukan cantik lagi namanya kalau yang seperti ini!” jawab sang sopir taksi, “Cuantikkk!! Kayak bintang sinetron!”
“Bagaimana pendapat mas tentang tubuhnya, bagus tidak?” tanya Pak Hasan lagi. Lidya sudah bersiap keluar dari kendaraan tapi ditahan oleh Pak Hasan.
“Seksi, Pak!”
“Baiklah, bagaimana kalau untuk membayar kekurangan saya tadi, saya tawarkan bibir menantu saya ini? Masnya boleh mencium dia selama satu menit plus meremas susunya selama itu pula. Bagaimana?” tanya Pak Hasan.
Sopir itu melongo, ponsel digenggaman hampir terlepas.
Tubuh Lidya langsung lemas. Dia tidak menyangka Pak Hasan akan menggunakan dirinya sebagai alat pembayaran. Geram sekali rasanya Lidya karena diperlakukan seperti pelacur hina oleh mertuanya sendiri. Tapi cengkraman tangan Pak Hasan yang tidak bisa dilepaskannya menyadarkannya akan satu hal, dia harus melakukan apapun perintah sang mertua, separah apapun perintahnya itu.
Sang sopir taksi online yang bertubuh kurus dan berkulit gelap terbakar matahari kembali meneguk ludah. Gila, kalau begini caranya orang ini membayar, bisa kurang nanti duit yang harus ia kumpulkan untuk membayar banyak cicilan, tapi kapan lagi dia bisa mencium orang secantik bidadari? Walaupun cuma semenit, tapi bibir Lidya yang ranum itu membuatnya sangat nafsu, belum dekat dengannya saja si otong yang di bawah sudah ngaceng, apalagi kalau boleh mencium, wah, asoy sekali. Bininya di rumah jelas kalah jauh. Hatinya bimbang, tapi nafsu akhirnya mengalahkan akal sehat sang sopir.
Lidya makin merasa tertampar saat melihat sopir berwajah ketus itu mengangguk sambil cengengesan. “Bolehlah, Pak. Sekali ini saja. Kapan lagi saya bisa ngerasain yang begini?”
Pak Hasan tersenyum. “Silahkan mas sopir pindah ke kursi belakang, saya yang akan menghitung waktunya.”
Buru-buru sopir itu pindah ke belakang dan duduk di samping Lidya.
“Pak, aku…” Lidya mencoba memprotes.
Pak Hasan kembali mencengkeram lengan Lidya. Tidak ada gunanya melawan pria tua yang busuk ini, Lidyapun menunduk pasrah.
Sang sopir tidak membuang waktu, begitu Pak Hasan mengangguk memberi ijin sambil memegang erat tubuh Lidya yang sudah siap meronta, dia langsung mencium bibir Lidya. Lidya memejamkan mata karena tidak tahan melihat wajah sopir taksi online yang sudah mupeng abis, mulutnya yang terkatup perlahan-lahan dibuka karena ia takut Pak Hasan akan menyakitinya seandainya ia menolak membalas ciuman sang sopir.
Awalnya mereka berciuman dengan lembut, bibir sang sopir yang sudah basah dan bau rokok membelai bibir Lidya yang ranum dan membasahinya pelan-pelan. Lalu pria itu menghisap lembut bibir bawah Lidya sebelum akhirnya benar-benar menangkupkan seluruh bibirnya ke bibir Lidya. Menantu Pak Hasan itu melenguh kesakitan saat kemudian sang sopir meremas buah dadanya dengan kasar dan penuh nafsu. Karena ukuran buah dada Lidya lebih besar dari milik istrinya, sang sopir makin bernafsu, remasan tangan sang sopir makin lama makin cepat.
Lenguhan Lidya membuat mulutnya terbuka, sang sopir menyorongkan lidahnya masuk ke mulut menantu Pak Hasan yang cantik itu. Lidah sang sopir bertemu dengan lidah Lidya dan keduanya bertautan. Perasaan takut mengkhianati suami dan rasa bersalah yang menebal malah membuat Lidya makin pasrah. Dia sudah tidak tahu lagi mana yang seharusnya dilakukan dan mana yang tidak. Bibirnya selalu menjadi milik Andi sang suami, tapi kini, mertuanya dan bahkan seorang sopir kendaraan online tak dikenal pun telah mencicipi keranuman bibir Lidya.
Pak Hasan tersenyum kegirangan melihat menantunya kembali melenguh, jelas sekali kalau Lidya lama kelamaan terangsang juga walaupun pada awalnya menolak mati-matian. Dengan sengaja Pak Hasan memberikan kesempatan pada sang sopir untuk menikmati bibir Lidya lebih dari satu menit yang dijanjikan. Dari tonjolan besar di selangkangan, terlihat jelas sopir itu pasti sudah ngaceng sedari tadi, Pak Hasan terkekeh melihatnya.
Ciuman Lidya dan sang sopir berakhir saat Pak Hasan menepuk pundak laki-laki beruntung itu. “Oke, mas. Sudah satu menit lebih dua puluh detik”. Kata Pak Hasan sambil menunjuk jam digital di dashboard taksi. “Yang dua puluh detik aku hitung bonus. Sesuai aplikasi ya.”
Sopir taksi online itu mengangguk puas. “Wah, bapak beruntung sekali punya menantu seperti ini, dicium semenit aja udah bikin blingsatan! Apalagi kalau dipake!”
Sambil mengucapkan terima kasih, Pak Hasan dan Lidya keluar dari taksi dan masuk ke dalam mall. Sopir taksi itu tidak bisa melepaskan pandangan dari Lidya, dia pun menarik napas panjang. Sayang sekali, dia harus segera pergi mencari penumpang lain untuk bisa mengumpulkan uang. Entah kapan lagi dia bisa berjumpa dengan si cantik itu, mungkin inilah yang dinamakan pengalaman sekali seumur hidup.
Sopir itu menggelengkan kepala mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi dan memeriksa ponselnya untuk mengambil penumpang lain.
BERSAMBUNG
Report content on this page
0 Komentar