RANJANG YANG TERNODA PART 6

 

Dina menempelkan kartu hotel dan membuka pintu kamar nomor 224. Sesuai dengan petunjuk yang ia dapat dari Pak Pramono. Lampu kamar langsung menyala saat ia memasukkan kartu ke slot listrik. Dina lalu meletakkan outer dan tas jinjing yang ia bawa ke dalam lemari pakaian. Memperhatikan ruangan kamar hotel yang masih kosong, Dina tahu dia datang lebih awal daripada Pak Pramono.




Dina melangkah ke arah jendela dan memperhatikan mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalan dengan perasaan yang campur aduk. Cukup lama si cantik itu memperhatikan pemandangan, sampai-sampai ia tidak sadar ada seseorang yang masuk ke kamar dan mengamatinya.






“Kupikir kamu tidak jadi datang.”




Dina kaget dan hampir melompat saat suara berat di belakangnya terdengar. Dina tidak perlu membalikkan badan untuk tahu siapa yang datang.




“Aku tidak punya pilihan lain.”


“Siapa bilang? Jalan hidup kita selalu ditentukan oleh pilihan. Makan siang mau makan nasi telur atau nasi padang? Pulang kerja mau naik kendaraan online atau naik trans? Semua ada pilihannya.” Kata pria yang sangat percaya diri itu sambil memasukkan tas dan jaket ke dalam lemari. Dia meredupkan cahaya lampu supaya lebih temaram dan romantis, “dan kamu memilih datang kemari.”






Dina melirik ke arah jari jemarinya. Cincin emas putih yang melingkar di jari manis sebagai lambang pernikahannya dengan Anton membuatnya merinding. Demi cinta dan kesetiaan. Dina membalikkan badan. Tangannya memeluk pinggang sendiri seakan hendak menghangatkan badan yang kedinginan.






“Tidak ada yang memaksa Mbak Dina datang kemari. Ingat itu baik-baik.” Kata Pak Pramono sambil mendekati istri Anton. Sekitar satu meter jarak mereka, Pak Pram berhenti. Dina berusaha menantang pandangan tajam Pak Pramono, namun dia tidak sanggup. Pandangan mata Dina turun ke lantai.


“Aku sudah datang. Apalagi sekarang?”


“Mbak Dina tahu apa yang aku inginkan.”


“Dasar busuk!” desis Dina sengit.


“Bencilah aku sesukamu, sayang. Aku malah lebih suka kamu benci daripada kamu cintai.” Dengan jarinya yang hitam Pak Pramono mengelus pipi dan rahang Dina yang halus mulus. “Aku akan sangat menikmati meruntuhkan dinding tebal kebencianmu itu dan membuatmu menghamba padaku. Kamu cantik sekali... sangat sempurna...”




Dina menarik wajahnya dan mundur ke belakang. Tapi Pak Pramono segera menahan Dina dengan menarik kembali bagian belakang leher Dina, mendekatkan tubuh moleknya ke depan.




“Aku sudah menginginkanmu sejak pertama kali kita bertemu, Mbak Dina. Begitu tenang, sopan, penuh percaya diri. Tapi aku bisa melihat watak aslimu.”


“Watak asli?”


“Aku tahu sejak pertama kita kali bertemu, kalau kamu sampai bermimpi ingin tidur denganku. Kamu ingin aku menusukkan batang penisku dalam-dalam di liang cintamu yang sempit itu. Kamu ingin menelan kontolku yang besar dan panjang lalu menelan semua pejuhku. Iya kan, sayang?”


“Gila. Jangan halu anda.” Kata Dina sambil mencoba menjauh. “Pikiran busuk macam apa itu.”


“Gila?” Pak Pram membiarkan Dina menjauh hingga jarak mereka ada sekitar dua meter. “Mungkin aku gila, tapi aku gila karenamu. Apalagi saat ini aku yang pegang kendali. Tubuhmu yang indah itu adalah milikku.” Kata Pak Pramono sambil tersenyum penuh kemenangan.




Dina mendesah, “Pak Pramono, saya mohon pertimbangkan lagi semua ini. Apakah anda tidak membayangkan bagaimana perasaan keluarga anda, keluarga saya? Perasaan Mas Anton?”




“Anton? Apa menurutmu dia memikirkan kami saat dia mencuri uang perusahaan?”




Dina terdiam tak berdaya.




“Jelas dia tidak pernah memikirkan kami saat dia mencuri. Jadi ajarin saja aku, Mbak Dina tersayang, apa menurutmu aku harus menghentikan tindakanku ini?”


“Seharusnya. Ini perbuatan terkutuk.”


“Bah! Tidak akan! Dia sudah mencuri dariku, jadi aku akan mengambil miliknya yang paling berharga! Istrinya yang cantik jelita! Darah dibalas darah!”


“Anda akan merahasiakan semua ini pada Mas Anton?” tanya Dina.


“Tergantung. Menurutmu apa yang akan terjadi jika dia mengetahui istri yang cantik dan seksi sudah membuka lebar-lebar selangkangannya untuk melayani bosnya sendiri bermain cinta?”


“Dia pasti minta cerai.”


“Apa Mbak Dina mencintai Pak Anton?”


“Sangat. Mohon pertimbang…”


“Aku kan sudah bilang. Mbak Dina harus menuruti semua perintahku kalau ingin semua ini berakhir dengan baik bagi semua pihak. Anton tidak akan dipecat dan tidak akan masuk penjara. Aku dapat hiburan gratis dari seorang wanita yang cantik jelita dan molek, sedangkan Mbak Dina sendiri siapa tahu akan mendapatkan seorang keturunan yang berasal dari spermaku.”




Dina menundukkan kepala, matanya berkaca-kaca, apakah tidak ada jalan keluar?




“Semudah itu perjanjiannya.” Pak Pramono tersenyum. “Aku menginginkan tubuh Mbak Dina. Tiap kali aku butuh, aku akan telpon atau sms. Mbak Dina tinggal melakukan apa yang aku minta, dan Anton tidak perlu tahu apa yang kita lakukan.”


“A-aku menjadi budak seks Pak Pramono?”


“Huh, itu kata-kata yang kasar. Bisa lebih lembut lagi, kok. Aku ingin kamu melayaniku, sayang. Aku ingin kamu menerima apa saja yang ingin aku lakukan pada tubuhmu yang lezat itu selama aku belum bosan.” Pak Pramono berkacak pinggang, “Setelah bosan, aku berjanji akan melepaskanmu dan Anton.”


“Aku tidak bisa melakukannya.”


“Tentu saja bisa.”


“Aku belum pernah mengkhianati suamiku.”




Pak Pramono tersenyum sinis dan mengingatkan Dina. “Belum pernah? Lalu yang kemarin kita lakukan itu apa? Main gundu? Wah-wah, anda benar-benar seorang istri yang sempurna. Cantik, setia dan baik hati pula. Sama sekali belum pernah disentuh oleh pria lain.”




Air mata semakin menggenang di pipi Dina. Sindiran sarkas Pak Pram mengena di perasaannya.




“Kemarilah, sayang.”






Perlahan Dina bergerak mendekati Pak Pramono. Airmata mulai deras menuruni pipi ibu muda yang cantik itu. Dengan mata berkaca-kaca Dina menatap Pak Pramono yang kini duduk di tepian ranjang.






“Cium aku.”




Dina membungkuk dan mencium bibir Pak Pramono.




“Canggung sekali. Seperti mencium karton. Kamu bisa lebih baik dari itu.” sungut Pak Pram tak puas saat Dina mundur.






Sambil meletakkan tangan di pundak Pak Pram, Dina membungkuk sekali lagi dan menangkup bibir hitam Pak Pram dengan bibirnya yang merah mungil. Dina bisa merasakan bibir Pak Pramono membuka dan lidahnya menjelajah ke dalam mulut Dina. Tangan Pak Pram memeluk pinggang langsingnya dan menarik tubuh Dina agar lebih mendekat. Lidah mereka beradu dan Dina memejamkan mata.




Beberapa saat kemudian ciuman itu berakhir. Dina merasa mulutnya sudah sangat ternoda.






“Boleh juga.” Kata Pak Pramono sambil duduk di ranjang. “Sekarang buka bajumu. Aku ingin melihatmu bugil.”






Dina memang sudah pernah telanjang di hadapan pria ini, satu-satunya lelaki yang pernah menidurinya selain suaminya sendiri. Kepalanya sudah buntu, ia tidak lagi melihat jalan keluar kecuali menuruti semua permintaannya. Tangan Dina segera membuka kancing bajunya. Satu persatu pakaian Dina melorot ke lantai. Baju, rok, sepatu dan rok dalam sudah dilepas oleh sang bidadari jelita. Kini di hadapan Pak Pramono berdiri seorang ibu rumahtangga yang amat molek yang hanya mengenakan celana dalam dan BH.






“Tubuhmu memang benar-benar seksi.” Kata Pak Pramono, matanya nanar ingin segera melahap tubuh Dina. “Aku sudah sering meniduri banyak wanita, tapi tubuhmu adalah yang paling indah yang pernah aku entoti.”




Dina mencoba menutupi ketelanjangannya karena risih. Tangannya menutup buah dada dan selangkangannya.




“Bukankah aku sudah bilang aku ingin melihatmu bugil? Buka semuanya.”




Dina mendesah pasrah dan mulai melepas BHnya. Perlahan-lahan Dina meloloskan BH melalui kedua lengannya dan melemparkannya ke dekat pakaian di lantai. Dina membungkuk dan melepas celana dalamnya.




“Lemparkan celdamnya.” Kata Pak Pramono.




Dina melempar celdamnya ke tangan Pak Pramono. Pria tua itu segera mencium dan menghirup bau memek Dina yang masih tertinggal di celana dalamnya.




“Hmmmmm… harumnya.” Kata Pak Pramono sambil memasukkan celana dalam Dina ke kantong celananya sendiri.


“Pak Pramono... aku...”




Tanpa banyak bicara Pak Pram kembali menganggukkan kepala ke arah Dina. Dia masih duduk di pinggir ranjang. “Berlutut di depanku, Mbak Dina.”




Dina berjalan perlahan ke arah Pak Pramono dan duduk berlutut di hadapannya. Dina tidak pernah menikmati oral seks. Anton sering menyuruhnya tapi Dina selalu menolak dengan berbagai alasan. Dina tidak pernah mau menelan sperma suaminya. Sekarang dia malah sepertinya harus mengoral laki-laki lain yang bukan suaminya sendiri!




“Keluarkan burungku dari sarang, Mbak Dina. Aku kok ingin lihat kontolku diciumi oleh bibir semerah bibir anda.”






Dina membuka celana Pak Pram dan menarik semua ke bawah berikut celana dalamnya. Kontol Pak Pram langsung terbebas dan berdiri tegak di depan wajah Dina. Walaupun sudah pernah melihatnya, Dina selalu terkejut melihat kontol Pak Pram. Penis ini memang Pak pram begitu panjang, besar dan bertonjolan urat halus.






“Pak Pram……”


“Sudah pernah kan?”


“Sudah. Hanya untuk Mas Anton. Tidak suka.”


“Sayang sekali. Mulutmu terlalu indah untuk dibiarkan menganggur. Sesudah melakukannya denganku, Mbak Dina tidak akan ragu lagi untuk melakukan oral seks.”






Dina terus memperhatikan penis Pak Pram. Dia hanya pernah memasukkan satu penis ke dalam mulutnya dan itu adalah milik suaminya sendiri. Tapi hari ini, sambil berlutut di hadapan penis Pak Pramono, istri yang tadinya setia itu harus melayani nafsu hewani sang pria tua. Dina mengeluarkan lidah dan menjilat ujung gundul kontol Pak Pram, merasakan lendir yang keluar dari rekahan dengan lidahnya. Perlahan-lahan, ditelannya seluruh kontol Pak Pram.






“Ah, enak...” desis Pak Pram. Tangannya meraih rambut Dina dan menguntainya lembut. Dia mendorong penisnya lebih jauh ke dalam mulut Dina.






Dina menutup mata dan mencoba menahan diri agar tidak tersedak oleh desakan kontol Pak Pram yang terus didorong masuk ke tenggorokan. Si cantik itu berusaha keras agar bisa bernapas saat Pak Pram mulai mendorong pinggulnya agar batang kejantanannya terbenam dalam di mulut Dina. Tangan Pak Pram memegang kepala Dina dan membimbingnya agar bisa mengocok penis Pak Pram dengan mulutnya yang mungil. Tiap kali menarik kepala Dina, hidung si cantik itu terbenam sampai ke dalam rambut kemaluan keriting milik Pak Pram.






“Terus sayang. Enak banget disepong istri orang!” kata Pak Pram sambil terus menggerakkan kepala Dina pada kontolnya.




Dina meletakkan tangannya di paha Pak Pram agar bisa meraih keseimbangan. Jari jemari Dina bisa merasakan sentuhan bulu-bulu kaki Pak Pram yang keriting.




“Pakai lidah.” Perintah Pak Pram sambil memompa lebih kencang.




Dina menggunakan lidahnya untuk memijat seluruh batang penis Pak Pram. Suara berkecap mulut Dina memenuhi ruangan yang sepi. Dina memejamkan mata, dia tidak ingin melihat dirinya sendiri menelan kontol Pak Pram.




“Arrrghhhh... Mbak Dinaaaa! Enagghhhk banget! Aku mau keluaaaaar! Ahhhh!!”




Dina berusaha menarik mulutnya, tapi Pak Pram menjambak rambut Dina dan memaksanya terus menelan kontolnya yang besar. Dina menggelengkan kepala dan berusaha melepaskan diri dari tangan Pak Pram. Dina tidak mau Pak Pram muncrat di dalam mulutnya. Namun usahanya sia-sia belaka.




Si cantik itu bisa mendengar suara tawa Pak Pram ketika akhirnya ujung gundul batang kejantanan pria tua itu meledakkan muntahan pejuh di dalam mulut Dina.




“Telan.” Kata Pak Pram dengan penuh kuasa, kontolnya dilesakkan sampai ke ujung.




Dina tidak bisa menahan lagi, rasanya sudah ingin muntah, dan dengan terpaksa ia menelan semuanya dalam satu tegukan. Semua muntahan sperma Pak Pramono masuk ke tenggorokan sang ibu muda jelita itu.




“Pinter banget.” Kata Pak Pramono sambil mengendurkan pegangannya dan membiarkan Dina jatuh ke lantai dengan lemas.




Dina menundukkan kepala, dia tidak bisa menghentikan air mata yang terus jatuh menuruni pipinya yang putih mulus. Bibirnya memar dan mulutnya terasa sakit usai mengoral penis Pak Pramono. Tenggorokan Dina terasa kaku karena dipaksa menelan kontol besar sampai ke ujung. Dina menunggu sampai Pak Pramono menyuruhnya mengenakan baju. Dia ingin segera pergi meninggalkan kamar ini. Pulang ke rumah, mandi besar lalu tidur.




Dina ingin segera meninggalkan semua mimpi buruk ini.




Jari jemari Pak Pramono mengelus dagu Dina dan mengangkat wajahnya.






“Kenapa menangis? Tidak suka blowjob?”


“Tidak.” Kata Dina pelan.


“Mbak Dina pintar sekali nyepong kontol. Seharusnya bangga lho bukannya malah menangis, tidak semua orang punya kemampuan itu. Nikmat banget rasanya. Bikin aku cepet banget orgasme.”




Dina tidak peduli. “Bolehkah saya pergi sekarang?”




“Pakai bajumu dulu.”




Wajah pria itu berubah menjadi sopan. Dina segera berdiri dan mengenakan pakaiannya.




“Pak Pram, celana dalam saya?” tanya Dina yang sudah bersiap mengenakan rok.


“Buat aku saja, sayang. Kamu beli yang baru.”






Dina tidak ingin berdebat dengannya. Setelah usai mengenakan pakaian, Dina langsung bergegas berdiri dan mengambil tas serta jaketnya di lemari. Dina sudah membuka pintu saat Pak Pramono memanggilnya.






“Mbak Dina.”




Dina terhenti di koridor. Dia menoleh sedikit ke belakang.




“Aku akan menghubungimu lagi.”




Dina tidak mengatakan apa-apa dan segera melangkah pergi meninggalkan Pak Pramono dengan hati yang berdebar kencang dan badan lemas. Dia amat bersyukur Pak Pram tidak menidurinya hari ini.








BERSAMBUNG















Report content on this page

Posting Komentar

0 Komentar